Pengembangan Kurikulum Dan Program Pembelajaran Bagi Siswa MDVI/Deafblind

Pengembangan Kurikulum Dan Program Pembelajaran Bagi Siswa MDVI/Deafblind
Tujuan pendidikan nasional seperti tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN pasal 3, menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional“ ... untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”

Berdasarkan Pada pasal 5 ayat 2 dan 4, UU No. 20 Tahun 2003 tentang SPN, peserta didik dapat dikategorikan menjadi (1) peserta didik yang memerlukan pendidikan khusus, yaitu mereka yang mengalami kelainan fisik, mental, dan sosial dan peserta didik yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa; dan (2) peserta didik yang pada umumnya atau “normal”. Peserta didik yang berkelianan maupun peserta didik yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa keduanya memerlukan pendidikan khusus agar mereka dapat berkembang secara optimal.

Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang SPN mengisyaratkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan.

Penddidikan khusus adalah pendidikan yang diperuntukan bagi peserta didik yang memiliki kelainan baik fisik, mental, dan sosial emosi, merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional, memiliki tujuan yang sama dengan pendidikan pada umumnya. Mengingat peserta didik dalam pendidikan khusus memiliki karakteristik yang unik, yang berbeda sangat menonjol dengan peserta didik umumnya maka dalam proses pendidikannya memerlukan sebuah rancangan pembelajaran yang spesifik. Kekhususan tersebut di antaranya adalah strategi: metode, dan peralatan yang perlu diadaptasi sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak serta materi dan evaluasi belajar. 

Undang No. 20 Tahun 2003 tentang SPN menyebutkan bahwa Pendidikan khusus dan layanan khusus merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional, yaitu pendidikan khusus diperuntukan bagi peserta didik yang mengalami kesulitan mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan khusus bagi peserta didik yang mengalami hambatan belajar dapat diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Terpadu, atau Sekolah Inklusi. 

Anak dengan tunaganda sebagai salah satu kategori anak berkebutuhan khusus di Indonesia belum mendapatkan layanan pendidikan yang memadai dikarenakan sekolah atau lembaga yang diperuntukan bagi mereka masih sangat terbatas. Keterbatasan ini disebabkan oleh banyak faktor di antaranya karena sangat kurangnya sumber informasi dan layanan pendidikan serta kebanyakan orangtua dan masyarakat khususnya masyarakat pendidikan menganggap beratnya kondisi kelainan yang dialami anak dengan tunaganda sedangkan mereka tidak memiliki cukup pengetahuan dan keterampilan untuk mendidik mereka. Hal ini yang menyebabkan pendidikan anak dengan tunaganda kurang diperhatikan: jumlah sekolah bagi mereka sangat minim, tidak banyak guru yang dipersiapkan untuk mendidik mereka, serta ketiadaan panduan kurikulum yang dapat digunakan sebagai acuan. 

Anak dengan tunaganda keadaannya sangat beragam, salah satunya adalah anak dengan tunanetra yang disertai dengan ketunaan lain, yang dalam panduan ini menggunakan istilah anak dengan MDVI/Deafblind yang berasal dari bahasa Inggris Multi Disable Visual Impaired dan Deafblind, sengaja tidak digunakan bahasa Indonesia karena masih belum ada padanan kata yang tepat. Dalam literature berbahasa asing, mungkin ditemukan istilah lain dengan makna yang sama, yakni VIMD (Visually Impaired Multiple Disable). Anak dengan MDVI/Deafblind ini dapat ditemukan di SLB tunanetra atau di SLB lain, mereka pada umumnya belum mendapat layanan pendidikan yang tepat. Bagi mereka yang ada di SLB tunanetra mendapat layanan pendidikan yang disamakan dengan anak tunanetra. Demikian juga mereka yang berada di SLB tunarungu mendapat layanan pendidikan seperti anak tunarungu pada umumnya. Anak dengan MDVI/Deafblind: tunanetra yang disertai tunarungu, mereka bukan anak-anak dengan gabungan karakteristik anak dengan tunanetra dan dengan tunarungu, tetapi mereka adalah anak-anak dengan karakteristik tersendiri yang unik yang berbeda khas dengan anak tunanetra juga anak tunarungu pada umumnya. Oleh karena itu, untuk mengembangkan potensi mereka diperlukan bentuk layanan pendidikan yang dituangkan dalam sebuah kurikulum khusus sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan dan cara belajar anak dengan MDVI/deafblind.

Naskah ini merupakan suatu pedoman atau panduan bagi pendidik untuk memberikan layanan pembelajaran bagi anak dengan MDVI/deafblind secara khusus. Meskipun demikian pedoman ini juga dapat digunakan dalam pembelajaran bagi anak dengan tunaganda tanpa hambatan penglihatan karena pedoman ini disusun berdasarkan prinsip-prinsip umum pengajaran bagi anak dengan ketunaan ganda.

A. Siapakah MDVI/DEAFBLIND?
Di Indonesia, salah satu kategori anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak dengan tunaganda, yaitu ABK yang memiliki dua atau lebih hambatan, misalnya tunanetra disertai tunarungu yang disebut tunanetra-rungu atau buta tuli. Di samping itu, ada tunaganda yang lain, misalnya tunanetra yang disertai tunagrahita, atau tunanetra sekaligus tunarungu dan tunagrahita. Anak-anak seperti ini sering dijumpai baik di sekolah luar biasa (SLB) tunagrahita atau pun di SLB tunanetra. Sayangnya di sekolah tersebut mereka belum mendapat pelayanan pendidikan yang ideal karena sekolah yang khusus melayani pendidikan bagi anak-anak seperti ini di Indonesia masih sangat minim jumlahnya.

Anak dengan tunanetra sekaligus tunarungu (deafblind) adalah salah satu kategori anak dengan tunaganda yang sangat istimewa dan menarik perhatian bagi para pendidik, karena anak ini kehilangan dua indera utama sekaligus. Dampak dari hilangnya kedua indera utama tersebut menyebabkan sesseorang mengalami banyak tantangan dalam belajar, perkembangan, dan keterampilan komunikasinya. Anak seperti ini membutuhkan layanan pendidikan khusus. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan anak dengan tunanetra sekaligus tunarungu, yaitu deaf blind dengan berbagai variasi penulisannya; deaf-blind, deafblind, deaf/blind dan deafblindness. Secara harfiah semua istilah tersebut berarti tunanetra sekaligus tunarungu yang dalam bahasa Indonesia sering ditulis tunanetra-rungu. 

Miles (2005) menyebutkan tunanetra-rungu adalah suatu kondisi yang merupakan kombinasi dari hambatan pendengaran dan penglihatan pada anak-anak yang menyebabkan hambatan berat pada komunikasi dan perkembangan lainnya serta kebutuhan pendidikan di mana kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi pada program yang diperuntukkan bagi anak dengan hambatan pendengaran saja atau anak dengan hambatan penglihatan saja atau bahkan program bagi anak berkelainan ganda secara umum.

Dalam perkembangan selajutnya, di Amerika serikat, dikenal istilah multiple disable with visual impairments (MDVI). Istilah tersebut merujuk pada seseorang yang mengalami hambatan penglihatan yang disertai dengan hambatan lain. Maka MDVI adalah mereka yang memiliki hambatan penglihatan yang disertai dengan hambatan lain baik pendengaran, intelektual, fisik, emosi dan lain sebagainya. Kombinasi dari hambatan-hambatan tersebut gradasinya bisa sangat beragam, dan banyak di antara anak-anak ini masih dapat mendengar atau melihat sesuatu. Dalam bahasa Indonesia anak dengan MDVI dapat disamakan dengan istilah tunaganda yang memfokuskan pada hambatan penglihatan yang disertai oleh hambatan lain. 

Salah satu kategori anak dengan MDVI yang paling unik adalah anak dengan tunanetra sekaligus tunarungu (deafblind). Anak ini mengalami kehilangan indera utama yaitu penglihatan dan pendengaran yang paling berperan dalam membawa informasi dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkan informasi tentang lingkungan, anak tunanetra-rungu sangat tergantung pada orang lain yang bersedia memberikan informasi. Sebagai dampak hilangnya duan indera utama ini, anak tunetra-rungu memiliki karakteristik di antaranya, mengalami distorsi persepsi tentang lingkungan, memgalami kesulitan komunikasi karena ketidakmampuan untuk mengkomunikasikan sesuatu dengan cara yang berarti, mengalami hambatan dalam menjaga hubungan interpersonal dengan orang lain. 

B. Kurikulum Secara Umum
Istilah kurikulum memiliki berbagai tafsiran, dan tafsiran-tafsiran tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Istilah kurikulum berasal dari kata ‘curriculae’ dari bahasa Latin yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Dari sini, kurikulum dianggap sebagai jembatan untuk mencapai titik akhir dari suatu perjalanan yang ditandai dengan perolehan suatu ijazah. 

Salah satu tafsiran yang paling umum dipakai adalah sejumlah mata ajaran (subject matter) dipandang sebagai pengalaman yang telah disusun secara sistematis dan logis. Di samping itu, tafsiran lain menjelaskan bahwa kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa. Dengan program ini siswa melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa, sesuai dengan tujuan pendidikan. Kurikulum tidak terbatas pada sejumlah mata ajaran saja, melainkan meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan siswa.

Pengertian ini menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam ruang kelas saja, melainkn mencakup juga kegiatan-kegiatan di luar kelas. Semua kegiatan yang memberi pengalaman belajar/pendidikan bagi siswa pada hakekatnya adalah kurikulum. 

Kurikulum bagi siswa MDVI/deafblind akan dibahas secara mendalam pada bab 2 berikutnya.

C. Struktur Kurikulum
Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Ke dalaman muatan kurikulum setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan bahan belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi tersebut terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan. 

Struktur kurikulum bagi anak MDVI/deafblind ini disusun dalam bentuk area kurikulum yang meliputi (1) area bekerja, (2) komunikasi dan sosialisasi, dan (3) bina diri yang masing-masing disertai Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator. Secara rinci, Standar kompetensi, Kompetensi dasar, serta Indikator untuk masing-masing area kurikulum disajikan dalam lampiran. ( lihat pada penjelasan berikutnya)
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger