Pandangan Ahli Tentang Perkembangan Remaja
Mengawali pembahasan mengenai kebutuhan dan tugas-tugas perkembangan remaja, dikemukakan beberapa pandangan para ahli mengenai remaja. Remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Yang dimaksud remaja diawali dengan periode pubertas sampai status dewasa disandangnya. Masa remaja adalah suatu masa yang penting. Oleh karena masa ini dipandang sebagai masa menunda orang-orang yang muda untuk memasuki dunia pekerjaan. Menjadi lebih penting lagi dalam kaitan dengan kelangkaan lapangan pekerjaan tetap, akhir-akhir ini. Ada juga bermacam-macam pandangan mengenai remaja, terutama mengenai kapan berakhirnya masa remaja. Secara khas, kita memandang masa remaja mulai pada periode pubertas dan berakhir pada usia 18 atau 21 tahun. Orang lain menyatakan bahwa masa remaja akhir meluas ke dalam apa yang kini dikenal sebagai periode kedewasaan muda.
Berikut ini dikemukakan mengenai kreterium remaja menurut sejumlah ahli.
1. Psikologi Biogenetik mengenai Remaja: G. Stanley Hall
G. Stanley Hall (1844-1924), merupakan ahli psikologi yang pertama-tama mengemukakan remaja atas dasar penelitian-penelitian ilmiah. Ia mendefinisikan periode remaja mulai pubertas (12 atau 13 tahun) dan berakhir antara 22 - 25 tahun. Hall juga mendeskripsikan remaja sebagai periode Sturm und Drang atau storm and stress. Ini merupakan suatu pergerakan yang penuh dengan idealisme, kesanggupan untuk mencapai suatu tujuan, revolusi melawan terhadap kaum tua, ungkapan dari perasaan pribadi, nafsu, dan penderitaan.
Menurut pandangan Hall mengenai teori psikologi rekapitulasi, masa remaja merupakan waktu ketika manusia memasuki langkah transisi bergolak. Dalam pergolakan tersebut, remaja menuntut kebebasan dari belenggu orang tua dan orang dewasa lainnya. Keadaan ini merupakan hal yang wajar, menurut Hall senada dengan masa transisi menuju menjadi manusia dewasa.
Hall mendeskripsikan perkembangan remaja sebagai suatu evoluasi perasaan dan kejiwaan. Ia menggambarkan kehidupan emosi remaja sebagai goyangan dari berbagai aspek yang saling bertentangan. Energi, kekuatan besar, dan aktivitas supernatural diikuti oleh sikap acuh tak acuh, kelesuan, dan kebencian menghadapi realita. Kegirangan, ketawa-tawa, dan perasaan senang dan bahagia memberi tempat kepada dysphoria dan menekan perasaan muram, serta kemurungan jiwa. Egoisme dan kesombongan merupakan karakteristik dari periode ini. Hall percaya bahwa remaja memiliki karakteristik berupa sisa-sisa dari suatu egoisme tak dihalangi di masa kanak-kanak dan sebaliknya remaja meningkat perilakunya dengan lebih mengutamakan orang lain.
Pada masa remaja akhir, menurut Hall, individu mengikhtisarkan status dari permulaan peradaban modern. Langkah ini sesuai dengan ujung proses pengembangan yaitu kedewasaan. Psikologi genetika Hall tidak memandang manusia sebagai produk akhir dari proses perkembangan, tetapi sebagai bagian dari perkembangan lebih lanjut.
2. Teori Psikoanalitik tentang Perkembangan Remaja: Sigmund Freud
Freud menaruh perhatian relatif kecil perhadap perkembangan anak remaja. Ia hanya mendiskusikannya dalam kaitan dengan perkembangan. Ia sejalan dengan gagasan Hall, bahwa periode masa remaja bisa dilihat sebagai phylogenetic. Freud yakin bahwa individu harus berhasil melewati pengalaman awal dalam pengembangan pengalaman. Menurut Freud dan teori psikoanalitik, langkah-langkah pengembangan bersifat genetika dan relatif tidak terikat pada faktor lingkungan. Freud mengakui bahwa masa remaja itu adalah suatu peristiwa yang universal dan mencakup kehidupan tingkah laku, sosial, dan perubahan emosional; juga hubungan antar perubahan psikologis dan fisiologis, dan berpengaruh terhadap self-image. Ia juga menyatakan bahwa perubahan fisiologis berhubungan dengan perubahan emosional, terutama dalam peningkatan emosi yang negatif, seperti kemurungan, ketertarikan, kebencian, ketegangan, dan format lain dari perilaku anak remaja.
3. Teori Mekanisme Pertahanan Diri Remaja: Anna Freud
Anna Freud mengemukakan arti penting pubertas sebagai faktor kritis dalam membentuk watak atau karakter. Dia juga menekankan hubungan antar id, ego, dan superego. Dia percaya bahwa proses fisiologis berupa dan mulai berfungsinya kelenjar memainkan peran kritis dalam mempengaruhi dunia psikologis remaja. Interaksi ini menghasilkan nafsu instingtual, yang pada gilirannya, dapat menyempurnakan ketakseimbangan psikologis. Keseimbangan antara ego dan id sepanjang periode latency akan mengganggu pubertas, dan menghasilkan konflik internal. Jadi salah satu aspek pubertas berupa konflik pubertas, dan berusaha untuk memperoleh kembali keseimbangan.
Anna Freud menaruh perhatian besar terhadap penyimpangan perilaku dan perkembangan perilaku patologis dan sebaliknya menaruh perhatian sangat kecil ke penyesuaian yang normal. Dia menguraikan hambatan ke arah pengembangan perilaku normal: 1) Id menolak ego–dalam hal ini akan sulit dilacak bagaimana orang masuk ke alam dewasa yang ditandai oleh suatu kekacauan pemerolehan kepuasan yang tak dihalangi dari naluri/instink; dan, 2) ego mungkin sebagai pemenang dari Id dan akan membentuk perilaku mekanisme pertahanan.
Di antara banyak mekanisme pertahanan ego yang dapat digunakan, Freud mempertimbangkan dua bentuk mekanisme pertahanan khas dari pubertas yaitu asceticism dan intellectualization. Asceticism adalah suatu ketidakpercayaan melalui menyamaratakan semua pengharapan instingtual. Ketidakpercayaan ini terjadi pada bidang dan meliputi juga makan, tidur, dan kebiasaan berpakaian. Intellectualization merupakan peningkatan di dalam minat intelektual dan perubahan dari konkrit ke minat abstrak akan membentuk suatu mekanisme pertahanan melawan libido. Ini secara alami menyempurnakan dan melemahkan kecenderungan instingtual hidup orang dewasa, dan sementara itu situasi selamanya berbahaya bagi individu.
Ada sejumlah keyakinan yang dipegang Anna Freud mengenai faktor-faktor yang menimbulkan konflik remaja, antara lain:
- Kekuatan dorongan dari id, ditentukan oleh proses fisiologis dan endocrinological selama pubertas.
- Kemampuan ego untuk mengatasi dorongan-dorongan instingtual. Ini pada gilirannya tergantung pelatihan karakter dan pengembangan superego dari anak sepanjang periode latency.
- Efektivitas dan sifat dari mekanisme pertahanan terdapat pada ego itu.
4. Teori Kebutuhan akan Kebebasan Kaum Remaja: Otto Rank
Otto Rank ( 1884-1939), seorang pengikut sekolah psikoanalitik, tadinya sepenuhnya di bawah pengaruh realisme Sigmund Freud. Ia kemudian mengembangkan teorinya sendiri dan mulai menentang pandangan Freud.
Rank memandang hakekat manusia bukan sebagai makhluk tertekan dan neurotic, tetapi sebagai makhluk kreatif dan produktif. Ia mulai mengkritik pandangan Freud yang menekankan alam ketidaksadaran manusia sebagai gudang pengalaman masa lalu serta dorongan-dorongan dari dalam diri manusia. Dalam hal ini, Rank mengemukakan bahwa pengalaman masa lalu hanya akan berarti bagi perilaku saat ini kalau ada kaitannya. Ia juga kurang menekankan pentingnya dorongan instingtual dan perilaku instingtual. Ia percaya bahwa Freud benar-benar melalaikan peran dari ego dan memberi nilai ego hanya sebagai kekuatan yang represif. Rank ingin membongkar kembali keseimbangan kekuatan di dalam kenyataan psikis. Ia mulai memberi arti banyak bagi peran ego.
Rank menyatakan bahwa harus ada suatu pengujian untuk menempatkan perkembangan remaja dalam teori psikoanalitik berdasar pada kesadaran dan "will". tidak lagi menjadi faktor penentu yang paling kuat di proses perkembangan. Telah ditemukan faktor pendamping yang disebut "will" yang sampai taraf tertentu mampu mengendalikan dorongan. Sepanjang pergeseran dari masa kanak-kanak ke masa remaja, suatu aspek yang krusial dari perkembangan kepribadian telah terjadi, yaitu perubahan dari ketergantungan ke kemerdekaan atau kebebasan.
Sepanjang periode latency ini, "will" tumbuh lebih kuat, lebih mandiri, dan berani menentang kekuasaan apapun yang tidak cocok dengan dirinya. Asal-muasal dari "will" berangkat dari situasi oedipal. Situasi oedipal adalah situasi dimana seseorang menaruh perhatian atau rasa cinta yang kuat, yang membuat anak menjadi cemburu. Will remaja akan berhadapan dengan will sosial yang ditunjukkan oleh orang tua dan diekspresikan dalam kode etik yang telah usang bagi remaja.
Pada masa remaja awal, individu mengalami suatu perubahan dasar dalam hal sikap; ia mulai untuk menentang ketergantungan, mencakup peraturan dari lingkungan eksternal (orang tua, para guru, hukum, dan seterusnya) dan peraturan yang bersumber dari internal pribadi remaja. Penetapan kebebasan dari nilai-nilai masyarakat merupakan hal yang penting, namun merupakan tugas perkembangan yang sulit bagi remaja. Kebutuhan akan kemerdekaan atau kebebasan dikembangkan dan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan menyebabkan banyak hubungan pribadi anak remaja dibangun dan menimbulkan kesulitan-kesulitan dari hubungan-hubungan tersebut.
5. Teori Perkembangan Identitas: Erik Erikson
Konsep inti dari teori Erikson adalah pencapaian suatu ego-identitas, dan krisis identitas merupakan karakteristik paling penting pada masa remaja. Walaupun identitas seseorang dibentuk dalam cara-cara yang berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya, namun pemenuhan tugas perkembangan mempunyai suatu unsur yang umum yang berlaku dalam semua latar budaya. Dalam rangka memperoleh suatu ego-identitas sehat dan kuat, anak harus menerima pengakuan yang ajeg dan bermakna dari lingkungan mereka.
Masa remaja diuraikan oleh Erikson sebagai periode dimana individu harus menetapkan suatu identitas pribadi dan menghindari bahaya dari difusi peran dan kebingungan identitas. Implikasi pandangan tersebut bahwa individu harus membuat suatu penilaian terhadap hak dan asset pribadinya serta bagaimana mereka ingin menggunakan asset-aset tersebut. Remaja harus menjawab pertanyaan untuk diri mereka sendiri mengenai dari mana mereka datang, siapa diri mereka, dan mereka akan menjadi apa. Identitas harus dicari fan ditemukan. Identitas tidaklah diberikan begitu saja kepada individu oleh masyarakat, ataupun muncul begitu saja sebagai peristiwa kematangan; ia harus diperoleh melalui usaha individu. Keengganan untuk berbuat atau bekerja sesuai formasi identitasnya akan mengalami kerancuan peran yang bisa mengakibatkan pengasingan dan kebingungan. Yang baik untuk dikembangkan adalah kesetiaan/ketepatan pada identitas diri. Mempertahankan nilai-nilai seseorang akan berperan membuat identitas menjadi stabil.
Pencarian suatu identitas melibatkan produksi suatu self-concept yang penuh arti di mana masa lampau, masa kini, dan masa depan terkait secara bersama-sama. Sebagai konsekwensi, tugas remaja menjadi lebih sulit karena masa lalu telah hilang lebur dalam keluarga dan tradisi masyarakat, keadaan saat ini ditandai oleh perubahan sosial, dan masa depan kurang dapat diramalkan. Menurut Erikson, dalam periode perubahan sosial yang cepat, generasi yang lebih tua tidak lagi mampu menyediakan model peran yang memadai bagi generasi yang lebih muda. Sekalipun generasi yang lebih tua dapat menyediakan model peran yang cukup memadai, remaja dapat menolak sebab tidak sesuai dengan situasi mereka. Oleh karena itu, Erikson percaya bahwa pentingnya kelompok panutan tidak bisa sangat diharapkan. Teman sebaya bagi remaja akan memberikan bantuan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan "Siapakah saya?" sebagaimana ketika mereka tergantung pada umpan balik sosial seperti apa yang orang lain rasakan dan bagaimana mereka bereaksi terhadap individu remaja itu. Jadi, remaja yang kadang-kadang ceroboh, sering penuh curiga, asyik dengan apa yang mereka lihat, perlu diberi peran dan ketrampilan dengan prototipe yang ideal dari hari ke hari.
Pubertas, menurut Erikson, ditandai oleh kecepatan pertumbuhan badan, kedewasaan genital, dan kesadaran. Oleh karena dua aspek terakhir sungguh berbeda dari pengalaman di tahun-tahun yang lebih awal, maka diskontinyuitas terjadi dalam perkembangan remaja awal. Masa muda dihadapkan dengan "revolusi fisiologis" di dalam diri sendiri yang bisa jadi bertentangan dengan pembentukan suatu identitas yang diidealkan. Erikson mengakui bahwa studi tentang identitas remaja menjadi lebih penting dibanding studi tentang sebagaimana dilakukan oleh Freud.
Berdasar perhatian terhadap remaja, penting untuk menjawab pertanyaan mengenai identitas vokasional. Pada awal remaja mencoba untuk menetapkan suatu identitas vokasional maka terjadi beberapa difusi peran. Remaja pada tahap awal berpegang pada konsep-konsep yang glamour dan ideal mengenai tujuan vokasional mereka, dan tidaklah luar biasa bahwa cita-cita remaja lebih tinggi dibanding kemampuan dirinya. Sering, model tujuan vokasional yang dipilih itu kemungkinan kecil dicapai, misalnya pahlawan pada bioskop, musisi rock, juara atletik, pembalap mobil/sepeda motor, angkasawan, dan lain-lain pahlawan yang dikagumi. Di dalam proses mengidentifikasi dan memuja pahlawannya, remaja menghasilkan identitas diri dan mengira bahwa dirinya telah mempunyai kemampuan sebanding dengan pahlawan mereka. Dalam posisi ini, menurut Erikson, kaum muda jarang mengidentifikasi dengan orang tuanya sendiri; mereka sering memberontak melawan terhadap kekuasaan orangtua, sistem nilai orang tua, dan dipandang mengganggu kehidupan pribadi mereka, karena mereka ingin memisahkan identitas mereka dari keluarga mereka. Anak remaja harus menyatakan otonomi mereka dalam rangka menjangkau kedewasaan.
Pencarian identitas pribadi juga meliputi pembentukan suatu ideologi pribadi atau suatu filsafat hidup yang dapat melayani diri individu. Perspektif seperti itu dapat membantu dalam membuat aneka pilihan dan memandu perilaku. Identitas diri atau identitas pribadi mempengaruhi remaja untuk mengarungi hidup mereka. Jika remaja hanya mengadopsi identitas atau ideologi orang lain, kemungkinan besar remaja tidak puas dibanding bila ia mengembangkan identitas sendiri. Ideologi yang diadopsi jarang berkembang menjadi pribadi dan resikonya dapat menutup pertumbuhan dan perkembangan remaja.
Hasil yang positif dari krisis identitas remaja bergantung pada kesediaan orang untuk menerima masa lampaunya dan menetapkan kesinambungan dengan pengalaman yang sebelumnya mereka alami. Anak remaja harus menemukan jawaban pertanyaan: "Siapakah saya?" Di samping itu juga menjawab pertanyaan: "Ke mana aku pergi?" " Hendak menjadi apakah aku?" Remaja harus sepakat benar dengan sistem nilai yang berlaku (keyakinan religius, tujuan pekerjaan, filsafat hidup, dan penerimaan terhadap seseorang). Hanya melalui mencapai aspek ego-identitas inilah remaja akan mampu bergerak mencapai kedewasaan, mencapai keakraban dan cinta, memiliki persahabatan yang mendalam dan mencapai kebebasan diri pribadi tanpa ketakutan kehilangan ego-identitas.
Jika remaja gagal di dalam mencari suatu identitas, maka ia akan mengalami keraguan, difusi peran, dan kebingungan peran. Kalau sudah begini, maka remaja akan menuruti kesenangan diri melalui berbagai aktivitas atau keasyikan yang merugikan diri sendiri. Remaja seperti itu akan terus ceroboh asyik dengan maunya sendiri dan tidak mempedulikan orang lain. Hal ini akan mengarahkan remaja menuju ke arah difusi ego, kebingungan kepribadian, dan dapat berkembang menjadi pribadi yang suka melakukan pelanggaran bahkan bisa jadi mengalami gangguan psikotik. Dalam banyak kasus, menurut Erikson, difusi identitas dapat mengarahkan anak ke usaha bunuh diri. Ketika identitas diri terbentuk atau telah mapan, remaja dapat bergerak ke arah hubungan interpersonal yang akrab.
1. Status Identitas: Pandangan James Marcia sebagai perluasan Konsep
Erikson
Marcia mendefinisikan identitas sebagai "suatu organisasi yang dinamis tentang kekuatan, kemampuan, dan keyakinan yang disusun sendiri oleh individu dan bersifat internal”. Menurut Marcia, ukuran pencapaian identitas dewasa didasarkan pada dua variabel yang penting yaitu: krisis dan komitmen. Krisis mengacu pada waktu dimana remaja terlibat aktif dalam memilih di antara pilihan-pilihan pekerjaan dan kepercayaan. Sedangkan komitmen mengacu pada derajat investasi pribadi yang dinyatakan di dalam suatu pekerjaan atau kepercayaan.
Marcia mewawancarai remaja berusia antara 18 sampai 22 tahun tentang aneka pilihan jabatan mereka, kepercayaan politis dan religius, dan nilai-nilai yang mereka anut--semua aspek yang menjadi pusat identitas. Ia menggolongkan para siswa ke dalam empat kategori dari status identitas berdasar pada: 1) apakah mereka telah lulus dari " krisis identitas" seperti diuraikan oleh Erikson, dan 2) derajat komitmen mereka terhadap pilihan pekerjaan dan seperangkat nilai dan keyakinan. Empat kategori status identitas sebagaimana diidentifikasi oleh Marcia sebagai berikut:
Identity diffused or identity confused. Individu yang belum mengalami krisis identitas, maupun tidak membuat komitmen apapun terhadap pekerjaan dan kepercayaan.
Foreclosure. Individu yang belum mengalami krisis, tetapi memiliki komitmen, dimana komitmen ini bukan hasil dari pencarian dan eksplorasi pribadi, tetapi telah siap diperoleh dari orang lain, teutama dari orang tua.
Moratorium. Individu yang dalam status krisis akut. Mereka sedang menyelidiki dan dengan aktif mencari-cari alternatif, dan melakukan perebutan untuk temukan identitas mereka; tetapi belum membuat komitmen apapun atau hanya mengembangkan komitmen sementara (temporer).
Identity Achieved. Individu yang sudah mengalami krisis dan sudah memecahkan atas dasar terminologi mereka sendiri, dan sebagai hasil resolusi dari krisis telah dibuat suatu komitmen yang pribadi dalam pekerjaan, dalam suatu kepercayaan religius, dalam suatu sistem nilai pribadi; dan telah memecahkan sikap mereka ke arah.
Kebanyakan remaja bergerak maju ke arah status identitas yang hendak dicapai. Pencapaian identitas paling jarang terjadi pada awal remaja. Identitas seringkali tercapai setelah anak masuk ke sekolah-sekolah tingkat atas, mahasiswa di perguruan tinggi, dan sebagai orang dewasa awal. Pada saat anak masih setingkat sekolah menengah pertama, umumnya berada pada peringkat pertama dan kedua, yaitu identity diffusion dan identity foreclosure. Beberapa perbedaan juga ditemukan pada anak laki-laki dan perempuan mengenai ukuran identitas mereka.
Moratorium remaja diartikan sebagai periode perkembangan dimana komitmen belum dibuat sehingga dikenali bersifat eksploratory dan tentatif. Oleh karena itu, kebanyakan mereka mengalami krisis dan ada sejumlah pertanyaan tak terselesaikan. Untuk itu ada upaya kuat untuk menemukan jawaban, mengeksplorasi, meneliti, melakukan uji coba berbagai peranan, dan praktek langsung di lapangan. Hasil penelitian Marcia menunjukkan bahwa 30 persen mahasiswa saat ini ada pada tahap moratorium. Keadaan ini ditunjukkan melalui banyaknya mahasiswa yang menjajaki berbagai jenis kerja.
Beberapa ahli sosial percaya bahwa sekolah dapat menghambat terbentuknya identitas diri remaja, karena mereka menuntut penyesuaian dengan berbagai cara dan remaja harus tunduk ke otoritas sekolah. Hal ini bukannya membantu remaja dalam mencari identitas prebadi yang unik. Banyak bukti bahwa sekolah justru menindas kreativitas remaja, individualitas remaja, dan identitas diri remaja, sebab mereka harus mengikuti kurikulum yang berorientasi pada keterampilan dan pengetahuan untuk sukses. Orientasi kurikulum bukan dalam kerangka memberi kebebasan remaja untuk mengembangkan identitas diri mereka sendiri.
Beberapa kesulitan remaja dapat dipahami jika remaja dipandang sebagai manusia dalam posisi marjinal yang sedang berjuang untuk mencapai status dewasa. Perjuangan remaja untuk mencapai status dewasa dapat mengalami frustrasi, dan masyarakat, lembaga pendidikan dapat membantu mereka menjadikan pengalaman ini menjadi lebih bermakna.
7. Teori Geisteswissenschaftliche tentang Remaja: Eduard Spranger
Eduard Spranger (1882-1963) adalah professor psikologi di Universitas Berlin. Geisteswissenschaft diterjemahkan sebagai "cultural science" atau "historical humanities." Allport menterjemahkannya sebagai "mental science." Sementara itu Spranger sendiri menggunakan sinonim "philosophy of culture."
Menurut Spranger, ia sendiri tidak secara penuh mengalami makna perkembangan dirinya sendiri. Banyak gejala kesadaran yang bermakna jika orang belajar untuk memahami mereka sebagai fenomena perkembangan. Masa remaja tidaklah hanya periode transisi dari masa kanak-kanak ke kedewasaan fisiologis, tetapi yang lebih penting adalah usia dimana struktur mental yang secara relatif tidak dapat dipilah-pilah dari kanak-kanak sampai mencapai kedewasaan penuh. Selama masa remaja, suatu hirarki nilai-nilai yang lebih kekal terbentuk. Menurut dia, "arah nilai dominan" dari individu merupakan penentu kepribadian.
Spranger mendeskripsikan tiga pola perkembangan:
Pola pertama dideskripsikan oleh Spranger dialami sebagai bentuk kelahiran kembali individu yang di dalamnya individu mencari dirinya sneidiri sebagaimana orang lain ketika ia mencari kematangan/kedewasaan. Seperti G. Stanley Hall, Spranger yakin bahwa periode ini remaja mengalami badai, stres, ketegangan, dan krisis sebagai akibat dari perubahan kepribadiannya.
Pola kedua adalah proses pertumbuhan yang lambat, terus-menerus dan berangsur-angsur menerima gagasan dan nilai-nilai budaya masyarakat, tanpa perubahan kepribadian dasar.
Pola ketiga adalah proses pertumbuhan yang di dalamnya individu berpartisipasi secara aktif. Remaja secara sadar mengimprove dirinya secara sadar dan memberi kontribusi bagi perkembangan pribadinya sendiri, mengatasi krisis melalui upaya-upaya yang giat dan berarah tujuan. Pola ini memiliki karakteristik self-control dan self-discipline, yang oleh Spranger dihubungkan dengan tipe kepribadian yang sedang mengejar kekuatan diri sendiri.
Spranger merupakan ahli psikologi yang memandang remaja sebagai periode perkembangan spesifik yang memiliki karakteristik unik yang berbeda dari kanak-kanak dan masa dewasa.
8. Antropologi Budaya dan Remaja: Margaret Mead
Ada beberapa studi yang dilakukan oleh para ahli antropologi mengenai perkembangan remaja. Kontribusi terbesar disumbangkan oleh Margaret Mead, yang memberikan banyak pemahaman mengenai perkembangan remaja dalam konteks budaya. Mead menulis dua buku yang relevan dengan pembahasan remaja, yaitu Coming of Age in Samoa (1950) dan Growing Up in New Guinea (1953).
Coming of Age in Samoa merupakan studi lapangan secara empiris menggunakan metodologi antropologis, tetapi tidak secara eksplisit mengemukakan teori perkembangan remaja. Ruth Benedict dalam bukunya Continuities and Discontinuities in Cultural Conditioning (1954), memberikan teori eksplisit mengenai perkembangan remaja dari sudut pandang antropologi budaya yang ia kaitkan langsung dengan temuan Mead ketika meneliti remaja-remaja di Samoa. Dalam teori ini ditekankan pentingnya factor budaya dalam proses perkembangan remaja. Istilah Cultural relativism lebih tepat untuk memahami fenomena remaja. Teori ini menekankan pentingnya lembaga social dan factor budaya dalam perkembangan manusia serta mendeskripsikan ritual-ritual pubertas dalam masyarakat primitif.
Mead mengermukakan bahwa tugas utama yang dihadapi remaja saat ini adalah mencari identitas diri yang bermakna. Tugas ini sulit untuk diukur dalam masyarakat demokratik modern daripada pada masyarakat primitif. Tingkahlaku dan nilai-nilai orang tua bukan lagi sebagai model bagi remaja, sebab mereka kalah pamor dari model yang ditampilkan lewat media massa. Lagipula, remaja sedang dalam proses membebaskan diri dari ketergantungan pada orang tua, dimana mereka seringkali berlawanan dengan sistem nilai orangtua. Oleh karena remaja telah diajar untuk mengevaluasi perilakunya sendiri, maka ia mulai membuang standar nilai orang tua dan menggantikannya dengan standar nilai teman sebaya. Kecepatan perubahan sosial, memperluas berbagai sistem nilai religius dan hal-hal duniawi, dan teknologi modern membuat dunia nampak bagi remaja sebagai suatu yang terlalu kompleks, relativistik, terlalu tak dapat diramalkan, dan terlalu rancu bagi remaja.
Pada waktu lampau, Erikson dan Mead menyebut sebagai periode psychological moratorium, yakni suatu periode dimana remaja melakukan percobaan-percobaan secara tentatif tanpa dipersoalkan mengenai keberhasilannya dan tanpa mempersoalkan akibat emosional, ekonomi, dan sosialnya. Kegagalan dalam melakukan eksperimen-eksperimen tersebut bisa jadi remaja mengalami hambatan dalam memperoleh identitas diri. Sebagai gantinya, untuk identitas psikologis, remaja menggunakan simbol-simbol kelompok sebaya untuk memperoleh semi-identitas. Menurut Mead, dalam kasus ini pendidikan menjadi lebih fungsional dan lebih berorientasi pada keberhasilan. Sebagai konsekuensi, tujuan dan nilai-nilai anak remaja diarahkan ke arah kesuksesan, keamanan, kepuasan atas keinginan, penyesuaian, dan penerimaan sosial dengan diberi ruang yang sedikit untuk melakukan percobaan, idealisme, dan utopianisme pribadi. Mead menyatakan bahwa kegagalan untuk mengadopsi sistem pendidikan dan sosial dapat membuat remaja mengembangkan identitas negatif.
Mead condong untuk membantu kebebasan remaja dan kurang sepakat dengan pengharapan keluarga, masyarakat dan kelompok sebaya dalam rangka memberi kesempatan pengalaman kreatif bagi remaja. Dalam hal ini, Mead juga mengkritik keluarga yang terlalu membangun keintiman dengan anak-anak remaja mereka yang terlalu berpengaruh terhadap kehidupan emosional remaja yang sedang tumbuh. Ia yakin bila keluarga terlalu kuat pengaruhnya bagi remaja akan menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan pribadi remaja karena akan membatasi pilihan-pilihan remaja. Dia menyatakan bahwa "hal-hal yang diinginkan orangtua seharusnya dikurangi, sedikitnya dalam beberapa hal, peran yang kuat yang orang tua mainkan di dalam kehidupan kanak-kanak lambat laun dikurangi”. Seharusnya lembaga berperan secara demokratis. Sistem keluarga yang toleran yang di dalamnya remaja dapat tidak setuju dengan orang tuanya tanpa kehilangan rasa cinta orang tua, harga diri, atau meningkatnya ketegangan emosional.
Teori Ruth Benedict mengenai pengkondisian budaya memiliki implikasi pendidikan yang penting. Praksis-praksis pendidikan di rumah begitu juga di sekolah harus menekankan kontinuitas proses belajar sehingga anak menjadi terbiasa dengan seperangkat nilai dan perilaku yang diharapkan orang dewasa. Anak harus diajar bahwa bila tidak belajar dia tidak akan tumbuh menjadi orang dewasa yang matang. Perubahan perilaku seringkali terputus-putus, diharapkan individu bergerak dari sekolah dasar ke sekolah menengah, dari perguruan tinggi ke tempat kerja, dan dari perilaku yang ditolak menjadi perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan melalui lembaga perkawinan.
9. Teori Medan dan Remaja: Kurt Lewin
Kurt Lewin (1890-1947) merupakan tokoh Psikologi Gestalt dari Universitas Berlin. Ia banyak dipengaruhi oleh pandangan Freud, khususnya mengenai hakekat motivasi. Namun demikian, teori Lewin mengenai remaja secara konseptual berbeda dari teori-teori lainnya. Teorinya tentang perkembangan remaja secara eksplisit dinyatakan dalam buku Field Theory and Experiment in Social Psychology (1939). Teori medannya menjelaskan tentang dinamika perilaku remaja secara individual tanpa menggeneralisasi remaja sebagai kelompok. Konsepnya membantu untuk menjelaskan dan meramalkan perilaku individu dalam situasi spesifik.
Landasan teori medan mengenai perkembangan remaja bahwa remaja merupakan periode transisi yang di dalamnya remaja harus mengubah anggota kelompknya. Anak dan orang dewasa memiliki konsep yang jelas mengenai keanggotaan kelompok mereka, sedangkan remaja masuk di antara kelompok anak-anak dan kadang masuk dalam kelompok dewasa tanpa keterlibatan lengkap di kedua kelompok tersebut. Orangtua, guru, dan masyarakat merefleksikan kekurang jelasan status remaja ini, perasaan ambigius mereka terhadap remaja menjadi tampak jelas ketika mereka suatu saat memperlakukan remaja sebagaimana kanak-kanak, dan kali lain memperlakukan mereka sebagai orang dewasa. Berbagai kesulitan muncul sebab format perilaku kekanak-kanakan tertentu tidak lagi bisa diterima. Pada waktu yang sama sebagian dari format perilaku sebagai orang dewasa waktu itu belum diijinkan juga, atau jika mereka diijinkan, mereka merasa baru dan asing bagi anak remaja.
Remaja dapat disebut sebagai lokomotif sosial, sebab ia bergerak ke dalam medan sosial dan psikologis secara tak terstruktur. Tujuan tidak lagi jelas, dan alur mereka rancu dan penuh dengan ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut, dilukis-kan ketika remaja laki-laki pertama kali kencan ke teman wanitanya. Oleh karena remaja tidak memiliki pemahaman yang pasti mengenai status sosialnya, pengharapannya, dan urusannya, maka perilakunya mencerminkan ketidakpastian, tampak ragu-ragu.
Sebagai contoh, remaja yang dihadapkan dengan beberapa pilihan yang menarik pada waktu yang sama relatif memiliki batasan untuk mencapainya. Mengemudi mobil semua tujuan yang mungkin dicapai remaja, dan dengan begitu mereka menjadi bagian dari hidup anak remaja. Bagaimanapun, mereka tidak dengan serta merta dapat dilakukan remaja, sebab adanya pembatasan oleh orangtua, pembatasan undang-undang, atau kode etik yang telah diinternalisasi individu. Oleh karena remaja bergerak melalui medan perubahan yang cepat, maka ia tidak tahu arah untuk mencapai tujuan khusus dan terbuka bagi bimbingan yang konstruktif, tetapi ia juga menolak terhadap rayuan dan tekanan.
Self-image individu bergantung pada tubuhnya. Selama proses perkembangan normal, perubahan tubuh akan terjadi dan akan membentuk self-image yang stabil. Kesan tentang tubuh membuat penyesuaian terhadap perubahan perkembangan sedemikian rupa, sehingga individu memahami badannya. Selama perubahan-perubahan remaja terjadi dalam hal struktur tubuhnya, pengalaman tubuhnya, dan sensasi-sensasi baru mengenai tubuhnya, serta harapan yang lebih drastis sedemikian rupa, maka kesan mengenai tubuh mereka menjadi kurang dikenal, tidak reliable, dan tak dapat diramalkan. Remaja yang asyik dengan normalitas tubuhnya dan bagaimana tubuhnya diterima oleh orang lain, sebenarnya ia telah diganggu oleh kesan tubuhnya. Ia akan menghabiskan banyak waktu untuk memperhatikan tubuhnya di kaca atau berupaya mengembangkan karakteristik dan sekundernya dalam kaitannya dengan teman sebayanya. Hal ini dapat dipahami, sebab tubuh memiliki kaitan yang erat dengan perasaan tentang kemenarikan, stabilitas, keamanan, dan peran remaja. Perasaan negatif mengenai tubuh berkaitan dengan self-concept yang negatif dan banyak ketidastabilan emosi yang dapat mengubah orientasi hidup manusia.
Teori medan mendefinisikan remaja sebagai periode transisi dari anak ke dewasa. Transisi ini ditandai oleh perubahan yang mendalam, pertumbuhan yang cepat, dan diferensiasi ruang hidup yang sejalan dengan yang telah terbentuk sebelumnya waktu kanak-kanak akhir. Transisi juga ditandai oleh kenyataan bahwa individu memasuki alam kognitif yang tak terstruktur yang menghasilkan perilaku yang tidak menentu. Transisi dari anak menjadi dewasa merupakan kejadian yang universal, dimana anak menjadi dewasa yang matang dalam semua masyarakat. Namun demikian, pergeseran dari anak ke dewasa dapat terjadi dalam pola-pola yang berbeda-beda. Hal ini dapat dalam bentuk pergeseran yang mendadak, seperti dapat diamati di dalam masyarakat primitif di mana dilakukan upacara menyambut kehadiran pubertas mengakhiri masa kanak-kanak dan menandakan permulaan dari kedewasaan.
Sejalan dengan Lewin, ada perbedaan budaya dalam perilaku remaja. Ia mengemukakan perbedaan ini untuk beberapa factor, antara lain ideologi, sikap, nilai-nilai yang diakui dan ditekankan; cara yang di dalamnya berbagai aktivitas dipandang sebagai berkaitan dan atau tidak berkaitan. Misalnya, antara aspek keagamaan dan kerja bagi masyarakat tertentu sangat berkaitan sedang bagi masyarakat lainnya tidak; dan jarak periode remaja berbeda-beda dari satu budaya dengan budaya lain, dari satu kelas sosial dengan kelas sosial lainnya di dalam satu budaya.