Islam, Demokrasi Dan Kultur Politik

Islam, Demokrasi Dan Kultur Politik
Hubungan antara Islam dan demokrasi masih menjadi tema perdebatan yang menarik dan belum tuntas. Di Tanah Air, wacana yang berkembang lebih banyak menyangkut pro-kontra penerapan atau formalisasi syariat Islam. Perdebatan ini perlu segera diakhiri, karena tidak pernah membuahkan langkah maju.

Ada dua faktor yang menyebabkan perdebatan seputar formalisasi syariat Islam tampak berjalan di tempat. Pertama, baik pandangan yang pro maupun yang kontra terjebak pada argumentasi-argumentasi yang sangat umum (generik). Misalnya, bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan penerapan syariat merupakan tuntutan kesempurnaan itu. Landasan argumentasi yang generik ini akan menghadapi persoalan serius manakala dibenturkan dengan masalah-masalah partikular, seperti syariat sebagaimana dipahami siapa yang akan diterapkan, bagaimana model negara Islam, masih relevankah konsep fikih siyasah yang dirumuskan al-Mawardi, Abu Ya'la atau Ibnu Taimiyah untuk dipergunakan saat ini dan seterusnya.

Kedua, ada kecenderungan untuk mengusung tafsir syariat Islam yang humanis supaya tampak tidak bertentangan dengan konsep-konsep modern, seperti HAM, demokrasi, dan civil society. Persoalannya, selain tidak cukup mengakar (masyarakat kita masih sangat fikih oriented), pandangan seperti ini hanya menyentuh narasi-narasi besar, seperti masalah hukuman, hudud dan kisas. Sementara sejumlah persoalan yang urgen bagi masa depan kemanusiaan, seperti demokratisasi, penghormatan hak asasi manusia, dan perdamaian dunia tetap tak terjamah.

Berdasarkan pada dua alasan di atas, perlu kiranya tema diskusi diletakkan selangkah lebih maju, yakni formulasi Islam tentang demokrasi. Untuk kita di Indonesia, masalah demokrasi masih merupakan satu agenda politik yang selalu perlu diangkat ke atas permukaan karena kenyataannya wajah demokrasi Indonesia masih sering diperdebatkan. Apakah yang sekarang kita alami merupakan sesuatu yang dapat diterima ataukah memang masih harus diperjuangkan agar nilai-nilai demokrasi yang diyakini bermakna universal dapat diwujudkan dengan lebih konkret lagi dalam kehidupan politik Indonesia?

Dari perspektif yang lebih luas, saat ini dunia menyaksikan fenomena global yang menakjubkan, yaitu bertambahnya rezim-rezim demokrasi yang ditandai dengan adanya kebebasan di negara-negara tersebut. Fenomena ini menarik dicermati, karena tuntutan demokratisasi muncul seiring dengan kebangkitan agama-agama dalam konteks global yang dinamis. Di berbagai belahan dunia, orang beramai-ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi, sehingga keduanya menjadi tema yang paling penting dalam persoalan dunia dewasa ini.

Tiga Kecenderungan Global
Tuntutan terhadap demokratisasi makin marak dalam ranah global dewasa ini. Hanya segelintir pemimpin atau gerakan politik yang mengaku sebagai "antidemokrasi." Bahkan, belakangan ini di Brazil, ketika orang-orang mengusulkan perlunya suatu restorasi kerajaan, kalangan kerajaan sendiri tak mendukung sistem kerajaan absolut dengan hak tak terbatas. Sebaliknya, kalangan kerajaan sendiri mengusulkan suatu "sistem kerajaan presidensil" yang serupa dengan kerajaan Spanyol sekarang. Banyak orang sepakat bahwa perkembangan politik global yang terpenting pada akhir abad kedua puluh adalah munculnya gerakan prodemokrasi di seluruh belahan dunia dan keberhasilan gerakan itu di banyak negara.

Dalam konteks Islam, kecenderungan global yang disebut Huntington sebagai 'gelombang demokratisasi ketiga' (the third wave) ini memunculkan pertanyaan tersendiri. Sebab, pada saat hampir seluruh negara Dunia Ketiga mengalami perkembangan demokrasi, negara-negara Dunia Islam tidak memperlihatkan tanda-tanda ke arah itu.

Para sarjana muslim telah banyak mendiskusikan masalah seputar hubungan antara Islam dan demokrasi. Secara ringkas, terdapat tiga kecenderungan. Pertama, Islam dan demokrasi dipandang sebagai dua sistem politik yang berbeda. Sebagai sistem politik, Islam tidak bisa disubordinasikan pada demokrasi. Islam dan demokrasi bersifat eksklusif. Bagi para pendukung pendapat ini, Islam merupakan sistem politik yang sempurna sehingga bisa dijadikan alternatif terhadap demokrasi.

Kedua, Islam berbeda dari demokrasi apabila yang terakhir didefinisikan secara prosedural sebagaimana dipahami dan dipraktikkan di Barat. Namun demikian, menurut para pendukung pendapat ini, Islam dapat dipandang sebagai sistem politik demokratis apabila demokrasi didefinisikan secara substantif. Yakni, demokrasi dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan prinsip mayoritarian. Misalnya, jika mayoritas masyarakat menghendaki rezim Mullah, maka rezim tersebut adalah demokratis kendati menolak pluralisme dan pemilihan dalam komunitas politik. Pandangan ini menolak prosedur-prosedur demokrasi yang dimanifestasikan dalam pemilu yang bebas di kalangan elit dan partai politik sebagai agregasi masyarakat yang berbeda dan konfliktual.

Ketiga, Islam dipandang sebagai suatu sistem nilai yang akomodatif terhadap demokrasi yang didefinisikan dan dipraktikkan secara prosedural. Gagasan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan yang diterjemahkan ke dalam pemilu dan partai pilitik sangat populer di kalangan intelektual dan aktivis muslim. Kendati demikian, pandangan ini belum terwujud di dalam masyarakat muslim, dan karenanya rezim demokrasi masih menjadi fenomena yang langka.

Berdasarkan data 'indeks kebebasan (freedom index)' yang dikeluarkan oleh Freedom House (1998), ditemukan bahwa selama 25 tahun terakhir, negara-negara muslim di dunia (berjumlah 48 negara) umumnya gagal untuk membentuk suatu politik demokratis. Selama periode itu, hanya ada satu negara muslim yang berhasil membentuk demokrasi sepenuhnya selama lebih dari 5 tahun, yaitu Mali di Afrika. Negara semidemokrasi berjumlah 12. Sisanya adalah negara otoritarian. Bahkan, mayoritas rezim-rezim yang represif di dunia pada akhir 90-an adalah di negara-negara muslim.

Kultur Politik
Dibanding dengan rezim-rezim negara nonmuslim, tidak adanya demokrasi di Dunia Muslim adalah sangat signifikan. Sebagai salah satu contoh kasus, mari kita lihat negara-negara pecahan Uni Soviet. Di antaranya ada enam negara dengan penduduk mayoritas muslim: Azerbaijan, Kazakistan, Kyrgistan, Tajikistan, Turmenistan, dan Uzbekistan. Negara-negara muslim ini telah muncul sebagai negara otoritarian baru, sementara negara-negara lain bekas Uni Soviet menjadi lebih demokratis. Cyprus juga menyuguhkan fenomena menarik. Negara ini dibagi menjadi Cyprus Yunani dan Cyprus Turki, dengan tingkat kedemokrasian yang berbeda. Cyprus Yunani lebih demokratis dibanding Cyprus Turki.

Banyak hal yang bertanggung jawab atas tidak bekerjanya demokrasi di Dunia Islam. Salah satunya yang paling penting adalah lemahnya kultur politik (political culture) atau meminjam istilah Almond dan Verba (1963; 1988) "civic culture" di negara-negara tersebut. Kultur politik ini berkaitan demokrasi orientasi psikologis terhadap objek sosial, atau sikap individu terhadap sistem politik dan terhadap dirinya sebagai aktor politik.

Ditilik dari sejarah dan tradisi Islam, kita mencatat tidak berkembangnya wacana kewargaan (citizenship). Bahkan, di dalam bahasa Arab, Persia, dan Turki tidak ada kata yang dapat mewakili dengan tepat kata citizen (warga). Kata yang senada dengan kata tersebut yang biasa digunakan dalam setiap bahasa hanya berarti "penduduk" (sukkan) dan "gembalaan" (ra'iyyah) yang di kemudian diIndonesiakan menjadi "rakyat". Kata tersebut tidak mewakili kata citizen yang berasal dari kata civis dan telah menjadi kebijakan politik Yunani yang berarti "seseorang yang ikut serta dalam masalah-masalah kebijakan politik pemerintah." Kata ini (citizen) tidak ada dalam bahasa Arab atau bahasa dunia muslim lainnya disebabkan tidak dikenalnya pemikiran atau ide "warga ikut serta dalam kebijakan politik."

Oleh karena itu, tugas utama dalam rangka to make democracy work adalah menumbuhkembangkan kultur politik yang menyokong perkembangan demokrasi di Tanah Air. Sebab, manusia bukan sekadar individu yang "digembalakan", namun sebagai warga negara yang mempunyai hak-hak demokrasi terutama hak untuk memilih, mengawasi dan menurunkan pemerintahan, di samping hak untuk bebas berpikir, berekspresi, mengutarakan pendapat, berkumpul, mendirikan partai, berasosiasi dan berorganisasi, hak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, kesetaraan, persamaan kesempatan dan sebagainya.

Demokrasi Tanpa Demokrat
Judul ini tidak sedang menyoroti secara khusus pertikaian antarelite politik di Indonesia, tetapi menggambarkan absennya aktor-aktor demokrat di dunia muslim. Sebenarnya, banyak negara muslim punya peluang untuk membangun demokrasi, namun tidak adanya aktor demokrat sejati menjadikan peluang itu hilang sia-sia.

Maka, Salame (guru besar pada Institut de'atudes Politiques di Paris) pun bertanya, "Where are the democrats?" Gagasan bahwa dunia muslim merupakan perkecualian dari arus besar gelombang demokrasi ketiga (meminjam istilah Samuel Huntington) kembali berkembang di kalangan para pendukung demokrasi universal. Dalam debat Islam-demokrasi yang difasilitasi Journal of Democracy, wartawan kawakan Robin Wright berseloroh agak provokatif "Can a muslim be democrat?"

Pertanyaan Wright itu terasa pahit. Apa mau dikata, kenyataan memang menunjukkan 'eksepsionalisme Islam' dari fenomena demokratisasi global. Dalam bahasa Dr. Abdel Wahab Efendi, pemikir Sudan, "angin demokratisasi memang berembus ke seluruh penjuru dunia, namun tidak ada satu pun daun yang dihembusnya sampai ke dunia muslim" (1998: 4).

Data 'indeks kebebasan' yang dikeluarkan Freedom House juga menunjukkan bahwa walaupun kebebasan di negara-negara dunia ketiga umumnya mengalami kenaikan cukup signifikan, hal itu tidak terjadi di negara-negara muslim. Selama 25 tahun terakhir, negara-negara muslim di dunia (berjumlah 48 negara) gagal untuk membentuk politik demokrasi. Sementara negara-negara nonmuslim di Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara pecahan Uni Soviet, dan Eropa Timur umumnya bergerak cepat menjadi demokratis.

"Can a muslim be democrat?" kita tidak punya bukti untuk mengatakan kepada Wright , 'Why not!" Saya khawatir mungkin saja ada kalangan masyarakat yang tega lompat pada kesimpulan gegabah, bahwa ternyata kalangan muslim-santri memang tidak layak memimpin sebuah negara modern. Hal itu berarti diskualifikasi amat gawat kepada kepemimpinan para ulama, suatu stigma cap buruk yang akan perlu waktu panjang sekali untuk menghilangkannya.

Kenyataannya, walaupun menggunakan konsepsi demokrasi terbatas yang didasarkan atas interpretasi minimal terhadap konsep "pemerintahan oleh rakyat", dunia muslim tetap tidak memperlihatkan tanda-tanda yang cukup baik. Ini merupakan suatu indikasi betapa seriusnya persoalan itu. Dan ini bukan sekadar masalah image dan "miskonsepsi" Barat, sebagaimana dikemukakan oleh banyak orang (Shwedler, 1995), melainkan memang problem yang sangat nyata.

Ada beberapa teori yang bisa menjelaskan. Pertama, pemahaman doktrinal menghambat praktik demokrasi. Teori ini dikembangkan oleh Elie Kedourie bahwa "gagasan demokrasi masih cukup asing dalam mindset Islam". Hal ini disebabkan kebanyakan kaum muslim cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan demokrasi Islam. Karena itu, yang perlu saat ini adalah liberalisasi pemahaman keagamaan, termasuk mencari konsensus dengan teori-teori modern seperti demokrasi dan kebebasan (Kedourie, 1994).

Kedua, persoalan kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara muslim sejak paruh pertama abad dua puluh, tetapi gagal. Tampaknya, ia tidak akan sukses pada masa-masa mendatang, karena warisan kultural komunitas-komunitas muslim sudah terbiasa dengan 'otokrasi dan ketaatan pasif'. Teori ini dikembangkan oleh Bernard Lewis (1994) dan Ajami (1998). Karena itu, yang sangat diperlukan saat ini adalah penjelasan kultural kenapa demokrasi tumbuh subur di Eropa, tetapi di wilayah dunia Islam malah otoritarianisme yang berkembang.

Sejauh ini, persoalan kultur politik (civic culture) ditengarai sebagai yang paling bertanggung jawab kenapa sulit membangun demokrasi di negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Sebab, ditilik secara doktrinal, hampir tidak dijumpai hambatan teologis di kalangan tokoh-tokoh partai, ormas ataupun gerakan Islam yang memperhadapkan demokrasi vis-à-vis Islam. Bahkan, ada kecenderungan untuk merambah misi baru merekonsiliasi perbedaan-perbedaan antara berbagai teori politik modern. Oleh karena itu, lokus perdebatannya tidak lagi "apakah Islam compatible dengan demokrasi", melainkan bagaimana keduanya saling memperkuat (mutually reinforcing).

Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tak ada hubungan dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun sentimen demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran, dan di atas segalanya, waktu. Esposito dan Voll (1996) adalah di antara mereka yang tetap optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam.

Terlepas dari itu semua, tak syak lagi, pengalaman empirik demokrasi dalam sejarah Islam memang sangat terbatas. Dengan mempergunakan parameter yang sangat sederhana, pengalaman empirik demokrasi hanya bisa ditemukan selama pemerintahan Rasulullah sendiri yang kemudian dilanjutkan oleh keempat sahabatnya, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Talib, yang dikenal dengan zaman Khulafa al-Rasyidin. Setelah pemerintahan keempat sahabat tersebut menurut catatan sejarah sangat sulit kita temukan demokrasi Islam secara empirik sampai sekarang ini.

Bisa jadi, keterbatasan eksperimen ini merupakan penjelasan lain kenapa sulit menumbuhkan demokrasi di negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Islam tidak punya pengalaman empirik demokrasi secara memadai. Akibatnya, setiap upaya menumbuhyuburkan sentimen demokrasi selalu berhadapan dengan kekuatan-kekuatan pro-status quo yang sudah sangat mengakar.

Presiden KH. Abdurahman Wahid sebenarnya punya peluang besar untuk menyuguhkan contoh baru Indonesia sebagai negara muslim demokrasi pertama atau negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika dan India. Namun, lagi-lagi, dia gagal menjadi seorang presiden muslim demokrat pertama di negara dengan penduduk mayoritas muslim ini. Tidak jelas, kegagalan itu karena dirinya sendiri atau dijegal kekuatan-kekuatan antidemokrasi. Yang pasti, negeri ini persis seperti digambarkan Salame dalam bukunya Democracy without Democrats.

Eksistensi Dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam

Eksistensi Dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam
Pengertian Cara Belajar
Dalam kamus bahasa Indonesia, cara adalah jalan ( aturan, sistem ) melakukan ( berbuat ) sesuatu, gaya, ragam, adat kebiasaan, usaha atau ikhtiar. sedangkan belajar adalah suatu proses usaha yang di lakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Dengan demikian cara belajar siswa yang di maksud oleh penulis, adalah perilaku individu siswa yang lebih khusus berkaitan dengan usaha yang sedang atau sudah biasa dilakukan oleh siswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan. 

Pada umumnya setiap orang dalam melakukan suatu usaha terpengaruh oleh efisiensi. Efisiensi adalah sebuah pengertaian atau konsepsi yanag mengggambarkan perbandingan terbaik antara suatu usaha dengan hasilnya, yaitu kalau hasil yang diinginkan dapat tercapai dengan usaha terkecil, atau dengan usaha tertentu memberikan kwalitas dan kwantitas hasil terbesar

Pengertian tersebut dapat diterapkan dalam berbagai bidang kegiatan termasuk usaha belajar. Apabila diterapkan dalam belajar, maka terdapatlah efisiensi belajar, yaitu perbandingan terbaik antara suatu usaha belajar dengan hasilnya yang dicapai. ( The Liang Gie, 1985:14 ). 

Adapun menurut Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam ( 1980 : 220 ) mengartikan cara belajar yang efisien, yaitu cara belajar yang tepat, praktis, ekonomis, terarah, sesuai dengan situasi dan tuntutan yang ada guna mencapai tujuan belajar. 

Masing masing siswa mempunyai potensi, kemampuan, situasi, kondisi dan latar belakang individu yang berbeda beda. Dengan kata lain, siswa itu merupakan individualitas yang unik. Sehingga cara belajarpun menjadi berbeda beda pula sesuai dengan apa adanya siswa. Tugas siswa selanjutnya adalah mengembangkan dirinya, sehingga menemukan cara belajar yang cocok bagi dirinya. Bimbingan guru dalam hal ini amat di perlukan. Dengan pemberian bimbingan dari guru, siswa akan mengenal dirinya serta segala yang memungkinkan dirinya dapat berkembang secara utuh dan menemukan gaya belajarnya sendiri. Penemuan itu harus secepatnya ia peroleh karena tuntutan belajar itu makin lama makin meningkat dan makin kompleks. 

Supaya cara belajar yang efisien tersebut dapat di terapkan pada masing masing siswa, maka siswa perlu untuk terus dimotivasi baik secara mental maupun psikomotorik oleh guru atau orang tua. Karena Syaiful Bahri Djamarah (2002 : 9 ) menjelaskan, bahwa rahasia sukses belajar terletak pada pemikiran sikap mental cendekia dan satu kata kunci, yaitu penguasaan cara belajar yang baik sebagai penuntun ke arah penguasaan ilmu yang optimal.

Setelah siswa dapat memilih dan memposisikan dirinya dalam kondisi yang kondusif, maka siswa perlu menggunakan cara belajar yang efektif.

Berdasarkan kondisi belajarnya, cara belajar meliputi cara belajar di rumah, di sekolah dan cara belajar bersama (kelompok)

a. Cara belajar mandiri di rumah
1. Pemenuhan fasilitas dan perabot belajar
Fasilitas dan perabot belajar merupakan alat perlengkapan belajar yang penting untuk dipenuhi oleh seorang pelajar, karena jika tidak terpenuhi dapat menimbulkan efek negatif bagi kelancaran proses belajar. Proses belajar dapat berhenti dan setidaknya mengganggu motivasi dan konsentrasi dalam belajar.

Fasilitas belajar ini menurut The Liang Gie (1985 :43), terdiri dari peralatan tulis dan perabot untuk kamar yaitu meja, kursi dan lemari buku.

2. Mengatur waktu belajar
Agar belajar dapat berjalan dengan baik dan berhasil, perlulah siswa mempunyai jadwal yang baik dan dapat melaksanakannya dengan teratur dan disiplin. Adapun cara untuk membuat jadwal yang baik, adalah :

3. Membaca buku
Kegiatan membaca adalah kegiatan yang paling banyak dilakukan selama belajar. Dan persoalannya yang utama ketika ia sudah dapat membaca ialah bagaimana cara membaca yang baik dan efisien.

Hary dexter Kitson dalam bukunya How to use Your Mind, Yang dikutip the Liang Gie (1985; 94), mengemukakan ketentuan-ketentuan tentang reading hygiene :
a. Sewaktu membaca hendaknya pembaca sekali-kali memejamkan matanya atau melihat ke tempat yang jauh.
b. Cahaya penerang hendaknya datang dari arah belakang
c. Pada pagina buku tidak terdapat bayangan
d. Buku dipegang oleh tangan dan tidak terletak mendatar diatas permukaan meja.

Terhadap ketentuan-ketentuan diatas ditambahkan hal-hal berikut ini 
e. Ada cahaya penerangan yang cukup, tidak terlalu gelap dan tidak terlalu terang sehingga menyilaukan serta bergetar.
f. Jarak antara mata dan yang dibaca kira-kira 25-30 cm
g. Tidak sambil tiduran
h. Beristirahat sebentar, kira-kira seperempat jam setelah membaca selama satu sampai satu setengah jam.

Langkah pertama (survei), siswa memeriksa atau meneliti secara singkat seluruh struktur teks. Tujuannya agar siswa mengetahui panjangnya teks, judul bagian, judul sub bagian, istilah dan kata kunci, dan sebagainya. Dalam melakukan survei ini siswa dianjurkan menyiapkan pensil, kertas dan alat pembuat ciri, seperti stabilo untuk menandai bagian-bagian tertentu yang penting.

Langkah kedua (question), siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jelas, singkat dan relevan dengan bagian-bagian teks yang telah ditandai pada langkah pertama.

Langkah yang ketiga (Read), siswa membaca secara aktif dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah tersusun. Membaca secara aktif berarti membaca yang difokuskan pada paragraf-paragraf yang diperkirakan relevan dengan pertanyaan tadi.

Langkah selanjutnya recite, siswa menyebutkan lagi jawaban atas pertanyaan yang telah tersusun.
Dan langkah terakhir review, siswa meninjau ulang seluruh pertanyaan dan jawaban secara singkat. (Muhibbin Syah, 2004: 141). Jika materi telah tersusun dalam sebuah modul, maka hal ini lebih memudahkan bagi siswa, karena materi telah tersusun dalam sebuah ringkasan, namun untuk menguatkan pemahaman dan memotivasi keingintahuan tentang materi itu, maka boleh menggunakan metode tersebut.

4. Membuat Ringkasan
Kegiatan ini tidak kalah pentingnya dari semua kegiatan belajar siswa. Siswa membuat ringkasan adalah bertujuan untuk memudahkannya dalam menghafal dan mengulangi pelajaran.

Adapun langkah-langkah membuat ringkasan yang baik, adalah :
a. Membaca pelajaran yang akan diringkas dengan penuh perhatian, pengertian dan konsentrasi sambil memberi tanda-tanda pada hal-hal yang dianggap pokok dan penting. Dalam hal ini siswa dapat menggarisbawahi kalimat-kalimat penting atau menggunakan stabilo atau menuliskan kata-kata kunci di pinggir paragraf.
b. Membuat kerangka ringkasan dengan membaca sekali lagi dan menuliskan di atas kertas hal-hal yang sudah ditandai.
c. Membaca kalimat-kalimat yang sudah ditulis di kertas tadi sambil menyelipkan kata-kata atau tanda-tanda penghubung yang perlu, sehingga ada pertalian yang erat antara kalimat-kalimat itu.
d. Kalu masih tebal halaman luas dan banyak, maka tulisan tadi dapat dipersempit dengan mengambil pokok-pokoknya saja dan menghilangkan hal-hal yang dianggap kecil atau kurang penting. (Judi Al Falansani dan Fauzan Naif,2002: 38).

5. Menghafal Bahan Pelajaran
Dalam belajar, menghafal merupakan salah satu kegiatan dalam rangka penguasaan bahan pelajaran.

Ada beberapa syarat untuk dapat menghafal dengan baik, yaitu:
a. Menyadari sepenuhnya tujuan belajar
b. Mengetahui betul-betul tentang makna bahan yang dihafal
c. Mencurahkan perhatian sepenuhnya sewaktu menghafal
d. Menghafal secara teratur sesuai kondisi badan yang sebaik-baiknya serta daya serap otak terhadap bahan yang harus dihafal. (Slamento, 1995: 86).

Sedangkan berkaitan dengan metode menghafal supaya sesuai dengan karakter siswa dibagi menjadi tiga macam :
a. Menghafal melalui pandangan. Bahan pelajaran dibaca di dalam batin penuh perhatian sambil otak bekerja untuk mengingat-ingat. Dapat pula dengan cara membuat catatan besar yang menarik, kemudian disampingkan atau ditempelkan pada tempat-tempat yang sering dilihat.
b. Menghafal dengan pendengaran melalui penyimakan sendiri. Siswa dapat menggunakan cara lain yang bertujuan sama, seperti menyuruh temannya membacakan ringkasan atau mendengarkan rekaman kaset yang dibuat sendiri.
c. Menghafal malalui gerakan-gerakan tangan, yatu dengan menulis-nulis ringkasan berulang-ulang sampai hafal atau menggerakkan jari tangan sambil berfikir.

Ada pula metode yang lain, yaitu metode cantol, metode lokasi, akronim dan kalimat-kalimat kreatif 

Metode cantol digunakan untuk menghafal daftar apa saja. Caranya, yaitu dengan mencocokkan angka-angka dengan kata-kata berirama sama atau petunjuk-petunjuk visual tertentu. Contohnya paku mirip dengan bunyi satu dan paku menyerupai angka satu.

Metode lokasi adalah metode yang menggunakan tempat yang paling dikenal dan paling mengesankan sebagai contoh (1) pendahuluan tentang hal yang akan dipelajari (dituliskan di pintu depan), (2) Tombol lampu membicarakan dan meyoroti tentang ciri-ciri khusus suatu fakta, konsep atau suatu prinsip dalam materi yang sedang dipelajari, dan seterusnya.

Akronim atau singkatan adalah kata yang dibentuk dari huruf atau huruf-huruf awal atau masing-masing bagian dari sekelompok kata atau istilah gabungan Misalnya, Program Pembangunan Lima Tahun di Indonesia disebut PELITA. PSSI adalah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia.

Sedangkan kalimat-kalimat kreatif digunakan untuk menghafal kata-kata yang berurutan, contoh : untuk menghafal susunan planet maka dapat menggunakan kalimat kreatif yaitu Memainkan Violin Bisa Memunculkan Jalinan Suara Unik Namun Pasti (Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Uranus, Neptunus, Pluto).

6. Mengulangi Bahan Pelajaran
Siswa sepulang sekolah jangan lupa untuk mengulangi bahan pelajarannya di rumah, karena tidak semua materi pelajaran yang disampaikan guru terkesan dengan baik.

Cara mengulangi bahan pelajaran adalah dengan cara membaca kembali catatan yang telah ditulis ketika guru sedang menerangkan pelajran, atau jika bahan pelajaran berupa tatacara, cara menghafalnya adalah dengan cara mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari agar pelajaran tetap dalam ingatan.

7. Mengerjakan Tugas
Selama belajar, siswa tidak akan pernah terlepas dari keharusan mengerjakan tugas-tugas belajar, baik itu tugas harian, pekerjaan rumah, tugas semesteran, tugas kelompok maupun tugas individu. Siswa harus mengerjakan sesuai perintah guru dengan tepat waktu. Mengabaikan tugas tersebut boleh jadi siswa akan mendapatkan sangsi dari guru.

8. Persiapan Menghadapi Ujian
Dalam menghadapi ujian, siswa harus mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah-masalah perbaikan untuk mengingat kembali bahan-bahan yang telah dipelajari dengan cara membaca kembali, memperbaiki catatan, membuat ikhtisar dan menyusun pengetahuan yang lengkap dan akhirnya tinggal menghafal. Pada saat-saat menjelang ujian siswa sebaiknya menghindari belajarterlalu banyak karena dapat mengganggu kondisi kesehatan. Siswa juga tidak boleh lupa mempersiapkan semua alat tulis untuk kelancaran ujian.

9. Menempuh Ujian
Setelah siswa melaksanakan persiapan menghadapi ujian dengan matang, selanjutnya sampailah pada waktu ujian. Maka pada saat hari ujian, siswa seharusnya datang lebih awal dan menunggu dengan tenang. Masuklah dengan tertib dan duduk di tempat yang telah ditentukan, kemudian baca dan pahami petunjuk soal dengan baik dan menjawabnya sesuai petunjuk tersebut. Jangan lupa siswa memperhitungkan waktu yang disediakan, agar lebih menghemat waktu soal-soal yang mudah sebaiknya dikerjakan lebih dahulu. Tulisan harus jelas, baik dan rapi. Jika sudah selesai siswa harus mempertimbangkan lagi apakah jawaban yang sudah dikerjakan sesuai dengan permintaannya. Segera kumpulkan jawaban, jika waktu ujian telah habis.

Siswa dalam menempuh ujian haruslah mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Dan rasa percaya diri itu timbul ketika mereka melakukan persiapan yang matang jauh sebelum ujian dan penyempurnaan ketika mendekati ujian. Sehingga tidak ada kecurangan-kecurangan seperti menyontek atau melihat pekerjaan orang.

b. Cara Belajar di Sekolah
Adapun beberapa hal yang berkenaan dengan cara belajar yang dilakukan oleh siswa di sekolah.

1. Masuk kelas tepat waktu
Masuk kelas tepat waktu adalah suatu sikap mental yang banyak mendatangkan keuntungan. Guru memuji karena disiplin, kawan-kawan tidak terganggu ketika sedang memperhatikan pelajaran guru, konsentrasi pun akan terpelihara dengan baik. Kondisi tubuh akan tenang, jauh dari keringat dan alam pikiran siswa telah siap menerima pelajaran dari guru Oleh karena itu kedisiplinan masuk kelas mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

2. Memperhatikan penjelasan guru
Setelah pelajaran dimulai, siswa harus sudah siap untuk memperhatikan semua pelajaran guru, yaitu dengan melihat gerak-geriknya, mendengarkan penjelasannya dan jangan lupa menulis kata-kata penting dari penjelasan itu.

3. Bertanya mengenai hal-hal yang belum jelas dan menjawab setiap pertanyaan dari guru.
Bertanya mengenai hal yang belum jelas adalah salah satu cara untuk dapat mengerti bahan pelajaran yang belum dimengerti. Siswa jangan malu untuk bertanya kepada guru mengenai bahan pelajaran atau keterangan guru yang belum jelas, sebab malu akan menghambat penguasaan bahan yang akan diterima dari guru pada pertemuan yang akan datang. Bertanyalah dengan spesifik jangan berbelit-belit, jika perlu pertanyaan ditulis terlebih dahulu dengan singkat dan jelas, lalu dibacakan atau dihafalkan.

Berkaitan dengan semua pertanyaan yang diutarakan oleh guru pada saat proses belajar mengajar, siswa harus berani menjawab semua pertanyaan itu dengan baik dan jelas sebagai bukti bahwa dirinya memperhatikan pelajaran. Cara menjawabnya dengan sistematis sesuai apa yang telah diterangkan oleh guru dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.

4. Memanfaatkan waktu istirahat
Di sekolah terdapat bebarapa saat untuk istirahat agar kondisi siswa segar kembali. Menghilangkan kelelahan mata dan pengalihan konsentrasi siswa untuk sementara. Untuk itu siswa harus memanfaatkan waktu itu dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan cara bersantai, mengarahkan pandangan mata ke angkasa biru, mengerak-gerakkan badan agar dapat memperlancar peredaran darah di dalam tubuh, sehingga rasa lelah dan rasa kantuk dapat diusir dengan segera. Jika haus atau lapar maka segera pergi ke kantin untuk minum atau makan secukupnya agar kesehatan tubuh tetap terjaga. Atau waktu istirahat itu dimanfaatkan untuk berkunjung ke perpustakaan.

5. Memanfaatkan perpustakaan sekolah
Perpustakaan sekolah mempunyai tiga manfaat, yaitu :
a. Sebagai sumber belajar,
b. Sebagai sumber informasi,
c. Sebagai sumber rekreasi (Choiruddin Hadhiri Suprapto, 2003 : 68)

Perpustakaan dapat digunakan untuk memperdalam pemahaman dan pengahayatan pengetahuan yang diperoleh siswa dari guru, memeperluas cakrawala pengetahuan dan keterampilan siswa dan untuk memberikan hiburan, memupuk keterampilan, nilai dan sikap hidup melaluli koleksi ringan dan segar,

Sedangkan cara memanfaatkan perpustakaan tergantung pula pada kesempatan atau waktu-waktu tertentu, misalnya ketika jam-jam istirahat kalu masih ada waktu lebih dari kepentingan yang lain, seperti makan dan minum, jam-jam kosong dan jika ada tugas dari guru.

c. Cara Belajar Bersama (kelompok)
Belajar bersama bisa dilakukan di rumah atau di tempat lain misalnya di perpustakaan, di sekolah atau di tempat tertentu yang disepakati bersama.

Belajar bersama pada dasarnya memecahkan persoalan secara bersama, artinya setiap anggota turut memberikan sumbangan pikiran dalam memecahkan persoalan tersebut, sehingga diperoleh hasil atau jawaban yang lebih baik. Pikiran dari banyak orang biasanya lebih sempurna daripada satu orang.

”Ada beberapa petunjuk untuk belajar bersama yang lebih efektif, yaitu :
a. Pilih teman yang cocok untuk bergabung dalam satu kelompok yang terdidri dari 3-5 orang. Anggota yang terlalu banyak biasanya kurang efektif.
b. Tentukan dan sepakati kapan, di mana dan apa yang akan di bahas serta apa yang diperlukan dalam diskusi itu. Lakukan secara rutin minimal satu kali dalam seminggu.
c. Setelah berkumpul secara bergilir, tetapkan siapa pemimpin kelompok yang akan mengatur diskusi dan siapa penulis yang akan mencatat diskusi.
d. Rumuskan pertanyaan atau permasalahan yang akan dipecahkan bersama dan batasi ruang lingkupnya agar pembahasan tidak menyimpang.
e. Bahas dan pecahkan setiap persoalan satu persatu sampai tuntas, dengan cara memberi kesempatan setiap anggota mengajukan pendapat. Dari setiap pendapat yang muncul dikaji secara bersama manakah yang paling tepat. Kesimpulan jawaban yang telah disepakati bersama dicatat oleh penulis. 
f. Bila ada persoalan yang tidak dapat dipecahkan, tangguhkan persoalan itu untuk dimintakan pendapatnya kepada guru. Lanjutkan saja pada persoalan berikutnya supaya tidak membuang waktu.
g. Kesimpulan hasil diskusi dicatat oleh penulis, lalu dibagikan kepada anggota kelompok untuk dipelajaridirumah masing-masing.” (Nana Sudjana, 1989: 168-169).

2. Pengertian Prestasi Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh suatu pelajaran yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. (Depdikbud, 1993 : 700).

Prestasi belajar merupakan ukuran keberhasilan siswa setelah mengikuti suatu mata pelajaran tertentu yang ditunjukkan dengan nilai tes berupa angka yang diberikan oleh guru, sebagai contoh nilai mid semester, nilai semester, nilai tugas, nilai ulangan, nilai raport dan sebagainya.

Prestasi dalam arti luas merupakan kemampuan siswa setelah mengalami belajar. Hal ini dapat diperoleh atau diketahui dari akhir kegiatan dan diperoleh atau diketahui dari akhir kegiatan dan diperoleh bukan karena kebetulan, namun prestasi diperoleh dengan penuh dengan kesadaran dan mengalami proses tertentu.

Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajar meliputi tiga ranah, yaitu ranah cipta, rasa maupun karsa (kognitif, afektif, psikomotorik). Walaupun pengungkapan tingkah laku seluruh ranah tersebut, khususnya ranah rasa siswa, sangat sulit. Hal ini disebabkan perubahan hasil belajar itu ada yang bersifat intangible (tak dapat diraba), namun yang dapat dilakukan oleh guru adalah hanya mengambil cuplikan perubahan tingkah laku yang dianggap penting dan dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa.

Secara global, faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, adalah :
a. Faktor intern siswa
1) Fisiologis, seperti kesehatan mata dan telinga.
2) Fsikologis, seperti intelegensi, sikap, bakat, minat dan motivasi siswa

b. Faktor ekstern siswa
1). Lingkungan sosial, seperti: guru, teman-tema sekelas, tetangga, orang tua dan keadaan masyarakat.
2). Lingkungan non sosial, seperti: rumah, gedung sekolah, sarana dan prasarana, dan sebagainya.

c. Faktor pendekatan belajar (approach to learn), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pembelajaran.

Pendekatan belajar ada tiga yaitu :
1) Pendekatan surface. Manusia belajar karena dorongan dari luar antara lain takut tidak lulus yang mengakibatkan dia malu. Oleh karena itu, gaya belajarnya santai, asal hafal dan tidak mementingkan pemahaman yang mudah.
2) Pendekatan deep. Siswa ini dimotivasi dari dalam dirinya (intrinsik). Oleh karena itu, gaya belajarnya serius dan berusaha memahami materi secara mendalam serta memikirkan cara mengaplikasikannya. bagi siswa ini yang lebih penting adalah memiliki pengetahuan yang cukup banyak dan bermanfaat bagi kehidupannya dibanding lulus dengan nilai baik.
3) Pendekatan achieving. Pada umumnya dilandasi oleh motif ekstrinsik yang berciri khusus yang disebut ego-enhanchment, yaitu ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi keakuan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi stinggi-tingginya. Gaya belajarnya lebih serius, memiliki keterampilan belajar (study skill) dalam arti sangat cerdik dan efisien dalam mengatur waktu, ruang kerja dan perangkat silabus. Baginya, berkompetisi dengan temannya dalam meraih nilai tertinggi adalah penting, sehingga ia sangat disiplin, rapi dan sistematis serta berencanauntuk terus maju ke depan (plans ahead).

3. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Ada beberapa pengertian Pendidikan Agama Islam menurut ahli pendidikan, yaitu :
a. Chabib Thoha (1999: 4), Pendidikan Agama Islam merupakan sebutan yang diberikan pada slaah satu pelajaran siswa muslim dalam menyelesaikan pendidikannya pada tingkat tertentu.
b. Ahmad D. Marimba (1986: 47), Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
c. Zuhairini dkk. (1983 : 27), Pendidikan agama berarti usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai denagn ajaran Islam.

Jadi, Pendidikan Agama Islam, adalah usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis yang sudah terbentuk mata pelajaran berisi bimbingan jasmani rohani yang berdasarkan hukum-hukum Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian muslim sejati.

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

Abin Syamsuddin Makmun, (2001), Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosdarkarya.
Ahmad D. Marimba, (1997), Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: PT. AL-MA’arif
Anas Sudjiono, (2000), Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Bobbi De Porter, Mike Hernacki (2003), Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung : Kaifa. 
Bobbi De Porter dkk., (2001), Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas, Bandung : Kaifa.
Chabib Thoha dan Abdul Muti, (1999), PBM-PAI di Sekolah, , Yogyakarata: Pustaka Belajar.
Choiruddi Hadhiri Suprapto, (2003), Jalan Pintas Menjadi Bintang Pelajar, Panduan Untuk Pelajar Islami, Bandung: Mujahid Press.
Departemen Agama RI, (1996), Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (tanpa tahun), Laporan Penilaian Hasil Belajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), tanpa penerbit.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, (1980), Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama / IAIN Pusat.
Gordon Dryen dan Jeannete Vos, (2001), The Learning Revolution (Terjemahan ration service) Bandung: Kaifa.
Muhaimin, (2002), Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Muhibbin Syah, (2004), Psikology Belajar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perasada.
Nana Sudjana, (1991), Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru.
Rohmad Qomari, (1999), Insania, ”Tehnik Penentuan Ukuran Sampel Dalam Penelitian” Edisi Mei-Juli, Purwokerto : P3M STAIN.
Sanafiah Faisal, (1982), Metode Penelitian Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional.
Slamento, (1995), Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Sugiyono, (2004), Statistika Untuk Penelitian, Bandung : Alfabeta.
Suharsimi Arikunto, (1998), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syaiful Bahri Djamarah, (2002), Rahasia Sukses Belajar, Jakarta : PT Rineka Cipta.
The Liang Gie, (1985). Cara Belajar Yang Efisien, Yogyakarta : Pusat Kemajuan Study.
Thursan Hakim, (2002), Belajar Secara Efektif: Panduan Menemukan Teknik Belajar, Memilih Jurusan, dan Menentukan Cita-cita, Jakarta: Puspa Swara.
Zuhairini dkk, (1983), Metodology Pendidikan Agama, Solo: Ramadhani.

Islam Dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman

Islam Dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman
Hukum Islam disamping sarat akan muatan sosiologis tak dapat dipungkiri memiliki juga dimensi teologis dan inilah yang membedakan hukum Islam dengan hukum dalam terminologi ilmu hukum modern, akan tetapi penempatan cara pandang yang keliru terhadap dimensi teologis yang dikandungnya bisa mengakibatkan anggapan bahwa hkum Islam merupakan aturan yang sakral, bahkan dalam keadaan tertentu orang akan merasa takut untuk melakukan revaluasi terhadap aturan-aturan hkum Islam yang ada, karena secara psikologis sudah terbebani oleh nilai-nilai kesakralan tersebut, untuk itu perlu kajian yang mampu mengantarkan pada cara pandang yang benar mengenai aspek teologis dalam hkum Islam ini. Dalam Perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosiokultural dan politik dimana mazhab hukum itu tumbuh dan berkembang.

Dalam paradigma usul fiqh klasik terdapat lima prinsip yang memungkinkan Hukum Islam bisa berkembang mengikuti masa: 1) Prinsip Ijma’; 2) Prinsip Qiyas; 3) Prinsip Maslahah Mursalah; 4) Prinsip memelihara Urf’; dan 5) berubahnya hukum dengan berubahnya masa. Kelima prinsip ini dengan jelas memperlihatkan betapa pleksibelnya hukum Islam. [1]

Dengan Berlalunya waktu, perkembangan Hukum Islam yang dinamis dan kreatif pada masa awal kemudian menjelma kedalam bentuk mazhab-mazhab atas inisiatif beberapa ahli hukum terkenal, tetapi dengan terjadinya kristalisasi mazhab-mazhab tersebut, hak untuk berijtihad mulai dibatasi dan pada gilirannya dinyatakan tertutup.[2] 

Selanjutnya dalam makalah ini dibahas tentang hukum Islam pada masa kemunduran atau dikenal dengan istilah masa ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan dan statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H)

A. Situasi Umum Dunia Islam
Harun Nasution, menjelaskan bahwa Dunia Islam terbagi kepada dua bagian, yaitu Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusatnya. Pada waktu ini kebudayaan Persia mengambil bentuk Internasional dan mendesak kebudayaan lapangan kebudayaan Arab. Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup semakin meluas dikalangan umat Islam. [3]

Ketika ajaran tarekat semakin merajalela dengan pengaruh negatifnya. Perhatian pada ilmu pengetahuan sangat kurang sekali. Umat Islam di Sepanyol--yang tadinya merupakan satu kekuatan tersendiri--dipaksa masuk Kristen dan atau keluar dari darah itu. Di samping itu, kondisi dunia Islam semakin mengalami kemunduran, meskipun pada masa ini-- tahun 1500 – 1700--munculnya tiga kerajaan besar Islam dengan kemanjuannya masing-masing yaitu Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India.

Bersamaan dengan kenyataan ini penetrasi bangsa Barat dengan kekuatannya semakin meningkat dan meluas ke dunai Islam. Pada tahun 1798 M, Mesir sebagai pusat Islam terpenting berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, seorang jenderal Perancis yang memimpin pasukuannya menaklukan Mesir. Demikian pula, Inggeris telah mulai menanamkan kekuasaannya di India.[4] Sampai pada tingkat ini, umat Islam mengalami kemunduran yang paling buruk dalam sejarah perjalanannya. Paham keagamaan terpecah belah kepada beberapa mazhab dimana antara satu dengan yang lainnya saling mengklaim merekalah yang benar dan saling menyalahkan. Demikian juga kekuatan politik umat Islam semakin melemah dan perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sudah jauh menurun. Akibatnya masyarakat menjadi jumud dan statis yang hanya menyerah kepada nasib.

Di Turki Asia berdiri sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Bani Saljuk dan pada akhirnya kerajaan ilmiah yang menghancurkan negeri Islam lainnya. Pada saat ini juga munculnya pemberontakan yang berasal dari keturunan Bani Hasim, dan kelompok ini dinamakan partai Alawiyah. Dengan munculnya kekerasan dan peperangan terus menerus membawa akibat yang tidak baik bagi umat Islam, mereka menjadi lemah untuk berbuat. Rasa putus asa muncul menyelimuti akibatnya kemunduran dan keterbelakanganlah karena pada masa itu para ulama tidak lagi mempelajari kitab-kitab tertentu yang diperlukan lain halnya dengan ulama-ulama terdahulu, mereka pergi kenegara-negara besar sehingga terwujud dan terjalin hubungan yanng harmonis antara ulama dan pemerintahannya.[5]

Siapapun yang mengamati kejadian dan sejarah Islam pada periode ini tentu melihat bahwa yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan politik yang menyebabkan negara Islam terpecah menjadi beberapa negara kecil. Dimana setiap negri mempunyai penguasaan sendiri yang diberi gelar Amirul Mukmin. Dari sini bisa dilihat lemahnya negara Islam ketika sudah terkena penyakit perpecahan mengganmtikan posisi persaudaraan dan keamanan, negara yang besar terbagi beberapa negara yang kecil. Di timur ada negara Sasai dengan Ibukota Bukhara, dan di Anfuleusia ada negara Letak yang didirikan oleh Abdurahman An-Nashir, demikian juga negara Fatimiyah yang ada di utara Afrika.

Pada masa kemunduan ini juga disebut periode penutup ijtihad atau periode tadwin (pembekuan), mula-mula dalam bidanag kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam fiqih-fiqih Islam. Pada umumnya ulama pada masa ini sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid sebagaimana yang dilakukan pendahulu mereka. 

A. Sebab-sebab kemunduran Pemikiran Hukum Islam
Dilihat dari segi sejarah pemikiran hukum Islam dan gerakan ijtihad, maka masa ini merupakan masa yang dipandang sebagai situasi yang tidak menguntungkan bagi umat Islam. Dikatakan demikian, karena pada masa ini kegiatan ijtihad sudah mulai menurun dan mengendur, dan bahkan statis. Kemunduran gerakan ijtihad pada masa ini lebih disebabkan oleh tiga faktor penting. 

a. Lahirnya Mazhab-mazhab fiqh, dimana pada awalnya memang menunjukkan semaraknya gerakan ijtihad,[6] tetapi pada akhirnya menimbulkan suasana atau citra yang tidak kondusif, sehingga terjadi perbedaan-perbedaan antar mazhab yang cenderung kontra produktif. Tidak jarang terjadi pertentangan antar mazhab, yang kadang-kadang membawa dampak negative dalam masyarakat (pengikut mazhab). Masyarakat terkotak-kotak ke dalam berbagai mazhab dan masing-masing mengkalaim mazhab merekalah yang benar dan menyalahkan yang lainnya. 

b. Menurunnya semangat ijtihad dan kuatnya pengaruh ajaran mazhab, sehingga para ulama tidak mau dan tidak sanggup melampaui ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh mazhab yang mereka anut. Parahnya lagi, di kalangan pengikut mazhab muncul sikap ta’asub mazhab dan taqlid. Akibatnya, para ualam yang ada disetiap mazhab menjadi tidak kreatif dan mandul. Suasana seperti inilah yang menyebabkan mundurnya gerakan ijtihad dan pemikiran dalam Islam. Pada waktu ini, kalaupun ada ijtihad yang dilakukan oleh ulama, namun tidak lebih dari sekedar mensyarah pemikiran-pemikiran imam-imam mazhab mereka dan mengintrodusir ajaran mazhab kepada masyarakat. Kemandirian ulama untuk melakukan ijtihad menjadi hilang, mereka hanya mengikuti apa yang ada dalam mazhab mereka. Disamping itu, di kalangan mazhab sendiri telah membuat berbagai macam persyaratan untuk dijadikan acuan dalam melakukan ijtihad. Persyaratan-persyaratan ijtihad itu, pada umumnya ditetapkan sangat ketat, sehingga dalam operasionalnya tidak gampang untuk dilakukan. Ketatnya persyaratan ijtihad ini, semula tujuannya adalah agar tidak muncul orang-orang yang tidak memiliki otoritas dalam melakukan ijtihad dan menganggap gampang ijtihad itu. Diakui bahwa ketika ini, memang ada semacam kecenderungan dari sebagian orang yang menggampangkan persoalan ijtihad ini, dan dapat dilakukan oleh semua orang. Melihat kecenderungan ini, ulama-ulama mazhab merasa khawatir jika ijtihad dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak memiliki persyaratan, maka akan menimbulkan malapetaka bagi umat Islam, sehingga akhirnya pintu ijtihad ditutup.

c. Disintegrasi dan dominasi bangsa asing faktor yang paling parah yang menyebabkan kemunduran umat Islam ialah terjadinya disintegrasi dan perpecahan umat Islam. Seperti dijelaskan oleh Harun Nasution,[7] bahwa pada fase ini keutuhan umat Islam dibidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah mulai menurun dan bahkan khilafah sebagai symbol dan lambing kesatuan Politik umat Islam menjadi hilang. Di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi semakin meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan. 

B. Tokoh-tokoh dan ajaran Hukum Islam masa kemunduran
Pada masa kemunduran pemikiran hukum Islam muncul tokoh-tokoh penting yang hidup pada zamannya dan mewarnai aktivitas pemikiran hukum Islam dengan dengan munculnya teori maqashid al-Syari’ah. Maqasid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasulnya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rosulullah sebagai alasan logis bagi rumusan, suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.

Kegiatan penelitian tujuan hukum (maqashid al-Syari’ah) telah dilakukan oleh para ahli ushul fikih terdahulu. Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli ushul fikih pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid aI-Syari’ah dalam menetapkah hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larang-laranganNya.

Kerangka berpikir al-Juwaini di atas kelihatannya dikembangan oleh muridnya al-Ghazali(450H./1058M.-505H./IIIIM.) dalam kitabnya Syifa al-Ghazali ia menjelaskan maksud syari’at dalam kaitannya dengan al-munasabat al-maslhahiyyat al-qiyas. Sebagai seorang pemikir Islam terbesar, A1-Ghazali, tidak hanya dikenal di dunia Islam, tetapi juga di luar Islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik untuk-menulis dan mengkaji pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, baik dari kalangan Muslim, maupun dari kalangan Orientalis. Al-Ghazali (1058/1111M.) [8]

Sebagai pemikir besar Islam, maka hasil pemikiran Al-Ghazali masih tetap menjadi warisan umat Islam, meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran pengaruh Al-Ghazali tersebut dapat dilihat dan gelar hujjah al-Islam yang disandangnya. Berbagai pujian dilontarkan oleh penulis dan pemikir kepadanya, juga cercaan dan orang-orang yang tidak senang kepadanya. Semua itu merupakan bukti kebesaran nama seorang Al-Ghazali.[9]

Pada masa al-Ghazali, tidak saja terjadi disintegrasi umat Islam di bidang politik, melainkan juga di bidang sosial-keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam yang masing-masing tokoh ulamanya dengan sadar menanamkan fanatisrne golongan kepada umat. Sebenarnya tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa menanamkan pahamnya kepada rakyat dengan segala daya upaya, bahkan dengan cara kekerasan. Sebagai contoh, apa yang dilakukan oleh Al-Kundury, Perdana Menteri Dinasti Saljuk pertama yang beraliran Mu’tazilah sehingga mazhab dan aliran lainnya (seperti mazhab Syifi’i dan Asy’ari) menjadi tertekan, bahkan banyak korban dan tokoh-tokohya.

Akibat dari fanatisme golongan yang melibatkan pada masa itu, sering timbul konflik antara golongan mazhab dan aliran, malah meningkat sampai menjadi konflik fisik yang meminta korban jiwa. Konflik tersebut terjadi antara berbagai mazhab dan aliran, masing-masing mempunyai wilayah penganutnya- Khurasan, mayoritas penduduknya bermazhab Syafi’i, dan Transoxiana dan Balkah bermazhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan di Bagdad dan wilayah Iraq, mazhab Hambali lebih dominan.

Menelusuri tentang karya-karya Al-Ghazali, maka dia digolongkan cukup produktif dalam hal penulisan karya ilmiah, karena ia memiliki kecenderungan intelektual yang sangat luas (gemar akan ilmu pengetahuan), dia juga memiliki kemampuan menulis yang sangat tinggi, hal ini dibuktikan oleh al-Ghazali, menulis sejak umur 20 tahun.

Dari keterangan yang diperoleh, nampaknya memang wajar, jika dikatakan bahwa al-Ghazali merupakan salah seorang pemikir Islam yang memiliki kecenderungan intelektualitas yang tinggi, sebab ia masih relatif muda, dan tulisan pertamanya mendapat pujian dari gurunya al-Juwaini.

Tentang jumlah karangan al-Ghazali, sampai saat ini belum terdapat kata pasti. Besar kemungkinan disebabkan karena masih adanya karya-karya al-Ghazali yang belum diterbitkan dan masih dalam bentuk naskah yang tersimpan di perpustakaan, baik di negeri Arab maupun di Eropa. Sebab lain, karena sebahagian di antara karya-karyanya telah lenyap dibakar pada saat tentara Monggol berkuasa, juga sebahagian dibuang penguasa Spanyol atas perintah Qadhi Abdullah Muhammad ibn Hamdi.[10] Kategori ini terdiri dan sejumlah 72 buku, 22 buku yang diragukan sebagai karya al-Ghazali, karya-karya yang mengatakan secara pasti buku al-Ghazali, sebanyak 31 buah.

Adapun landasan pemikiran Al-Ghazali, bahwa sebagai seorang muslim tetap mendasari pemikiran-pemikirannya kepada pokok ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Di samping itu juga ia mempergunakan akal (al-ma’quI) sebagai landasan berpikirnya. Di dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil, Al-Ghazali mengungkapkan kesetujuannya terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu dengan akal sebagai dasar penting dalam membahas sesuatu.

Ketika Al-Ghazali membahas dalil-dalil pokok (yang utama) untuk ijma’ ia menempuh 3 (tiga) jalan, sebagai berikut:
a. Berpegang pada Al-Qur’an
b. Berpegang pada pendapat Rasulullah Saw, bahwa umat tidak akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan)
c. Berpegang teguh pada metode ma’nawy.

Dalam kitab al-Mustashfa, Al-Ghazali menyebutkan bahwa rukun Ijtihad ada tiga; Fi Nafs al-Ijtihadi, Al-Mujtahad, Al-Mujtahidu Fihi. Menurut al-Ghazali bahwa Ijtihad ialah menggambarkan sesuatu yang diperjuangkan dan menghabiskan usaha dalam sebuah aktifitas dan tidak bekerja kecuali pada hal-hal berupa beban (kesulitan) secara menyeluruh.

Menurut al-Ghazali Orang yang berijtihad, mempunyai dua syarat, Pertama : mengetahui seluk-beluk syari’at, mana yang didahulukan dan mana yang wajib dikemudiankan.. Kedua : seseorang mujtahid harus adil dan menjauhi dosa, persyaratan inilah sebagai landasan dalam berfatwa, jika tidak adil, maka sama sekali tidak diterima fatwanya. Jadi keadilan seseorang mujtahid sebagai syarat sahnya ijtihad, juga selalu memperhatikan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu tidak dijadikan syarat seorang mujtahid bahwa dia harus mengetahui semua kitab yang berhubungan dengan hukum-hukum, tetapi mengetahui sekitar 500 ayat, juga tidak disyaratkan menghafalnya; tetapi mengetahui tempat ayat ketika dibutuhkan. 

Adapun tentang hadis, harus mengetahui hadis-hadis yang terkait dengan hukum. Tidak diharuskan untuk menghafalnya, seperti Sunan Abu Daud, Sunan Ahmad dan Al-Baihaqy. Adapun ijma’ diharuskan menghafal semua kejadian ijma’ dan perbedaanperbedaannya, tetapi sebaliknya mengetahui fatwa-fatwa yang mana tidak bertentangan dengan ijma’ 

Al-Mujtahidu Fihi, atau persoalan Ijtihad ini sendiri, di sini dijelaskan bahwa semua hukum agama yang tidak mempunyai dalil-dalil qathy, bahkan ada pendapat (secara dzanni) bahwa syarat mujtahid bukan Nabi, maka tidak diharuskan berijtihad bagi Nabi dan juga sebagai syarat Ijtihad tidak terjadi pada zaman Nabi; maka timbul dua masalah: terjadi perbedaan pendapat dalam kebolehan taabud dengnan qiyas dan ber Ijtihad pada zaman Rasulullah Saw. dalam hal ini terjadi dua versi: Sekelompok yang melarangnya, dan sekelompok yang membolehkannya. Pendapat pertama : boleh dalam hal memutuskan perkara dan hal pemerintahan dalam keadaan Raasulullah tidak ada. Pendapat kedua: yang membolehkan dengan mengatakan dengan izin Rasulullah cukup dengan diamnya Rasulullah Saw.

Menurut Al-Ghazali dalam mendapatkan hukum ada tiga cara: Secara ijmali (global) menurutnya ada ke-ijmalan, sebagai contoh pada Firman Allah Swt;
وامسحوا بر ء وسكم dalam hal ini Imam Malik dan Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat) meniadakan al-Urf, mewajibkan membasuh seluruh rambut pada setiap berwudhu, sementara itu Imam Syafi’i dan Abd. Jabbar dan Abu al-Huzain keduanya dari Mu’tazilah menetapkan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan dari sebahagian saputangan, maka wajib membasuh sebahagian rambut. Karena itu Imam Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain: bahwa membasuh dari segi bahasa adalah sebahagian seperti halnya mandi yang berarti keseluruhan.

Secara Al-Bayan, dengan mengambil contoh sah keterangan dengan perbuatan sama kalau memakai dengan perbuatan. Contoh yang lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat dan haji dengan perbuatannya (dengan contohnya), pada kebanyakan orang mukallaf sebagaimana sabda Rasulullah saw., dalam riwayat Bukhary:
صلوا كمارايتمونى ا صلى خذوا على مناسككم
Dari sini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw., menjelaskan melalui perbuatan. 

Dalam hal mengambil suatu hukum, Al-Ghazali mengandalkan hadis-hadis mutawatir, dengan syarat antara lain sebagai berikut:

harus mendahulukan ilmu pada hadis itu, harus mendahulukan sanadnya yang banyak dan tidak berbohong. Kalau bertentangan al-Jarhu wa Ta‘dil, maka yang didahulukan adalah naqd al-sanad (kritik sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur tetapi dengan syarat harusadil maka itu dapat diterima.

Terkait dengan hal ini, maka dia mensyaratkan keadilan di dalam ber-Ijma’ menggantungkan diri, tetapi tetap melegitimasi yang tidak adil seperti di dalam kitab Al-Amidi dan Al-Ghazali menjelaskan bahwa adil yang menunjukkan kehujjahan Ijma’ itu bersifat umum, mutlak, lepas, beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq tidak boleh dijadikan hujjah.

Al-Ghazali secara etimologi memberi penjelasan bahwa kata qiyas berarti mengukur, membanding sesuatu dengan yang semisalnya. Dalam Al-Mustashfa, ia membari definisi qiyas, sebagai berikut : “Menanggungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapakan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”

Dari definisi yang diberikan oleh Al-Ghazali, secara panjang dan rumit, demikian juga penggunaan kata: hamala (menanggungkan), ada juga pakai isbath (menetapkan), ilhaq (menghubungkan) dan sebagainya. tersebut mengandung arti bahwa qiyas itu merupakan usaha atau mujtahid.

Penggunaan kata ma’lum, oleh Al-Ghazali adalah dimaksudkan untuk menjangkau kepada sesutu yang belum diketahui (ma’düm), karena kalau dikatakan kata “sesuatu” menurut mereka, hanya berlaku yang diketahui (maujud). Terlihat lagi Al-Ghazali difinisinya menghubungkan antara ashal dan furu’ dengan kata (dalam menetapkan hukum atau peniadaan hukum), maksudnya supaya qiyas itu dapat mencapai qiyas ‘aks’ yaitu menghasilkan lawan hukum dari sesautu yang diketahui pada tempat lain karena keduanya berbeda dalam illat, hukum. 

Dalam praktek Usul Fiqh, qiyas dapat dirumuskan sebagai cara untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash dengan cara menyamakannya (menganologikan) dengan kasus hokum yang ada pada nash, disebabkan adanya persamaan illat hukum.

Selain al-Ghazali muncul Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati asy-Syatibi merupakan salah seorang cendekiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.1 Asy-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi asy-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid(esensi dan hakikat). Asy-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al- Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syabti, dan Abu Ja’far Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul fikih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al- Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat. Di samping bertemu langsung, ia juga melakukan hubungan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nafsi al-Rundi. Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, asy-Syatibi lebih berminat untuk mempelajari bahasa Arab dan, khususnya, ushul fikih. Ketertarikannya terhadap ilmu ushul fikih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fikih dalam menanggapi perubahan sosial. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, asy-Syatibi mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani. Di samping itu, ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fikih. Asy-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).

Dalam kerangka ini, asy-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syariah. Secara bahasa, Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Menurut istilah, asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat”

Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan Penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan perlindungan mashalih, baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih, maupun dengan cara preventif, seperti syariah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.

Menurut al-Syatibi [11]maqasidul syariah terbagi kepada tiga tingkatan kebutuhan:
a. Kebutuhan Dharuriyat. Ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akherat kelak. Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan, keturunan serta harta.
b. Kebutuhan Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
c. Kebutuhan Tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tida pula menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.

Pengetahuan tentang maqasid syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd-Alwahhab Khalaf, adalah hak sangat penting yang dapat dijadikan alat abntu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan sunnah menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak bertampung oleh Al-Qur’an dan sunah secara kajian kebahasan. [12] 

Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’kan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :
  • Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidupan mereka. Urusan-urusan yang dharuri itu ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbullah kekacauan, dan berkembangnya kerusakan. Urusan-urusan yang dharuri itu kembali pada lima pokok : Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
  • Menyempurnakan segala yang dihayati manusia. Urusan yang dihayati manusia ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif dan beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
  • Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Ialah segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang kuat dan fitrah yang sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan keindahan ini dalam arti kembali kepada soal akhlak dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu untuk mencapai keseragaman hidup melalui jalan-jalan yang utama.
Urusan dharuri merupakan sepenting-pentingnya maksud, karena apabila urusan-urusan dharuri itu ridak diperoleh akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan, menghilangkan keamanan dan merajalelalah keganasan. Dalam padi itu, tidak dipelihara hukum yang bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan suatu dalam memeliharanya mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita membuka aurat untuk keperluan berobat. Menutup aurat merupakan urusan yang mengindahkan, sedangkan berobat suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis untuk obat dan dalam keadaan terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis adalah urusan yang mengindahkan sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan dharuri[13]

Wajib kita mengerjakan segala yang wajib walaupun menimbulkan sedikit kesukaran, karena wajib kita termasuk golongan dharuri. Sedangkan urusan menolak kesukaran dan kepicikan merupakan urusan tahsini yang mengindhkan. Karena itu tidaklah dipelihara urusan yang mengindahkan, mendatangkan kesewenangan, apabila merusak dharuri. Segala hukum dharuri ridak boleh dicederakan, terkecuali kalau suatu dharuri yang lebih penting dari padanya. Atas dasar inilah kita diwajibkan berjihad untuk memeliharanya sebab memelihara agama adalah lebih penting dari pada memelihara jiwa. Meminum arak dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara akal. Apabila perlu untuk memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara harta.

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS

[1]Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1989) hlm 33-35 
[2]Periode ini disebut juga sebagai periode taqlid yakni ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan dan statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H) dan hanya Allah yang Maha Tahun kapan periode ini akan berakhir. Diantara penyebab terhentinya gerakan ijtihad a.l : 1) terbagi-baginya Daulah Islamiyyah dalam berbagai kerajaan yang saling bermusuhan sehingga atau terjebak dalam peperangan demi peperangan. Dalam kondisi yang demikian ini maka ‘ulama pada masa itupun terbagai dalam berbagai tingkatan. 1) tingkat pertama ahli ijihad dalam mazhab, 2) tingkat kedua, mujtahid dalam beberapa masalah yang tidak ada riwayat dari imam mazhab, 3) tingkat ketiga, ahlu at-tahriej yang tidak melakukan ijtihad untuk mengambil hukum pada beberapa masalah dan hanya melakukan pembatasan mazhab yang dianutnya dalam menafsiri pendapat-pendapat imamnya, 4) tingkat keempat ahlu at-tarjiehyang sanggup mempertimbangkan dan membandingkan diantara riwayat-riwayat dari para imam dan kemudian menetakan pilihan yang dinilai paling shahih.
Secara hampir mirip, A. Hanafi mendeskripsikan perkembangan hukum Islam dalam 5 (lima) periode. Pertama, periode permulaan hukum Islam, dimulai sejak kebangkitan Rasulullah saw hingga waftanya. Kedua, periode persiapan hukum Islam, dimulai dari khalifah pertama hingga berakhirnya masa shahabat (1 H – akhir abad I H). Ketiga periode pembinaan dan pembukuan hukum Islam serta munculnya para imam mujtahid, berlangsung kurang lebih 250 tahun. Keempat periode kemunduran hukum Islam, sebagai akibat merajalelanya taqlid dan kebekuan hingga lahirnya kitabMajallah al-Ahkam al-‘Adliyyah, suatu kitab yang mengintrodusir perundang-undangan modern dalam hukum Islam. Kelima, periode kebangunan yang dimulai dari lahirnya kitab al-Majallah hingga sekarang. 
[3]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 14
[4] Ibid, hlm 15 
[5]Amir Muallim-Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. (Yogyakarta; Titian Ilahi Press. Cet. I, 1997) hlm 38.
[6]Sofi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari’’ah Al-Islamiyah Fi Bilad Al-Arabiyah. (Kairo ; Dar al-Nahdah Al-arabiyah, Cet. III)1990, hlm 152-163
[7]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 13
[8] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm 13. 
[9]Nurcholish Madjid, Khazanah lntelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm 34. 
[10]Ahmad Syafi Ma’arif, Peta Bumi intelektuat Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm 57 
[11]Khairul Uman, Achyar Amitudin, Ushul Fiqh II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998) hlm 75 
[12]Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, (Jakarta : Pustaka Media, 2003) hlm 16
[13]Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008) hlm 19

Pengertian Multikulturalisme, Apa Itu Multikulturalisme?

Pengertian Multikulturalisme, Apa Itu Multikulturalisme?
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.[1] Sebenarnya, ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda-yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru. 

Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. 

Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.[2] 

Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi mendasar yang harus diperhatikan dalam kajian tentang multikulturalisme, yaitu: Pertama, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut. Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi dari sistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan satu entitas yang relatif sekaligus partial dan memerlukan budaya lain untuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun yang berhak memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain.[3] Ketiga, pada dasarnya, budaya secara internal merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antar perbedaan tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.[4] 

1. Multikulturalisme dalam Pendidikan
Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme menjadi gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan adalah prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya global. Oleh karena itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme adalah bagian integral dalam pelbagai sistem budaya dalam masyarakat yang salah satunya dalam pendidikan, yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural.

Pendidikan dengan wawasan mutlikultural dalam rumusan James A. Bank adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.[5] Sementara menurut Sonia Nieto, pendidikan multikultural adalah proses pendidikan yang komperhensif dan mendasar bagi semua peserta didik. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme dan segala bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan menerima serta mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi, gender dan lain sebagainya) yang terefleksikan di antara peserta didik, komunitas mereka, dan guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi yang dilakukan di antara para guru, murid dan keluarga serta keseluruhan suasana belajar­mengajar. 

Karena jenis pendidikan ini merupakan pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam masyarakat, pendidikan multikultural mengembangkan prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial.[6] Sementara itu, Bikhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai “an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to explore and learn from other cultures and perpectives”.[7] 

Dari beberapa dua definisi di atas, hal yang harus digarisbawahi dari diskursus multikulturalisme dalam pendidikan adalah identitas, keterbukaan, diversitas budaya dan transformasi sosial. Identitas sebagai salah satu elemen dalam pendidikan mengandaikan bahwa peserta didik dan guru merupakan satu individu atau kelompok yang merepresentasikan satu kultur tertentu dalam masyarakat. Identitas pada dasarnya inheren dengan sikap pribadi ataupun kelompok masyarakat, karena dengan identitas tersebutlah, mereka berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain, termasuk pula dalam interaksi antar budaya yang berbeda.

Dengan demikian dalam pendidikan multikultur, identitas-identitas tersebut diasah melalui interaksi, baik internal budaya (self critic) maupun eksternal budaya. Oleh karena itu, identitas lokal atau budaya lokal merupakan muatan yang harus ada dalam pendidikan multikultur.

Dalam masyarakat ditemukan berbagai individu atau kelompok yang berasal dari budaya berbeda, demikian pula dalam pendidikan, diversitas tersebut tidak bisa dielakkan. Diversitas budaya itu bisa ditemukan di kalangan peserta didik maupun para guru yang terlibat -secara langsung atau tidak- dalam satu proses pendidikan. Diversitas itu juga bisa ditemukan melalui pengayaan budaya-budaya lain yang ada dan berkembang dalam konstelasi budaya, lokal, nasional dan global. Oleh karena itu, pendidikan multikultur bukan merupakan satu bentuk pendidikan monokultur, akan tetapi model pendidikan yang berjalan di atas rel keragaman. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai dalam pendidikan jika pendidikan itu sendiri mengakui keragaman yang ada, bersikap terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap perbedaan yang ada untuk terlibat dalam satu proses pendidikan.

Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan lima dimensi yang harus ada yaitu, pertama, adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration) yang di dalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara komperhensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir dari interaksi antarkeragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yang kelima ini adalah tujuan dari pendidikan multikultur yaitu agar sekolah menjadi elemen pengentas sosial (transformasi sosial) dari struktur masyarakat yang timpang kepada struktur yang berkeadilan.[8]

Sementara itu, H.A.R. Tilaar menggarisbawahi bahwa model pendidikan yang dibutuhkan di Indonesia harus memperhatikan enam hal, yaitu, pertama, pendidikan multikultural haruslah berdimensi “right to culture” dan identitas lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yang menjadi, artinya kebudayaan Indonesia merupakan Weltanshauung yang terus berproses dan merupakan bagian integral dari proses kebudayaan mikro. Oleh karena itu, perlu sekali untuk mengoptimalisasikan budaya lokal yang beriringan dengan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan multikultural normatif yaitu model pendidikan yang memperkuat identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas budaya lokal yang ada. Keempat, pendidikan multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial, artinya pendidikan multikultural tidak boleh terjebak pada xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik etnik, suku, ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural merupakan pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment) dan pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equity). Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti, seseorang diajak mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan untuk mengembangkan budaya Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antarindividu, antarsuku, antaragama dan beragam perbedaan yang ada. Keenam, pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosial-budaya yang majemuk. [9]

Pendidikan Multikultur di Pesantren
1. Terminologi dan Histori Pesantren
Kata “pesantren” berasal dari “pe-santri-an”. Awalan “pe” dan akhiran “an” yang dilekatkan pada kata “santri” ini bisa menyiratkan dua arti. Pertama, pesantren bisa bermakna “tempat santri”, sama seperti pemukiman (tempat bermukim), pelarian (tempat melarikan diri), peristirahatan (tempat beristirahat), pemondokan (tempat mondok) dan lain-lain. Kedua, pesantren juga bisa bermakna “proses menjadikan santri”, sama seperti kata pencalonan (proses menjadikan calon), pemanfaatan (proses memanfaatkan sesuatu), pendalaman (proses memperdalam sesuatu) dan lain-lain. Jelasnya, “santri” di sini bisa menjadi objek dari usaha-usaha yang dilakukan di suatu tempat, tetapi juga bisa menjadi sosok personifikasi dari sasaran/tujuan yang akan dicapai lewat usaha-usaha tersebut.[10] 

Pada kenyataannya, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan ciri khas Indonesia. Di negara-negara Islam lainnya tidak ada lembaga pendidikan yang memiliki ciri dan tradisi persis seperti pesantren, walau mungkin ada lembaga pendidikan tertentu di beberapa negara lain yang dianggap memiliki kemiripan dengan pesantren, seperti ribâth, sakan dâkhilî, atau jam’iyyah. Namun ciri pesantren yang ada di Indonesia jelas khas keindonesiaannya karena berhubungan erat dengan sejarah dan proses penyebaran Islam di Indonesia.[11] 

Sejak tahap-tahap awal pengembangan Islam di Nusantara, para ulama pelaksana misi dakwah Islam (du’ât ilallâh), termasuk Wali Songo, telah melakukan dakwah di tengah bangsa kita melalui pendekatan beraneka ragam: ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, dan lain sebagainya. Pelaksanaan dakwah ini, pada mulanya mereka lakukan dengan cara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain (as-safar wat-tajwwul). Dengan cara ini, mereka mampu menangani langsung problem umat secara kondisional dan regional, sehingga Islam kemudian dikenal dan dipeluk oleh berbagai lapisan masyarakat dan suku di Nusantara. 

Tetapi cara ini tidak bisa terus mereka lakukan. Seiring dengan usia yang semakin menua, para du’ât itu pun mulai menetap di suatu tempat guna melakukan pembinaan umat dan kaderisasi calon-calon du’ât di tempat mereka masing-masing. Mereka berdomisili, melaksanakan dakwah dan pendidikan. Para du’ât yang memilih jalur pendidikan ini kemudian melahirkan banyak lembaga yang bernama “pesantren”, dan mereka pun mulai disebut ”Kiai”.[12] 

2. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan
Selain sebagai lembaga dakwah, pesantren juga mengemban fungsi utama sebagai lembaga pendidikan. Fungsi ini memiliki dua misi: Pertama, pendidikan umat secara umum untuk mendidik dan menyiapkan pemuda-pemudi Islam menjadi umat berkualitas (khaira ummah) pelaksana misi amar ma’ruf nahi munkar dan generasi yang shalih. Kedua, sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama, agent of exellence, dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Dalam hal ini, tugas pesantren adalah mendidik dan menyiapkan thâ`ifah mutafaqqihah fid-dîn, yaitu kader-kader ulama/pengasuh pesantren yang mampu mewarisi sifat dan kepribadian para Nabi, serta siap melaksanakan tugas indzârul qawm.

Selain itu, pesantren juga dituntut untuk berusaha mengembalikan citra serta fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama, sebagai realisasi dari wahyu Allah pertama (iqra`!). Dalam misi ini, terselip harapan agar pesantren menjadi tempat rujukan masyarakat dalam menjawab permasalahan-permasalahan keseharian mereka berdasarkan perspektif dan pandangan agama. 

Sejarah mencatat, pondok pesantren yang telah berdiri sezaman dengan masuknya Islam ke Indonesia, dan merupakan hasil dari proses akulturasi damai antara ajaran Islam yang dibawa para wali dan pedagang yang umumnya bernuansa mistis, dengan budaya asli (indigenous culture) bangsa Indonesia yang bersumber dari agama Hindu dan Buddha. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pesantren yang berdiri di pusat-pusat kekuasaan dan perdagangan merupakan satu-satunya sistem pendidikan yang befungsi sebagai lembaga kaderisasi bagi para putera pembesar kerajaan dan tokoh masyarakat. Pada masa kekuasaan Raja Sultan Agung Mataram, pesantren bahkan sudah mampu menerapkan sistem pendidikan berjenjang, dari pendidikan terendah, menengah, tinggi dan takhassus. Walau tidak ada peraturan wajib belajar, dalam budaya Indonesia masa lalu, anak yang berusia tujuh tahun ke atas, baik laki-laki maupun perempuan, harus dipesantrenkan di desanya.

Pada masa penjajahan Belanda, terjadi stigmatisasi pesantren secara kontinu dan sistematis, yang dipropagndai oleh penjajah melalui kekuasaan mereka. Di samping Misi khusus kaum kolonial dalam kepentingan kekuasaan, militer, ekonomi dan budaya, mereka juga mengemban misi misionari, yang dimotori oleh kelompok Calvinis Puritan. Perlakuan diskriminatif tentara kulit putih (penjajah) versus pribumi, priyayi versus rakyat biasa, Kristen versus Islam, dan tekanan-tekanan terhadap pesantren yang terjadi di masa ini, akhirnya memaksa pesantren untuk pindah dari kota ke desa hingga dampak psikologis yang negatif pun tidak terhindarkan. Seperti munculnya kecenderungan inferior, inkonfiden, inklusif, fanatik dan lain sebagainya. 

Menyikapi perlakuan diskriminatif dan kezhaliman ini, pesantren terus bertahan dan melawan dalam bentuk sikap non-kooperatif, ‘uzlah, bahkan perlawanan bersenjata atau jihâd fîsabîlillâh. Bisa dicatat di sini sebagai contoh perjuangan Pangeran Diponegoro di Jawa, pemberontakan umat Islam di Banten, perjuangan Paderi di Sumatera Barat dan Aceh. Karena peran inilah, maka konon menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah mengusulkan agar pendidikan pesantren dijadikan sistem pendidikan nasional.

Sebagai imbas dari dampak psikologis yang timbul dari hasil propaganda kolonial di atas, maka pada era pascakemerdekaan muncullah dikotomi yang sungguh ironis dan amat merugikan hubungan harmonis masyarakat Indonesia. Yaitu dikotomi kaum santri dan abangan. Peran pesantren pun diliputi pandangan sinis dan melecehkan, hingga tercuatlah upaya sistematis yang bertujuan melakukan kembali stigmatisasi Pesantren.

Dari hasil penilaian tidak adil ini maka lahirlah UU sistem pendidikan yang merugikan Pesantren. Mulai dari UU no. 4 tahun 1950, UU no. 14 PRPS tahun 1965, UU no. 19 PNPS, hingga UU SPN no. 2 tahun 1989. Kesemuanya tidak mencantumkan pengakuan formal terhadap pendidikan pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, dan menafikan jasa berabad-abad pesantren dalam pembentukan sistem pendidikan nasional.[13] 

Namun, kenyataan faktual saat ini justru tengah menunjukkan kian kuat, besar dan pentingnya peran Pesantren. Terbukti dengan makin menjamurnya kemunculan Pondok-pondok pesantren dengan berbagai corak, nama, sistem dan tingkatan pendidikan, bukan hanya di pedesaan tetapi juga di perkotaan. Minat para orang tua untuk mengirimkan putra-putrinya ke pesantren juga kian meningkat, termasuk di kalangan elit masyarakat.

Dari hasil pengamatan dan kajian, para pakar dan pemerhati pendidikan, keunggulan sistem pendidikan pesantren ini telah diakui. Produk pendidikan pesantren pun kini telah banyak bermunculan menjadi tokoh penting dalam berbagai sektor pembangunan, dan terbukti mampu memberi kontribusi sangat besar bagi bangsa. Ditambah lagi dengan adanya pengakuan persamaan (akreditasi) pendidikan pondok pesantren oleh dunia pendidikan luar negeri, dan jalinan kerjasama antara pondok pesantren dengan dunia internasional yang terus terjalin mulus. Hingga tak ayal jika banyak tokoh-tokoh internasional berminat menjadikan pesantren sebagai objek penelitian mereka, bersamaan dengan meningkatnya minat santri-santri mancanegara untuk belajar di pesantren.

3. Pendidikan Multikuturalisme di Pondok Modern
Hingga kini, telah tumbuh ribuan pesantren di Nusantara, yang secara garis besar dapat diklasifikasi dalam dua sistem utama: pesantren tradisional (salafiyah) dan pesantren modern. Ciri dari pesantren tradisinal adalah konsistensinya dalam melaksanakan sistem pendidikan murni dan tidak terikat formalitas pengajaran (kelas) maupun strata pendidikan dan ijazah. Pesantren model ini juga cenderung mengkhususkan diri dalam pengkajian ilmu-ilmu agama. Sedangkan pesantren modern berupaya memadukan tradisionalitas dan modernitas pendidikan. Sistem pengajaran formal ala klasikal (pengajaran di dalam kelas) dan kurikulum terpadu diadopsi dengan penyesuaian tertentu. Dikotomi ilmu agama dan umum juga dieleminasi. Kedua bidang ilmu ini sama-sama diajarkan, namun dengan proporsi pendidikan agama lebih mendominasi. Sistem pendidikan yang digunakan di pondok modern dinamakan sistem Mu’allimin. 

Dalam konteks pondok modern, pendidikan multikulturalisme sesungguhnya telah menjadi pendidikan dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pengajar formal di kelas saja. Tapi juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari santri. Pendidikan formal multikulturalisme diwujudkan dalam bentuk pengajaran materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Sistem pengajaran di pondok modern yang didominasi bahasa asing (Arab dan Inggris) sebagai pengantar, tidak melunturkan semangat pendidikan multikulturalisme anak didik (santri). Karena materi ini ditempatkan sebagai materi primer dan harus diajarkan dengan medium bahasa Indonesia pula.

Dalam bidang non formal, pesantren dengan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki banyak waktu untuk menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya multikulturalisme. Pola umum yang nyaris diberlakukan di berbagai pondok modern adalah sistem pendidikan multikultur yang menyatu dalam aturan dan disiplin pondok. Salah satunya dalam urusan penempatan pemondokan (asrama) santri. Di pondok modern, tidak diberlakukan penempatan permanen santri di sebuah asrama. Dalam arti, seluruh santri harus mengalami perpindahan sistematis ke asrama lain, guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keragaman.

Seperti halnya di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Pondok Modern Gontor juga menetapkan regulasi agar setiap tahun santri diharuskan perpindahan asrama. Setiap satu semester mereka juga akan mengalami perpindahan antarkamar dalam asrama yang mereka huni. Hal ini ditujukan untuk memberi variasi kehidupan bagi para santri, juga menuntun mereka memperluas pergaulan dan membuka wawasan mereka terhadap aneka tradisi dan budaya santri-santri lainnya. Penempatan santri tidak didasarkan pada daerah asal atau suku. Bahkan, penempatan telah diatur sedemikian rupa oleh pengasuh pondok, dan secara maksimal diupayakan kecilnya kemungkinan santri-santri dari daerah tertentu menempati sebuah kamar yang sama. 

Ketentuan yang diberlakukan, satu kamar maksimal tidak boleh dihuni oleh 3 orang lebih santri asal satu daerah. Menurut Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi, upaya ini untuk melebur semangat kedaerahan mereka ke dalam semangat yang lebih universal. Di samping itu, agar santri juga dapat belajar kehidupan bermasyarakat yang lebih luas, berskala nasional, bahkan internasional bersama para santri mancanegara.[14] Namun, penerapan pola pendidikan ini, menurut Syukri Zarkasyi, tidak berarti menafikan unsur daerah. Karena unsur kedaerahan telah diakomodir dalam kegiatan daerah yang disebut “konsulat”, yang ketentuan organisasi dan kegiatannya telah diatur, khususnya untuk diarahkan menolaknya menjadi sumber fanatisme kedaerahan.

Pendidikan multikulturalisme lainnya dalam intensitas pendidikan pondok modern adalah diberlakukannya aturan mengikat yang melarang santri berbicara menggunakan bahasa daerah. Selain bahasa utama Arab dan Inggris, ketika masuk lingkungan pondok santri hanya dibolehkan berbicara bahasa Indonesia dalam beberapa kesempatan dan kepentingan. Pendisiplinan santri dalam pendidikan multikulturalisme lewat bahasa ini sangat ketat. Bagi santri yang melanggarnya akan diberi hukuman bervariasi yang edukatif.

Pendidikan toleransi atas perbedaan juga kental diajarkan dalam sistem pendidikan pondok modern. Keberagaman pemikiran dan ijtihad diajarkan kepada santri tanpa pemaksaan, atau mengajarkan mereka untuk memaksakan ide. Sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat sangat diunggulkan sistem pendidikan pondok modern.

Dengan sistem Mu’allimin yang didukung intensitas pendidikan 24 jam, beban mengejawantahan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), seperti disyaratkan dalam pendidikan formal, dapat dilalui pondok modern. Pada KBK, kendala utamanya adalah keterbatasan waktu ajar untuk memberi pemahaman penuh sebuah materi kepada siswa. Dengan sistem Mu’allimin, masa pendidikan luar kelas di pondok pesantren cenderung lebih banyak dibanding waktu formal pembelajaran di dalam kelas. Keterbatasan masa pengajaran di kelas ini pun dapat tertanggulangi pondok pesantren dengan adanya banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan para guru untuk melengkapi pengajaran kepada santri. Pola ini sangat mengefisiensikan waktu dan membuat pengajaran menjadi efektif. Ditambah lagi dengan arus utama sistem pendidikan di pondok modern yang tidak mengenal dikotomi pendidikan ekstrakulikuler dan intrakulikuler.[15] 

Keutamaan pendidikan multikulturalisme di pondok modern juga tercermin dari muatan/isi kurikulum yang kentara mengajarkan pewawasan santri akan keragaman keyakinan. Dalam kelompok bidang studi Dirasah Islamiyah, sebagai contoh, diajarkan materi khusus Muqaranat al-Adyan (Perbandingan Agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, fenomena dan dinamika keagamaan di dunia. Materi ini sangat substansial dalam pendidikan multikulturalisme, karena santri diwawaskan berbagai perbedaan mendasar keyakinan agama mereka (Islam) dengan agama-agama lain di dunia. Materi ini sangat potensial membangun kesadaran toleransi keragaman keyakinan yang akan para santri temui saat hidup bermasyarakat kelak.

Dalam pendidikan sikap multikulturalistik, pondok modern menerapkan pewawasan rutin melalui visualisasi aneka kultur dan budaya para santrinya. Setiap tahun ajaran baru digelar seremoni besar Khutbatul ‘Arsy dengan salah satu materi acara berupa pertunjukan aneka kreasi dan kreativitas pelangi budaya semua elemen santri, berdasarkan kategori “konsulat” (kedaerahan). Dalam acara ini dilombakan demontrasi keunikan khazanah dan budaya tempat domisili asal santri. Semua santri diwajibkan terlibat dalam kegiatan ini. Kegiatan pembuka tahun ajaran baru ini ditujukan untuk menjadi pencerah awal dan pewawasan kebhinekaan budaya dalam lingkungan yang akan mereka huni.

Keadaan Pendidikan Islam di Indonesia
Telah kita ketahui bahwa usha pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu sendiri, dan pendidikan Islam tidak terlepas dari sejarah Islam pada umumnya. Karena itulah, periodesasi sejarah pendidikan Islam berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri.

Pendidikan Islam tersebut pada dasarnya dilaksanakan dalam upaya menyahuti kehendak umat Islam pada masa itu dan pada masa yang akan datang yang dianggap sebagai kebutuhan hidup (need of life). Usaha yang dimiliki, apabila kita teliti atau perhatikan lebih mendalam, merupakan upaya untuk melaksanakan isi kandungan Al-Qur'an terutama yang tertuang pada surat Al-Alaq: 1-5. Sebagimana hanya Islam yang mula-mula diterima Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat jibril di gua Hira. Ini merupakan salah satu contoh dari opersionalisasi penyampaian dari pendidikan tersebut.

Prof. Dr. Harudn Nasution, secara garis besar membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode, yaitu perode klasik, pertengahan, dan modern.

Selanjutnya, pembahasan tentang lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti penahapan perkembangan sebagai berikut:
  1. Periode pembinaan pendidikan Islam, berlangsung pada masa nab Muhammad SAW. Selama lebih kurang dari 23 tahun, yaitu sejak beliau menerima wahyu pertama sebagai tanda kerasulannya sampai wafat.
  2. Periode pertubuhan pendidikan, berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sampai dengan akhir kekuasaan Bani Umaiyah, yang diwarnai oleh penyebaran Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa di luar bangsa Arab dan perkembangannya ilmu-ilmu naqli
  3. Periode kejayaan pendidikan Islam, berlangsung sejak permulaan Daulah bani Abbasiyah sampai dengan jatuhnya kota Bagdad yang diwarnai oleh perkembangan secara pesat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam serta mencapai puncak kejayaannya.
  4. Tahap kemuduran pendidikan berlangsung sejak jatuhnya kota Bagdad sampai dengan jatuhnya Mesir oleh Napoleon sekirat abad ke-18 M. yang ditandai oleh lemahnya kebudayaan Islam berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia ke dunia Barat.
  5. Tahap pembaharuan pendidikan Islam, berlangsungnya sejak pendudukan Mesir Oleh Napoleon pada akhir abad ke-18 M. sampai sekarang, yang di tandai oleh masuknya unsur-unsur budaya dan pendidikan modern dari dunia Barat ke dunia Islam.
Sementara itu, kegiatan pendidikan Islam di Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan dengan masuk dan berkembangnya islam di Indonesia. Sesungguhnya kegiatan pendidikan Islam tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan yang penting bagi kelangsungan perkembangan Islam dan umat Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Pendidikan Islam itu bahkan menjadi tolak ukur, bagaimana Islam dan umatnya telah memainkan perananya dalam berbagai aspek sosial, politik, budaya. Oleh karena itu, untuk melacak sejarah pendidikan Islam di Indonesia dengan periodisasinya, baik dalam pemikiran, isi, maupun pertumbuhan oraganisasi dan kelembagaannya tidak mungkin dilepaskan dari fase-fase yang dilaluinya.

Fase-fase tersebut secara periodisasi dapat dibagi menjadi;
  1. Periode masuknya Islam ke Indonesia
  2. Periode pengembangan dengan melalui proses adaptasi
  3. Periode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam (proses politik)
  4. Periode penjajahan Belanda (1619 – 1942)
  5. Periode penjajahan Jepang (1942 – 1945)
  6. Periode kemerdekaan I Orde lama (1945 – 1965)
  7. Periode kemerdekaan II Orde Baru/Pembangunan (1966- sekarang)

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture (London: Sage Publication, 2002), h. 2-6.
[2] Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka di Princenton University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yang kemudian berkembang di kajian lain, flsafat, sosiologi, budaya dan lainnya. Gagasanya dipengaruhi oleh padangan Jean-Jacques Rousseau dalam Discourse Inequality dan kesamaan martabat (equal dignity of human rights) yang dicetuskan Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, bahwa sesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkan hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua element sosial-budaya, termasuk juga negara. Charles Taylor. “The Politics of Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994), h. 18.
[3] Raz J.. The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1986), h. 375.
[4] Bikhu Parekh. “What is Multiculturalism?” dalam Jurnal India Seminar, Desember 1999. Raz J.. Ethics in Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics (Oxford: Clarendon Press, 1996), h. 177.
[5] James A.Bank dan Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2001), h. 28.
[6] Sonia Nieto. Language, Culture and Teaching (Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum, 2002), h. 29.
[7] Bikhu Parekh. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University Press, 2000), h. 230.
[8] James A. Banks. “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice” dalam James A. Banks dan Cherry A. McGee, op. cit., h. 3-24.
[9] H.A.R. Tilaar, op. cit., h. 185-190.
[10] KH. Mohammad Tidjani Djauhari, MA, Masa Depan Pendidikan Pesantren Agenda yang Belum Terselesaikan, Jakarta: Taj Publishing, 2008
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] KH Mohammad Tidjani Djauhari MA, Menebar Islam Meretas Aral Dakwah, Jakarta: Taj Publishing, 2008.
[14] KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor, Ponorogo: Trimurti Press, 2005. h. 125
[15] Ibid. h. 155. Didukung oleh hasil wawancara dengan KH Nurhadi Ihsan MA, Direktur KMI Pondok Modern Gontor, Penanggungjawab bidang kurikulum Pondok Modern Gontor, tanggal 18 Oktober 2008.
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger