Pengertian Kepemimpinan Dari Berbagai Ahli
A. Pengertian Kepemimpinan
Secara umum mungkin dapat diartikan kepemimpinan tersebut sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Namun demikian tampaknya pengertian kepemimpinan oleh para ahli tersebut masing-masing ada perbedaannya tergantung dari sudut pandang, penekanannya, keluasannya dan kedalaman yang terkandung di dalamnya. Sutisna (1993) misalnya merumuskan kepemim-pinan tersebut sebagai suatu proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam usaha ke arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Sementara Supardi (1988) menyatakan bahwa kepemimpinan tersebut sebagai kemampuan untuk mengge-rakkan, mempengaruhi, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan kalau perlu menghukum, serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
Dari beberapa pengertian kepemimpinan tersebut menunjukkan bahwa dalam kepe-mimpinan tersebut paling tidak mencakup tiga hal yang saling berkaitan, yaitu: adanya pemimpin dan karakteristiknya, adanya bawahan, serta adanya situasi dalam kelompok tempat pemimpin dan bawahan saling berinteraksi.
Dengan demikian untuk dapat dijelaskan efektifnya suatu organisasi tersebut dalam mencapai tujuannya akan sangat tergantung pada: pertama pemimpin dan karakteristiknya yang dalam manajemen kemudian lazim disebut dan dikenal dengan istilah pola kepemimpinan atau gaya kepemimpinan, yang mana pola atau gaya kepemimpinan tersebut kemudian secara realitanya akan tampak dalam suatu pola perilaku seorang pemimpin yang khas pada saat mempengaruhi bawahannya, apa yang dipilih oleh pemimpin atau yang dikerjakannya, cara memimpin dan bertindak dalam mempengaruhi bawahannya sehingga bawahannya mau taat serta melakukannya (Thoha.1995). Faktor kedua yang dapat menentukan efektifnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya adalah faktor bawahan yang tekanannya pada tingkat kematangan bawahan tersebut, jadi semakin tinggi tingkat kematangan bawahan atau karyawan tersebut efektifitas suatu organisasi akan semakin tinggi. Kemudian faktor ketiga yang dapat menentukan efektifnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya adalah faktor situasi interaksi tempat berkerja yang dalam manajemen sering disebut dengan istilah iklim organisasi atau budaya organisasi dan lain sebagainya (Komariah dan Triatna. 2006). Sedangkan di sisi yang lain Tilaar (1993) menyatakan bahwa untuk dapat organisasi berhasil mencapai tujuannya secara efektif dalam kondisi yang sedang mengalami berbagai perubahan adalah:
- adanya suatu visi yang jelas dari organisasi tersebut,
- kejelasan misinya,
- kejelasan rancangan kerjanya,
- sumber daya yang memadai,
- keterampilan profesionalitas, dan
- motivasi dan insentif.
Sekolah sebagai suatu organisasi sosial yang merupakan bagian penyelenggaraan dari sistem pendidikan nasional, pada saat ini tampaknya juga mengalami perubahan yang sangat besar dalam berbagai dimensi, sebagai akibat adanya perubahan sistem dan kewe-nangan dalam mengatur penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, yaitu yang pada mulanya bersifat sentralistik sesuai dengan UU No. 2 tahun 1989 yang telah diganti menjadi sistem yang bersifat desentralisasi sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003, telah melahirkan berbagai kebijakan yang menuntut peran pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota adanya sistem manajemen, gaya kepemimpinan, dan keterampilan manaje-rial yang lebih tinggi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di tingkat mikro atau di tingkat sekolah.
Bertitik tolak pada uraian tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan dari efektifitas suatu organisasi termasuk dalam bidang pendidikan terutama di sekolah. Tampaknya dari berbagai faktor yang telah disebutkan di atas, faktor kepemimpinan yang paling sangat penting dan determinan mengingat yang akan memenaje bawahan serta mengkondisikan situasi interaksi dalam organisasi, dan mengelola faktor-faktor organisasi yang lainnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi tersebut adalah pimpinan.
B. Berbagai Gaya Kepemimpinan
Dalam kepustakaan disebutkan ada berbagai cara dalam mendekati kepemimpinan dan karkteristiknya atau gaya kepemimpinan seseorang yang disebut efektif. Pendekatan teori kepemimpinan tersebut mulai dari teori pendekatan sifat, teori pendekatan perilaku, teori pendekatan situasional, dan teori kemungkinan pengembangan kepemimpinan pada era desentralisasi ini.
Teori pendekatan sifat mencoba menjelaskan keefektipan dan keberhasilan seorang pemimpinan dengan bertolak pada asumsi-asumsi bahwa individu merupakan pusat kepe-mimpinan seseorang. Kepemimpinan dipandang sebagai sesuatu yang mengandung lebih banyak unsur-unsur individu terutama sifat-sifat individu. Jadi orang yang memiliki sifat-sifat tertentu yang dipertimbangkan untuk dapat menduduki posisi pimpinan (Mulyasa. 2002). Sifat-sifat bawaan inilah yang membedakan antara pemimpin dengan bukan pemim-pin. Demikian juga yang dimaksudkan dengan sifat-sifat bawaan tersebut, seperti kekuatan fisik dan susunan syaraf, penghayatan terhadap arah tujuan, antusiasisme, keramahan, integritas, keahlian, kemampuan mengambil keputusan, keterampilan memimpin, dan kepercayaan.
Tampakya sifat-sifat bawaan seseorang belum mampu memberikan jawaban yang memuaskan, oleh karena itulah para pakar tampaknya mengalihkan perhatiannya pada perilaku pemimpin. Teori pendekatan kepemimpinan ini tampaknnya memfokuskan dan mengidentifikasi perilaku yang khas dari pemimpin dalam melakukan kegiatan mempenga-ruhi bawahannya. Beberapa studi dengan menggunakan teori pendekatan perilaku kepemimpinan ini adalah Universitas OHIO, dengan melihat perilaku inisiatif (initiating structure) dan perhatian (consideration) dari pemimpin, Universitas Michigan dengan melihat perilaku orientasi pada bawahan, dan orientasi pada produksi dalam organisasi, kemudian teori jaringan manajemen oleh Blacke dan Mouton yang melihat perilaku pimpinan dari perhatiannya terhadap produksi dan karyawannya.
Kemudian yang dimaksud dengan pendekatan situasional adalah suatu pendekatan yang dalam menyoroti perilaku pemimpin dalam situasi tertentu, dengan lebih menekankan kepemimpinan merupakan fungsi daripada sebagai kualitas pribadi yang timbul karena interaksi orang-orang dalam situasi tertentu. Atas dasar pandangan teori pendekatan situasi-onal dikembangkan beberapa gaya kepemimpinan, seperti: kepemimpinan kontingensi oleh Fiedler dan Chemers (Mulyasa. 2002) yang menjelaskan bahwa seseorang akan menjadi pemimpin yang efektif akan sangat tergantung dari hubungan antara pemimpin dengan bawahan artinya bagaimana seorang pemimpin dapat diterima oleh bawahannya serta bagaimana persepsi pemimpin terhadap bawahannya, struktur tugas dalam arti apakah tugas-tugas bawahan merupakan sebagai sesuatu yang rutin dan jelas, dan kekuasaan yang bersumber dari organsasi akan mendapatkan kepatuhan yang lebih besar dari bawahnnya. Kemudian muncul juga teori dari Reddin yang dikenal dengan teori kepemimpinan tiga dimensi. Dasar yang digunakan untuk menentukan efektifitas kepemimpinan seseorang adalah perhatian pada produksi dan tugas, perhatian pada bawahan, dan efektifitas (Mulyasa. 2002). Dan salah satu teori kepemimpinan dengan menggunakan pendekatan situasional ini adalah teori yang dikembangkan Hersey dan Blanchard (1982) yang menyatakan bahwa efektifitas kepemimpinan seseoang akan sangat tergantung pada tiga faktor, yaitu: pertama faktor perilaku tugas, yang berupa petunjuk oleh pimpinan, penje-lasan tertertu apa yang harus dilakukan, bilamana dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, serta pengawasan yang ketat. Kedua, faktor perilaku hubungan berupa ajakan kepada bawahan melalui komunikasi dari dua arah, yaitu pimpinan dan bawahan.
Dalam bidang pendidikan misalnya kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan akan dihadapkan pada masalah gaya kepemimpinan yang bagaimana sebaiknya diterapkan yang dianggap tepat dan sesuai dengan tingkat kematangan guru sebagai bawahan. Seperti misalnya kalau tingkat kematangan guru termasuk tinggi (M4) yang ditandai dengan ciri-ciri bawahan atau guru mampu dan mau melakukan peningkatan kualitas kompetensi profesionalismenya, maka gaya kepemimpinan yang seharusnya digunakan oleh seorang kepala sekolah adalah gaya kepemimpinan delegasi (G4) yang ditandai dengan ciri-ciri kepemimpinannya tinggi hubungan dan rendah tugas. Demikian pula halnya kalau seorang pemimpin atau kepala sekolah dihadapkan pada guru yang memiliki tingkat kematangan yang termasuk sedang (M3, M2) yang ditandai dengan ciri-ciri guru mampu tapi tidak mau atau guru mau tapi tidak mampu melakukan peningkatan kualitas kompetensi profesi-onalismenya, maka gaya kepemimpinan yang seharusnya digunakan oleh seorang kepala sekolah adalah gaya kepemimpinan partisipasi (G3) yang ditandai dengan ciri-ciri kepemimpinannya rendah hubungan dan rendah tugas atau gaya kepemimpinan menjajakan (G2) yang ditandai dengan ciri-ciri kepemimpinannya tinggi tugas dan rendah hubungan. Begitu pula halnya kalau seorang pemimpin atau kepala sekolah dihadapkan pada guru yang memiliki tingkat kematangan yang termasuk rendah (M1) yang ditandai dengan ciri-ciri guru tidak mampu dan tidak mau melakukan peningkatan kualitas kompetensi profesionalismenya, maka gaya kepemimpinan yang seharusnya digunakan oleh seorang kepala sekolah adalah gaya kepemimpinan mendikte (G1) yang ditandai dengan ciri-ciri kepemimpinannya tinggi tugas dan tinggi hubungan.
Kemudian teori kepemimpinan yang bagaimanakah yang dianggap paling efektif pada masa sekarang yang sedang mengalami perubahan dan masa globalisasi. Paling tidak ada tiga jenis kepemimpinan yang dipandang referensentatif dengan tuntutan jaman yang sedang mengalami perubahan khususnya dalam penyelenggaraan sistem pendidikan dengan sistem desentralisasi pada saat ini. Jenis kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemim-pinan transsaksional, visioner, dan kepemimpinan transfomasional (Komariah dan Triatna. 2006., Danim. 2005. 2006).
Kepemimpinan transaksional yang dimaksudkan adalah pemimpin yang menekan-kan pada tugas yang diemban oleh bawahan, merancang pekerjaannya, beserta mekanisme-nya, bawahan melaksanakannya sesuai dengan kemampuannya, dan di sisi yang lain bawahan melakukan tugasnya bukan dalam rangka untuk aktualisasi diri, tetapi untuk mendapatkan insentif sesuai dengan beban pekerjaan dan kemampuannya. Dengan kata lain dalam kepemimpinan yang transaksional pimpinan dihadapkan pada bawahan yang masih kurang matang yang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dari sisi sandang, pangan, dan papan. Dengan demikian kepemimpinan transaksional disebut juga dengan dorongan konti-ngen dalam bentuk reward dan punishment yang merupakan kesefakatan bersama dalam kontrak kerja yang apabila bawahan dapat bekerja dengan berhasil baik sesuai dengan harapan, maka juga akan mendapat kontingen berupa imbalan. Dalam kaitan ini Hoover, dan Leitwood (dalam Komariah dan Triatna. 2006) menjelaskan secara skematis gaya kepe-mimpinan transaksional sebagai bagan di bawah ini.
BAGAN KEPEIMIMPINAN TRANSAKSIONAL
Kepemimpinan yang visioner, yaitu kepemimpinan yang kerja pokoknya difokus-kan pada rekayasa masa depan yang penuh tantangan. Kepemimpinan yang visioner adalah ditandai oleh adanya kemampuan dalam membuat perencanaan yang jelas sehingga dari rumusan visinya akan tergambar sasaran apa yang hendak dicapai dari pengembangan lembaga yang dipimpinnya. Kepemimpinan visioner adalah pemimpin yang memiliki kemampuan untuk merumuskan, mengkomunikasikan, mensosialisasikan, mentransforma-sikan, dan mengimplementasikan pikiran-pikiran idealnya atau sebagai hasil interaksi sosial diantara anggota organisasi dan yang diyakini sebagai cita-cita organisasi di masa depan yang harus diraih dan diwujudkan melalui komitmen semua personel.
Kemudian kepemimpinan transformasional adalah sebagai suatu proses yang pada dasarnya para pemimpin dan pengikutnya saling menaikan diri ketingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi (Komariah dan Triatna. 2006). Kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang memiliki wawasan jauh ke depan dan berupaya memperbaiki dan mengembangkan organisasi untuk di masa depan. Danim (2006) dengan mengutip Burns menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional suatu proses kepemimpinan yang mana pemimpin dan bawahannya saling merangsang diri satu sama lain untuk meningkatkan moralitas dan motivasinya yang lebih besar yang dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsinya. Dengan kepemimpinan transformasional ini akan mampu membawa kesadaran pengikutnya memunculkan ide-ide produktif, hubungan yang sinergik, tanggungjawab, kepedulian terhadap pendidikan, cita-cita bersama dan nilai-nilai moral, bersama-sama menerjemahkan visi, misi organisasinya.
Kalau pengertian kepemimpinan transformasional tersebut digambarkan dalam bentuk bagan dengan mengutif dari Komariah dan Triatna (2006), maka akan tampak seperti dalam bagan 02 di bawah ini.
BAGAN KEPEMIMPINAN TRANSFORMASINAL
Secara lebih jelas dalam mendeskripsikan kepemimpinan transformasional tersebut adalah seperti yang dikemukakan oleh Bass dan Aviola (Komariah dan Triatna. 2006), sebagai berikut:
1. Perilaku pemimpin yang menghasilkan rasa hormat dan rasa percaya diri pada bawah-annya. Perilaku pemimpin seperti ini juga mengandung arti saling berbagi risiko mela-lui pertimbangan kebutuhan para staf di atas kebutuhan pribadi dan perilaku moral etis.
2. Perilaku pemimpin yang senantiasa menyediakan tantangan pekerjaan bagi bawahannya dan memperhatikan makna pekerjaan bagi bawahannya. Pemimpin menunjukan atau mendemontrasikan komitmen terhadap sasaran organisasi melalui perilaku yang dapat diobservasi. Pemimpin adalah motivator yang bersemangat terus membangkitkan antu-siasisme dan optimisme staf.
3. Perilaku pemimpin yang memperaktekkan inovasi-inovasi. Sikap dan perilaku kepe-mimpinannya didasarkan pada pengetahuan yang berkembang dan secara intektual ia mampu menerjemahkan dalam bentuk kinerja yang produktif. Sebagai intelektual pemimpin senantiasa menggali ide-ide dan solusi yang kreatif dari para staf dan tidak lupa mendorong staf mempelajarinya dan melakukan pendekatan baru dalam mela-kukan pekerjaan.
4. Perilaku pemimpin merefleksikan dirinya sebagai orang penuh perhatian dalam men-dengarkan dan menindaklanjuti keluhan, ide, harapan, dan segala masukkan yang disampaikan oleh staf. Bahkan secara lebih rinci Anderson (Usman. 2006), mengambarkan ciri-ciri dari kepemimpinan tarnsformasional adalah sebagai berikut. Pertama kepemimpian transformasinal memiliki atau bercirikan bahwa seorang pemimpin tersebut pertama harus menunjukkan diri sebagai komunikator: yaitu mengenali bawahannya, mengelola bawahannya, memahami bawahan-nya dengan akurat, mengkomunikasikan visinya dengan bawahannya, mengakui keberhasilan bawahannya, menahan emosi terhadap bawahannya, mengatasi konflik antar pribadi, membina hubungan yang efektif dan menyenangkan terhadap bawahanya, menghormati dan menghargai bawahanya, memberikan dukungan terhadap bawahannya. Kedua sebagai konselor, yaitu: membantu bawahannya mengatasi masalahnya, membantu bawahannya membuat rencana atau tujuan yang ingin dicapai, memotivasi bawahannya untuk bertindak, menghadapi orang-orang yang jenuh dan membangkang, melakukan pemindahan bawah-annya secara selektif, dan efektif, membagi pengalaman pada bawahanya, membina bawahannya untuk mencapai tujuan, mengevaluasi kinerja dan memberikan unpan balik. Ketiga pemimpin tersebut harus menunjukkan diri sebagai konsultan, yaitu: melaksanakan konsultasi dan komunikasi dengan bawahanya, membuat nilai dan budaya bersama, melegitimasi kepemimpinan orang lain, memfasilitasi perkembangan kelompok, mengklarifikasi norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan, mengkomunikasikan visi dan misi, dan tujuan arganisasi, memecahkan permasalahan organisasi, menghadapai anggota yang mengganggu, meneliti informasi yang penting bagi bawahan dan organisasi, merencanakan dan mengkoordinasikan berbagai sumberdaya organisasi.
Tampaknya mencermati gaya kepemimpinan transsaksional, visioner, dan tarnsfor-masional masing-masing dari ketiga jenis gaya kepemimpinan tersebut memiliki kekhusus-nya yang saling melengkapi sesuai dengan jenis permasalahan dan mekanisme kerja dalam hubungannya dengan para bawahannya. Dari ketiga jenis gaya kepemimpinan tersebut gaya kepemimpinan transformasional disebutkan sebagai gaya kepemimpinan yang mempunyai sisi-sisi yang paling cocok dengan jaman sekarang ini.
Berdasarkan pada pembahasan terhadap beberapa jenis gaya kepemipinan seperti yang telah diuraikan di atas, ternyata terdapat berbagai jenis gaya kemimpinan yang masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahannya. Dari hasil pembahasan terhadap berbagai jenis gaya kepemimpinan tersebut tampaknya memang benar bahwa kepemim-pinan transformasional tersebut memiliki kelebihan, karena memperhatikan dan menjadi-kan berbagai sisi positif yang dijadikan dasar dalam mengembangkan teori kepemimpinan yang lainnya tersebut, baik dalam teori yang menggunakan pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional, tampaknya tercakup di dalamnya. Kemudian kepada para kepala sekolah silahkan merfleksi diri dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai kepala sekolah dengan berpijak pada berbagai teori kepempinan tersebut, lebih lanjut menghayati berbagai kelebihan dan kekurangan dari setiap gaya kepemimpinan. Lebih lanjut akan dapat mengambil sisi-sisi positifnya dan mengaplikasikannya dalam menjalankan tugas-tugas sebagai kepala sekolah sehingga akan diharapkan berdampak langsung terhadap pening-katan mutu pengelolaan pendidikan di sekolah.
C. Kepemimpinan Asta Sebagai Gaya Kepempinan Berbasis Budaya Bali
Pada saat sekarang ini masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat akademik khususnya nampak menunjukkan adanya kecendrungan bahwa dalam belajar tentang kepemimpinan lebih banyak dan lebih suka pada teori-teori yang berasal dari negara-negara barat, seperti teori-teori manajemen dan kepemimpinan yang berkembang di Eropa dan Amerika. Masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat akademik khususnya jika dalam melakukan suatu kegiatan akademik yang berfokus pada masalah kepemimpinan maka di dalam menguraikan, membahas, mengkaji, menganalisisnya tanpa berpijak dan berlandaskan pada teori-teori manajemen dan kepemimpinan yang berkembang di dunia barat tersebut, maka produk dari karya kegiatan ilmiah tersebut akan dirasakan kurang berkualitas, kurang ilmiah, kurang modern, kurang canggih, dan terkesan kurang menarik. Padahal disisi lain sebenarnya masih ada teori-teori kepemimpinan yang tidak kalah baiknya serta hebatnya yang terdapat dan bersumber dari budaya bangsa, khususnya sastra-sastra Agama Hindu yang merupakan mahakarya yang luhur dan adi luhung yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dari sejak jaman dahulu yang seharusnya juga sangat penting perlu dipelajari dan dapat dijadikan rujukan, landasan pijakan di dalam membahas masalah-masalah kepemimpinan, serta diaplikasikan dalam mengemban suatu kepemimpinan tersebut termasuk dalam dunia pendidikan khususnya para kepala sekolah. Ariasna (1988) misalnya menjelaskan ada beberapa pola atau sisfat-sifat kepemimpinan yang bersumber dari budaya bangsa, khususnya sastra-sastra Agama Hindu, seperti: (1) model kepemimpinan menurut Niti Sastra, (2) Asta Brata, (3) Panca Sthiti Dharmaning Prabhu, (4) Asta Dasa Paramiteng Perabhu, (5) Panca Pendawa, (6) Catur Kotamaning Nrpati, dan (7) Catur Naya Sandhi.
Dalam buku ajar ini juga dibahas salah satu model atau sifat kepemimpinan yang bersumber dari teori-teori budaya, dan sastra-sastra agama Hindu tersebut, yaitu model atau kepemimpinan Asta Brata.Tulisan ini dilakukan untuk mencoba menelusuri dan mendeskripsikan bagaimana kelebihan dan kehebatan dari teori-teori kepemimpinan yang bersumber dari budaya, karya-karya santra, dan agama Hindu tersebut, juga sebagai bahan masukkan bagi masyarakat atau publik khususnya para kepala sekolah sebagai pelaku, sebagai pigur pendidikan yang sentral dan strategis untuk dijadikan rujukan dalam penyelengaraan pengelolaan pendidikan di sekolah, dan dalam rangka ikut mewujudkan pencapaian sasaran kebijakan lokal gerakan dan melestarikan Ajeg Bali.
Dalam kepustakaan disebutkan ada berbagai cara dalam mendekati kepemimpinan dan karkteristik atau gaya kepemimpinan seseorang. Pendekatan teori kepemimpinan tersebut mulai dari teori pendekatan sifat, teori pendekatan perilaku, teori kontingensi, dan pendekatan situasional (Mulyasa.2002). Demikian juga pada saat jaman globalisasi seka-rang ini yang penuh ditandai dengan adanya perubahan dalam semua aspek kehidupan manusia yang begitu cepat dan dasyat juga dikaji teori kepemimpinan yang dianggap sesuai dengan jamannya seperti teori kepemimpinan dalam keberagaman budaya (Gerring Supriyadi, Suradji, Daan Suganda. 2001), kemudian teori kepemimpinan transaksional, visioner, dan transformasional (Komariah dan Triatna. 2006., Danim. 2005. 2006., Raihani. 2010).
Semua gaya atau pola kepemimpinan yang disebutkan di atas pada dasarnya adalah merupakan teori-teori dalam manjemen dan kepemimpinan yang dipelajari dan berkem-bang di dunia barat.
Dalam pembahasan berikutnya akan dibahas teori kepemimpinan Asta Brata yang merupakan salah satu teori kepemimpinan yang bersumber dari budaya, dan sastra agama Hindu. Dipilihnya teori kepemimpinan Asta Brata dalam pembahasan ini, karena model kepemimpinan ini tidak saja dikenal khususnya dalam masyarakat Indonesia yang beragama Hindu, tetapi sudah dikenal oleh seluruh masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya. Alasan lainnya yang dapat disebutkan mengapa pola kepemimpinan Asta Brata ini perlu dibahas karena memiliki kebenaran universal, memiliki nilai yang luhur dan adi luhung, berasal dari warisan budaya bangsa bersumber dari ajaran agama Hindu. Oleh karena itu model kepemimpinan Asta Brata tersebut sangat penting dipelajari, dipahami sehingga dapat diaplikasikan dalam melaksanakan tugas para pemimpin, baik sebagai pemimpin adat, pemimpin agama dan pemimpin dalam berbagai organisasi formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengingat begitu pentingnya model kepemimpinan Asta Brata ini, maka dahulu pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto ketika menerima para peserta pekan Wayang Indonesia ke VI di Istana Negara menyatakan bahwa tentang pendidikan kepemimpinan yang belum diperoleh di sekolah bisa diajarkan lewat tokoh-tokoh masyarakat khususnya para Dalang yakni Asta Brata yang menjadi dasar kepemimpinan pada kisah Ramayana dan kisah Maha Brata. Lebih jauh mantan Presiden Soeharto juga menyatakan Asta Brata memberikan ajaran yang mudah dipahami, karena menggunakan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa menjadi ancer-ancer atau titik tolak, yaitu dengan mendalami atau menghayati sifat dan watak alam semesta, baik sifat bumi, samudra, angin, angkasa, matahari, bulan, api dan bintang. Lebih lanjut beliau juga menyatakan bahwa kalau saja semua masyarakat Indonesia bisa dan dapat mempelajari kepemimpinan Asta Brata ini, mulai dari yang muda sampai kepada yang pada saat sekarang ini memegang pimpinan mau dan bisa menerapkan sifat dan watak alam yang digunakan sebagai ancer-ancer kepemimpinannya, saya kira Indonesia akan menjadi jaya (Ariasna. 1998). Dari kutipan tersebut menunjukkan bahwa betapa mantan Presiden Soeharto mengharapkan kepemimpinan Asta Brata tersebut supaya dipelajari karena telah terbukti memiliki berbagai kelebihannya dari sejak jaman dahulu yakni semenjak jaman nenek moyang bangsa Indonesia pada jaman kejayaan kerajaan Sri Wijaya dan kerajaan Majapahit.
Oleh karena model kepemimpinan Asta Berata tersebut merupakan warisan budaya bangsa, warisan budaya Hindu maka harus dipelajari, dipahami secara baik, dan sudah tentunya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh semua orang yang disebut pemimpin, apakah pemimpin dalam bidang adat, agama, bangsa dan negara termasuk para kepala sekolah. Bahkan khususnya masyarakat Bali dengan mempelajari, memahami secara benar, dan menerapkannya secara konsisten dalam melaksanakan tugas sebagai kepala sekolah berarti pula para kepala sekolah tersebut telah ikut berpartisipasi dalam menyukseskan kebijaksanaan lokal gerakan dan melestarikan ajeg Bali. Persoalannya adalah bagaimanakah model dan profil kepemimpinan Asta Brata tersebut secara lebih lengkap dan utuh.
Asta Berata berasal dari kata Asta yang berarti delapan, dan Brata yang berarti tugas, kewajiban, laku utama, keteguhan hati (Oka Mahendra. 2001). Dengan demikian Asta Brata berarti delapan tugas atau kewajiban utama yang mesti dipegang teguh oleh seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas seorang pemimpin. Asta Brata terdapat dalam Kitab Manawadharma Sastra atau Manusmrti Bab IX Sloka 303 yang menyatakan sebagai berikut: ”Hendaknya raja atau pemimpin berbuat seperti perilaku yang sama dengan Indra, Surya, Wayu, Yama, Waruna, Candra, Agni dan Pertiwi”.
Demikian pula ajaran Asta Brata tersebut terdapat dalam Kakawin Ramayana yang diubah oleh Pujangga Walmiki dan terdiri atas 10 seloka (Wiratmadja. 1995). Dalam seloka pendahuluannya disebutkan tentang sifat Hyang Widhi Waca yang menjadikan kekuatan umatnya dan menggambarkan tentang kemampuan yang harus dimiliki oleh segenap pemimpin. Kemudian dalam sloka yang keduanya disebutkan: ”Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Anila/Bayu, Kuwera, Baruna, dan Agni itulah delapan Dewa yang merupakan badan sang pemimpin, kedelapannya itulah yang merupakan Asta Brata”.
Kemudian penjelasan dari Asta Brata tersebut dengan merujuk pada penjelasan Oka Mahendra (2001) dapat disajikan sebagai berikut di bawah ini.
1. Indra Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 304 dikemukakan sebagai berikut: ”Laksana Indra yang mencurahkan hujan di musim hujan. Demikianlah raja menempati kedudukan Indra dengan menghujankan dana kekakayan bagi kerajaannya”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 58 dikemukakan: ”Beginilah brata Hyang Indra yang harus diikuti yaitu memberikan hujan kesejahteraan pada rakyat, anda hendaknya meniru brata Indra ini, sudana-lah yang anda limpahkan demi kesejahtraan rakyat”.
Sesuai dengan ajaran Indra Brata seperti yang telah dikutip di atas seorang pemimpin hendaknya mampu memenuhi keperluan dasar masyarakat di bidang ekonomi, membe-rikan rasa aman, meningkatkan kecerdasan rakyat, memberikan perhatian yang besar pada masyarakat lapisan bawah, sering turun ke bawah menyerap aspirasi masyarakat sebagai masukan dalam mengambil kebijakan, serta mampu menghanyutkan segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang menghambat kesejahtraan dan keadilan pada masyarakat.
Dengan demikian pemimpin hendaknya bagaikan air hujan yang turun dari langit yang memberikan kesejukan, menghapuskan kegersangan sehingga tercipta kesejahteraan lahir bathin secara adil dan merata sampai dengan lapisan masyarakat yang paling bawah dan ke seluruh penjuru.
2. Yama Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 307 dikemukakan sebagai berikut: ”Laksana Yama yang saatnya bertindak tegas kepada teman maupun kepada lawan, demikianlah hendaknya semua rakyatnya dikendalikan oleh raja sesuai dengan kedu-dukannya menyerupai Dewa Yama”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 54 dikemu-kakan: ”Dalam menghadapi perbuatan hendaknya diterapkan ajaran Yama Brata yaitu menghukum setiap perbuatan pencurian apalagi bila sampai menyebabkan kematian. Ikut dihukum mereka yang turut serta berbuat salah. Setiap orang yang mengacaukan negara patut mendapatkan hukuman mati”.
Jadi sesuai dengan ajaran Yama Brata seperti yang telah dikutip di atas seorang pemimpin harus mampu menciptakan ketertiban dengan hukum sebagai sarananya. Semua orang termasuk penguasa harus tunduk dan taat pada hukum sebagai sarana ketertiban serta pembangunan. Tidak ada seorangpun yang kebal hukum, berdiri di atas hukum, atau berada di luar hukum. Dengan demikian sebagai seorang pemimpin harus bisa menegakan wibawa hukum, menggunakan hukum sebagai dasar tindakannya, memperlakukan semua orang sama di depan hukum, berlaku adil dengan menghormati harkat dan martabat manusia.
3. Surya Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 305 dikemukakan sebagai berikut: ”Laksana Surya, selama delapan bulan menyerap air melalui sinar panasnya yang tidak terlihat, demikianlah hendaknya beliau dengan perlahan-lahan menarik pajak rakyat-nya, sesuai dengan kedudukannya yang menyerupai Matahari” Dari kutipan tersebut terkesan mengemukakan sesuatu makna yang khusus hanya dalam hal pemungutan pajak. Tampaknya dalam Ramayana XXIV: 55 akan memiliki makna yang lebih luas karena di dalamnya dikemukakan: ”Dewa Matahari selalu menyerap air perlahan-lahan tidak tergesa-gesa, demikianlah hendaknya kalau anda menginginkan sesuatu dalam mengambilnya, hendaknya sebagai caranya Matahari, yaitu selalu dengan cara yang lemah lembut”.
Dari kutipan-kutipan tersebut di atas sesuai dengan ajaran Surya Brata seorang pemimpin diharapkan mampu menggali potensi pajak sebagai sumber pendapatan dan sumber pembangunan yang dipungut secara adil, maupun membebaskan tanah untuk pembangunan misalnya haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya. Seorang pemimpin tidak boleh tergesa-gesa, tanpa perencanaan yang mantap dan tujuan yang jelas mengambil sesuatu dari rakyat. Setiap sumber pendapatan yang dipungut dari rakyat harus dikembalikan kepada rakyat, untuk kesejahteraan rakyat. Jadi ibarat matahari yang menyerap air dari samudra, kemudian menjadi mendung, dan akhirnya menjadi hujan yang turun menyegarkan segala yang ada di bumi. Dengan demikian pemimpin juga dituntut untuk melindungi kepada rakyatnya dari segala bentuk, serta dapat memberikan energi, kekuatan kepada masyarakat agar memiliki motivasi dan kegairahan untuk membangun dengan mengandalkan kemampuan sendiri.
4. Candra Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 309 dikemukakan sebagai berikut: ” Baginda adalah raja yang menduduki tempatnya Dewi Candra, yang rakyatnya menyambut kehadirannya dengan penuh senang hati, sebagai orang-orang yang gembira melihat bulan purnama”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 56 dikemu-kakan: ”Laku utama dari Dewa Bulan membuat seluruh dunia merasa bahagia. Demikianlah tindakan adinda, hendaknya selalu manis sebagai air kehidupan, junjung tinggilah orang tua serta orang-orang bijakasana dan bermurah hatilah terhadap mereka”
Jadi sesuai dengan ajaran Candra Brata maka seorang pemimpin tersebut haruslah meperlakukan bawahannya dengan penuh kasih sayang, penuh kesejukan, serta dengan penuh simpatik. Menghormati para sesepuh dan pini sepuh, lebih-lebih orang yang banyak berjasa pada masyarakat, para rohaniawan, cendekiawan, karena mereka membimbing rohani dan mencerdaskan masyarakat. Pemimpin harus mampu memberi sinar terang, menyejukan, dan membahagiakan rakyatnya.
5. Vhayu Brata (Maruta). Di dalam Manusmerti Bab. IX: 306 dikemukakan sebagai berikut: ”laksana wahyu (angin) bergerak kemana-mana masuk merupakan napas bagi semua mahluk hidup, demikianlah hendaknya raja melalui segala arah, karena sebagai inilah kedudukannya menyerupai angin”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 56 dikemukakan:”Hendaknya anda berbuat sebagai angin jika anda ingin menyelidiki tingkah laku orang lain. Penyelidikan itu hendaknya dilakukan dengan sopan tidak nampak. Itulah Bayu Brata yang tinggi nilainya dan membawakan jasa yang sangat bagus.”
Dari dua kutipan di atas dapat disebutkan bahwa seorang pemimpin menurut ajaran Vhayu Brata pertama harus menguasai seluruh wilayahnya, rakyatnya dan menjadi nafas kehidupan bagi semua mahluk. Kedua Pemimpin harus berkomunikasi dan melakukan kunjungan resmi maupun tidak resmi, selalu berkomunikasi dengan rakyatnya secara timbal balik. Jadi pemimpin bagaikan angin berada dimana-mana memhami apa yang hidup dan berkembang dan terjadi di tengah-tengah rakyatnya, baik berupa masalah-masalah, keluhan-keluhan, yang akan menghambat harapan rakyatnya. Menurut ajaran Asta Brata pengawasan juga sangat penting dilakukan untuk mengukur apa yang dicapai, menilai, serta mengadakan perbaikan terhadap berbagai kebijakan yang dipandang perlu. Pengawasan yang dilaksanakan tidak saja melekat pada sistem, tetapi melekat pada diri sendiri, sehingga walaupun tidak tampak, tetapi dirasakan ada seperti layaknya angin yang ada di mana-mana.
6. Bhumi (Dhanada). Di dalam Manusmerti Bab. IX: 331 dikemukakan sebagai berikut: ”laksana Bhumi menunjang semua mahluk hidup secara adil dan merata, demikianlah hendaknya raja terhadap rakyatnya sesuai dengan kedudukannya sebagai ibu pertiwi”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 58 dikemukakan:” Nikmatilah kekayaan hidup ini, tanpa melewati batas, baik dalam makan, minum, pakaian dan perhiasan, itulah laksana utama dari Dewa Dhanada yang hendaknya dipegang sebagai contoh”.
Dari dua kutipan tersebut di atas para pemimpin hendaknya mengusahakan kesejah-teraan semua mahluk secara adil dan merata. Sesuai dengan fungsi bumi pemimpin hendaknya memberi peluang dan kesempatan yang sama kepada rakyatnya untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan bathin. Memperhatikan kesejahteraan rakyat banyak, para pemimpin harus menjadi tauladan dalam menerapkan pola hidup sederhana, dan tidak dibenarkan melewati batas dalam menggunakan kekayaan untuk biaya hidup.
7. Varuna Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 308 dikemukakan sebagai berikut: ” Laksana orang-orang berdosa tampak terikat tali oleh Waruna, demikianlah hendaknya raja menghukum orang-orang itu sesuai kedudukannya menyerupai Waruna”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 58 dikemukakan: ”Dewa Waruna memegang senjata yangat berbisa yaitu Nagapasa yang dapat mengikat secara ketat, anda hendak-nya memakai secara teladan hakekat dari Nagapasa ini, yaitu anda harus mengikat dengan ketat”.
Bedasarkan pada kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin haruslah memerangi semua jenis tanpa kenal kompromi. Pemimpin harus tegas menghukum, mengikat erat-erat orang-orang durjana, pemimpin harus mampu menghalangi sumber-sumber, demi terciptanya pergaulan sosial yang tertib dan tentram.
8. Agni Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 310 dikemukakan sebagai berikut: ”Bila baginda bersemangat dalam menumpas dan memiliki kekuatan yang dasyat serta mampu menghancurkan penguasa-penguasa yang , maka sifat baginda sama dikatakan seperti Agni”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 60 dikemukakan:” Kewa-jiban utama yang dilakukan oleh Bahni (Api) ialah selalu menghanguskan penentang-nya. Keberanian dan ketangguhan untuk menghadapi musuh, itulah perlambang api, siapapun yang anda serang pasti hancur lebur, itulah yang dinamkan Agni Brata”
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin tersebut harus memiliki kemampuan dalam menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dan wilayah negara dan menjaga kekuasaan negara dari berbagai ancaman yang datangnya dari dalam dan dari luar. Pemimpin harus mampu melindungi masyarakat dari ancaman dan musuh yang datangnya dari luar dan dari dalam negeri, pemimpin harus memiliki kemampuan dan kekuatan untuk membasmi segala bentuk demi untuk kejayaan masyarakat.
Berdasarkan pada penjelasan dari masing-masing unsur kepemimpinan Asta Brata tersebut di atas, tampak begitu banyak berisi dan mengandung nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yang dapat dan seharusnya ditauladani, ditaati, dan dilaksanakan serta perlu dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap pemimpin termasuk kepala sekolah. Kemudian kalau dicermati secara lebih hati-hati, tampaknya dengan keterbatasan kekeritisan dari penulis, keterbatasan dalam bahan sumber kajian terutama yang bersumber dari ajaran-ajaran agama Hindu sebagai pisau atau alat analisisnya, mungkin penulis akan dapat mengidentifikasi dan menjabarkan turunannya secara lebih bebas, sederhana, operasional, dan riil bahwa nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yang bersumber dari Kepemimpinan Asta Brata tersebut yang seharusnya dapat dan diharapkan ditauladani seorang pemimpin khususnya seorang kepala sekolah haruslah mampu mewujudkan sifat atau pola kepemimpinan Asta Brata yang bercirikan kurang lebih atau paling tidak sebagai berikut di bawah ini:
1. Kepala sekolah harus mampu mewujudkan dan memenuhi keperluan dasar masyarakat/ warga sekolah dalam berbagai fasilitas material dan non material.
2. Kepala sekolah harus memberikan rasa aman kepada semua warga sekolah.
3. Kepala sekolah harus meningkatkan kecerdasan semua warga sekolah.
4. Kepala sekolah harus memberikan perhatian yang besar pada warga sekolah sampai lapisan paling bawah seperti pesuruh, maupun tukang kebersihan sekolah.
5. Kepala sekolah harus mampu menyerap aspirasi warga sekolah yang bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil berbagai keputusan.
6. Kepala sekolah mampu menegakan wibawa hukum terhadap warga sekolah.
7. Kepala sekolah harus berani memberantas dan menghanyutkan segala bentuk penyim-pangan dan penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh warga sekolah.
8. Kepala sekolah harus mampu menciptakan ketertiban sekolah dengan berbagai peraturan, dan hukum sebagai sarananya.
9. Kepala sekolah harus menggunakan hukum sebagai dasar tindakannya,
10. Kepala sekolah harus memperlakukan semua warga sekolah sama di depan hukum, dan berlaku secara adil dengan menghormati harkat dan martabat manusia.
11. Kepala sekolah harus tunduk dan taat pada hukum sebagai sarana ketertiban serta pembangunan.
12. Kepala sekolah mampu menggali potensi sumber pendapatan dan sumber pembangun-an secara adil.
13. Kepala sekolah tidak boleh tergesa-gesa, tanpa perencanaan yang mantap dan tujuan yang jelas, strategis, dan visioner dalam mengambil sesuatu kebijakan.
14. Kepala sekolah mampu melindungi warga sekolah.
15. Kepala sekolah dapat memberikan energi, kekuatan kepada warga sekolah agar memi-liki motivasi dan kegairahan untuk membangun dengan mengandalkan kemampuan sendiri.
16. Kepala sekolah harus menghormati para sesepuh dan pini sepuh, lebih-lebih orang yang banyak berjasa pada masyarakat, seperti para rohaniawan, cendekiawan, karena mereka membimbing rohani dan mencerdaskan warga sekolah.
17. Kepala sekolah harus mampu memberi sinar terang, menyejukan, dan membahagiakan warga sekolah.
18. Kepala sekolah meperlakukan warga sekolah dengan penuh kasih sayang dan dengan penuh simpatik.
19. Kepala sekolah harus menguasai seluruh lingkungan sekolah, warga sekolah dan menjadi nafas kehidupan bagi semua di lingkungan sekolah.
20. Kepala sekolah harus mampu berkomunikasi secara baik.dengan warga sekolah.
21. Kepala sekolah mampu mengembangkan sistem pengawasan yang ada pada diri sendiri para warga sekolah, sehingga walaupun tidak tampak, tetapi dirasakan ada seperti layaknya angin yang ada di mana-mana.
22. Kepala sekolah hendaknya memberi peluang dan kesempatan yang sama kepada warga sekolah untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan bathin secara adil dan merata.
23. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya menjadi tauladan bagi warga sekolah dalam menerapkan pola hidup sederhana.
24. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya mampu memerangi semua jenis yang kemungkinannya dilakukan oleh warga sekolah tanpa kenal kompromi.
25. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya memiliki sifat yang tegas menghukum terhadap warga sekolah yang melakukan, mengikat erat-erat orang-orang durjana,
26. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya mampu menghalangi sumber-sumber, demi terciptanya pergaulan sosial yang tertib dan tentram diantara warga sekolah.
27. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya memiliki kemampuan dalam menegak-kan persatuan dan kesatuan warga sekolah.
28. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya mampu melindungi warga sekolah sekolah dari ancaman yang datangnya dari luar dan dari dalam sekolah.
29. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya memiliki kemampuan dan kekuatan untuk membasmi segala bentuk demi untuk kejayaan sekolahnya.
Demikianlah mungkin deskripsi pola kepemimpinan Asta Brata yang dapat diidentifikasi dan diturunkan dalam bentuk nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman sebagai pemimpin dalam melaksanakan tugas sebagai kepala sekolah, sudah tentunya masih banyak yang dapat dan bisa digali serta dikembangkan, terlebih-lebih unsur-unsur dari kepemimpinan Asta Brata tersebut sesungguhnya disebut-kan adalah sebagai pencerminan dan manifestasi dari sifat-sifat Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca, yang sudah tentunya sesuai dengan ajaran agama Hindu Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca memiliki sifat yang maha sempurna. Jadi barangkali nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yang disebutkan oleh penulis tersebut hanya baru merupakan bagian kecil saja, hanya sebagai stimulan agar berbagai lapisan mayarakat khususnya di Bali ikut mengkajinya dan mendiskusikannya dari berbagai sisi. Demikian pula karena semua bentuk nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman sebagai pemimpin tersebut adalah sebagai manipestasi dan bersumber dari sifat Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca, maka sebagai seorang pemimpin sudah tentunya seharusnya menerapkannya karena merupakan sifat-sifat dan kehendak dari Tuhan. Namun demikian sesungguhnya kalau dicermati dan dikritisi secara lebih akademik cara berpikir yang memposisikan pola kepemimpinan Asta Brata sebagai suatu model kepemimpinan yang bersumber dari sifat-sifat Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca yang kemudian memunculkan adanya adagium yang menyatakan suara raja sebagai pemimpin adalah suara Tuhan. Suara raja atau semua perintah raja tersebut adalah benar, raja tidak pernah berbuat salah pada saat sekarang ini di jaman modern tampak ada semacam kontradiksi dengan paham kepemimpinan yang bersifat demokrasi, yang memunculkan adagium suara rakyat adalah suara Tuhan. Jadi rakyatlah yang paling berkuasa, walaupun pada saat modern ini dipresentasikan melalui wakil-wakilnya. Secara sepintas jelas kedua pola kepemimpinan tersebut tampak bertentangan. Dan sudah tentunya menurut hemat penulis dari kedua cara padang, cara berpikir, dan cara mendekati pola kepemimpinan tersebut tidak mesti didebatkan atau dipertentangkan, karena pada dasarnya kalau dilihat secara lebih dalam dari sisi sifat, indikator, maupun ciri-cirinya secara realnya kepemim-pinan Asta Brata dan kepemimpinan yang bersifat demokratis yang disebut paling relevan dengan jaman globalisasi seperti misalnya kepemimpinan transaksional, visioner, dan tarnsformasi tidak jauh berbeda, malah banyak memiliki kesamaannya, saling melengkapi. Dalam hubungan ini barangkali bisa dibandingkan beberapa nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yang dicoba dan dapat diidentikasikan dari kepemimpinan Asta Brata tersebut di atas dengan beberapa sifat yang merupakan ciri dari kepemimpinan transformasional seperti yang dikemukakan oleh Anderson (Usman. 2006), sebagai berikut. Kepemimpian transformasinal memiliki atau bercirikan bahwa seorang pemimpin tersebut, pertama, harus menunjukkan diri sebagai komunikator: yaitu mengenali bawahannya, mengelola bawahannya, memahami bawahannya dengan akurat, mengko-muni-kasikan visinya dengan bawahannya, mengakui keberhasilan bawahannya, menahan emosi terhadap bawahannya, mengatasi konflik antar pribadi, membina hubungan yang efektif dan menyenangkan terhadap bawahanya, menghormati dan menghargai bawahanya, memberikan dukungan terhadap bawahannya. Kedua, sebagai konselor, yaitu: membantu bawahannya mengatasi masalahnya, membantu bawahannya membuat rencana atau tujuan yang ingin dicapai, memotivasi bawahannya untuk bertindak, menghadapi orang-orang yang jenuh dan membangkang, melakukan pemindahan bawah-annya secara selektif, dan efektif, membagi pengalaman pada bawahanya, membina bawahannya untuk mencapai tujuan, mengevaluasi kinerja dan memberikan unpan balik, dan yang ketiga, pemimpin tersebut harus menunjukkan diri sebagai konsultan, yaitu: melaksanakan konsultasi dan komunikasi dengan bawahanya, membuat nilai dan budaya bersama, melegitimasi kepemimpinan orang lain, memfasilitasi perkembangan kelompok, mengklari-fikasi norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan, mengkomunikasikan visi dan misi, dan tujuan arganisasi, memecahkan permasalahan organisasi, menghadapai anggota yang mengganggu, meneliti informasi yang penting bagi bawahan dan organisasi, merencanakan dan mengkoordinasikan berbagai sumberdaya organisasi. Bahkan kelebihan dari kepemim-pinan Asta Brata tersebut tidak saja karena ada kesamaan ciri dengan kepemimpinan transformasi, tetapi juga karena dasarnya, sumbernya adalah keyakinan, kepercayaan, religiusitas, moralitas, kesetiaan, komitmen, keteguhan prinsip pada ajaran agama Hindu tanpa ada diskusi yang panjang secara akademik, maka tampaknya dan seharusnya orang-orang yang disebut pemimpinan pasti akan merasa lebih terikat, lebih terdorong untuk mengaplikasikannya, dan akan merasa dosa atau bersalah apabila tidak melaksanakan dalam tugasnya sebagai pemimpin yang selalu harus diingatkan atau diinstruksikan secara formal oleh atasan secara garis kuasa atau birokrasi yang vertikal dalam suatu lembaga atau organisasi seperti sekolah.
D. Kompetensi Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pendidikan
Kompetensi adalah merupakan salah satu kriteria dari suatu profesi. Kepala sebagai suatu pengembangan jabatan dari guru yang disebut tugas tambahan juga dituntut untuk memenuhi kriteria kompetensi tersebut. Kompetensi bisa dilihat dari berbagai aspek seperti pengertiannya, karakteristiknya, maupun cara mengukur kompetensi tersebut. Dalam pembahasan bab ini juga dibahas beberapa aspek dari kompetensi profesi tenaga kependidikan khususnya kepla sekolah.
Mengenai pengertian kompetensi sebagai salah satu ciri dari profesi dalam kepus-takaan diberikan pengertian secara beraneka ragam tergantung dari sudut pandang para penulis. Keaneka ragaman pengertian kompetensi tersebut, dapat ditunjukkan dalam pembahasan ini, seperti, misalnya ada pendapat yang menyatakan bahwa kompetensi tersebut adalah suatu hal yang menggambarkan kemampuan seseorang, baik yang kuali-tatif maupun kuantitatif (Usman. 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengertian kompe-tensi seperti ini mengandung makna bahwa kompetensi tersebut dapat digunakan dalam dua kontek. Kontek pertama sebagai indikator yang menunjukkan kepada perbuatan yang diamati. Kontek kedua sebagai konsep yang mencakup aspek-aspek kognitif. afektif, dan perbuatan, serta tahap-tahap pelaksanaannya secara utuh. Kemudian kompetensi juga diberikan pengertian sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian darinya sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya (Mulyasa. 2003). Kompetensi juga diberikan pengertian sebagai panguasaan terhadap tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk keberhasilan (Mulyasa. 2003). Kemudian Gordon dalam Mulyasa (2005) memerinci beberapa aspek dari kompetensi, sebagai berikut. Pertama pengetahuan, yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, seperti, misalnya seorang guru sekolah mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan bantuan yang diperlukan muridnya dalam melakukan pembelajaran dikelasnya. Kedua pemahaman yaitu kedalaman kognitif dan apektif yang dimiliki oleh individu, seperti misalnya seorang guru yang akan melaksanakan pemebelajaran harus memiliki pemahaman yang luas tentang karekteristik dan kondisi muridnya agar dapat pembelajaran berjalan secara efktif. Ketiga kemampuan, yaitu suatu yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya, seperti, misalnya kemam-puan guru dalam memilih dan membuat media pembelajaran yang diperlukan untuk lebih memotivasi dan memudahkan pembelajaran peserta didik. Keempat nilai, yaitu suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang, seperti, misalnya standar perilaku dalam pembelajaran, antara lain kejujuran, keterbukaan, demokratis, obyektif, adil. Kelima sikap, yaitu perasaan seperti perasaan senang dan tidak senang, suka tidak suka, atau reaksi terhadap terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar, seperti reaksi terhadap krisis ekonomi, kenaikan gaji, dan sebagainya. Keenam minat yaitu kecendrungan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, seperti, misalnya, minat sesorang untuk melakukan sesuatu atau mempelajari sesuatu. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh suatu profesi adalah mencakup: kemampuan untuk mengembangkan pribadi, penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan, kemampuan berkarya, kemampuan menyikapi dan berprilaku dalam berkarya, dapat hidup bermasya-akat (Pusposutardjo. 2002). Pengertian kompetensi lainnya yang lebih konseptual sifatnya menguraikan bahwa kompetensi tersebut mengandung tiga pengertian. (1) pengertian kompetensi itu pada dasarnya merupakan kecakapan atau kemampuan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan, (2) menunjuk pada pengertian bahwa kompetensi itu merupakan sifat orang-orang, yang memiliki kecakapan, kemampuan, otoritas, kemahiran, pengetahuan dan lain sebagainya untuk dapat mengerjakan sesuatu yang diperlukan, dan (3) bahwa kompetensi merupakan tindakan atau kinerja rasional yang dapat mencapai tujuan-tujuannya secara memuaskan berdasarkan kondisi yang diharapkan (Makmun.1996, Dep-dikbud.1978, Depdikbud. 1984). Lebih jauh Makmun (1996) menyatakan bahwa berpijak pada pengertian kompetensi tersebut dapat juga dijelaskan bahwa sesungguhnya seseorang yang dapat disebut sebagai profesional yang kompeten, kalau menunjukkan karakteristik: (1) mampu melakukan sesuatu pekerjaan tertentu secara rasional, dalam arti, ia memiliki visi dan misi yang jelas, ia melakukan sesuatu berdasarkan pada hasil analitis kritis dan pertimbangan logis dalam membuat pilihan dan mengambil keputusan tentang apapun yang akan dikerjakan, (2) menguasai perangkat pengetahuan yaitu teori, konsep, prinsip dan kaidah, hipotesis dan generalisasi, data dan imformasi lainnya tentang seluk beluk apa yang menjadi bidang tugas pekerjaannya, (3) menguasai perangkat keterampilan yang mencakup strategi dan taktik, metode dan teknik, prosedur dan mekanisme, sarana dan instrumen, tentang cara melakukan tugas pekerjaannya, (4) menguasai perangkat persyaratan ambang tentang ketentuan kelayakan normatif minimal kondisi dari proses yang dapat ditoleran-sikan dan kriteria keberhasilan yang dapat diterima dari apa yang dilakukannya, (5) memiliki daya dan citra unggulan dalam melakukan tugas pekerjaannya. Ia bukan sekedar puas dengan memadai persyaratan minimal, melainkan berusaha mencapai yang sebaik mungkin, dan (6) memiliki kewenangan yang memancar atas penguasaan perangkat kompetensi yang dalam batas tertentu dapat didemontrasikan dan teruji sehinga memung-kinkan memperoleh pengakuan pihak berwewenang.
Demikian variasi pengertian tentang kompetensi dari para penulis, dengan demikian berdasarkan pada pengertian kompetensi yang begitu beragam tersebut menambah wawas-an dan khasanah para calon kepla sekolah, dan lebih lanjut akan memiliki pijakan yang lebih luas dan kuat dalam mempelajari serta memahami kompetensi profesi kependidikan khususnya jabatan kepala sekolah tersebut.
Persoalannya sekarang bagaimanakah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah agar dapat melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin secara efektif? Dalam hubungannya dengan kompetensi kepala sekolah ada pendapat yang menyatakan bahwa seorang kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan: (1) perilaku yang berorientasi pada tugas dengan memfokuskan pada kegiatan penyusunan perencanaan, mengatur pekerjaan, melakukan koordinasi kegiatan anggota, dan menyediakan peralatan dan bantuan teknis yang diperlukan, (2) perilaku yang berorientasi hubungan kepala sekolah sebagai manajer harus penuh perhatian mendukung dan membantu guru, konselor, dan karyawan sekolah dan berusaha memahami permasalahan dan pemecahannya, da (3) perilaku partisipatif, kepala sekolah melakukan pertemuan kelompok yang memudahkan partisipasi, pengambilan keputusan, memperbaiki komunikasi, mendorong kerjasama, dan memudahkan pemecahan konflik (Sergiovanni. 1977). Sesuai dengan Peraturan Menteri No. 13 Tahun 2007 tentang standar kepala sekolah diatur bahwa seorang kepala sekolah tersebut dituntut harus memiliki kompetensi keperibadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial. Secara lebih lebih lengkap dan rincinya kompetensi yang dimaksudkan tersebut adalah seperti yang disajikan dalam daftar tabel berikut di bawah ini.
TABEL NO DAFTAR KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH
1. Kepribadian | Mampu atau memiliki akhlak mulia. |
Mampu mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia di sekolah tempat bertugas. | |
Mampu menjadi teladan akhlak mulia bagi komunitas sekolah. | |
Mampu atau memiliki integritas kepribadian dalam memimpin di sekolah | |
Mampu atau memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan diri sebagai kepala sekolah | |
Mampu mengembangkan sikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai kepala sekolah. | |
Mampu mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam peker-jaan sebagai kepala sekolah. | |
Mampu atau memiliki bakat dan minat sebagai kepala sekolah. | |
2. Manajerial | Mampu menyusun perencanaan yang visioner. |
Mampu mengembangkan organisasi sekolah sesuai kebutuhan. | |
Mampu memimpin sekolah dalam menggunakan sumberdaya seko-lah. | |
Mampu mengelola perubahan dan pengembangan sekolah menuju organisasi belajar yang efektif. | |
Mampu menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif bagi PBM siswa. | |
Mampu menerapkan nilai-nilai kewirausahaan dalam menciptakan inovasi yang berguna bagi pembangunan sekolah. | |
Mampu mengelola guru dan staf dalam rangka pandayagunaan SDM secara optimal. | |
Mampu mengelola sarana dan prasarana sekolah dalam rangka panda-yagunaan secara optimal. | |
Mampu mengelola hubungan sekolah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar dan pembiayaan sekolah. | |
Mampu mengelola kesiswaan dalam rangka penerimaan siswa baru, penempatan siswa, dan pengembangan kafasitas siswa. | |
Mampu mengelola perkembangan kurikulum dan kegiatan pem-belajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional. | |
Mampu mengelola keuangan sekolah sesuai dengan prinsip pengelo-laan yang akuntabel, tranfarans, dan efisien. | |
Mampu mengelola ketatausahaan sekolah dalam mendukung penca-paian tujuan sekolah. | |
Mampu mengelola untuk layanan khusus sekolah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan kesiswaan lainnya. | |
Mengelola system informasi sekolah dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan. | |
Mampu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkat-an pembelajaran dan manajemen sekolah. | |
Mampu mengelola kegiatan produksi/jasa sebagai sumber belajar siswa. | |
Mampu melakukan monitoring evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program kegiatan sekolah dengan prosedur yang tepat, serta meren-canakan tindak lanjutnya. | |
3. Kewirausahaan | Mampu menciptakan inovasi bagi pengembangan sekolah. |
Mampu bekerja keras untuk mencapai keberhasilan sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif. | |
Memiliki motivasi yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah. | |
Pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam mengha-dapi kendala yang dihadapi sekolah. | |
Memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/ jasa sekolah/sebagai sumber belajar peserta didik. | |
4. Supervisor | Mampu merencanakan program supervisi akademik dalam rangka meingkatkan profesionalisme guru. |
Mampu melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat. | |
Mampu menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru da-lam rangka peningkatan profesionalisme guru. | |
5. Sosial | Mampu bekerjasama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah |
Mampu melakukan partisipasi dalam kegiatan sosial. | |
Memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain. | |
6. Penunjang | Mampu meningkatkan citra dan profesionalisme sekolah. |
Mampu meningkatan daya saing sekolah secara global. | |
Mampu menggugah jati diri bangsa |
Demikian juga di samping kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan seperti yang telah diuraikan di atas, lebih dari itu kemampuan tersebut sebaiknya didukung oleh suatu sifat kepemipinan yang menurut pendapat Dewantara (Depdikbud, Dijendikdasmen. 1993) kepala sekolah harus memiliki sifat kepemimpinan yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Kepemimpinan yang paling cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia adalah kepemimpinan Pancasila, yaitu ing ngarso sung tuludo, ing madio mangun karso, tut wuri andayani. Sifat kepemimpinan tersebut kemudian lebih dejelaskan sebagai berikut. Ing ngarso sung tuludo yang artinya kurang lebih sebagai kepala sekolah yang berdiri tegak di paling depan harus mampu memberi contoh atau teladan kepada bawahannya misalnya sebagai berikut: cara berpakaian yang rapi, kehadiran yang lebih awal dari guru-guru yang lain, memiliki wibawa, menguasai masalah yang menyangkut bidangnnya, memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi, penuh dedikasi, aktif dan kreatif. Ing madio mangun karso yang artinya kurang lebih sebagai berikut kepla sekolah yang ideal apabila ada ditengah-tengah lingkungan tugasnya dan bijkasana, yaitu mampu memberikan motivasi terhadap guru-guru dan karyawan yang lainnya agar mencintai profesinya, mampu dan menunjukkan masalah-masalah pekerjaan apabila guru dan karyawan mendapatkan kesulitan, jangan hanya bisa menyalahkan, mencari kesalahan guru-guru dan karyawan, tetapi harus mebantu memecahkan masalah tersebut, harus mampu menciptakan suasana yang menyenangkan sehingga guru dan karyawan bekerja dengan suasana aman, merasa tidak ditekan, serta memperhatikan kesejahteraaan bawahannya dalam hal transpotasi, kehidupan keluarga, tempat tinggal, membantu memecahkan masalah keluarga apabila dimintai pertimbangan oleh bawahan, sehingga bawahan dapat bekerja dengan tenang. Ttut wuri andayani yang artinya kurang lebih kepala sekolah hendaknya memberi kebebasan kepada bawahannya untuk bertindak aktif dan kreatif dalam menjalankan tugasnya, yaitu mampu menjabarkan tugas-tugas sebagai guru dan karyawan, wakil kepala sekolah dan staf karyawan agar diberikan kesempatan untuk menjabarkan kebijakan kepla sekolah yang telah dituangkan dalam program, dan administrasi sekolah yang dikelola oleh karyawan tata usaha agar dijabarkan sesuai dengan kebutuhannya. Kepala sekolah mengikutinya, mengarahkannya apbila terjadi kesalahan penafsiran atau terjadi penyimpangan dari kebijkan yang telah ditetapkan.
E. Kuasa dan Jenis Kuasa Kepala Sekolah
Istilah kekuasaan dalam literatur manajemen telah digunakan secara umum, akan tetapi masih juga terjadi kekaburan tentang pengertiannya. Sering istilah kekuasaan digunakan secara silih berganti dengan istilah-istilah lainnya, seperti pengaruh, dan otoritas. Menurut Max Weber (Thoha. 1990) memberikan pengertian kekuasaan sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan. Dalam sumber yang sama Thoha (1990) mengutip pendapat Walter Nord yang memberikan pengertian kekuasaan tersebut sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi aliran energi dan dana yang tersedia untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan yang lainnya. Wexley dan Yukl (1977) memberikan pengertian kekuasaan sebagai kapasitas mempengaruhi orang lain. Seorang mempunyai kekuasaan sepanjang terus dapat mempengaruhi tidak peduli apakah usaha-usaha yang dilakukan itu benar-benar mem-punyai pengaruh. Kemudian Rivai (2004) memberikan pengertian kekuasaan sebagai kemampuan untuk membuat orang lain melakukan apa yang diinginkan oleh pihak yang lainnya. Kekuasaan meliputi hubungan antara dua orang atau lebih. Seseorang atau kelompok tidak akan dapat memiliki kekuasaan dalam keadaan terisolasi, kekuasaan harus diterapkan, atau mempunyai potensi untuk diterapkan dalam hubungannya dengan orang atau kelompok lainnya. Rogers (1973) berusaha membuat lebih jelas kekaburan istilah dengan merumuskan kekuasaan sebagai suatu potensi dari suatu pengaruh. Dengan demikian kekuasaan adalah suatu sumber yang bisa atau tidak bisa untuk dipergunakan. Pengunaan kekuasaan selalu mengakibatkan perubahan dalam kemungkinan bahwa seseorang atau kelompok akan mengangkat suatu perubahan perilaku yang diinginkan. Rogers tampaknya telah memberikan rumusan yang bermakna bagi kepemimpinan dijelaskan olehnya bahwa kepemimpinan ialah suatu proses untuk mempengaruhi aktivitas-aktivitas individu dan kelompok dalam usahanya untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dengan mengikuti penjelasan dari Rogers dapat disimpulkan bahwa kepemim-pinan adalah setiap usaha untuk mempengaruhi, sementara itu kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin tersebut. Demikian pula dijelaskan bahwa otoritas adalah sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki oleh pemimpin.
Banyak teori yang menjelaskan jenis kuasa yang telah dikaji oleh para ahli. Dari sejumlah teori tersebut diantaranya Bateman dan Snell (2007) dengan mengutip teori dari French dan Raven menyebutkan bahwa pemimpin tersebut paling tidak memiliki lima jenis kuasa, demikian juga Wexley dan Yukl (1977), Koontz, dkk (1984), Stoner, dkk (1995) menyebutkan lima jemis kuasa bisa dipakai secara luas. Jenis kuasa yang dimaksudkan adalah kuasa paksaan (Coercive power), kuasa refernsi (Refrent power), kuasa legitimasi (Legitimte power), kuasa keahlian (Expert power), dan kuasa penghargaan (reward power).
Kuasa paksaan (Coercive power) adalah didasarkan atas rasa ketakutan bahwa kegagalan mematuhi peraturan atau perintah akan mengakibatkan beberapa bentuk hukuman.
Sumber dari kuasa paksaan adalah pengendaliannya atas konsekwensi-konsekwensi negatif para bawahan, seperti: denda, skorsing, serta pemecatan, penurunan pangkat, mutasi, dan lain sebagainya.
Kuasa refernsi (Refrent power) adalah didasarkan atas identifikasi dan ketertarikan. Sejumlah pemimpin politik atau kegamaan memiliki kharisma atau daya tarik pribadi yang luar biasa dan para bawahannya sangat patuh dan menghormati. Kuasa refrensi ditentukan oleh kepribadian pemimpin dan kapasitasnya dalam memberi inspirasi terhadap bawahan serta memberikan harapan-harapan dan nilai-nilai. Disamping itu kuasa refernsi ditentukan juga oleh bagaimana caranya pemimpin memperlakukan bawahan. Cara yang paling layak bagi seorang pemimpin adalah dengan meninggikan konsiderasi.
Kuasa legitimasi (Legitime power) adalah kekuasaan yang bersumber dari kedu-dukan atau jabatan formal atau informal yang dipegang seseorang. Kekuasaan legitimasi diperoleh dari wewenang hukum. Kekuasa ini meliputi kepatuhan bawahan dengan peraturan dan perintah serta petunjuk yang diberikan dari pimpinan bila hal ini dianggap sah oleh bawahan dari segi lingkup pemimpin. Lingkup wewenang ditentukan oleh organisasi dan keanggotaan bawahan ditentukan dalam perjanjian formal atau mungkin sudah tercakup dalam persetujuan informal. Wewenang pemimpin sangat tinggi terutama yang berkaitan dengan prosedur dan penjawalan kerja. Banyaknya pengaruh seorang pemimpin berasal dari wewenang organisasi, karena itu kuasa legitimasi dari pemimpin biasanya sebaiknya didukung dengan kuasa paksaan.
Kuasa keahlian (Expert power) adalah kuasa yang bersumber dari suatu keahlian dan kemampuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin dapat mempe-ngaruhi pendapat bawahan jika ia dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian yang luas. Dengan keahliannya mempengaruhi secara tidak langsung perilaku bawahanya. Pengaruh pimpinan akan lebih besar apabila memiliki pengetahuan penting yang luas, jika pemimpin sangat persuasif dan pintar dalam mempengaruhi bawahannya, jika pemimpin memiliki kejujuran dan kepercayaan yang tinggi dari bawahan..
Kuasa penghargaan (reward power) adalah kekuasaan yang bersumber dari hadiah atau penghargaan yang diberikan oleh seorang pemimpin. Pemimpimpin akan mengen-dalikan atas konsekwensi-konsekwensi positif yang ditimbulkan terhadap bawahan, sperti kenaikan upah, kenaikan gaji, kenaikan pangkat, promosi, penugasan, pengakuan formal, dan penghargaan yang lainnya.
Dari kutipan dan uraian di atas dapat diketahui paling tidak ada lima jenis kuasa yang dikenal dalam teori manajemen, namun demikian kalau mengikuti uraiannya Hersey dan Blanchard (1982) disamping lima jenis kuasa di atas, masih ada dua jenis kuasa yang lainnya, yaitu kuasa koneksi dan kuasa informasi.
Berdasarkan uraian di atas maka ada berberapa variasi pilihan jenis kuasa yang dapat dipilih dan digunakan oleh seorang pemimpin dalam upaya untuk meningkatkan kinerja atau profesionalime bawahannya. Demikian juga dalam bidang pendidikan seorang kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan memiliki variasi pilihan jenis kuasa yang dapat disesuaikan dan sudah tentunya juga dengan mempertimbangkan tingkat kematangan para guru sebagai bawahannya dalam rangka untuk peningkatan kualitas kompetensi profesionalismenya.
Secara teori manajemen terutama dalam teori gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (1982) bahwa tingkat kematangan bawahan atau pengikut tidak hanya menentukan gaya kepemimpinan seseorang pemimpin, tetapi juga sangat menentukan di dalam memilih jenis kuasa yang seharusnya perlu digunakan pemimpin untuk dapat menimbulkan peningkatan kepatuhan perilaku bawahan. Oleh karena itu pemimpin yang efektif perlu menyesuaikan atau memvariasikan jenis kuasa yang diterapkan atau diperlakukan terhadap pengikutnya.
Dalam hubungan ini apabila tingkat kematangan bawahan tersebut termasuk tingggi (M4), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan oleh seorangg pemimpin sehingga kepemimpinannya tersebut dapat terlaksana secara efektif adalah jenis kuasa keahlian. Apabila tingkat kematangan bawahan tersebut termasuk sedang (M3, M2), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan oleh seorang pemimpin sehingga kepemimpinannya tersebut dapat terlaksana secara efektif adalah jenis kuasa refrensi atau kuasa penghargaan. Demikian pula apabila tingkat kematangan bawahan tersebut termasuk rendah (M1), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan oleh seorang pemimpin sehingga kepemimpinannya tersebut dapat terlaksana secara efektif adalah jenis kuasa paksaan.
Dengan demikian dalam bidang pendidikan terutama di sekolah kepala sekolah tampaknya juga mempunyai variasi pilihan jenis kuasa yang dapat dipilih dan digunakan dalam rangka melaksanakan pembinaan kualitas kompetensi profesionalisme para guru sebagai bawahannya. Apabila kepala sekolah dalam rangka melaksanakan pembinaan peningkatan kualitas kompetensi profesionalime guru berhadapan dengan para guru sebagai bawahnya yang memiliki tingkat kematangan yang tingi (M4), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan sehingga pembinaanya tersebut dapat terlaksana secara efektif adalah jenis kuasa keahlian. Kemudian Apabila kepala sekolah dalam rangka melaksanakan pembinaan peningkatan kualitas kompetensi profesionalime guru berhadapan dengan para guru sebagai bawahnya memiliki tingkat kematangan yang sedang (M3, M2), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan sehingga pembinaanya tersebut dapat terlaksana secara efektif adalah jenis kuasa refernsi atau jenis kuasa penghargaan. Demikian juga apabila kepala sekolah dalam rangka melaksanakan pembinaan peningkatan kualitas kompetensi profesionalime para guru tersebut berhadapan dengan guru sebagai bawahnya yang memiliki tingkat kematangan yang rendah (M1), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan sehingga pembinaannya tersebut dapat terlaksana secara efektif adalah jenis kuasa paksaan.
0 komentar:
Posting Komentar