Pembaharuan Pendidikan Atau Inovasi Pendidikan
Pembaharuan pendidikan atau inovasi pendidikan adalah konsep yang sering didengar dalam dunia pendidikan Indonesia. Hal ini pula yang sejak lama sudah didambakan oleh masyarakat. Usaha ke arah pembaharuan pendidikan dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan berbagai cara, antara lain melalui pengubahan kurikulum yang disesuaikan dengan perkembangan zaman (Fajaroh, 2003). Perubahan kurikulum telah terjadi beberapa kali, dan perubahan paling akhir adalah sesuai Peraturan Mendiknas ditetapkan kurikulum operasional Tingkat Satuan Pendidikan atau sekarang disebut sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Pendidikan dikatakan bermutu apabila proses pembelajaran berlangsung secara efektif, peserta didik (siswa) memperoleh pengalaman yang bermakna bagi dirinya, dan produk pendidikan merupakan individu-individu yang bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan bangsa. Selain itu peserta didik berbeda dalam berbagai hal, terutama intelegensinya. Intelegensi adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Banyak siswa yang prestasi belajarnya kurang bukan disebabkan oleh kemampuan intelegensi yang belum optimal. Namun hal ini lebih disebabkan kemampuan berfikir untuk memanfaatkan apa yang mereka ketahui atau disebut juga dengan kemampuan metakognisi, kurang berkembang.
Oleh karena itu 3 aspek penting dalam pelaksanaan pembelajaran yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, yaitu teaching of thinking, teaching for thinking, dan teaching about thinking harus terus ditumbuhkembangkan sehingga dibutuhkan metode pembelajaran yang menekankan pada pengalaman berfikir operasional formal yang memungkinkan seseorang untuk mempunyai tingkah laku problem solving dan sebuah konsep pembelajaran sistematik atau sering disebut juga dengan metode pembelajaran learning cycle. Dengan adanya kedua penekanan ini diharapkan siswa akan dapat mengembangkan keterampilan metakognisinya sehingga menyebabkan prestasi belajarnya meningkat.
1. Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Konstuktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri ( Matthews, 1994). Pengetahuan bukanlah suatu imitasi dari kenyataan, pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu knstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui serangkaian aktivitas seseorang (siswa). Siswa membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Pengetahuan bukanlah tentang hal-hal yang terlepas dari pengamat, tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dan setiap kali terjadi reorganisasi atau rekonstruksi karena adanya suatu pemahaman yang baru.
Menurut Von Glaserfeld dalam Paulinan Panen ( 2005 ) dikemukakan bahwa agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan maka dibutuhkan :
a. Kemampuan siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, ini sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman tersebut.
b. Kemampuan siswa untuk membandingkan dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Hal ini agar siswa dapat menarik hal yang umum dari pengalaman-pengalaman khusus sehingga dapat membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengetahuannya.
c. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari pengalaman yang lain, sehingga dapat dijadikan landaan bagi pembentukan pengetahuannya.
Dengan demikian maka guru harus dapat menjembatani kepentingan tersebut, dan sebagai konsekuensinya guru harus dapat memilih metode-metode pembelajaran yang dapat membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan berdasakan penalaman-pengalaman belajar yang dilakukannya. Hal tersebut dapat dilakukan jika guru :
a. Membebaskan siswa dari ikatan beban kurikulum dan memperbolehkan siswa untuk berfokus pada ide-ide menyeluruh.
b. Memberikan wewenang pada siswa untuk mengikuti minatnya, mencari keterkaitan, mereformulasi ide dan mencapai kesimpulan unik.
c. Berbagi informasi dengan siswa tentang kompleksitas kehidupan yang di dalamnya terdapat berbagai perspektif dan kebenaran merupakan interpretasi siswa per siswa. ( Paulina Panen, 2005 )
2. Pembelajaran Problem Solving
Problem solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi tuntutan situasi yang tak lumrah. Jadi aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah. Konsep konstruktivisme nampak jelas menjadi dasar pijakan metode pembelajaran problem solving ini.
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama. Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Problem solving memiliki lima asumsi utama :
a. Permasalahan sebagai pemandu, dalam hal ini permasalahan menjadi acuan konkret yang harus menjadi perhatian siswa. Bacaan dan materi diberikan sejalan dengan permasalahan. Permasalahan menjadi kerangka berpikir bagi siswa dalam mengerjakan tugas.
b. Permasalahan sebagai kesatuan dan alat evaluasi, di sini permasalahan diberikan setelah tugas-tugas dan penjelasan diberikan. Tujuan utamanya memberikan kesempatan pada siswa untuk menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh dalam memecahkan masalah.
c. Permasalahan sebagai contoh, di sini permasalahan adalah salah satu contoh dan bagian dari bahan belajar siswa. Permasalahan digunakan untuk menggambarkan teori, konsep atau prinsip dan dibahas dalam diskusi antara guru dan siswa.
d. Permasalahan sebagai sarana untuk memfasilitasi terjadinya proses, dalam hal ini fokusnya adalah kemampuan berpikir kritis dalam hubungannya dengan permasalahan. Permasalahan menjadi alat untuk melatih siswa dalam bernalar dan berpikir kritis.
e. Permasalahan sebagai stimulus dalam aktivitas belajar, dalam hal ini fokusnya adalah pengembangan ketrampilan pemecahan masalah dari kasus-kasus serupa. Ketrampilan tidak diajarkan oleh guru tetapi ditemukan dan dikembangkan sendiri oleh siswa melalui aktivitas pemecahan masalah ( Paulina Panen, 2005:86-87 )
Metode pembelajaran problem solving merupakan salah satu metode pembelajaran yang mencerminkan atau dilandasi oleh filsafat konstrukstivisme.
3. Pembelajaran Learning Cycle
Salah satu tantangan besar yang dihadapi guru saat ini yakni bagaimana membantu anak mengembangkan kemampuan berpikir (thinking skills), melangkah dari pengalaman konkret ke berpikir abstrak yang dapat menghasilkan “loncatan intuitif” melalui sebuah desain pembelajaran aktif. Piagetian-based education mengakui pentingnya menyiapkan lingkungan di mana anak dapat melangkah dari pengalaman konkret menuju ke menemukan konsep, dan mengaplikasikan konsep. Mengetahui sebuah objek atau peristiwa, tidak sesederhana melihatnya dan menggambarkannya. Mengetahui objek berarti berbuat terhadapnya, memodifikasinya, mentransformasi dan memahami proses transformasinya, dan sebagai konsekuensi dari pemahaman terhadap objek adalah mengkontruksinya.
Pembelajaran meliputi tiga hal utama yaitu fakta, konsep dan nilai. Fakta-fakta yang dieksplorasi harus dapat dikonseptualisasi untuk melahirkan nilai-nilai yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Dengan demikian, ketika anak belajar maka sesungguhnya diharapkan dapat melatih dan mengembangkan skill belajar (soft skill) yang meliputi self management skills, thinking skills, research skills, communication skills, social skills, dan problem solving skills.
Dengan semakin meningkatnya tantangan kehidupan di masa depan, menuntut pengembangan teori dan siklus belajar secara berkesinambungan. Siklus belajar yang dikembangkan dalam sebuah sistem pembelajaran menentukan terbentuknya karakter yang diharapkan pada diri anak. Karakter berpikir yang kreatif dan membebaskan dapat menjadi modal utama bagi anak untuk menjadi manusia mandiri dalam kehidupan masa depan yang kompetitif. Proses pembelajaran yang berkarakter, membiasakan anak belajar dan bekerja terpola dan sistematis, baik secara individual maupun kelompok dengan lingkungan yang menyediakan ruang bagi anak untuk berkreasi dan mencipta.
Untuk membentuk karakter kreatif dan produktif menuju terciptanya kemandirian bagi anak, maka dikembangkan siklus belajar yang meliputi lima aspek pengalaman belajar sebagai berikut:
1) Exploring, merespon informasi baru, mengeksplorasi fakta-fakta dengan petunjuk sederhana, melakukan sharing pengetahuan dengan orang lain, atau menggali informasi dari guru, ahli/pakar atau sumber-sumber yang lain.
2) Planning, menyusun rencana kerja, mengidentifikasi alat dan bahan yang diperlukan, menentukan langkah-langkah, desain karya dan rencana lainnya.
3) Doing/acting, melakukan percobaan, pengamatan, menemukan, membuat karya dan melaporkan hasilnya, menyelesaikan masalah.
4) Communicating, mengkomunikasikan/mempresentasikan hasil percobaan, pengamatan, penemuan, atau hasil karyanya, sharing dan diskusi.
5) Reflecting, mengevaluasi proses dan hasil yang telah dicapai, mencari kelemahan-kekurangan guna meningkatkan efektivitas perencanaan
Siklus Belajar (Learning Cycle) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pembelajar (student centered). Learning Cycle merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pembelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. Learning Cycle pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their dalam Renner et al, 1988).
a. Fase exploration
Pada tahap eksplorasi, pembelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain.
b. Fase concept introduction / Expalanation
Pada fase explanation, guru harus mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi.
c. Fase concept application (elaboration)
Siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan problem solving.
Berdasarkan tahapan-tahapan dalam metode pembelajaran bersiklus seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya pemahaman mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Metode pembelajaran problem solving akan dapat berhasil dengan baik jika diterapkan bersama-sama dengan metode learning cycle. Paduan kedua metode ini akan membawa siswa mencapai pengetahuannya dengan cara-cara yang sesuai dengan filsafat konstruktivisme.
4. Keterampilan Metakognisi
Metakognisi merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976 dan menimbulkan banyak perdebatan pada pendefinisiannya. Flavell & Brown (Veenman, 2006) menyatakan bahwa metakognisi adalah pengetahuan (knowledge) dan regulasi (regulation) pada suatu aktivitas kognitif seseorang dalam proses belajarnya.
Namun belakangan ini, perbedaan paling umum dalam metakognisi adalah memisahkan pengetahuan metakognisi dari keterampilan metakognisi. Pengetahuan metakognisi mengacu kepada pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan kondisional seseorang pada penyelesaian masalah (Brown & DeLoache, 1978; Veenman, 2006). Sedangkan keterampilan metakognisi mengacu kepada keterampilan prediksi (prediction skills), keterampilan perencanaan (planning skills), keterampilan monitroring (monitoring skills), dan keterampilan evaluasi (evaluation skills).
Pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para pakar di atas sangat beragam, namun pada hakekatnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri. Keterampilan metakognisi berkaitan dengan keterampilan perencanaan, keterampilan prediksi, keterampilan monitoring, dan keterampilan evaluasi.
Model problem solving dan learning cycle adalah alternatif model pembelajaran inovatif yang dikembangkan berlandaskan paradigma konstruktivistik. Esensi dari model pembelajaran tersebut adalah adanya reorientasi pembelajaran dari semula berpusat pada pengajar menjadi berpusat pada pebelajar. Model problem solving dan learning cycle memberikan peluang pemberdayaan potensi berpikir pebelajar dalam aktivitas-aktivitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dalam konteks kehidupan dunia nyata yang kompleks.
Kerangka Berfikir
Kerangka pemikiran pembelajaran problem solving dan learning cycle adalah sebagai upaya meningkatkan keterampilan metakognisi siswa.
Keterangan :
Keterampilan metakognisi siswa merupakan keterampilan berfikir dalam berfikir, dimana peserta didik tahu dan paham akan kemampuan dirinya sendiri. Sehingga peserta didik dapat mengatur atau memanajemen dirinya sendiri dimana hal ini akan mempengaruhi prestasi belajarnya. Dari bagan kerangka berpikir tersebut dapat ditunjukkan bagaimana metode pembelajaran problem solving dan learning cycle dapat meningkatkan keterampilan metakognisi siswa yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sesuai dengan harapan KTSP.
Analisis Dan Sintesis
Pendidikan adalah proses yang sangat kompleks, keberhasilan terselenggaranya suatu proses pendidikan di pengaruhi oleh tiga (3) faktor. Pertama Raw input, Environmental input, dan Instrumental input. Artinya untuk menghasilkan suatu lulusan, maka hasil dari output lulusan tersebut sangat dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut. Raw input berhubungan dengan masukan bahan mentah. Dalam hal ini yang dimaksud bahan mentah adalah siswa sebagai subyek dan obyek pembelajar. Environmental input berkaitan dengan faktor lingkungan dimana siswa tersebut melakukan proses belajar. Wujudnya bisa berupa lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis. Baik lingkungan sekolah, masyarakat maupun lingkungan keluarga. Faktor ketiga adalah Instrumental input yaitu berkaitan dengan sarana-sarana pendukung seperti adanya guru, fasilitas dan sarana pendukung lainnya.
Keterampilan metakognisi merupakan bagian yang menjadi faktor keberhasilan pencapaian prestasi belajar siswa sebagai persiapan output pembelajaran. keterampilan metakognisi ini erat hubungannya dengan environmental input. Keterampilan ini bergantung pada pengalaman berfikir siswa sebagai faktor psikologis dalam menghadapi pemasalahan-permasalahan pembelajaran yang muncul dari lingkungan.
Untuk meningkatkan keterampilan metakognisi ini dapat dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut : (a). Kenalan, yaitu siswa dikenalkan pada materi pelajaran yang mana akan menimbulkan keingintahuan siswa terhadap pelajaran, (b). Ajar, yaitu menyatakan cara untuk memperoleh keterampilan dari materi pelajaran dengan memberikan urutan langkah-langkah tertentu dan apa yang harus dilakukan dalam setiap langkah, (c). Demonstrasi, menunjukkan keterampilan yang diperoleh dari proses ajar dan langkah-langkah penyelesaian permasalahan merujuk dari contoh tertentu, (d). Aplikasi, mengaplikasikan keterampilan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari, (e). Refleksi, siswa merefleksi tentang keterampilan yang digunakan.
Dan metode pembelajaran yang tepat untuk merefleksikan tahapan-tahapan tersebut yaitu metode pembelajaran learning cycle dan problem solving .
A. Analisis Berdasarkan Metode Pembelajaran Problem Solving
Pembelajaran sangat erat kaitannya dengan sebuah permasalahan yang setiap peserta didik wajib memecahkan permasalahan tersebut untuk mencapai suatu proses belajar yang optimal dan prestasi belajar yang terbaik. Sehubungan dengan hal ini problem solving merupakan metode pembelajaran yang tepat.
Metode pembelajaran problem solving memiliki sejumlah karateristik yang membedakannya dengan model pembelajaran yang lainnya yaitu 1) pembelajaran bersifat student centered, 2) pembelajaran terjadi pada kelompok-kelompok kecil, 3) dosen atau guru berperan sebagai fasilitator dan moderator, 4) masalah menjadi fokus dan merupakan sarana untuk mengembangkan ketrampilan problem solving, 5) informasi-informasi baru diperoleh dari belajar mandiri (self directed learning).
Problem solving memiliki tahapan-tahapan pembelajaran mulai dari mengidentifikasi masalah, menentukan altenatif solusi, menganalisis masing-masing solusi dan berbagai kemungkinannya, memilih solusi, mengimplementasikan solusi tersebut dan pada akhirnya mengevaluasi hasil yang ditimbulkan oleh solusi itu. Dari tahap-tahap inilah maka siswa dituntut untuk berfikir secara sistematis, aktif, dan solutif .
Problem solving sangat berhubungan dengan pembelajaran learning cycle. Hanya saja problem solving lebih menekankan pada solusi yang solutif dari permasalahan riil yang terjadi. Dengan kata lain pembelajaran problem solving dapat menguji kesadaran berfikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri yang sering disebut dengan keterampilan metakognisi. Dimana hal ini dapat meningkatkan prestasi belajar.
B. Analisis Berdasarkan Metode pembelajaran learning cycle
Tahap-tahap pembelajaran learning cycle terbagi menjadi 3 fase yaitu Fase exploration, yang diharapkan dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam struktur mental siswa (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana. Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase kedua yaitu fase concept introduction / Expalanation. Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pembelajar dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Dan pada fase terakhir yaitu fase concept application (elaboration), siswa diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena pembelajar mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari.
Dari tahapan-tahapan diatas menunjukan bahwa proses pembelajaran learning cycle merupakan cerminan dari tahapan-tahapan yang dapat meningkatkan keterampilan metakognisi. Tahapan exploration merupakan wujud dari kenalan, tahapan concept introduction / Expalanation merupakan ajar dan demonstrasi sedangkan pada tahapan concept application (elaboration) adalah tahap aplikasi dan refleksi. Sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
0 komentar:
Posting Komentar