Hamka Dan Dunia Melayu Dalam Perkisaran Sejarah
Sebelum Indonesia dan Malaysia serta negara-negara dari dunia Melayu lainnya mempermaklumkan kemerdekaan-nya sesudah Perang Dunia Kedua di pertengahan abad ke 20 yang lalu, dunia Melayu itu adalah satu kesatuan gugusan budaya yang punya hubungan batin yang erat sekali antara satu sama lain. Bahwa semua dan satu per satu sebelumnya di bawah penjajahan asing, dan bahwa semua dan satu per satu akhirnya ingin merdeka dan melepaskan diri dari penjajahan asing, semua itu adalah bahagian dari mozaik sejarah dunia Melayu itu sendiri. Hanya caranya yang berbeda. Indonesia merebutnya dengan revolusi bertumpah darah, sementara Malaysia dan lain-lainnya menerimanya secara damai melalui jalur diplomatik. Dampak psikologis pasca-peristiwa tentu saja karenanya juga berbeda. Apalagi corak birokrasi yang diwariskan dari masing-masing penjajah itu juga berbeda.
Namun sebelum peristiwa besar pembalikan sejarah itu terjadi terasa bahwa lalu-lintas orang dan budaya khususnya antara Indonesia dan Semenanjung Melayu, walau di bawah penjajahan yang berbeda, betapapun, berjalan normal dan malah leluasa. Sebagian besar dari penduduk Malaysia sekarang sejak masa yang cukup panjang ke belakang bahkan berasal dari Indonesia melalui lalu-lintas orang dan budaya secara normal dan wajar itu. Malah di zaman pra-kemerdekaan, di bawah kepeloporan Tan Malaka (Indonesia), Yussof (Singapura), Burhanuddin (Malaysia), dan Rizal (Filipina) sebelumnya, pernah ada ide dan upaya untuk menyatukannya menjadi satu kesatuan kenegaraan berbentuk konfederasi ataupun commonwealth Melayu. Macapagal di awal 1960-an, kendati satu per satu sudah merdeka, bahkan pernah mengusulkan agar dibentuk asosiasi regional dunia Melayu Maphilindo – Malaysia, Philipina, Indonesia--, tapi yang disambut oleh Sukarno dengan teriakan: “Ganyang Malaysia!”
Hanya sekarang, ketika masing-masing telah menelusuri jalurnya sendiri-sendiri, dan masing-masing dengan identitas dan hak asasi konstitusionalnya sendiri-sendiri, kelompok Melayu ini bagai bercaran (feuding), bukan berpacaran dan bermesraan. Penyebabnya? Cobalah kita inapkan dan telusuri bersama. Tapi yang jelas penyebabnya mendasar sifatnya, karena ini berkaitan dengan tujuan dan filosofi dari dibentuknya negara oleh masing-masing itu.
Di sini sedikitnya bermain tiga unsur budaya yang membentuk jatidiri dari dunia Melayu itu: satu, adat yang tumbuh dari akar budaya dunia Melayu itu sendiri; dua, agama, yaitu Islam yang universal sifatnya yang dianut oleh pukul rata etnik Melayu; dan tiga, modernisme, atau juga globalisme, yang dasarnya adalah rasionalisme dan pragmatisme yang menye- lusup masuk dari pengaruh hegemoni dunia Barat di zaman moderen ini.
Dikhotomi dan sekaligus polarisasi dunia Melayu yang membelah dunia Melayu itu menjadi dua bagian yang berbeda orientasi budayanya justeru berangkat dari sini, karena berbedanya cara masing-masing meramu alkhemi dari ketiga unsur budaya Melayu itu. Secara garis besar, yang satu meramunya secara sintetik dan yang satu lagi secara sinkretik. Dunia Melayu yang berorientasi ke Semenanjung meramunya secara sintetik, sementara dunia Melayu yang berorientasi ke pusat kekuasaan politik di Jawa, secara sinkretik. Krusial yang menjadi faktor penentu itu adalah sikap mereka terhadap Islam. Yang satu melihatnya secara sintetik-holistik dan menempatkan Islam sebagai sokoguru rujukan tertinggi dari semua pertimbangan apapun, sementara yang satu lagi secara sinkretik yang menempatkan Islam sebagai salah satu dari sumber rujukan budaya, yang semua diperlakukan sebagai sama dan setara, dengan prinsip: “sedaya agami sami kemawon” (J: semua agama sama benarnya).
Pertarungan filsafati ini masih bergulir sampai saat ini. Di Semenanjung, karena sumber rujukan intinya adalah ABS-SBK (Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah), sama seperti di bagian dunia Melayu lainnya yang juga menempatkan Islam sebagai superior, berdiri di atas adat, dan di atas semua yang lain-lainnya, masalahnya sudah duduk, yaitu diterimanya Islam di Malaysia sebagai agama negara dan karenanya semua norma apapun tidak boleh ada yang bertentangan dengannya, semen-tara semua yang sejalan dengan Islam, dari manapun sumber rujukannya, notabene termasuk sendirinya adat, diterima.
Di Indonesia, sampai saat ini, filosofi yang dipakai adalah sinkretisme, dengan simbol Pancasila, yang menempatkan semua agama dan unsur budaya lainnya sebagai sama dan setara, walau formalnya yang diakui adalah agama dengan prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menjadi Sila Pertama dari Pancasila itu. Jika kacamata yang dipakai dengan lensa sintetis, yang diterima tentu saja hanyalah Islam, karena hanya Islam agama tauhid yang berketuhanan YME itu. Tetapi karena lensa yang dipakai adalah lensa sinkretis, maka yang diterima adalah semua agama dan kepercayaan apapun, sampai-sampai dengan agama Kong Hu Chu yang percaya kepada dewa-dewa dan roh-roh nenek-moyang sekalipun, diterima oleh Gus Dur ketika menjadi Presiden RI dan yang oleh sebagian pengikutnya beliau malah disakralkan sebagai waliyullah.
Itu gambaran sosial-budaya. Lain pula dengan gambaran sosial-ekonomi. Gambaran yang sedikit berbeda juga terjadi di antara kedua belah dunia Melayu ini. Sampai dengan awal 1970-an sebenarnya ada gambaran yang sama dan serupa antara struktur dan sistem ekonomi makro di kedua sisi dunia Melayu itu. Kedua-duanya memiliki pola ekonomi dualistik, dalam arti, dua sistem dengan dua struktur ekonomi yang senjang dan dikotomik walau hidup saling berdampingan secara eksklusif di masing-masing setting sosial-budaya dan sosial-ekonominya itu.
Sebagai warisan dari penjajahan yang sifatnya adalah eksploitatif, maka sektor moderen dikuasai oleh minoritas invisibel super-power MNCs yang menguasai jalur ekonomi global, yang lalu dibarengi dan bekerjasama dengan jalur ekonomi minoritas visibel non-pri Cina yang menguasai jaringan perekonomian dan perdagangan, bukan hanya lokal dan nasional, tapi juga regional Nan Yang Asia Tenggara. Sementara kelompok pribumi yang merupakan mayoritas terbesar dari penduduk hidup di sektor ekonomi tradisional, rural, agraris, teknologi sederhana, dan sebagian besar masih bercorak subsistens dari tangan ke mulut, yang karenanya terus menerus dirundung oleh kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan, walau sekarang formalnya telah merdeka sekalipun sejak usainya Perang Dunia Kedua di pertengahan abad 20 yang lalu.
Makin bercaran dan terpecah belah kelompok Melayu ini maka makin leluasa pulalah para penguasa ekonomi Nan Yang itu menguasai dan mengendalikan ekonomi dan hajat hidup negara-negara dan masyarakat Melayu di kawasan Nusantara ini. Sehingga akhirnya, seperti sekarang kita melihat, Singapura telah menjadi pusat dari emporium Nan Yang di Asia Tenggara, yang dari Kota Singa ini ekonomi merkantilistik Nan Yang dikendalikan. Sementara etnik Cina di Filipina tidak hanya menguasai ekonomi, tapi juga politik, militer dan sosial-budaya, yang menjurus menjadi seperti Singapura, dengan kelompok pribumi Melayu tersingkir ke pinggiran, ke pedalaman, ke daerah pantai dan ke Selatan.
Etnik Cina di Indonesia, yang persentase kependudukan-nya relatif kecil (di bawah 5 %, sementara di Malaysia 37 %) selain menguasai ekonomi secara keseluruhan, juga sekarang ini merembet ke politik, budaya, dan sebentar lagi juga militer, mengikuti jejak sanaknya yang di Filipina, dan Singapura sebelumnya. Semua ini dengan alasan formal sama-sama warga negara yang mempunyai hak dan peluang yang sama yang dijamin oleh konstitusi negara. Yang terjadi lalu adalah hubungan mesra berkolusi yang saling menguntungkan antara penguasa politik pribumi dan pengusaha ekonomi non-pri Nan Yang Cina itu. Di ujungnya yang kita lihat lalu adalah korupsi dan penyalah-gunaan wewenang lainnya yang merajalela, sebagai konsekuensi dari diterapkannya budaya feodalisme dan etatisme sekaligus, dengan perisai demokrasi dan hak asasi manusia.
Akan halnya Malaysia, untung saja Mahathir di awal dia memegang kekuasaan di tahun 1970 cepat bertindak, sehingga orang Melayu terselamatkan, dan sekarang telah bisa menegakkan kepalanya di negeri sendiri kendati jalan masih panjang untuk menjadi tuan di rumah sendiri, khususnya di bidang ekonomi. Bagaimanapun, dari penguasaan ekonomi 2 % di tahun 1970, kelompok bumiputera Melayu, dengan dan setelah Mahathir, telah melonjak menjadi di atas 30-an %, dan menyeruak masuk ke semua sektor moderen. Sementara, kelompok pribumi Indonesia di Indonesia sendiri makin terjepit, sebagai akibat dari makin berlanjutnya sistem dan struktur ekonomi dualistik sampai saat ini, dan tetap bermesraannya kelompok penguasa pribumi yang memegang tampuk politik dan kelompok pengusaha non-pri Cina yang memegang dan mengendalikan tampuk ekonomi, industri dan perdagangan. Sebagai efek sampingannya, seperti kita lihat, dunia telah mencap Indonesia sebagai negara termasuk terkorup di dunia. Kolusi antara kelompok konglomerat (hitam) dengan para pejabat berjalan nyaris tanpa hambatan karena yang jalan bukanlah rule of law, di mana right is might, tetapi rule of the authority and power, di mana might is right. Apalagi ekonomi liberal-kapitalistik pasar bebas yang dikembangkan dari luar berjalan secara leluasa seiring dengan feodalisme dan etatisme yang dipusakai secara turun-temurun dari nenek moyang, yang dijunjung tinggi sebagai budaya bangsa.