Dasar-dasar konsep sistem informasi

Dasar-dasar konsep sistem informasi
a. Defenisi & Pengertian
  • Sistem adalah suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk suatu kegiatan untuk menyelesaikan suatu sasaran tertentu.
  • Informasi adalah hasil pengolahan data yang memiliki manfaat atau belum memiliki arti guna.
  • Data adalah fakta-fakta, perkiraan, atau pendapat yang tidak atau belum memiliki arti guna.
  • Prosedure adalah urutan dari prosedur-prosedur yang bekerja melibatkan beberapa orang di daam satu atau lebih departemen untuk menyelesaikan suatu permasaalahan.
  • Sistem Informasi adalah jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling berhbungan / bekerja sama untuk melakukan suatu kegiatan guna menyelesaikan suatu masalah yang memeilki manfaat atau nilai guna bagi orang yang membutuhkannya.
b. Klasifikasi Sistem
Sistem dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu :
  • Sistem abstrak (abstract system) dan sistem fisik. Sistem abstrak adalah system yang tidak bisa dilihat secara fisik atau system yang berisi gagasan atau konsep. Contohnya system teologi yang berisi gagasan tentang hubungan manusia dan Tuhan. Sistem fisik adaalh system yang secara fisik dapat dilihat. Contohnya system konputer, system sekolah dan lain-lain.
  • Sistem alamiah (natural system) dan sistem buatan manusia (human made system). System alamiah adalah system yang terjadi karena alam. Misalnya system tata surya, system peredaran darah dalam tubuh manusia. System buatan adalah system yang dibuat oleh manusia. Misalnya system komputer dan system mobil.
  • Sistem tertentu (deterministic system) dan sistem tak tentu (probabilistik system). System tertentu adalah system yang operasinya dapat diprediksi secara tepat. Misalnya system komputer. Sedangkan system tak tebtu adalah system yang tidak dapat diramal dengan pasti. Misalnya system persediaan dan system arisan.
  • Sistem tertutup (close system) dan sistem terbuka (open system). System tertutup adalah system yang tidak bertukar materi, informasi atau energi dengan lingkungan atau sistenm yang tidak terpengaruh oleh lingkungan. Misalnya reaksi kimia dalam tabung yang terisolasi. Sedangakan system terbuka adalah system yang terpengaruh oleh lingkungannya. Misalnya system perusahaan dagang yang terpengaruh oleh permintaan pasar.
c. Karakteristik sistem
Sistem memiliki karakteristik atau sifat-sifat tertentu , yaitu:
· Komponen (componens)
Terdiri dari sejumlah yang saling berinteraksi, dan bekerja sama membentuk satu kesatuan.

· Batas Sistem (boundary)
Merupakan daerah yang membatasi suatu sistem dengan sistem lainnya dengan lingkungan luarnya.

· Lingukungan luar sistem (environments)
Adalah apapun diluar batas dari sistem yang mempengaruhi operasi sistem.

· Penghubung (interface)
Merupakan media penghubung antara sub sistem, yang memungkinkan sumber-sumber daya mengalir dari suatu subsistem ke sub sistem lainnya.

· Masukan (input)
Adalah energi yang dimasukkan ke dalam sistem, yang dapat berupa masukan perawatan dan masukan sinyal.

· Keluaran (output)
Adalah hasil dari energi yang diolah dan diklasifikasikan menjadi keluaran yang berguna dan sisa pembuangan.

· Pengolahan (proses)
Suatu sistem yang merupakan suatu bagian pengolah yang merubah masukan menjadi keluaran.

· Sasaran (objectivitas) atau tujuan (goals)

d. Dasar – dasar informasi 
Informasi ibarat darah yang mengalir di dalam tubuh suatu organisasi :

· Siklus Informasi
Data merupakan bentuk yang masih mentah yang belum dapat bercerta banyak, sehingga perlu diolah lebih lanjut. Data diolah melalui suatu model untuk dihasilkan informasi.

Informasi yang ada diperlukan sebagai dasar pertimbangan para pengelola organisasi dalam mengambil keputusan manajerial strategis.
  1. Data (ditangkap) / pengumpulan data
  2. Input
  3. Pengolahan data (proses)
  4. Output / Informasi
  5. Penerima / Distribusi
  6. Keputusan
  7. Hasil Tindakan
· Kualitas Informasi
Kualitas informasi tergantung kepada 3 hal, yaitu:
  1. Akuratà bebas dari kesalahan
  2. Tepat waktuà inormasi tidak boleh terlambat
  3. Relevanàmemiliki manfaat untuk pemakainya

Selain 3 hal diatas kualitas informasi juga ditentukan oleh:
  • Informasi tersebut dapat dipercaya
  • Ekonomis
  • Efisien
· Nilai Informasi
Nilai dari informasi (value of infromation) ditentukan dari dua hal, yaitu :
  • manfaat
  • Biaya
Informasi dikatakan bernilai bila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya mendapatkannya, selain itu juga dapat diukur dengan evektifitasnya. Pengukuran nilai informasi biasanya dihubungkan dengan analisis cost, efectivitas atau cost benefit.

Konsep sistem Informasi
a. Komponen Sistem Informasi
Sistem informasi terdiri dari blok-blok atau komponen-komponen , yaitu:
  • Blok Hardware, mencakup piranti-piranti fisik seperti komputer dan printer.
  • Blok Software (program), sekumpulan instruksi yang memungkinkan hardware untuk dapat memproses data.
  • Blok Brainware, semua orang yang bertanggung jawab dalam pengembangan system informasi, pemprosesan dan penggunaan keluaran system informasi.
  • Blok Basis Data (database), kumpulan table, hubungan dan lain-lain yang berkaitan dengan penyimpanan data.
  • Blok Jaringan komputer & komunikasi Data, system penghubung yang memungkinkan sumber dipakai secara bersama atau diakses oleh sejumlah pemakai.
  • Prosedur, sekumpulan aturan yang dipakai untuk mewujudkan pemprosesan dan pembangkitan keluaran yang dikehendaki


b. Tingkatan sistem Informasi
Beberapa jenis sistem informasi berbasis TI yang dikembangkan berdasarkan lini manajerial. Masing-masing dari SI tersebut memiliki fungsi dan manfaat bagi tiap tingkatan manajerial. Adapun tingkatan SI tersebut adalah:
  • Sistem Pemrosesan Transaksi, merupakan hasil perkembangan dari pembentukan kantor elektronik, dimana sebagian dari pekerjaan rutin diotomatisasi termasuk untuk pemprosesan transaksi. Pada system ini data yang dimasukkan adalah data-data transaksi yang terjadi.
  • Sistem Informasi Manajemen (SIM), SIM adalah sebuah kelengkapan pengelolaan dari proses-proses yang yang menyediakan informasi untuk manajer guna mendukung operasi-operasi dan pembuatan keputusan dalam sebuah organisasi.
  • Sistem penunjang keputusan (SPK), merupakan peningkatan dari SIM dengan penyediaan prosedur-prosedur khusus dan pemodelan yang unik yang akan membantu manajer dalam memperoleh alternatif-alternatif keputusan.
  • Sistem Informasi e-busines, dibangun untuk menjawab tantangan pengintegrasian data dan informasi dari proses bisnis berbasis internet.
c. Perkembangan sistem Informasi
Pada mulanya SI digunakan untuk meningkatkan kualitas manajerial, sehingga sering disebut SIM yang kemudian dikembangkan terus seiring dengan perkembangan TI, adapaun tahapan perkembangan tersebut adalah

1. Sistem Informasi Tradisional
SI dioperasikan dan dikelola secara semi manual. SI ini beroperasi secara lambat, sehingga seringkali pimpinan mengambil keputusan hanya berdasarkan data asumsi atau perkiraan. Disamping itu keakuratan informasi yang dihasilkan juga masih diragukan. Kondisi ini akan berakibat buruk terhadap perkembangan perusaaan. 

2. Sistem Informasi Berbasis Komputer.
Adalah SI yang menggunakan teknologi komputer. Keuntungan utama dari teknologi ini adalah waktu untuk menghasilkan informasi lebih singkat sehingga menghasilkan informasi dengan tingkat keakuratan yang lebih tinggi.

3. Sistem Informasi Berbasis Jaringan Perkantoran.
Melalui Sistem Informasi Berbasis Jaringan Perkantoran ini transaksi dapat dilakukan di berbagai tempat yang berbeda dengan pusat pengolahan datanya. Perusahaan dimungkinkan untuk membuka sejumlah tempat transaksi sehingga dapat meningkatkan profit dalam jumlah yang sangat besar.

4. Sistem Informasi Lintas Platform
System ini merupakan gabungan antara teknologi informasi dan teknologi komunikasi data. Dqalam perkembangan selanjutnya lahirlah sebuah teknolgi internet yang dapat menghubungkan komputer di seluruh dunia. 

Terdapat empat test untuk menjelaskan sebuah pesan yang spesifik dalam informasi, yaitu:
1. Kepada siapa informasi ditujukan?
2. Untuk keputusan apa informasi ditujukan?
3. Sejauh mana informasi dapat digunakan untuk mendeteksi dan memecahkan masalah?

d. Analisa system
Untuk mencapai tujuan dari sistem dibutuhkan 3 perangkat atau alat bantu, yaitu:
  • Hardware
  • Software
  • Brainware
Brainware atau perangkat manusia dapt berupa manaejer, analais sistem, programmer dan sebagainya.

e. Sistem Analis
  • Pengertian
  • sistem analis adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk menganalisa sistem.
  • Sistem analais adalah seseorang yang mempunyai pengetahuan tentang aplikasi komputer yang digunakan untuk memecahkan masalah bisnis dan masalah-masalah yang lainnya.
  • Sistem analis adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk memilih alternatif pemecahan masalah yang paling tepat.
  • Sistem analis adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk merencanakan dan menerapkan rancangan sistemnya sesuai dengan permasaalahan yang terjadi.
Tugas Analis Sistem
Tugas-tugas umum yang dilakukan oleh seorang analis sistem adalah:
  • mengumpulkan dan menganalisa segala dokumen-dokumen, file-file, formulir-formulir, yang digunakan pada sistem yang telah berjalan.
  • Menyusun laporan dari sistem yang telah berjalan dan mengevaluasi kekurangan-kekurangan apa saja yang ada pada sistem tersebut kepada pemakai sistem.
  • Merancang perbaikan-perbaikan pada sistem tersebut dan menyusun sistem batu.
  • Menganalisa dan menyusun perkiraan biaya yang diperlukan untuk sistem baru.
  • Mengawasi segala kegiatan yang ada terutama berkaitan dengan penerapan sistem yang baru.
f. Manfaat Sistem Informasi
Sistem informasi memiliki berbagai manfaat, diantaranya :
  • Organisasi menggunakan sistem informasi untuk mengolah transaksi-transaksi, mengurangi biaya dan menghasilkan penda
  • patan sebagai salah satu produk atau pelayanan mereka.
  • perusahaan menggunakan sistem informasi untuk mempertahankan persediaan pada tingkat paling rendah agar konsisten dengan jenis barang yang tersedia.
Sistem Informasi Berbasis Komputer (SIBK)
Sistem informasi berbasiskan komputer (SIBK) atau Computere Base Information System (CBIS) merupakan sistem Informasi yang menggunakan dan memanfaatkan kemampuan komputer dalam melaksanakan tugas guna pencapaian tujuan sebuah SI.

a. Konsep Dasar SIBK
Tugas–tugas yang dilakukan komputer disebut aplikasi. Istilah sistem sering digunakan. Pada awalnya, satu-satunya aplikasi koputer adalah pengolahan data. Komputer dikenal sebagai peralatan yang dapat menghasilkan informasi untuk pengambilan keputusan manajemen.

Usaha awal untuk menerapkan komputer dalam areal bisnis terfocus pada data. Pendekatan dilakukan pada masalah informasi dan pendukung keputusan. Dan sekarang ini pemfokusan diarahkan pada komunikasi dan konsultasi

Evolusi SIBK
  • fokus pada data
  • fokus baru pada informasi 
  • fokus sekarang pada komunikasi
  • fokus pada komunikasi
b. Model SIBK

c. Pemakai SIBK
Pemakai SIBK terdiri atas 3, yaitu:
  • para manajer
  • non manajer
  • orang-orang dan organisasi lingkungan perusahaan
d. Sub sistem SIBK
Macam2 Sistem Informasi Berbasiskan Komputer
1. Sistem Informasi Akuntansi (SIA)
2. Sistem Penunjang Keputusan (SPK)
3. Sistem Informasi Manajemen (SIM)
4. Otomatisasi Kantor (OA)
5. Sistem Pakar (SP)

1. Sistem Informasi Akuntansi (SIA)
yaitu: Suatu sistem informasi yang melakukan proses pengumpulan data dan pengolahan /pemprosesan data-data transaksi keuangan perusahaan yang bersifat historis.

Ciri-2 / Karakhteristik SIA :
• Melaksanakan tugas yang diperlukan
• Menggunakan prosedur yang standart
• Menangani data yang rinci
• Berfocus pada histori
• Menyadiakan informasi pemecah masalah

Tugas pengolahan data :
• Pengumpulan data
• Manipulasi data (pengklasifikasian,penyortiran,penghitungan,pengikhtisaran)
• Penyimpanan data
• Penyiapan dokumen

Laporan / informasi yang dihasilkan SIA :
• Jurnal L/R
• Jurnal Umum
• Neraca Saldo.
• Dll

2. Sistem Penunjang Keputusan (SPK)
Sistem penunjang keputusan adalah :
Suatu sistem informasi yang membantu pihak manajemen dalam melakukan penyelesaian masalah yang bersifat semi terstruktur.

Ciri-2 /Karakteristik SPK :
• Menyelesaikan Maslah semi terstruktur
• Analisa canggih
• Sistemnya friendly dengan user

3. Sistem Informasi Manajemen (SIM)
Penerapan system informasi dalam suatu organisasi. Pembahasan lebih detailnya pada mata kuliah Sistem Infoirmasi Manajemen. 

4. Otomatisasi Kantor 
Otomatisasi kantor yaitu :
Pengoptimalan kemampuan komputer dalam melaksanakan pekerjaan pada suatu kantor.

Ciri-2 otomatisasi kantor :
  • Segala hal yang berbau kertas dirubah ke dalam bentuk file
  • Efisien
Ruang lingkup Otomatisasi Kantor :
• e-mail * Audio conference
• Voice mail * Faximili
• Video converence * d l l
• Video text
• Pencitraan

Strategi Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup Daerah

Strategi Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup Daerah 
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak pada posisi silang daerah khatulistiwa dengan luas 10,08 juta km2, termasuk zona ekonomi ekslusif. Kondisi geografis tersebut menyebabkan wilayah Indonesia mengandung kekayaan alam yang cukup besar, baik ditinjau dari segi jumlah maupun keanekaragaman jenisnya. Pemanfaatan kekayaan alam tersebut selama ini telah memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun demikian, selain membawa manfaat, eksploitasi kekayaan alam tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dan kelangkaan sumberdaya alam serta pencemaran lingkungan hidup. 

Dalam rangka melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan, maka orientasi pengelolaan sumberdaya alam Indonesia di masa yang akan datang sudah harus menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan yang berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan adanya pemikiran-pemikiran strategis sebagai bahan untuk menyusun perencanaan ke depan. Sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup saat ini sudah harus lebih ditingkatkan melalaui berbagai kebijaksanaan, strategi, dan upaya yang mengarah kepada terciptanya sistem pengelolaan yang efektif dan efisien.

Perbaikan sistem pengelolaan lingkungan hidup tidak terlepas dari peranan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup. Keberadaan lembaga pengelolaan lingkungan hidup, khususnya di daerah semakin terasa penting setelah bergulirnya undang-undang otonomi daerah. Hal ini mengingat implementasi otonomi daerah sangat sarat dengan adanya pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah, dimana pada beberapa daerah tertentu cenderung menimbulkan eforia kekuasaan pemerintah daerah dalam hal eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. 

Dalam era otonomi daerah ini, keberadaan lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah akan menjadi sangat strategis karena :

1. Merupakan kebutuhan pemerintah dan masyarakat.
Mengingat masih banyak daerah yang mengandalkan peningkatan PAD pada sector pengolahan sumberdaya alam, maka jika tidak ada lembaga yang bertugas mengelola lingkungan hidup di daerah, dikhawatirkan pelaksanaan otonomi daerah dapat menimbulkan kerawanan terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
2. Sebagai sarana bagi pemerintah dalam melaksanakan kewenangan yang diamanahkan dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya :
a. Undang-Undang Dasar 1945.
Pembukaan (Alinea IV):
“Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. 

Salah satu tugas perlindungan terhadap bangsa dan negara yang dilakukan di daerah adalah perlindungan terhadap lingkungan hidup.

b. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 
Pemerintah memiliki wewenang mengatur pengelolaan lingkungan hidup, yang sebagian kewenangannya dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah (pasal 8,9, 10, 12 dan 13). 

c. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. 
Pasal 9 (1) :
Kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/ kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.

Penjelasan pasal 9 (1) : yang dimaksud dengan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya adalah : pengendalian lingkungan hidup (butir d).

Pasal 10 (1) :
Daerah berwewenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah Otonom. 

Pasal 3(5) :
Kewenangan provinsi dalam bidang lingkungan hidup mencakup (point 16) : 
  • Pengendalian lingkungan hidup lintas kabupaten/kota.
  • Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfa-atan sumberdaya laut 4 sampai 12 mil.
  • Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumberdaya air lintas kabupaten/kota.
  • Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) bagi kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas yang lokasinya lebih dari satu kabupaten/kota.
  • Pengawasan pelaksanaan konservasi lintas kabupaten / kota.
  • Penetapan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu lingkungan hidup nasional.
Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut di atas mengisyaratkan pentingnya keberadaan lembaga yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup di daerah.

Banyak hal yang dapat menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam menata kelembagaan perangkat daerah. Saat ini ada kecenderungan agar lembaga yang ada berstruktur lebih ramping dan dapat meningkatkan PAD. Pertimbangan bahwa prioritas pembentukan kelembagaan hanya berdasarkan pada aspek ekonomi riil saja sangat tidak bijak, karena ada kalanya suatu lembaga daerah tidak menghasilkan PAD tetapi urgensinya sangat dibutuhkan bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, seperti halnya lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah. Hal ini perlu disadari, karena kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi tugas pokok lembaga pengelolaan lingkungan hidup sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial. 

Untuk memenuhi kebutuhan daerah dalam melaksanakan tugas-tugas pengelolaan lingkungan hidup, maka kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup daerah perlu untuk tetap dipertahankan. Karena pengelolaan lingkungan hidup merupakan kewenangan wajib yang dilaksanakan oleh daerah (Kabupaten/Kota) dan juga merupakan tugas dekosentrasi (sesuai PP No. 08 Tahun 2003), maka lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah yang sesuai adalah berbentuk Dinas Daerah. Hal ini juga telah ditegaskan melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Dalam Negeri melalui SKB Nomor 01/SKB/M PAN/4/2003; Nomor 17 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 09 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Pada bagian II mengenai Penataan Perangkat Daerah disebutkan bahwa fungsi-fungsi yang selama ini diwadahi dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah seperti fungsi lingkungan hidup (BAPEDALDA), mengingat lingkungan hidup merupakan salah satu kewenangan wajib, maka pewadahannya dilakukan dalam bentuk dinas.

Perkembangan Struktur Dan Fungsi Organisasi Kelembagaan Lingkungan Hidup
Salah satu perubahan yang mencolok sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah perubahan perangkat kelembagaan pemerintahan di daerah, termasuk kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup. Sebelum adanya undang-undang tersebut, sebenarnya di tiap-tiap daerah telah dibentuk perangkat kelembagaan pemerintah daerah yang memilki tugas pokok dan fungsi dalam hal pengendalian dampak lingkungan hidup daerah. Di tingkat provinsi biasanya diberi nama Biro Bina Kependududan dan Lingkungan Hidup (BKLH) atau Biro Lingkungan Hidup yang berada di bawah Sekretariat Daerah Provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kotamadya biasa disebut dengan Bagian Lingkungan Hidup yang berada di bawah Sekretariat Daerah Kabupaten/Kotamadya. 

Kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah berkembang pesat setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Guna meningkatkan kapasitas kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat lintas sektor dan lebih menekankan aspek koordinasi, maka Menteri Negara Lingkungan Hidup saat itu merekomendasikan agar lembaga pengelolaan lingkungan hidup di daerah berbentuk badan (misalnya BAPEDALDA). Atas dasar rekomendasi tersebut, sampai tahun 2003 hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia memilki kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup daerah dengan nama BAPEDALDA Provinsi dan BAPEDALDA Kabupaten/Kota.

Setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 08 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang membatasi jumlah organisasi perangkat daerah maksimal 10 lembaga pelaksana daerah (dinas) dan 8 lembaga teknis daerah (Badan, Kantor, RSUD) di tingkat provinsi, kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup daerah kembali banyak mengalami perombakan. Untuk daerah kabupaten/kota, mengingat kewenangan lingkungan hidup merupakan kewenangan wajib, maka dalam perkembangan terakhir ini kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota kebanyakan berbentuk dinas. Namun karena adanya pembatasan jumlah dinas kabupaten/kota sesuai PP No. 08 Tahun 2003, maka kebanyakan pemerintah kabupaten/kota menggabungkan lembaga pengelolaan lingkungan hidup dengan beberapa lembaga pemerintah daerah lainnya menjadi satu dinas. Sebagai contoh, beberapa daerah kabupaten/ kota di Provinsi Sulawesi Tenggara misalnya Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan membentuk Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kabupaten Kolaka Utara membentuk Dinas Kesehatan dan Lingkungan Hidup, Kabupaten Wakatobi membentuk Dinas Pertanian, Perikanan, Kelautan, dan Lingkungan Hidup, dan lain-lain. 

Bila disimak dari segi kebutuhan daerah serta urgensi pelaksanaan kewenangan sesuai amanah peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup daerah sangat penting untuk tetap dipertahankan. Apa pun bentuknya, lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah memilki peran yang penting dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup di daerah, serta pelaksanaan tugas-tugas dekosentrasi dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Strategi Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup
Lemahnya kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup daerah selama ini karena lembaga ini merupakan salah satu institusi yang hanya bersifat koordinasi dan tidak integratif, karena kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dalam hal penataan ruang, konservasi sumberdaya alam dan pengendalian dampak lingkungan ada pada banyak dinas/badan, sementara lembaga pengelolaan lingkungan hidup tidak punya kewenangan penuh dalam perencanaan dan pengendalian dalam bidang pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam hal penataan ruang yang merupakan instrumen pengelolaan lingkungan, dimanaproses perubahan lingkungan pada dasarnya diawali dari proses penataan ruang.

Karena itu sangat ideal dan rasional jika penataan ruang merupakan kewenangan yang menyatu utuh dengan pengelolaan lingkungan yang meliputi implementasi dan pengendalian ruang.

Dengan demikian, maka tugas pokok dan fungsi kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup ke depan semestinya merupakan satu kesatuan (terintegrasi) yang mencakup :
  1. Penataan ruang
  2. Konservasi sumberdaya alam 
  3. Pengendalian dampak lingkungan
  4. Penelitian dan pengembangan sumberdaya alam dan lingkungan hidup
Untuk menjadikan lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah sebagai lembaga yang memiliki kompetensi dalam pengendalian dampak lingkungan, maka lembaga ini harus ditunjang dengan kemampuan kelembagaan yang mencakup 
  1. Pembiayaan, harus ada ketetapan/kebijakan menyangkut proporsi (prosentase)besarnya anggaran lingkungan hidup dari total APBD/APBN.
  2. Personalia, harus ada penetapan kualifikasi pendidikan tertentu sebagai prasyarat menjadi staf lembaga pengelolaan lingkungan hidup.
  3. Peralatan (sarana/prasarana), harus ada peralatan standar yang harus dimiliki oleh lembaga pengelolaan lingkungan hidup. 
Sebagai organisasi publik, maka indikator kinerja lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah harus di ukur dengan :
  1. Efesiensi
  2. Efektivitas
  3. Produktivitas
  4. Kualitas Layanan (quality of service)
  5. Responsivitas
  6. Responsibilitas
  7. Akuntabilitas
Guna memenuhi maksud tersebut di atas, maka kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup daerah yang ada saat ini perlu untuk segera mereformasi diri, yang menyangkut :
  1. Reformasi sistim, prosedur dan mekanisme.
  2. Reformasi kelembagaan.
  3. Reformasi sumberdaya manusia
Sistem rekrutment jabatan harus berdasarkan latar belakang pengalaman dan pendidikan di samping soal kepangkatan. Hal tersebut perlu mendapat perhatian untuk menjawab tugas dan tantangan yang harus di respons oleh lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah saat ini, yaitu :
  1. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah belum baik;
  2. Instansi mitra belum terlalu respek dan kooperatif terhadap lembagapengelolaan lingkungan hidup daerah; 
  3. Karyawan belum bangga terhadap keberadaan lembaga pengelolaan lingkungan 

Permata Tasawuf Muhammadiyah, Meneladani Spiritual Leadership AR. Fakhruddin

Permata Tasawuf Muhammadiyah, Meneladani Spiritual Leadership AR. Fakhruddin 
Muhammadiyah sebagai organisasi dan gerakan sosial keagamaan didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) pada awal abad kedua puluh, tepatnya pada 8 Dzulhijjah 1330 H, bersesuaian dengan tanggal 18 Nopember 1912. Pendirian organisasi ini, antara lain, dipengaruhi oleh gerakan tajdîd (reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) di Arab Saudi, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyîd Ridhâ (1865-1935) di Mesir, dan lain-lain. Masing-masing tokoh tersebut memiliki corak pemikiran yang khas, berbeda satu dengan yang lain. Jika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb menekankan pemurnian akidah, sehingga gerakannya lebih bersifat puritan (purifikasi), maka Muhammad ‘Abduh lebih menekankan pemanfaatan budaya modern dan menempuh jalur pendidikan, dan karena itu, gerakannya lebih bersifat modernis dan populis. Sementara itu, Rasyîd Ridhâ menekankan pentingnya keterikatan pada teks-teks al-Qurân dalam kerangka pemahaman Islam, yang dikenal dengan al-Rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah (kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah). Oleh karena itu, gerakannya lebih bersifat skriptualis (tekstual), yang kelak menjadi akar fundamentalisme (al-ushûliyyah) di Timur Tengah (Syafiq A. Mughni, 1998). Dari telaah biografi KH. Ahmad Dahlan, terlihat bahwa betapa pendiri Muhammadiyah itu sangat terkesan dan sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran tokoh di atas yang kemudian dipadukan dan dikontekstualisasikan dengan setting sosial dan budaya Jawa, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ketika itu, masyarakat Indonesia berada dalam kondisi terjajah, terbelakang, mundur, miskin, dan keberagamaan sebagian mereka cenderung mengidap penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat).

Sebagai gerakan tajdîd (pembaruan), dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam, Muhammadiyah memang mengembangkan semangat tajdîd dan ijtihâd (mendayagunakan nalar rasional dalam memecahkan dan mengambil kesimpulan berbagai masalah hukum dan lainnya yang tidak ada dalilnya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-sunnah), serta menjauhi sikap taklid (mengikuti ajaran agama secara membabi buta, tanpa disertai pemahaman yang memadai terhadap dalil-dalilnya), sehingga di samping dikenal sebagai gerakan sosial keagamaan juga dikenal sebagai gerakan tajdîd.

Istilah tajdîd pada dasarnya bermakna pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan sebagainya. Dalam konteks ini, menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif mantan Ketua PP Muhammadiyah, tajdîd mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar al-Qur’ân dan al-Sunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996). Pencerahan hati, pikiran, dan tindakan dalam berislam sungguh sangat penting digelorakan dewasa ini, mengingat penetrasi dan akulturasi budaya Barat yang sekuler dan rendahnya kualitas sebagian besar umat Islam masih menghantui kehidupan umat Islam Indonesia.

Tajdîd secara harfiah memang mempunyai arti pembaruan. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd, dituntut untuk selalu mampu membuat langkah-langkah yang ditempuhnya tetap segar, kreatif, inovatif dan responsif mengikuti perkembangan zaman. Dengan kata lain, Muhammadiyah diharapkan dapat selalu berdiri di hadapan sejarah, dalam arti selalu berada di tengah-tengah perkembangan masyarakat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah mampu melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual. Al-Qurân dan al-Sunnah tidak akan pernah ketinggalan zaman, jika umat Islam selalu berusaha menangkap dan meresponi pesan-pesan kedua sumber Islam itu, kemudian mengontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat secara antisipatif. Muhammadiyah, memang harus terus menerus melakukan pembaruan. Harus selalu ada reorientasi, reevaluasi, revisi dan regenerasi terhadap apa yang sudah dan sedang dikerjakan demikian Amien Rais, sang lokomotif reformasi Indonesia. Di samping itu, Muhammadiyah tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian dan prestasinya selama ini, terutama di bidang pendidikan dan amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan dekadensi (M. Amien Rais, 1995).

Sementara itu, ketika bicara tentang tajdîd masa kini, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan yang saling berkaitan dan harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tersebut adalah: tanzhîf al-aqîdah (purifikasi akidah), tajdîd al-nizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr al-kawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd etos Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan (Amien Rais, 1995). Kelima spektrum tajdîd memang sangat relevan dengan tuntutan masa kini; mengingat dewasa ini fenomena jahiliyah modern juga bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan-ramalan yang bernuansa klenik dan tahayul, dekadensi moral, pornografi dan pornoaksi, premanisme, terorisme, trafficking (perdagangan manusia) terutama anak-anak dan perempuan, dan sebagainya. Semua persoalan tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi dengan menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi dan intelektualisasi dalam skala yang lebih besar dan merata ke seluruh penjuru tanah air.

Wilayah ijtihâd dan tajdîd Muhammadiyah sejak awal sebenarnya selalu terfokus pada persoalan historisitas kemanusiaan yang sekaligus juga menyentuh persoalan kebangsaan dan keumatan. Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan persoalan keumatan yang kongkrit dan otentik. Sikap dan aksi nyata seperti itulah yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah pada awal berdirinya dan terus berlangsung hingga kini. Karena etos amal kemanusiaan dan keagamaan ini perlu mendapat ruang dan respons yang lebih luas dari warga Muhammadiyah dan lainnya.

Bagi KH Ahmad Dahlan yang aktivis Budi Utomo itu, setiap warga harus membangun di dalam dirinya etos kehidupan dan etos sosial sebagai seorang guru dan murid sekaligus. Etos guru-murid adalah inti kekuatan ijtihâd dan juga inti kekuatan gerakan sosial KHA. Dahlan dalam usahanya mencairkan kebekuan ritual, sehingga mempunyai fungsi pragmatis sebagai pemecahan problem sosial bagi pencarian feodalisasi keagamaan dan pendidikan yang cenderung maskulin (kelelakian). Seluruh warga, laki-laki dan perempuan, digerakkan untuk bekerja sebagai guru sekaligus murid di dalam banyak bidang sosial dan kegamaan. Kasus penafsiran surat al-Mâ’ûn sebagai dasar kelahiran lembaga panti asuhan mencerminkan ide dasar metodologi pragmatis etos guru-murid dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an (Abdul Munir Mulkhan, 2003).

Nafas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd, sesungguhnya terletak dalam pergumulannya dengan persoalan historisitas keberagamaan manusia. Untuk membangkitkan dan menyegarkan kembali gerakan pembaruan pemikiran keagamaan Muhammadiyah dalam konteks pembangunan umat, tidak lain dan tidak bukan adalah dengan cara mencermati kembali makna normativitas teks-teks (nash-nash) al-Qurân dan al-Sunnah secara lebih kontekstual, dengan cara mengkaitkan dan mempertautkannya secara langsung atau kontekstualisasi dengan persoalan-persoalan sosial-historis keberagamaan Islam kontemporer secara aktual (M. Amin Abdullah, dalam “Muhammadiyah dan Pemikiran Keagamaan”).

Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif (pemurnian akidah-ibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah telah menyumbangkan sesuatu yang paling mendasar, yakni sikap kritisnya terhadap status quo pemikiran keislaman saat kelahirannya maupun dalam perjalanan kehidupan bangsa. Selain itu, keunikan corak pembaruan yang dibawa Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yang menekankan kesalehan sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, masjid serta sarana dakwah lainnya. 

Dalam konteks purifikasi, al-Qurân dan al-Sunnah al-shahîhah (yang valid) secara tekstual normatif merupakan paradigma utama dalam komitmen aqidah maupun pelaksanaan ibadah mahdhah. Dari paradigma tekstual normatif ini melahirkan doktrin segala sesuatu diyakini dan dilaksanakan bila ada perintah (al-Qurân dan al-Sunnah). Sedangkan dalam konteks rasionalisasi, al-Qurân dan al-Sunnah al-shahîhah juga tetap menjadi rujukan pokok, namun dalam keyakinan dan pengamalan bidang muamalah duniawiyah ini berlaku kaidah ushul: al-ashl fi al-asyyâ’ al-ibâhah (semua urusan muamalah duniawiyah boleh dikerjakan) selama tidak ada larangan atau tidak bertentangan dengan al-Qurân dan al-Sunnah.

Sebagai sebuah gerakan (harakah), tentu banyak faktor yang melatarbelakangi kelahirannya. Berbagai pakar dan penulis mengemukakan teori dan alasan untuk menunjang teori mereka. Setiap temuan, masing-masing telah diperkaya dan diperkuat oleh berbagai faktor yang mereka yakini kebenarannya. Di antara nama tersebut misalnya A. Mukti Ali (The Muhammadiyah Movement, 1985), mantan Menteri Agama, yang menyebutkan paling tidak ada empat faktor yang mendorong lahirnya Muhammadiyah, yaitu kehidupan beragama yang tidak murni, pendidikan agama yang tidak efisien, kegiatan para misionaris Kristen, dan sikap masa bodoh dan bahkan anti agama dari kalangan intelegensia (Mukti Ali, 1985).

Sementara itu, Alwi Shihab dalam bukunya, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Alwi Shihab, 1998), lebih menekankan faktor penetrasi Kristen yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah, di samping sejumlah faktor lain yang sangat kompleks, dan faktor terpentingnya masih tetap diperdebatkan. Dalam perdebatan tersebut menurut Alwi, muncul dua pandangan utama yang pada umumnya diterima. Pandangan pertama, mengatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaruan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke-20. Pandangan kedua, menekankan kenyataan bahwa Muhammadiyah muncul sebagai respons terhadap pertentangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat Jawa. Meskipun kedua faktor di atas memainkan peran sangat penting, namun terdapat faktor lain yang sama pentingnya yang terabaikan dari pertimbangan analitis para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negeri ini serta pengaruh besar yang ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana Indonesia faktor ini dipandang tidak penting, namun harus diakui bahwa faktor ini merupakan yang terpenting dari semua faktor yang telah mendorong KHA. Dahlan mendirikan organisasi ini pada tahun 1912.

Dari pendapat yang dikemukakan baik oleh Mukti Ali maupun Alwi Shihab tampaknya, faktor yang paling dominan yang menyebabkan Muhammadiyah lahir adalah faktor kehidupan beragama yang tidak murni, pendidikan agama yang tidak efisien, dan kegiatan para misionaris Kristen yang melakukan kristenisasi terhadap kalangan Muslim tertentu, seperti: kaum fakir-miskin dan kalangan Islam abangan. Kelompok inilah yang mudah menjadi sasaran garap kaum missionaris, karena mereka adalah kaum yang lemah secara ekonomi maupun secara akidah.

Sementara itu, menyoroti tentang persyarikatan Muhammadiyah ini, berbagai pandangan dan pendapat telah dilontarkan kepada organisasi ini, baik dari kalangan luar maupun dari kalangan dalam. Kritik internal yang diarahkan kepada persyarikatan akhir-akhir ini misalnya, ia terkesan kering dan tidak lagi sevokal dan seagresif dahulu dalam menyerukan ide-ide pembaruan pemahaman keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan realitas historis masyarakat Muslim yang hidup di tengah-tengah era modernitas. Kritik ini tentu saja bersifat membangun (konstruktif). Para aktivis dan penerus gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah ini dikesankan “terjebak” dalam rutinitas menjalankan perputaran roda organisasi keagamaan. Jika kritik ini benar, memang agak ironis: mengapa organisasi yang dahulunya bebas dan leluasa bergerak, akhirnya harus terjebak dalam liku-liku (mekanisme) birokrasi organisasi yang diciptakannya sendiri untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh persyarikatan. Kritik ini tentu harus diresponi secara positif agar organisasi ini tidak mau dikatakan mandeg (stagnan). Elan vital pembaruan (tajdîd) harus tetap menjadi “watak dasar” Muhammadiyah.

Sebagai sebuah organisasi pembaruan keagamaan, Muhammadiyah memang berpandangan bahwa kunci kemajuan dan kemakmuran kaum Muslimin adalah perbaikan pendidikan. Oleh karena itulah, sesungguhnya sejak dulu nama organisasi ini diambil dari nama sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan satu tahun sebelum didirikannya Muhammadiyah (Alwi Shihab, 1998).

Gerakan Muhammadiyah juga sejak awal dikenal luas sebagai gerakan sosial keagamaan yang didirikan untuk mengadaptasikan Islam dengan situasi modern Indonesia, karena gerakan ini menegaskan diri sebagai gerakan pembaruan yang peduli dan konsen (care and concern) terhadap kemajuan Islam dan umat Islam, dan menyebabkan kebangkitan kembali kaum Muslimin di Indonesia.

Pengamat lain menegaskan bahwa organisasi ini merupakan sebuah gerakan dakwah dengan lingkup kegiatan yang mencakup semua aspek kehidupan sosial: agama, pendidikan, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Barangkali lebih pantaslah kalau Muhammadiyah ini dikatakan, sebagaimana pendapat Alwi Shihab, bahwa gerakan Muhammadiyah masuk ke dalam kombinasi berbagai penamaan dan penyifatan, sejalan dengan sasaran dan tujuannya yang beragam, yang telah mengalami banyak perubahan dalam upayanya untuk terus memberikan respons terhadap kebutuhan zaman. Organisasi ini tidak membatasi diri kepada dakwah semata dalam pengertian yang sempit, tetapi mengambil peran dalam semua aspek perkembangan masyarakat, bergantung kepada atmosfir yang sedang berlangsung (Alwi Shihab, 1998). Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia menyatakan bahwa Muhammadiyah paling tidak memiliki peran dalam tiga dataran: “sebagai gerakan pembaruan, sebagai agen perubahan sosial, dan sebagai kekuatan politik (Kahin, h.87-88). Ketiga atribut yang disematkan kepada Muhammadiyah tersebut memang merupakan keniscayaan. Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah berupaya menghadirkan pemikiran-pemikiran inovatif dan kritis terhadap status quo, sehingga eksistensinya juga sekaligus membawa transformasi sosial, terutama melalui modernisasi sistem pendidikan Islam. Seiring dengan kekuatan yang semakin diperhitungkan, terutama di kalangan menengah perkotaan, keberadaan Muhammadiyah juga patut diperhitungkan secara politik, meskipun khiththah (garis dan orientasi perjuangan) organisasi ini tidak berpolitik praktis.

Sebagai pelopor gerakan pembaruan pemikiran Islam yang lebih mengutamakan aspek rasional dalam beragama (meskipun akhir-akhir ini tidak sevokal dan seagresif dahulu) dan menekankan pentingnya peranan akal serta pendidikan akal, ternyata dalam praktik pemimpin dan anggotanya banyak yang mencerminkan dan menekankan pentingnya kehidupan spiritual yang sangat dekat dengan wilayah tasawuf. Keharusan hidup untuk mensucikan jiwa (akhlaq) yang bersumber dari ajaran agama dan berkehendak menaati seluruh perintah Allah berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Saw. serta “menyifatkan dirinya dengan sifat-sifat Allah”, merupakan ciri dan perilaku kehidupan tasawuf. Meskipun perilaku seperti itu pada zaman Rasul tidak disebut tasawuf, karena istilah atau laqab (julukan) Sufi pada saat itu belum ada. Istilah ini baru muncul pada akhir abad dua atau awal abad tiga hijriyah (Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980). Ibn Taimiyah (661-728 H) menyatakan bahwa ahli agama, ahli ilmu dan ahli ibadah pada saat itu disebut kaum Salaf, yang kemudian disebut dengan “Shufiyah wa al-Fuqarâ” (Ibn. Taimiyah dan Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980).

Perilaku dan kehidupan spiritual sejumlah pemimpin Muhammadiyah, dilakukan seiring dengan pelaksanaan pemberantasan bid’ah, syirik dan khurafat serta desakralisasi praktik beragama, seperti praktik beragama (baca: bertasawuf) model Ibn Taimiyah. Orang-orang yang masuk ke dalam kategori ini (sufi) adalah mereka yang sungguh-sungguh mentaati Allah. Di antara mereka ada yang lebih utama karena kesungguhannya dalam ketaatannya pada Allah dan adapula yang masih dalam tahap penyempurnaan, mereka disebut dengan Ahl al-Yamîn (Ibn Taimiyah, 1986). Sementara itu, Imam al-Ghazzâlî (1058-1111 M) memberikan makna tasawuf dengan: “Ketulusan kepada Allah dan pergaulan yang baik kepada sesama manusia”. Setiap orang yang tulus kepada Allah dan membaguskan pergaulan dengan sesama manusia menurut al-Ghazzâlî disebut sufi (Al-Ghazzali, 1988). Sedangkan ketulusan kepada Allah Swt. berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan diri sendiri (hawa al-nafs) untuk melaksanakan perintah Allah dengan sepenuh hati. Sementara pergaulan yang baik dengan sesama manusia tidaklah mengutamakan kepentingannya di atas kepentingan orang lain, selama kepentingan mereka itu sesuai dengan syari’at. Sebab, setiap orang yang rela terhadap penyimpangan syari’at atau dia mengingkarinya, menurut al-Ghazzâlî, dia bukanlah sufi. Jadi, sufi adalah orang yang menempuh jalan hidup dengan menjalankan syariat secara benar dan sekaligus mengambil spiritualitas (hakikat) dari ajaran syariat dalam bentuk penyucian dan pendekatan diri secara terus-menerus kepada Allah Swt. Perilaku ketaatan terhadap syariat itu kemudian diwujudkan dalam perilaku yang penuh moralitas (akhlak mulia) dalam kehidupan sehari-hari (tasawuf akhlaqi).

Apabila pengertian tasawuf mengacu pada pencanderaan seperti yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah maupun al-Ghazzâlî seperti yang disebutkan di atas, maka di dalam Muhammadiyahpun akan muncul wajah-wajah tasawuf, yakni mereka yang ketaatan serta kehidupan spiritualitasnya cukup intens. Tidaklah mengherankan bila disimak dengan seksama penuturan salah seorang murid K.H.A. Dahlan, yaitu K.R.H. Hadjid, bahwa di antara referensi pendiri Muhammadiyah adalah kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyah, Ibn al-Qayyim, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Muhammad ‘Abduh dan termasuk juga karya al-Ghazzâlî. Kitab-kitab tasawuf seperti Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Bidâyah al-Hidâyah, Kimiyah al-Sa’âdah, Kitab al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn dan sebagainya menjadi bacaan KHA. Dahlan (Kiyai Hadjid, 1968), sehingga keakraban kehidupan spiritual yang dekat dengan wilayah tasawuf juga mewarnai kepribadian pendiri gerakan pembaruan dalam Islam ini. Bahkan beberapa penerusnya seperti Ki Bagus Hadikusumo, cukup intens dalam kehidupan wilayah ini (baca: bertasawuf). Dia menekankan pentingnya akhlak luhur dan kesederhanaan dalam hidup. Ia prihatin terhadap krisis akhlak yang melanda umat. Banyak orang mengaku Muslim (KTP-nya Islam), tetapi perilakunya tidak Islami. Terhadap krisis ini, Ki Bagus menulis tentang akhlak dalam bukunya “Pustaka Ihsan“ yang mengemukakan tentang istiqâmah, tawakkul, muhâsabah, ‘adl, shidq, tawâdhu’, ikhlâs, amânah, shabr serta qanâ’ah (Farid Ma’ruf, 1990).

Sementara itu, figur A.R. Fakhruddin juga pantas masuk dalam kategori sebagai sosok sufi dalam Muhammadiyah. Karena menurut hemat penulis, ia dapat mewakili wajah kehidupan spiritual dalam Muhammadiyah, karena beberapa alasan. Pertama, praktek hidup pribadi A.R. Fakhruddin mencerminkan perilaku kehidupan spiritual yang sangat dekat dengan wilayah tasawuf. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam kehidupannya sehari-hari, baik ketika bertugas, di lingkungan rumah tangganya, di masyarakat maupun di kalangan organisasi Muhammadiyah yang dipimpinnya, ia senantiasa mencerminkan pribadi mutasawwif dan watak tasawuf yang akhlaqi, mementingkan pembinaan dan pengamalan perilaku yang menunjukkan akhlak mulia.

Kehidupannya mencerminkan hidup dan kehidupan yang sederhana, asketik dan tidak ngoyo (zâhid). Ia senantiasa menekankan pada perilaku akhlak terpuji. Dalam salah satu ceramah A.R. Fakhruddin, Nakamura pernah mengutip inti ceramahnya sebagai berikut (Mitsuo Nakamura, 1983) :

“Bahwa kita dapat berdoa lima kali sehari dengan teratur, namun jika akhlak kita tetap buruk, tetap rakus, kikir, tidak mau memperhatikan yang miskin dan susah, maka do’a kita tidak akan diterima oleh Allah, tidak akan masuk surga, namun bahkan masuk neraka. Kita dapat menyelesaikan puasa, namun jika kita tetap membicarakan keburukan orang lain, berdusta, menipu, sombong, maka puasa kita tidak berguna dan tidak diakui oleh Allah, marilah kita berdo’a, berpuasa, berhaji, membayar zakat, dan di atas segalanya ini, marilah kita memperbaiki akhlak kita”. 

Selanjutnya A.R. Fakhruddin menambahkan:
“Bahwa jalan yang paling pasti untuk membentuk akhlak yang mulia adalah melakukan ibadat, dengan kesadaran penuh kepada Tauhid. Jalan yang harus dilalui dengan kesadaran adalah hasrat seseorang untuk menjadi ikhlas. Ikhlas menunjuk kepada orientasi mental yang sepenuhnya tidak terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi, kosong, bersih, dan kekosongan inilah yang harus diisi dengan Allah sepenuhnya diisi dengan kebaktian kepada Allah, tidak pada yang lain. Bahwa shalat-shalat sunnah, termasuk witir, shalat dhuha dan yang sejenisnya sangatlah dianjurkan. Dan bahwa dzikir, wirid, bukanlah monopoli tarekat, dan boleh diperaktikkan bilamana hal tersebut dapat membantu meningkatkan kesalehan seseorang serta ikhlas dalam beribadah maupun dalam bermu’amalah”.

Dalam tindakan dan perbuatannya, A.R. Fakhruddin dapat dicandera lebih mencerminkan pribadi “amal”, figur yang menekankan pada perbuatan nyata, aksis sosial kemanusiaan. Baginya yang penting adalah bagaimana Islam benar-benar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kepuasannya yang mendalam adalah bilamana umat Islam sungguh-sungguh dapat mencerminkan dirinya sebagai muslim yang baik, Muslim dalam keyakinan, dalam ucapan maupun dalam tindakannya. Di antara watak muslim “amal” ini agaknya lebih dekat kepada wilayah tasawuf, dibandingkan Muslim “intelektual” yang mungkin lebih dekat kepada wilayah kalam atau filsafat.

Kedua, karya-karya tulisnya, jelas memang diungkapkan dengan narasi yang berbeda dengan karya al-Ghazzâlî maupun Ibn Taimiyah, namun substansinya senafas dengan karya-karya tasawuf al-Ghazzâlî, misalnya tentang Adab-Adab dalam Beragama, tentang al-Qawâid al-‘Asyrah, Tindak Kepatuhan, Menghindar dari Dosa, baik dosa-dosa tubuh maupun dosa-dosa jiwa yang berhubungan dengan Allah Swt. dan manusia, tentang tauhid, iman, penyucian diri dari noda, dosa, maksiat, dan lain sebagainya.

Gaya penulisannya sederhana, namun menarik dan enak dibaca. Sepintas, karena kesederhanaannya, terkesan seolah-olah kurang dilandasi teori-teori yang dapat mencerminkan sebagai tokoh pergerakan modernisme dalam Islam. Padahal, justru di situlah letak kekuatannya. Sebab, apa yang dikemukakan dan ditulisnya merupakan manifestasi dari kedalaman dan pengamalan Islam yang diyakininya serta bertolak dari kejujuran dan ketulusan pribadinya, pengalaman keseharian dan problem-problem aktual keagamaan dan kemasyarakatan yang ditemuinya. Dengan karya-karyanya dalam bentuk tadzkirah (peringatan/pelajaran moral) dan anekdotis, di sana dapat dibaca bahwa sifat-sifat dan pribadinya sendiri adalah karya-karya tulisnya itu.

Ketiga, A.R. Fakhruddin adalah pimpinan puncak di Muhammadiyah (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah) terlama sepanjang sejarah perkembangannya, yaitu selama 22 tahun (1968–1990), sementara pendiri Muhammadiyah sendiri yakni K.H.A. Dahlan memimpin Muhammadiyah selama 11 tahun (1912–1923). Bahkan sebelum dipilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah, cukup lama A.R. Fakhruddin menjadi pimpinan di daerah dan tingkat wilayah, dan selama 30 tahun diberi tugas oleh pengurus besar Muhammadiyah untuk menggerakkan dakwah di pelosok Sumatera Bagian Selatan. Dengan demikian, A.R. Fakhruddin memiliki kesempatan yang cukup untuk memberi corak kehidupan yang bernuansa tasawuf dalam kepemimpinan dan kehidupan gerakan Muhammadiyah. Selama periode tersebut, melalui kepemimpinannya di tingkat nasional, berbagai kegiatan dan pertemuan, baik di tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang maupun di tingkat ranting dapat dilakukan secara intensif dan cukup padat. Bahkan ia seringkali mengisi halaqah-halaqah (pengajian-pengajian dalam forum-forum terbatas) di lingkungan keluarga besar Muhammadiyah, seperti jamaah wanita, ‘Aisyiyah, Nasyi’atul 'Aisyiyah, remaja, kaum terpelajar, guru-guru dan dalam berbagai komunitas lainnya.

A.R. Fakhruddin adalah simbol dan lambang kepemimpinan Muhammadiyah, menjadi tipe pengembangan kepribadian Muhammadiyah dan tokoh sentral yang lengser dari puncak piramida persyarikatan secara ikhlas dan legowo. Ia telah bertiwikrama menjadi trade mark organisasi Islam yang paling rapih di Indonesia. Semua itu, secara langsung ataupun tidak, dapat memberi pengaruh dalam kehidupan persyarikatan. Didukung pula oleh hampir semua karya tulisnya yang lebih banyak ditujukan kepada pembaca keluarga persyarikatan, seperti: Pedoman Muballigh Muhammadiyah, Pedoman Anggota Muhammadiyah, Muhammadiyah Abad ke XV H, Kepribadian Muhammadiyah, Pemimpin Muhammadiyah dan beberapa karya lain dalam bentuk tanya jawab, artikel di majalah Suara Muhammadiyah dan Suara Aisyiyah, serta makalah-makalah yang disampaikan pada halaqah-halaqah, penataran, seminar baik untuk anggota, pengurus, maupun kader-kader Muhammadiyah, seluruhnya cukup efektif dalam kurun yang demikian relatif panjang dalam memberikan sentuhan tasawuf dari pancaran pribadinya dalam jiwa dan amalan anggota Muhammadiyah.

Tema-tema majelis halaqah, tabligh, pengajian, kuliah, khotbah, ataupun tulisan-tulisan yang tersebar dalam brosur dan majalah-majalah intern persyarikatan Muhammadiyah, memang tidak mengangkat tema yang secara eksplisit tentang tasawuf, seperti tokoh lain dalam Muhammadiyah, yaitu Buya HAMKA, namun sarat dengan pelajaran akhlaq yang dekat dengan wilayah tasawuf, yaitu tasawuf akhlaqi. Sementara karya-karya HAMKA di bidang Tasawuf, lebih bersifat universal dan ditujukan untuk khalayak pembaca yang beragam. Karya-karyanya antara lain : Tasawuf Modern; Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Renungan Tasawuf, Lembaga Budi dan Falsafah Budi.

Tanpa menyebut kata tasawuf sebenarnya ia telah mempraktekkan dan menyebarkan ajaran akhlak tasawuf secara inklusif. Waktu yang dimiliki selama menjadi tokoh puncak Muhammadiyah, memberi peluang yang cukup luas untuk mensosialisasikan pikiran/ renungan dan seruan-seruannya baik dalam perilaku organisasi maupun praktik pribadi dalam mengamalkan ajaran Islam yang bernuansa tasawuf. Jiwa dan pribadinya merentang cermin pribadi “sufi” dalam hal taubat, taqwâ, wara, zuhd, rajâ, khauf, khusyu’, tawâdhu’, qanâ’ah, tawakkul, syukr, shabr, ridhâ, istiqâmah, ikhlâs, dan beberapa tahapan lain penempuh jalan sufi seperti pencanderaan Imam al-Qusyairî al-Naisaburî di dalam Risâlah al-Qusyairiyah (Al-Qusyairi, t.t).

Menurut hemat penulis, kehidupan spiritual A.R. Fakhruddin dapat digolongkan dalam pribadi yang hidup berdasarkan pencerahan dan memiliki karakter tasawuf (tasawuf akhlaqi), serta menjadi salah satu tokoh puncak dan panutan di dalam komunitas persyarikatan Muhammadiyah yang menghayati dan “berjiwa sufi”. Namun, asumsi sementara di atas perlu dibuktikan, apakah benar kehidupan spiritual AR. Fakhruddin itu memang memiliki karakter tasawuf yang dekat dengan dunia Sufi. Lalu, cukup tepatkah pernyataan ini ditujukan kepada AR. Fakhruddin. Bukankah karya-karya tulisnya juga tidak spesifik menulis tentang tasawuf, meskipun sarat dengan dimensi dan pelajaran akhlak.

Dalam berislam dan bermuhammadiyah, memang sangat diperlukan adanya rujukan moral dan keteladanan spiritual yang dapat membina jati diri muslim melalui akhlak tasawuf, karena kita berkeyakinan bahwa kehidupan yang Islami dapat terwujud lewat perilaku dan kehidupan spiritual yang luhur, mulia, dan sarat dengan amal shalih. Ke depan, menurut penulis, Muhammadiyah dan bangsa ini memerlukan figur pemimpin yang dapat diteladani integritas pribadi, kedalaman spiritualitas, dan kecanggihan berpikirnya. Spiritual leadership meminjam istilah Tobroni barangkali merupakan salah satu warisan kepemimpinan AR. Fakhruddin dalam menahkodai dan membesarkan Muhammadiyah. Dengan gaya dan model kepemimpinan spiritual dan sufistik inilah, jati diri Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dapat menyentuh berbagai lapisan masyarakat. AR. Fakhruddin tidak hanya memimpin dan berdakwah, tetapi juga mendidik dan mencerdaskan umat dengan kecerdasan emosi, kedalaman spiritualitas (the corporate mystics), dan keluhuran moralnya yang tercermin dalam kepemimpinan spiritual dimaksud (Tobroni, 2005). Umat dan bangsa dewasa ini memang sangat memerlukan figur-figur pemimpin yang dapat diteladani dari segi pemihakannya terhadap kejujuran, kebenaran, dan integritas moralnya.

Akhirnya, sebagai refleksi bersama: bukankah yang kelak dinilai Allah Swt. di akhirat adalah amal bakti, prestasi kinerja nyata kita? Muslim yang baik adalah Muslim yang selalu bersikap rendah hati untuk mau belajar dan membelajarkan diri sendiri menuju kualitas hidup yang lebih baik. Mudah-mudahan, pembaca dan kita semua dapat belajar “Islam amalî” dan “amal Islami” serta mengambil pelajaran moral dan spiritual dari tokoh-tokoh puncak pimpinan Muhammadiyah khususnya tokoh kita yang satu ini, K.H. AR. Fakhuruddin (Allah yarham).

Beberapa Saran Topik Kajian ‘Filsafat Indonesia’

Beberapa Saran Topik Kajian ‘Filsafat Indonesia’ 
Kajian Filsafat Indonesia masih baru, dan karenanya, masih sangat luas. Setiap pengkaji Filsafat Indonesia tidak akan kehabisan bahan kajian, karena Filsafat Indonesia adalah ‘tanah air filsafat’ yang baru. Setiap orang dapat menjadi ‘anggota’ dan ‘warganegara’ di dalamnya dan setiap orang akan mendapat ‘lahan kajian’ yang berhektar-hektar luasnya. Di bawah ini hanyalah ‘sedikit hektar lahan kajian’ yang dapat dijadikan pertimbangan dalam memilih judul kajian dalam penulisan ilmiah (seperti makalah, paper, proceedings, tesis, atau disertasi) terhadap fenomena filsafat yang disebut Filsafat Indonesia itu.

Filsafat Etnik
1. Metafisika dalam Budaya Jawa
2. Metafisika dalam Budaya Sunda
3. Metafisika dalam Budaya Bugis
4. Metafisika dalam Budaya Bali
5. Metafisika dalam Budaya Batak
6. Metafisika dalam Budaya Riau
7. Metafisika dalam Budaya Lombok
8. Metafisika dalam Budaya Kalimantan
9. Metafisika dalam Budaya Sulawesi
10. Metafisika dalam Budaya Papua
11. Etika dalam Budaya Sunda
12. Etika dalam Budaya Batak
13. Etika dalam Budaya Bugis
14. Etika dalam Budaya Kalimantan
15. Etika dalam Budaya Papua
16. Teori Pengetahuan dalam Budaya Jawa
17. Teori Pengetahuan dalam Budaya Bali
18. Teori Pengetahuan dalam Budaya Lombok
19. Teori Pengetahuan dalam Budaya Sunda
20. Teori Pengetahuan dalam Budaya Papua
21. Teori Pengetahuan dalam Budaya Riau
22. Teori Pengetahuan dalam Budaya Bugis
23. Teori Pengetahuan dalam Budaya Kalimantan
24. Teori Pengetahuan dalam Budaya Batak
25. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Jawa
26. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Bali
27. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Batak
28. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Bugis
29. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Kalimantan
30. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Papua
31. Konsep Manusia dalam Budaya Jawa
32. Konsep Manusia dalam Budaya Bali
33. Konsep Manusia dalam Budaya Batak
34. Konsep Manusia dalam Budaya Bugis
35. Konsep Manusia dalam Budaya Riau
36. Konsep Manusia dalam Budaya Papua
37. Kosmologi dalam Budaya Jawa
38. Kosmologi dalam Budaya Sunda
39. Kosmologi dalam Budaya Bali
40. Kosmologi dalam Budaya Bugis
41. Kosmologi dalam Budaya Lombok
42. Kosmologi dalam Budaya Sulawesi
43. Kosmologi dalam Budaya Papua
44. Konsep Tuhan dalam Budaya Jawa
45. Konsep Tuhan dalam Budaya Bali
46. Konsep Tuhan dalam Budaya Lombok
47. Konsep Tuhan dalam Budaya Lampung
48. Konsep Tuhan dalam Budaya Palembang
49. Konsep Tuhan dalam Budaya Aceh
50. Konsep Tuhan dalam Budaya Batak
51. Konsep Tuhan dalam Budaya Riau
52. Teleologi dalam Budaya Jawa
53. Teleologi dalam Budaya Bali
54. Teleologi dalam Budaya Batak
55. Teleologi dalam Budaya Bugis
56. Teleologi dalam Budaya Kalimantan
57. Teleologi dalam Budaya Papua
58. Fungsi Adat dalam Budaya Jawa
59. Fungsi Adat dalam Budaya Bali
60. Fungsi Adat dalam Budaya Batak
61. Fungsi Adat dalam Budaya Jambi
62. Fungsi Adat dalam Budaya Ambon
63. Fungsi Adat dalam Budaya Bugis
64. Fungsi Adat dalam Budaya Papua
65. Konsep Kematian dalam Budaya Jawa
66. Konsep Kematian dalam Budaya Sunda
67. Konsep Kematian dalam Budaya Batak
68. Konsep Kematian dalam Budaya Bugis
69. Konsep Kematian dalam Budaya Papua
70. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Jawa
71. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Sunda
72. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Bali
73. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Bugis
74. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Papua
75. Makna Perkawinan dalam Budaya Jawa
76. Makna Perkawinan dalam Budaya Sunda
77. Makna Perkawinan dalam Budaya Bali
78. Makna Perkawinan dalam Budaya Lombok
79. Makna Perkawinan dalam Budaya Papua
80. Konsep Dunia Gaib dalam Budaya Jawa
81. Konsep Dunia Gaib dalam Budaya Bali
82. Konsep Dunia Gaib dalam Budaya Sunda
83. Konsep Dunia Gaib dalam Budaya Batak
84. Konsep Dunia Gaib dalam Budaya Bugis
85. Konsep Waktu dalam Budaya Jawa
86. Konsep Waktu dalam Budaya Sunda
87. Konsep Waktu dalam Budaya Batak
88. Konsep Waktu dalam Budaya Bugis
89. Konsep Waktu dalam Budaya Papua
90. Konsep Kawan dan Lawan dalam Budaya Jawa
91. Konsep Kawan dan Lawan dalam Budaya Sunda
92. Konsep Kawan dan Lawan dalam Budaya Bali
93. Konsep Kawan dan Lawan dalam Budaya Bugis
94. Konsep Kawan dan Lawan dalam Budaya Papua
95. Teori Keberhasilan dalam Budaya Jawa
96. Teori Keberhasilan dalam Budaya Sunda
97. Teori Keberhasilan dalam Budaya Bali
98. Teori Kegagalan dalam Budaya Jambi
99. Teori Kegagalan dalam Budaya Lampung
100. Konsep Menghormati dalam Budaya Papua

Filsafat India-Indonesia
1. Metafisika dalam Kakawin Sutasoma
2. Metafisika dalam Negarakertagama
3. Metafisika dalam Sang Hyang Kamahayanikam
4. Teori Pengetahuan dalam Kakawin Sutasoma
5. Teori Pengetahuan dalam Negarakertagama
6. Teori Pengetahuan dalam Sang Hyang Kamahayanikam
7. Konsep Tuhan dalam Kakawin Sutasoma
8. Konsep Tuhan dalam Negarakertagama
9. Konsep Kekuasaan dalam Kakawin Sutasoma
10. Konsep Kekuasaan dalam Negarakertagama
11. ‘Agama Lain’ dalam Kakawin Sutasoma
12. ‘Agama Lain’ dalam Negarakertagama
13. Konsep Waktu dalam Kakawin Sutasoma
14. Konsep Waktu dalam Negarakertagama
15. Konsep Manusia dalam Kakawin Sutasoma
16. Konsep Manusia dalam Negarakertagama
17. Kosmologi dalam Kakawin Sutasoma
18. Kosmologi dalam Negarakertagama
19. Etika dalam Kakawin Sutasoma
20. Etika dalam Negarakertagama
21. Teori Sorga dalam Kakawin Sutasoma
22. Teori Sorga dalam Negarakertagama
23. Teori Politik dalam Kakawin Sutasoma
24. Teori Politik dalam Negarakertagama
25. Teori Kebahagiaan dalam Kakawin Sutasoma
26. Teori Kebahagiaan dalam Negarakertagama
27. Teori Keberhasilan dalam Kakawin Sutasoma 
28. Teori Kegagalan dalam Negarakertagama
29. Teleologi dalam Kakawin Sutasoma
30. Teleologi dalam Negarakertagama
31. Konsep Sejarah dalam Kakawin Sutasoma
32. Spiritualitas dalam Kakawin Sutasoma
33. Spiritualitas dalam Negarakertagama
34. Teori Kehidupan dalam Kakawin Sutasoma
35. Teori Kematian dalam Negarakertagama
36. Ajaran Karma dalam Kakawin Sutasoma
37. Konsep Makhluk Halus dalam Kakawin Sutasoma
38. Konsep Dewa-Dewi dalam Kakawin Sutasoma

Filsafat Cina
1. Sun Yat-Sen di Mata Tionghoa Indonesia
2. Maoisme Tionghoa Indonesia
3. Teori Politik Tionghoa Indonesia
4. Komunisme di Mata Tionghoa Indonesia
5. Konfusianisme Tionghoa Indonesia
6. Anti-konfusianisme Tionghoa Indonesia
7. Konsep Keberhasilan Tionghoa Indonesia
8. Konsep Kegagalan Tionghoa Indonesia
9. Konsep Hidup Tionghoa Indonesia
10. Konsep Manusia di mata Tionghoa Indonesia
11. Etika Tionghoa Indonesia
12. Metafisika Tionghoa Indonesia
13. Teori Pengetahuan orang Tionghoa Indonesia
14. Makna Perkawinan menurut Tionghoa Indonesia
15. Makna Kematian menurut Tionghoa Indonesia 

Filsafat Islam
1. Pemikiran Metafisika dalam Filsafat Hamzah Fansuri
2. Pemikiran Metafisika dalam Filsafat Ronggowarsito
3. Pemikiran Metafisika dalam Filsafat Ki Ageng Selo
4. Pemikiran Metafisika dalam Filsafat Suryomentaram
5. Pemikiran Metafisika dalam Puisi-Puisi Emha Ainun Najib & Soetardji Calzoum Bachri

Filsafat Barat
1. Demokrasi di Indonesia
2. Federalisme: Konsep dan Aplikasinya
3. HAM dan Akar Filosofisnya
4. Feminisme di Indonesia
5. Eksistensialisme dalam Puisi-Puisi Chairil Anwar

Filsafat Kristen
1. Ekaristi dan Filsafatnya
2. Transubstansiasi: Filsafat dan Sejarahnya
3. Hermeneutika Injili: Filsafat dan Aplikasinya

Filsafat Paska-Soeharto
1. Reformasi: Tujuan-Tujuan dan Aplikasinya
2. Filsafat Reformasi

Metode Pengkajian Filsafat Indonesia

Metode Pengkajian Filsafat Indonesia 
Metode itu ibarat ‘kacamata’ yang digunakan untuk memahami gejala atau realitas. Kegunaan metode dalam lapangan filsafat sungguh sangat besar. Filsafat adalah realitas yang terus bergerak abadi dan berseliweran di depan mata seorang filosof, karena sejarah (waktu dan ruang) terus berubah abadi. Hanya metodelah yang mampu membuat still photo dari realitas filsafat yang bergerak abadi itu.

Banyak sekali metode yang dapat digunakan untuk memahami gejala filsafat di Indonesia, mulai dari yang imported hingga yang dikembangkan sendiri di tanah-air. Di bawah ini hanya sekadar contoh dari beberapa metode pengkajian filsafat yang telah dilakukan oleh beberapa pengkaji Filsafat Indonesia.

Metode Survival Economy
Metode ini mengingatkan kita pada dikotomi superstructure-infrastructure dalam Marxisme. Marx pernah berpendapat bahwa produksi budaya (superstructure) mencakup agama, seni, dan filsafat berjalan bersamaan dengan jenis produksi ekonomis (infrastructure). Bahkan, infrastructurelah yang menentukan corak superstructure. Jika mode of production yang diterapkan ialah ‘feudalisme’, maka kebudayaan yang diproduksi bersamaan dengan itu ialah budaya feudalistik. Begitupula dengan mode of production kapitalisme, yang melahirkan budaya kapitalistik.

Metode sejenis ini dipakai oleh Jakob Sumardjo, baik dalam bukunya Mencari Sukma Indonesia dan Arkeologi Budaya Indonesia. Menurut Jakob, filsafat suatu masyarakat di Indonesia tergantung pada cara masyarakat itu bertahan hidup (survive); cara masyarakat itu memanfaatkan alam sekitarnya demi kelangsungan hidup komunalnya. Jika masyarakat itu dapat bertahan hidup dengan cara bersawah, maka filsafat yang diproduksi akan berhubungan dengan sawah (konsep kesuburan, konsep hari baik, konsep musim baik, konsep hidup sesuai alam, dll.). 

Berdasarkan jenis survival economy yang dianut suatu masyarakat, Jakob membagi Filsafat Indonesia ke dalam 4 jenis pola-pikir, yakni ‘pola-pikir masyarakat persawahan’, ‘pola-pikir masyarakat perladangan’, ‘pola-pikir masyarakat peramu-berburu’, dan ‘pola-pikir masyarakat pesisir-maritim’, dimana di antara 4 pola-pikir (filsafat) itu terdapat perbedaan yang amat besar. 

Metode Historis
Metode ini adalah metode yang paling kuno untuk mengkaji fenomena kemanusiaan, termasuk fenomena filsafat. Filsafat Indonesia pertama-tama ditaruh dalam bingkai sejarah, lalu diurai dalam suatu kronologi, kemudian dalam kronologi itu dimasukkan nama-nama tokoh Filsafat Indonesia. Setelah daftar nama memenuhi kronologi, dimulailah pencarian data-data historis yang mencakup biografi tokoh, karya-karya tokoh, peran-peran tokoh itu dalam sejarah filsafat, dan bisa pula ditambahkan data-data tentang peran historis tokoh itu dalam sejarah dunia atau dalam sejarah filsafat dunia. Metode ini telah digunakan, misalnya, oleh Ferry Hidayat dalam karyanya Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia. 

Titik-tolak Ferry ialah pandangan bahwa filsafat—dimanapun dan kapanpun ia diproduksi—merupakan produk sejarah, dan karena itu, maka konteks sejarah yang melingkari filsafat itu harus ditemukan jika filsafat hendak dipahami secara lebih baik. Filsafat Marxisme, misalnya, akan lebih baik dipahami jika ditemukan konteks historis yang melingkari produksi Marxisme itu: kondisi sosial apa yang menyebabkan Karl Marx membangun filsafat Komunisme? Masalah kongkrit apa di Jerman dan di Inggris yang menyebabkan Marx menulis Das Kapital? Realitas politik apa di era Marx dan Engels hidup yang mendorong mereka membangun classless society? Jika semua pertanyaan itu dapat ditemukan jawabannya lewat kajian historis, maka filsafat Marxisme dapat dipahami secara lebih dalam.

Metode Komparasi dan Kontras
Cara lain untuk mengkaji Filsafat Indonesia ialah dengan cara mencari perbedaan dan kesamaan di antara filsafat-filsafat sejagat yang ada, lalu perbedaannya ditunjukkan, sehingga nampak fitur distingtif dari Filsafat Indonesia. M. Nasroen menggunakan metode perbandingan dan kontras untuk menunjukkan segi-segi berbeda dari Filsafat Indonesia yang membedakannya dari filsafat-filsafat sejagat lainnya dalam karyanya Falsafah Indonesia. Ia membandingkan tradisi Filsafat Barat, Filsafat Timur, dan Filsafat Indonesia, lalu berkesimpulan bahwa Filsafat Indonesia amat berbeda dari dua filsafat lainnya karena mengajarkan ajaran-ajaran asli tentang mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan.

Metode Kritik Teks
Metode ini mengkaji Filsafat Indonesia langsung dari teks-teks filsafat yang diwariskan seorang filosof tertentu. Artinya, semua karya seorang filosof Indonesia dikumpulkan, lalu ditelaah secara seksama, diperhatikan konsep-konsep utamanya. Setelah selesai ditelaah, dibangunlah beberapa kesimpulan tentang teks itu, dan dari kesimpulan itu dibangunlah pengertian tentang struktur filsafat yang dibangun teks itu. Metode ini telah diterapkan P.J. Zoetmulder, Sunoto, R. Pramono, dan Jakob Sumardjo dalam karya-karya mereka. 

Metode Internalisasi
Metode ini dipakai oleh Sunoto dalam karyanya Menuju Filsafat Indonesia. Untuk memahami konsep-konsep kenegaraan Jawa Kuno, Sunoto mengunjungi candi-candi di Jawa, mengamati relik-relik candi untuk merenungi pesan cerita yang dipahatkan di atasnya, menghirup udara di sekitar candi, bersemadi di dalam area candi untuk merasakan auranya, mencoba memasukkan citra fisik dan citra metafisik dari candi itu ke dalam badan dan jiwanya, dan saat itu semua berhasil diinternalisir, Sunoto menghentikan semadinya dan kemudian membangun konsep-konsep subjektif tentang konsep kenegaraan Jawa darinya.

Periodisasi Filsafat Indonesia

Periodisasi Filsafat Indonesia 
Periodisasi yang biasa dilakukan oleh sejarawan filsafat Barat ialah Periode Klasik, Periode Pertengahan, Periode Modern, dan Periode Kontemporer. Sedangkan sejarawan filsafat Cina membagi Filsafat Cina dalam periode-periode seperti Periode Klasik, Periode Pertengahan, dan Periode Modern. Lalu pertanyaannya kemudian adalah apakah sejarawan filsafat Indonesia juga harus mengikuti pembagian periode seperti itu? Jika memang harus mengikuti periodisasi Barat dan Cina itu, kapankah periode Klasik dari Filsafat Indonesia itu? Bisa saja dikatakan bahwa periode Klasik dari Filsafat Indonesia adalah periode yang dihitung sejak era neolitik (sekitar 3500-2500 SM) hingga awal abad 19 M, lalu periode Modern sejak awal abad 19 M hingga era Soeharto lengser, dan periode Kontemporer sejak Soeharto lengser hingga detik ini (2005).

Sekilas nampaknya periodisasi tadi tidak problematik, tapi jika ditelaah lebih dalam mengandung banyak persoalan. Persoalan-persoalan yang muncul ialah seperti: perbedaan apakah yang paling signifikan antara Filsafat Indonesia pada era Klasik, era Modern, dan era Kontemporer itu? Apakah perbedaan periode itu didasarkan pada perbedaan point of concern (pusat perhatian) yang dikaji filosof di era tertentu? Apakah perbedaan antara ‘yang klasik’ dengan ‘yang modern’ hanyalah perbedaan antara ‘yang menolak’ dengan ‘yang menerima’ pengaruh Barat? Apakah perbedaan periode hanya sekadar penanda waktu, dari satu ‘titik pemberhentian’ ke ‘titik pemberhentian’ selanjutnya? Jika ya, apa yang membedakan ‘titik pemberhentian’ yang satu dengan ‘titik-titik’ yang lain? Apakah yang membedakan ‘yang klasik’ dan ‘yang modern’ hanyalah sekadar perpindahan tema filosofis (thematic shift)?

Banyaknya persoalan yang muncul dengan mengikuti periodisasi ala Barat dan Cina menunjukkan, bahwa model periodisasi seperti itu tidak tepat untuk sejarah Filsafat Indonesia. Harus dicari model periodisasi lain yang dapat memuat kurang-lebih segala filsafat yang pernah diproduksi sejak era neolitikum hingga sekarang. Di bawah ini akan diajukan 2 model periodisasi yang mungkin lebih cocok untuk penulisan sejarah Filsafat Indonesia.

Periodisasi Berdasarkan Interaksi Budaya
Periodisasi Filsafat Indonesia dapat dibuat berdasarkan datangnya budaya-budaya asing yang berinteraksi dengan budaya asli Indonesia, dengan cara membuat kronologi historis dan menyebutkan dari budaya dunia mana sumber filosofis itu berasal-mula. Dengan model ini, misalnya, dapat dikatakan bahwa Filsafat Indonesia dapat dipecah ke dalam periode-periode seperti periode Etnik, periode Cina, periode India, periode Persia, periode Arab, dan periode Barat. Periode Etnik dimulai ketika filsafat etnik asli Indonesia masih dipeluk dan dipraktekkan oleh orang Indonesia sebelum kedatangan filsafat asing. Sedangkan periode Cina, India, Persia, Arab, dan periode Barat dimulai ketika orang Indonesia mulai kemasukan filsafat dari sumber-sumber budaya asing Cina, India, Persia, Arab, dan Barat.

Filsafat Indonesia pada periode Etnik, misalnya, berisi mitologi filosofis, pepatah-petitih, peribahasa, hukum adat, dan segala yang asli dalam filsafat-filsafat etnik Indonesia. Filsafat Indonesia pada periode Cina mencakup Taoisme, Konfusianisme, Anti-konfusianisme, Sun Yat-Senisme, dan Maoisme. Filsafat Indonesia pada periode India mencakup Hinduisme, Buddhisme, Tantrayana, dan Hinduisme-Bali. Periode Persia mencakup Ibnu-‘arabisme dan Ghazalisme. Periode Arab mencakup Wahhabisme, dan periode Barat mencakup filsafat Nasionalisme, Sosialisme-Demokrat, Komunisme hingga Developmentalisme. Periode Kontemporer mencakup filsafat Pancasila, Liberasionisme, Transformatifisme, Pribumisme, Feminisme, New Agisme, Liberalisme hingga Paska-modernisme. 

Periodisasi Berdasarkan Kejadian Historis Penting
Periodisasi Filsafat Indonesia juga dapat dibuat berdasarkan kejadian-kejadian penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, seperti periode pra-Kemerdekaan, periode Kemerdekaan, periode Soekarno, periode Soeharto, dan periode paska-Soeharto. 

Yang termasuk dalam periode pra-Kemerdekaan ialah filsafat-filsafat mitologi etnik asli Indonesia, filsafat adat etnik Indonesia, filsafat Konfusianisme, filsafat Hinduisme dan Buddhisme, filsafat Tantrayana, filsafat Islam-Arab, filsafat Sufisme Persia, dan filsafat Pencerahan Barat. Sedangkan filsafat-filsafat yang masuk dalam periode Kemerdekaan ialah filsafat Modernisme Islam, filsafat Marxisme-Leninisme, filsafat Maoisme, filsafat Sosialisme Demokrat, dan filsafat Demokrasi. Sedangkan yang masuk dalam periode Soekarno ialah filsafat Revolusi, filsafat Sosialisme Indonesia, filsafat NASAKOM, dan filsafat neo-imperialisme. Periode Soeharto dimulai ketika filsafat Modenisasi dan Developmentalisme didewa-dewakan, kemudian filsafat Pancasila, filsafat Ekonomi Pancasila, filsafat Kebatinan, filsafat sekularisme yang sedang marak. Periode paska-Soeharto dimulai ketika kritik terhadap filsafat Developmentalisme marak dan filsuf mencari alternatif pada filsafat-filsafat lain seperti Liberasionisme, Transformatifisme, Reformisme, dan Revolusionisme.

Isme-Isme Dalam Filsafat Indonesia

Isme-Isme Dalam Filsafat Indonesia 
Sebelum menentukan isme-isme apa saja yang dapat dibuat dalam semesta Filsafat Indonesia, alangkah baiknya jika mengkaji lebih dulu tentang bagaimana suatu isme dalam filsafat dibuat. Ada 2 cara membuat kategori isme yang selama ini dipakai peneliti filsafat: (1) isme dibuat dengan cara menyebut nama seorang filosof tertentu yang darinya suatu isme dapat dibangun, seperti Marxisme, Leninisme, Maoisme, Platonisme, Konfusianisme, Aristotelianisme, Phytagoreanisme, dan lain-lain; lalu, (2) isme dibuat dengan cara menyebut ajaran atau doktrin terpenting yang ditemukan dari teks-teks filosof tertentu. Misalnya, dalam teks-teks Plato rupanya ditemukan doktrin sangat penting tentang idea, sehingga peneliti filsafat menyebut ajaran Plato yang amat penting itu dengan sebutan idealism. Begitu pula dengan ajaran penting Hegel tentang Idea yang darinya berasal sebutan idealism. 

Perbedaan kedua cara penyebutan isme itu sangat berpengaruh pada fondasi filsafat yang dibangun. Jika disebut ‘Platonisme’, maka landasan filsafat yang dibangun berasal dari teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) Plato selama hidupnya. Tapi jika disebut ‘idealisme’, maka landasan filsafat yang dibangun berasal dari teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) beberapa filosof, baik itu Plato, Hegel, McTaggart, atau Iqbal asalkan kesemuanya memiliki ajaran penting tentang idea. 

Apakah penyebutan isme-isme dalam struktur Filsafat Barat dapat diterapkan pada struktur Filsafat Indonesia? Ada 2 kemungkinan. Pertama, jika teks-teks Filsafat Indonesia memang menyebutkan sumber-sumber filosofis dari filosof Barat seperti Marx, Hegel, atau Plato, maka bisa saja menyebut filosof Indonesia yang menganut mereka sebagai filosof Indonesia yang ‘Marxist’, ‘Hegelianist’, atau ‘Platonist’. Tan Malaka dan D.N. Aidit, karena itu, dapat disebut sebagai filosof Marxist. Kedua, jika teks-teks Filsafat Indonesia mengajarkan suatu doktrin penting tentang idea, misalnya, maka layaklah disebut sebagai ‘idealist’. Maka, Syahrir dapatlah disebut ‘sosialist’, Soekarno ‘nasionalist’, dan Soepomo ‘sosialist-nasional’, karena ketiganya membahas dengan panjang-lebar dalam karya-karya mereka berturut-turut tentang sosialisme, natie, dan fasisme Jerman. Tapi, pada galibnya, filosof-filosof Indonesia memiliki doktrin-doktrin khas, yang berbeda dari yang biasa ditemukan dalam teks-teks Filsafat Barat. Jadi, peneliti filsafat boleh saja meminjam kategorisasi isme Barat atau boleh pula membuat kategorisasinya sendiri, sesuai dengan tema-tema yang diangkat oleh seorang filosof di negaranya.

Kedua cara pembuatan isme tadi akan kita terapkan pada struktur Filsafat Indonesia. Cara 1 penulis terapkan ketika membuat isme-isme seperti Soekarnoisme dan Soehartoisme. Cara 2 penulis terapkan ketika membuat isme-isme seperti ‘lamaisme’, ‘sintesisme’, ‘adaptasionisme’, ‘baruisme’, ‘terpimpinisme’, ‘pembangunanisme’, dan ‘paska-pembangunanisme’. Untuk maksud pengantar, disini akan dibahas sedikit tentang isme-isme dalam Filsafat Indonesia. 

A. Sintesisme
Sintesisme berakar dari kata ‘sintesa’ (synthesis), yang berarti menggabungkan bagian-bagian atau unsur-unsur yang berbeda untuk membuat satuan yang kompleks. Artinya, suatu filsafat digabungkan dengan filsafat lainnya untuk membentuk struktur filsafat yang baru. Biasanya, filsafat-filsafat yang dicampur-baur itu berlawanan sifatnya, berbeda isinya, kontras nuansanya. Memang ada beberapa titik-temu di antara filsafat-filsafat yang berbeda itu, tapi lebih banyak ‘titik-pisah’nya. Tapi justru ‘titik-pisah’ itu, jika dicampur-baur dengan ‘titik-pisah’ yang lain, akan melahirkan satuan yang kompleks. Contoh sintesisme yang paling populer di mata sejarawan filsafat ialah apa yang dilakukan Mpu Prapanca (1335-1380), seorang filosof yang hidup di masa pemerintahan Kertanegara (1268-1292) dari Dinasti Singhasari. Mpu Prapanca menulis buku berjudul Negarakertagama, berisi epik filosofis yang ditulis dengan gaya puitik berbahasa Jawa Kuno, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu dengan Buddhisme. Cara yang sama juga ditempuh oleh Mpu Tantular, seorang filosof yang hidup di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), yang menulis buku Sutasoma, di dalamnya ia berhasil memadukan filsafat Buddhisme dengan Syiwaisme-Hindu.

Perpaduan dua filsafat India yang amat berbeda itu Buddhisme justru lahir di India sebagai reaksi negatif terhadap Hinduisme oleh filosof-filosof Indonesia melahirkan corak filsafat yang baru, yang terkenal sebagai filsafat Tantrayana. 

Soekarno, seorang pendiri Republik kita, juga seorang sintesist. Dia mencoba menyintesa tiga aliran filsafat yang amat bertolak-belakang: Nasionalisme, Agama (Islam, Kristen, Hinduisme dan Buddhisme), dan Komunisme (NASAKOM), tapi gagal di tengah perjuangannya. Nurcholish Madjid, seorang filosof Islam, juga seorang sintesist. Beliau mencoba menyintesa tiga aliran filsafat yang berbeda: Islam, Nasionalisme (Keindonesiaan), dan Barat Modern (Kemodernan) dalam karyanya Islam, Keindonesiaan, dan Kemodernan, untuk mendobrak tradisi Filsafat Islam Masyumi dan mendukung Soehartoisme. Berbeda dengan Soekarno, Nurcholish sangat berhasil, karena amat didukung penguasa saat itu. 

B. Adaptasionisme 
Adaptasionisme berakar dari kata ‘adaptasi’ (adaptation), yang berarti menyesuaikan sesuatu untuk situasi atau kegunaan yang baru. Artinya, suatu filsafat diubah sedemikian rupa, sehingga menjadi sesuai dengan situasi Iindonesia dan dapat digunakan dalam konteks Indonesia. Biasanya, yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi Indonesia adalah filsafat-filsafat asing, bukan filsafat asli Indonesia sendiri. Filosof yang tergolong isme ini umumnya berasumsi bahwa segala produksi filsafat bersifat lokal, regional, dan partikular; tidak ada filsafat yang universall secara absolut. Karena itu pula, kebenaran filsafat tidak pernah universal-absolut. Menurut logika mereka, misalnya, Marxisme yang lahir dari sejarah lokal Barat tidak bisa diterapkan atau dicangkok begitu saja pada sejarah kongkrit Indonesia, karena kedua area itu memiliki struktur budaya dan peradaban yang berbeda. Marxisme yang hendak dibangun akar-akarnya di Indonesia harus diubah sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan alam Indonesia. 

Tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, S.C. Utami Munandar, D.N. Aidit, dan lain-lain adalah contoh dari filosof adaptasionist yang mengadaptasikan Filsafat Barat ke dalam situasi kongkrit Indonesia. Ki Hajar terkenal dengan ‘prinsip nasi goreng’nya. Nasi goreng adalah makanan asli tradisional yang biasanya digoreng dengan minyak kelapa. Namun, jika margarin yang berasal dari Belanda dapat membuat nasi goreng itu bertambah enak, maka tak ada alasan seseorang harus menolak penggunaan margarin itu, selama yang menggorengnya ialah orang Indonesia sendiri. Artinya, jika ‘margarin Belanda’ (Filsafat Barat) diadaptasikan dengan ‘nasi goreng’ (situasi kongkrit Indonesia), maka ‘margarin’ itu akan menambah sedapnya ‘nasi goreng’. Sedangkan Tan Malaka, dia mengadaptasikan ‘teori gerilya’ Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno mengadaptasikan konsep ‘proletar’ dari Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh Penerbit Grasindo dengan judul Bung Karno tentang Marhaen. 

Adaptasionisme juga dilakukan oleh tokoh-tokoh Filsafat Islam, seperti Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Zainuddin Labai Al-Junusi, Kiyai Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto, Agus Salim, Haji Misbach, dan lain-lain, yang mengadaptasikan Filsafat Barat ke dalam situasi Islam di Indonesia. Zainuddin Labai dan Mohammad Natsir, misalnya, mengadaptasi konsep nasionalisme Barat ke dalam situasi Islam Indonesia via buku-buku Musthafa Kamil Pasha (1874-1908). Datuk Batuah dan Natar Zainuddin dari Padang Panjang, Haji Misbach dari Surakarta, Semaun, Alimin Prawirodirdjo dan Darsono dari Semarang mengadaptasikan Komunisme Barat ke dalam pandangan-dunia Al-Quran. Begitu pula dengan H. Oemar Said Tjokroaminoto, yang mengadaptasikan Sosialisme Barat ke dalam situasi Islam Indonesia, sehingga menghasilkan karya Islam dan Sosialisme.

C. Lamaisme 
Isme ini bertolak dari pandangan, bahwa segala tradisi lama, tradisi primordial, dan tradisi asli Indonesia adalah tradisi yang harus dilestarikan, sebab dalam tradisi itulah terletak asal dan tujuan keberadaan manusia Indonesia, alpha dan omega kehidupan manusia Indonesia, sangkan dan paran dari penciptaan manusia Indonesia. Dalam pandangan filosof yang menganut isme ini, tidak ada konsep ‘baru’; tidak ada ‘yang baru’ yang dapat membatalkan ‘yang lama’. ‘Yang lama’ ialah ‘yang tetap’ absolut. Konsep waktu dan ruang historis tidak berlaku bagi isme ini, sebab ‘yang lama’ terjadi selama-lamanya, abadi, dan tidak berubah. Segala perubahan merupakan pemberontakan terhadap ‘yang lama’, dan karena itu amat ditentang oleh penganut isme ini. Semua filosof etnik Indonesia (seperti M. Nasroen, Sunoto, R. Pramono Jakob Sumardjo, P.J. Zoetmulder, Soewardi Endraswara, Woro Aryandini, dan lain-lain) dapat dikatakan masuk dalam isme ini, sebab mereka semua menganggap bahwa pandangan filosofis lama yang dimiliki etnis-etnis asli Indonesia tetap baik, tetap relevan, tetap harus diterapkan pada situasi modern, tetap harus diwariskan ke generasi baru sebagai ‘penjaga’ identitas. Lamaisme menjadi trend kembali di era Orde Baru, karena filosof lamaist menemukan borok-borok modernisasi Barat sekuler yang diusulkan filosof baruist. Semua filosof agama, baik dari Islam, Katolik, Protestantisme, Buddhisme, Hinduisme, dan Konfusianisme, yang menolak pembaruan (religious reforms) dalam dogmatika tradisionalnya juga dapat masuk dalam kelompok lamaisme ini. 

D. Baruisme
Isme ini adalah lawan dari lamaisme. Apa yang hendak dilestarikan oleh lamaisme akan diserang dan dibatalkan oleh baruisme, karena ia bertolak pada anggapan bahwa segala tradisi lama adalah tradisi yang tidak membawa kepada kemajuan, tradisi usang yang tidak lagi relevan dengan zaman yang terus berubah, atau tradisi dekaden yang apabila tetap dilestarikan akan membuat Indonesia tidak pernah maju. Isme ini sangat anti dengan filsafat etnik asli, karena, dalam logika tokoh-tokohnya, filsafat etnik masih melestarikan feudalisme dan sukuisme yang justru dianggap sebagai musuh kebudayaan baru Indonesia. Tokoh-tokoh baruisme, misalnya, adalah Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, Nurcholish Madjid, sastrawan Indonesia Angkatan ’45, dan lain-lain. 

Tan Malaka, dalam bukunya Massa Actie, amat mencela tradisi lama dan mengusulkan tradisi baru yang diambil dari tradisi Barat. Begitu pula halnya dengan Sutan Takdir. Sejak polemiknya yang terkenal di era 1930-an dengan Ki Hajar Dewantara hingga tulisan-tulisannya sampai beliau wafat, Sutan Takdir secara konsisten mengutuk tradisi lama dan mengusulkan tradisi baru Barat sebagai gantinya. Sastrawan Angkatan ’45 juga pernah mempublikasikan suatu ‘manifesto budaya’, terkenal dengan nama Surat Kepercayaan Gelanggang, yang isinya menolak untuk ‘…melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan,…’, sebab, ‘Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan.’ Nurcholish Madjid mengutuk tradisi lama dari Filsafat Islam di Indonesia (Masyumisme) yang lebih mementingkan ‘cara’ daripada ‘tujuan’ atau lebih mementingkan ‘kulit’ daripada ‘isi’, yang amat jelas terlihat dalam apologi Negara Islam. Nurcholish, lantas, mengusulkan desakralisasi atau sekularisasi, yang pada intinya merupakan pemutusan langsung (direct shift) dan penolakan tegas untuk melestarikan Masyumisme kuno. Sebagai gantinya, Nurcholish menciptakan prinsip baru yang amat revolusioner di era 1970-an, Islam, Yes! Partai Islam, No!

E. Terpimpinisme
Disebut ‘terpimpinisme’ karena konsep ‘keterpimpinan’ menjadi pusat wacana. Terpimpinisme bertolak dari pandangan bahwa rakyat Indonesia masih membutuhkan figur seorang pemimpin yang dapat mendidik mereka, melindungi mereka, menunjuki mereka, dan memandu mereka untuk menuju kemajuan. Terpimpinisme sama dengan paternalisme, dalam artian, bahwa paternalisme menganggap penting keberadaan seorang ‘bapak bangsa’ (pater) yang mendidik, membina, menunjuki, memandu, dan memimpin rakyat sebagai ‘anak-anak kecil’ nya. 

Contoh dari konsep ‘keterpimpinan’ yang amat terkenal dalam sejarah Filsafat Indonesia ialah konsep ‘keterpimpinan’ yang dapat dijumpai dalam sebagian besar tulisan dan praktek Soekarno, salah seorang pendiri RI kita, yang disini dinamakan ‘Soekarnoisme’. Soekarnoisme segala tulisan dan praktek Soekarno mengajarkan dua jenis ‘keterpimpinan’: ‘Demokrasi Terpimpin’ dan ‘Ekonomi Terpimpin’. ‘Demokrasi Terpimpin’ ialah sejenis praktek demokrasi yang dilakukan dengan cara dipimpin oleh seorang sesepuh istilah Soekarno yang dapat membimbing, menunjuki, dan memandu rakyat menuju keadilan sosial-politik. Sedangkan ‘Ekonomi Terpimpin’ ialah sejenis praktek ekonomi-politik yang dilakukan dengan cara dipimpin oleh lagi-lagi seorang sesepuh yang dapat membimbing dan mengantarkan rakyat Indonesia menuju keadilan sosial-ekonomis. Dua ‘keterpimpinan’ itu akan berhasil, jika dipimpin oleh seorang sesepuh luar-biasa, dewa yang lahir di abad modern, yang dipuja rakyat sebagai teladan rakyat. Sayang sekali, terpimpinisme jenis ini gampang sekali dituduh sebagai otoritarianisme terselubung, dan itu terbukti dengan praktek pengangkatan Soekarno sebagai ‘presiden seumur hidup’. 

Soeharto dapat pula dimasukkan ke dalam filosof terpimpinist ini. Paternalisme Soeharto mengajarkan keharusan adanya seorang bapak yang dapat memandu dan mengantarkan rakyat kepada kemajuan; bapak yang sangat melindungi rakyatnya tapi juga sangat tuli dengan suara rakyatnya, karena suara rakyat hanya suara ‘anak kecil’ yang harus terus dibimbing. Soeharto pun mendapat julukan ‘Bapak Pembangunan’, karena ia memandu rakyatnya menuju kemajuan seperti layaknya seorang bapak terhadap anak-anak. 

F. Pembangunanisme
Isme ini lahir sebagai reaksi atas ‘Terpimpinisme Soekarno’ disebut pula sebagai ‘Soekarnoisme’yang dianggap gagal membawa Indonesia menuju kemajuan. Isme ini amat bertolak-belakang dengan Soekarnoisme, dalam artian, bahwa ia tidak lagi meneruskan paham Soekarno tentang ‘revolusi’, ‘Manipol USDEK’, ‘setan Nekolim’, ‘politik sebagai panglima’, ‘Demokrasi Terpimpin’ dan ‘Ekonomi Terpimpin’, tapi menggantinya dengan pandangan ‘ekonomi sebagai panglima’, ‘stabilitas demi pembangunan, ‘akselerasi pembangunan’, ‘pembangunan jangka-panjang’, ‘globalisasi ekonomi’, dan ‘globalisasi kapital’. 

Isme ini bertolak pada asumsi, bahwa ‘politik revolusi’ sudah tidak relevan lagi, karena bukan menghasilkan kemajuan tapi malah menyengsarakan rakyat. Isme ini menawarkan ‘politik pembangunan’ sebagai solusinya, dengan penekanan bahwa dengan pembangunanlah Indonesia akan berhasil maju. 

G. Paska-pembangunanisme
Isme ini lahir sebagai reaksi atas kegagalan ‘Pembangunanisme Soeharto’yang dapat disebut pula ‘Soehartoisme’dalam membawa rakyat menuju kesejahteraan dan kemakmuran, sesuai dengan yang dicita-citakan UUD 1945.
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger