Sistem Informasi Strategik
Selama berabad-abad organisasi telah mengelola knowledge dan teknologi. Terutama pada masa revolusi industri, terlihat jelas organisasi bisnis mengalami pertumbuhan pesat akibat adopsi teknologi terbaru pada saat itu. Di abad ini, selama lebih dari tiga dekade, sejak organisasi bisnis menggunakan komputer untuk kebutuhan pemrosesan data, penggunaan teknologi informasi (TI) dalam organisasi bisnis terus mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal ini didukung dengan timbulnya pemahaman umum bahwa penggunaan TI dalam organisasi akan mengurangi berbagai biaya akibat adanya efisiensi serta bahwa keberadaan TI akan membuat organisasi yang memilikinya akan memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan pesaing.
Sejak saat itu, organisasi bisnis terus melakukan investasi besar-besaran pada perangkat TI. Dari tahun 1996 sampai 2000 saja, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat membelanjakan hampir 2 trilyun dolar pada hardware dan software untuk mengejar peningkatan efisiensi, produktifitas yang lebih tinggi dan penguatan laba. (Stiroh, 2001) Besarnya investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut tentunya diikuti pula dengan besarnya ekspektasi akan hasil yang dapat diperoleh atas investasi tersebut. Investasi yang besar, diharapkan akan membawa peningkatan yang besar terhadap kinerja atau produktifitas bagi organisasi bisnis tersebut.
Namun demikian, belakangan disadari bahwa organisasi bisnis yang merupakan top performer di Amerika Serikat adalah organisasi bisnis yang tergolong hemat dalam melakukan belanja perangkat TI. Studi yang dilakukan oleh Forrester Research dalam Maholtra (2005) menemukan bahwa perusahaan dengan performa terbaik yang diukur dengan pendapatan, Return on Assets (ROA) dan pertumbuhan cash flow memiliki belanja TI yang lebih rendah dari rata-rata perusahaan lain. Penelitian Collins dalam Maholtra (2005) pada perusahaan Amerika Serikat dengan performa terbaik selama 30 tahun menghasilkan temuan yang serupa. Temuan tersebut menjadi bertolak belakang dengan sejumlah penelitian, seperti yang dilakukan oleh Barua, Kriebel & Mukhopadhyay (1991), Brynjolfsson dan Hitt (1994), ataupun Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001)yang membuktikan adanya hubungan positif antara investasi perusahaan pada TI dengan kinerja. Namun tidak bertolak belakang dengan sejumlah penelitian lainnya yang gagal membuktikan adanya hubungan antara TI dengan kinerja atau produktifitas Hal ini menyisakan pertanyaan apakah teknologi informasi sungguh dapat memberikan manfaat bagi kinerja perusahaan?
Sejumlah studi empiris tentang dampak TI bagi organisasi bisnis itu sendiri sebenarnya telah banyak dilakukan sejak pertengahan era 1980’an. Penelitian tentang dampak TI pada organisasi bisnis berakar pada topik penelitian mengenai information technology investment and firm performance yang selama bertahun-tahun telah menjadi perdebatan mengenai apakah investasi pada TI memiliki dampak yang positif dengan ukuran-ukuran kinerja ataupun produktifitas. Penelitian yang dilakukan sejak dua dekade lalu menghasilkan temuan yang mixed tentang manfaat TI tersebut. Ketika TI diyakini memberi manfaat bagi organisasi bisnis yang memilikinya, sejumlah penelitian justru menghasilkan temuan berupa ketiadaan hubungan antara investasi perusahaan pada TI dengan peningkatan produktifitas, suatu situasi yang disebut sebagai productivity paradoks (Dedrick, Gurbaxani & Kraemer, 2002) Penelitian yang dilakukan tersebut, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu studi yang dilakukan pada level perusahaan dan studi yang dilakukan pada level negara. Hasil dari sejumlah penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut, yang memperlihatkan bahwa investasi perusahaan bagi TI tidaklah selalu diikuti dengan peningkatan kinerja/produktifitas
Tabel Studi Empiris tentang Dampak TI terhadap Kinerja/Produktifitas (Studi pada perusahaan sektor jasa hingga Manufaktur)
Peneliti |
Sumber
Data
|
Temuan
|
Strassmann [1985]
Strassmann [1990]
|
Computerworld,
survei terhadap 38 perusahaan
|
Tidak ada korelasi antara investasi pada TI dengan ukuran-ukuran kinerja, semisal
ROI
|
Bender [1986] |
LOMA insurance data
Dari 132 perusahaan
|
Korelasi lemah antara TI dengan berbagai rasio kinerja
|
Franke [1987] |
Data industri
keuangan
|
Investasi pada TI berhubungan dengan penurunan tajam
pada capital productivity dan tidak
ada dampak pada labor productivity
|
Dudley & Lasserre [1989] |
|
TI dan komunikasi mengurangi biaya yang berkaitan
dengan inventory
|
Parsons, Gottlieb dan
Denny [1990]
|
perbankan
|
Dampak yang rendah dari teknologi informasi terhadap
produktifitas
|
Alpar & Kim [1991] |
perbankan
|
TI mengakibatkan pengurangan biaya. 10 %. peningkatan
pada investasi TI membawa dampak pada 1.9% penurunan total cost.
|
Harris & Katz [19 91] |
40 perusahaan anggota LOMA
|
Hubungan positif yang lemah antara TI dengan berbagai
rasio kinerja
|
Barua, Kriebel &
Mukhopadhyay [1991]
|
manufaktur
|
Investasi pada TI berhubungan dengan sejumlah intermediate performance measure yang kemudian berhubungan dengan
ukuran-ukuran kinerja yang lebih tinggi seperti revenue, ROA & market
share
|
Mahmood & Mann (1993) |
Computerworld
data pada 100 perusahaan
|
Investasi pada TI memiliki hubungan yang lemah dengan pencapaian strategi organisasi dan kinerja secara
ekonomi. Namun memiliki hubungan yang signifikan bila diuji dengan canonical analysis yang dapat mengukur
efek kombinasi dari variabel-variabel investasi TI
|
Diewert &
Smith [1994] |
Perusahaan ritel Kanada
|
Peningkatan produktifitas melalui pengelolaan inventory
yang lebih baik dengan TI
|
Brynjolfsson & Hitt [1994] |
IDG, Compustat,
Bureau of Economics Analysis (BEA)
|
TI membawa
dampak pada peningkatan produktifitas dan
menciptakan value bagi customer
|
Loveman [1994] |
PIMS/MPIT
|
Invetasi pada TI tidak membawa dampak apapun terhadap
output
|
Kwon & Stoneman [1995] |
UK Based survey
|
TI memiliki dampak positif terhadap output dan produktifitas.
|
Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001) |
Perusahaan yang tercantum pada Fortune 500 dan Fortune Service 500
|
Investasi pada TI memiliki hubungan positif dengan
sejumlah ukuran kinerja, seperti penjualan, asset & ekuitas
|
Sumber: Barua, Kriebel & Mukhopadhyay (1995), Brynjolfsson &Yang (1996), Mahmood & Mann (2000),Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001)
Pada studi level negara, di Amerika Serikat, Oliner & Sichel (1994, 2000) menemukan bahwa penggunaan teknologi informasi seperti computer hardware, software dan perangkat komunikasi berkontribusi terhadap pesatnya pertumbuhan produktifitas pada era pertengahan tahun 90’an. Namun demikian, Gordon (2000) dalam Simon & Wardop (2002) mengemukakan bahwa teknologi informasi di AS tidak membawa dampak yang luas terhadap pertumbuhan output, sebagaimana yang ditimbulkan oleh gelombang inovasi besar pada abad lalu seperti ditemukannya listrik dan mesin dengan pembakaran internal. Di Australia sendiri, penelitian oleh Simon& Wardop (2002) menunjukkan Australia mengalami peningkatan pertumbuhan output yang signifikan sehubungan dengan penggunaan teknologi informasi dalam organisasi. Lebih jauh lagi Jorgenson (2004) mencoba untuk melihat dampak TI pada pertumbuhan ekonomi negara-negara G7. Ia menyatakan bahwa sejak 1995, terdapat investasi yang besar terhadap perangkat TI pada negara-negara G7 dimana hal ini membawa kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut.
Penjelasan tentang productivity paradoks pernah dilakukan oleh Brynjolfsson &Yang (1996) yang mengemukakan bahwa terdapat 4 aspek untuk menjelaskan terjadinya productivity paradoks Keempatnya adalah : (1) Kesalahan pengukuran. Terjadi pada kemungkinan terjadinya kesalahan pengukuran input dan Output akibat masih digunakannya pendekatan tradisional dalam pengukurannya.(2) Adanya waktu tunda atau lags. Waktu tunda disini timbul dari perbedaan waktu dari analisa tentang payoff dari biaya versus manfaat. (3) Redistribution: TI digunakan dalam aktifitas redistribusi antar perusahaan. Hal ini menjadikan TI bermanfaat, namun manfaat ini tidak dapat diukur pada total output. (4). Mismanagement, kesalahan dalam pengelolaan TI dapat membuat TI terlihat tidak produktif bila diukur secara statistik. Lebih lanjut, Ahadiat (2006) mencoba menjelaskan tentang hal tersebut dengan mengutip Bakos (1998) bahwa Investasi pada TI sendiri merupakan investasi pada sesuatu yang mudah menjadi usang (obsolete) sehingga terdapat kesulitan untuk menampakkan manfaatnya dalam skala pengukuran kinerja atau produktifitas yang telah umum digunakan.
INTANGIBLE BENEFIT DARI TEKNOLOGI INFORMASI
Perkembangan terbaru dari studi empiris tentang dampak TI, saat ini tidak hanya mencoba untuk mengkaitkan investasi TI dengan tangible benefit, namun juga intangible benefit. Hal ini terutama terus mengemuka sejalan dengan makin maraknya implementasi Knowledge Management (KM) di sejumlah organisasi bisnis. KM merupakan upaya organisasi dalam mengelola aktiva intelektual yang dimilikinya melalui praktek-praktek pendokumentasian dan sharing pengetahuan diantara anggota organisasi. Untuk melakukan pendokumentasian dan sharing pengetahuan ini diperlukan TI untuk mewujudkannya, yaitu dalam bentuk pengembangan intranet, extranet dan perangkat pendukung lainnya berupa hardware, software dan telekomunikasi yang dikenal sebagai KM technology. Meski praktek KM diyakini dapat meningkatkan intangible asset bagi organisasi, namun Maholtra (2005) mencoba menyoroti penggunaan istilah knowledge management technology dari sisi lain, yaitu hanyalah sebagai perkembangan terbaru atau re-labelling yang dilakukan oleh para vendor TI setelah selama dua dekade terakhir istilah teknologi informasi telah banyak digunakan.
Pasar KM technology sendiri merupakan pasar yang menarik bagi para vendor TI. pasar global KM diestimasikan sebesar US$8.8 billion selama tahun 2005. Sedangkan aplikasi bisnis yang digunakan untuk menunjang KM, seperti CRM diproyeksikan untuk bertumbuh sebesar $148 billion pada tahun 2006 (Maholtra, 2005) KM sendiri telah dimanfaatkan oleh vendor TI untuk memasarkan produk-produknya. Sehngga terlepas dari sisi positif implementasi KM bagi organisasi namun harus disadari bahwa vendor TI pun membutuhkan jargon baru untuk memasarkan produk berupa perangkat yang dimilikinya melalui popularitas KM. Hal ini tentu juga melahirkan pertanyaan lanjutan, yaitu apakah KM technology bermanfaat bagi organisasi?
Bila di 2 dekade lalu, saat istilah productivity paradoks mulai mengemuka, terdapat sebuah quote yang sangat populer yaitu: “You can see the computer everywhere but in the productivity statistics” (Robert Solow) maka kini Maholtra melanjutkannya dengan “One can see the impact of knowledge management everywhere but in the KM technology-performance statistics ’’
Bila dilihat dari sisi definisi, Knowledge management sendiri memiliki sejumlah definisi yang mengadung penekanan yang berbeda. Definisi tersebut antara lain:
‘‘Knowledge management systems (KMS) refer to a class of information systems applied to managing organizational knowledge. That is, they are IT-based systems developed to support and enhance the organizational processes of knowledge creation, storage/retrieval, transfer, and application’’ (Alavi dan Leidner, 2001)
Definisi yang berikutnya adalah:
‘‘Knowledge Management refers to the critical issues of organizational adaptation, survival and competence against discontinuous environmental change. Essentially it embodies organizational processes that seek synergistic combination of data and information-processing capacity of information technologies, and the creative and innovative capacity of human beings’’ (Malhotra,2005)
Bila dicermati, pada kedua definisi tersebut terdapat perbedaan yang esensial. Bila definisi yang pertama lebih banyak menekankan pada ketersediaan sistem berbasis TI untuk mengelola knowledge, definisi yang kedua lebih menekankan pada proses lanjutan yaitu daya kreatif dan inovasi manusia dalam menggunakan data dan informasi.
Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa tersedianya intranets, extranets, hingga groupware tidak serta merta dapat menghantarkan pada kinerja perusahaan yang lebih baik. Teknologi ini, perlu diadopsi dan disesuaikan dengan manusia sebagai user, diintegrasikan sesuai dengan konteks pekerjaan dan secara efektif digunakan oleh organisai.
Sehingga sama halnya dengan pertanyaan pertama, yaitu apakah apakah teknologi informasi sungguh dapat memberikan manfaat bagi kinerja organisasi? Pertanyaan kedua, yaitu apakah KM technology bermanfaat bagi organisasi? Membutuhkan kajian lebih lanjut untuk menjawabnya. Namun satu hal yang telah pasti bahwa investasi perusahaan pada perangkat TI atau yang kini juga diberi nama perangkat KM technology tidak akan serta merta memberikan manfaat yang terukur bagi organisasi yang memilikinya. Dibutuhkan sejumlah penataan selanjutnya untuk membuat teknologi tersebut menjadi berdampak positif bagi organisasi bisnis.
MEREALISASIKAN DAMPAK POSTIF TI; PEOPLE, PROSES & BUSINESS MODEL.
Dengan mengamati praktek-praktek yang telah dilakukan oleh organisasi bisnis yang berhasil dalam memanfaatkan TI, maka untuk dapat merealisasikan dampak positif TI bagi organisasi bisnis tersebut, paling tidak dapat dilakukan melalui tiga hal yaitu: people, proses & business model.
Dalam kaitannya dengan people, peranan dari TI telah berbeda dengan peranan mesin di era industri yang digunakan untuk menggantikan tenaga manusia. Meski penggunaan yang mula-mula dari komputer adalah diarahkan pada factor substitution, yaitu menggantikan low skill clerical worker melalui otomatisasi proses kerja. Dalam organisasi modern, TI tidak semata-mata menggantikan kekuatan otot ataupun kemampuan berpikir manusia. Dari hasil analisa makroekonomi multi tahun dari ratusan perusahaan, Strassmann dalam Malhotra (2005) menegaskan bahwa bukanlah komputer yang penting, tetapi apa yang dilakukan manusia dengan komputer tersebut adalah yang terpenting. Sebagaimana bukanlah sebuah palu yang dapat mendirikan sebuah rumah yang baik, tetapi tergantung pada ditangan siapakah palu itu dipegang, sehingga dapat menghasilkan sebuah rumah yang baik. Dari sini semakin jelas terlihat bahwa manfaat yang dihasilkan oleh teknologi, tidaklah semata berasal dari teknologi itu sendiri, tetapi dari apa yang dilakukan oleh manusia dengan teknologi tersebut.
Terkait dengan proses, manfaat yang didapatkan oleh organisasi bisnis dari TI terletak pada bagaimana organisasi tersebut menggunakannya tidak sekedar untuk otomatisasi, namun juga untuk mentransformasi proses bisnis, hingga mengubah atau menciptakan model bisnis yang sesuai manakala aktifitas kerja dan berbagai proses bisnis telah didukung TI. Hammer & Champy dalam Hartono (2005) mengidentifikasi kegagalan investasi TI untuk memberikan dampak terhadap peningkatan kinerja keuangan perusahaan karena implementasi TI dianggap sekedar mengotomatisasi kegiatan tradisionil yang ada. Menurut Hammer, untuk memberikan manfaat investasi TI harus digunakan untuk mengubah secara revolusioner proses bisnis yang ada dalam organisasi. Pendekatan ini disebut sebagai Business Process reengineering (BPR), dimana BPR ini bersifat fundamental, radikal, dramatis serta berorientasi pada proses.
Bila ditinjau dari perkembangan ilmu manajemen, dampak luar biasa dari penemuan teknologi seperti listrik dan mesin-mesin pada abad industri terhadap kemajuan industri tidaklah melulu disebabkan karena organisasi memiliki mesin-mesin tersebut. Organisasi bisnis pada masa itu juga melakukan perubahan proses kerja untuk dapat mewujudkan keunggulannya, misalnya melalui diterapkannya division of labor. Sehingga tidak heran di abad informasi keilmuan manajemen memperkenalkan istilah teamwork, interconnection, dan shared information sebagai suatu inovasi dari ilmu manajemen untuk mengadopsi teknologi dalam proses kerja. (Senn, 2004 ).
Carr dalam artikel kontroversialnya IT Doesn’t Matter yang dipublikasikan melalui Harvard Business Review (2003) menyoroti kemampuan TI untuk mendeliver keunggulan kompetitif yang semakin memudar. Beberapa dasawarsa lalu bank yang menerapkan online banking dapat memiliki keunggulan kompetitif dan merebut hati nasabah. Namun saat ini teknologi ini telah dimiliki semua bank. Demikian juga dengan Reuters yang memiliki sistem TI yang tidak dapat disaingi pada dasawarsa lalu, namun kini bahkan surat kabar lokal sekalipun juga dapat memiliki jaringan yang mendunia melalui teknologi internet.
Carr (2003) juga menyoroti kecenderungan organisasi bisnis pada masa sekarang yang terlalu mengandalkan vendor perangkat lunak ataupun perangkat keras hingga konsultan TI agar organisasi bisnis dapat tetap up to date dengan perkembangan TI, dibandingkan dengan berupaya untuk melakukan inovasi sendiri. Ketergantungan ini mengakibatkan setiap organisasi bisnis cenderung memiliki sistem dan teknologi yang seragam, sehingga selama tidak dilakukan inovasi maka tidak akan ada nilai lebih yang dapat ditampilkan oleh suatu organiasi bisnis bila dibandingkan dengan pesaingnya. Kondisi ini juga didukung dengan praktek organisasi bisnis selama ini dimana dari total pembelanjaannya pada TI, persentase terbesar adalah untuk pengadaan komoditas berupa berbagai perangkat dan hanya sedikit yang mengalokasikan dana untuk upaya menemukan inovasi atau melakukan proses kreatif dari berbagai perangkat tersebut.
Satu hal lain yang perlu dicermati adalah pilihan akan model bisnis. Perkembangan teknologi telah memungkinkan organisasi untuk membangun new business model yang baru dalam hal penawaran barang dan jasa ataupun baru dalam hal cara mendelivernya ke konsumen (Hartono, 2005) Dalam kaitannya dengan model bisnis, peritel Wal Mart telah muncul sebagai sebuah organisasi bisnis yang besar karena berhasil memanfaatkan TI secara maksimal untuk menjalankan model bisnis yang dipilihnya. Wal-Mart juga terus mencari cara untuk meningkatkan efisiensi dalam TI melalui pengelolaan rantai pasokan secara elektronis. Wal Mart mengarahkan semua pemasoknya untuk menggunakan sistem pengadaan barang secara elektronis yang sesuai dengan miliknya, sehingga mau tak mau supplier yang ingin terus bekerjasama dengan WalMart harus mengadopsi sistem tersebut. (Maholtra, 2005) Lebih jauh tentang model bisnis, Amazon, Google dan e-bay adalah tiga nama besar dalam dunia e-commerce yang menjalankan bisnisnya murni secara virtual atau hanya ada didunia maya. Siapapun sebenarnya dapat memulai bisnis di internet, sebuah infrastruktur terbuka yang dapat digunakan oleh siapa saja dan telah lazim diadopsi oleh organisasi bisnis lainnya. Namun dengan kreatifitas para pendirinya, ketiganya memilih suatu model bisnis yang dapat diterima oleh pengguna internet di seluruh dunia. Amazon, pioner di bisnis ritel yang terus melengkapi diri dengan fitur-fitur baru dan kemudahan yang membuat pelanggan enggan berpaling. E-bay dalam bidang pelelangan yang membuat segala hal jadi mungkin untuk dilelang dan semua orang di seluruh dunia dapat menjadi peserta lelang asalkan memiliki akses ke internet. Serta Google sebagai nomor satu dalam search engine yang menggunakan perangkat TI sederhana secara maksimal yaitu dengan menciptakan algoritma pemrograman yang memungkinkan user men-search ‘apapun’ secara lebih cepat dan teliti dibanding dari search engine manapun termasuk Yahoo. Masih banyak contoh lain, misalkan Encyclopedia Britannica yang di abad informasi ini juga harus merubah model bisnisnya dalam menjajakan informasi akibat adanya internet dan munculnya Wikipedia, suatu free ensiklopedia di internet yang memiliki lebih dari 1,8 juta artikel dan dikerjakan oleh para sukarelawan dari seluruh dunia (Hammel, 2006)
Akhirnya, untuk dapat mengukur dampak TI dalam organisasi, Luftman (2004) memaparkan sejumlah aspek yang dapat diukur selain aspek keuangan untuk mengukur dampak positif TI dengan lebih terinci. Luftman menegaskan bahwa aspek-aspek yang dapat diukur untuk menilai manfaat dapat meliputi dampak terhadap bisnis, hubungan pelanggan, dampak pada internal organisasi hingga value chain. Dicontohan pula, misalkan TI digunakan untuk memperbaiki order management, maka pengukuran dapat dilakukan pada short order lead times, In-stock availability, order accuracy, access to order status information hingga response time to customer inquiries, sehingga detail dari dampak positif tersebut dapat lebih terlihat.