Redenominasi Konstitusional Mata Uang Rupiah

Redenominasi Konstitusional Mata Uang Rupiah
UUD 1945 dan Mata Uang 
Pasal 23B UUD 1945 pasca reformasi menentukan, “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal ini berdasarkan Perubahan Keempat UUD 1945 pada tahun 2002, tidak mengalami perubahan dari rumusan aslinya dari tahun 1945. Yang berubah hanya penomerannya saja yang dulunya Pasal 23 ayat (3), sekarang menjadi Pasal 23B. Oleh karena rumusannya tidak berubah maka dapat ditafsirkan bahwa isinya juga tidak berubah, masih sama seperti aslinya yang apabila kita telusuri, mempunyai arti yang tidak sama dengan pengertian yang dikembangkan dewasa ini. 

Sekarang, perkataan ‘Harga Mata Uang’ biasa dipahami sebagai konsep tentang nilai nominal mata uang ratusan, ribuan, dan sebagainya. Akan tetapi, ketika rumusan ketentuan tersebut dibahas dalam Sidang BPUPKI, yang dimaksud adalah kurs nilai rupiah terhadap mata uang asing. Itu sebabnya dalam Penjelasan UUD 1945 mengenai pasal ini dikatakan, 

“... tentang hal macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Ini penting karena kedudukan uang itu besar pengaruhnya atas masyarakat. Uang terutama adalah alat penukar dan pengukur harga. Sebagai alat penukar untuk memudahkan pertukaran jual-beli dalam masyarakat. Berhubung dengan itu, perlu ada macam dan rupa mata uang yang diperlukan oleh rakyat sebagai pengukur harga untuk dasar menetapkan harga masing-masing barang yang dipertukarkan. Barang yang menjadi pengukur harga itu, mestilah tetap harganya, jangan naik turun karena keadaan uang yang tidak teratur. Oleh karena itu, keadaan uang itu harus ditetapkan dengan undang-undang”.

Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa dalam konsep “the framers’ of the constitution”, yang dimaksud dengan harga mata uang dalam rumusan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 asli itu kurang lebih terkait dengan pengertian kurs rupiah terhadap mata uang asing. Penetapan oleh negara melalui undang-undang dimaksudkan agar nilai mata uang rupiah itu tidak diserahkan kepada mekanisme pasar bebas secara mengambang atau ‘floating’. Kurs rupiah haruslah ‘fixed rate’, bukan ‘floating rate’. Secara normatif, pengertian demikian ini dapat dikatakan tidak berubah dalam rumusan Perubahan Keempat UUD 1945 pada tahun 2002. Yang berubah hanya penomerannya yaitu, yaitu dari Pasal 23 ayat (3) menjadi Pasal 23B.

Namun demikian, jika pengertian historis ini diikuti akan timbul persoalan dalam teknis pelaksanaannya. Pertama, penetapan harga itu sendiri harus dilakukan “dengan undang-undang” yang tentunya sangat sulit dan bahkan menimbulkan kontroversi politik secara terbuka sebelum kurs itu sendiri ditetapkan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa penetapan harga dengan undang-undang itu sama sekali tidak lah realistis dan tidak mungkin dilaksanakan dalam praktik tanpa menimbulkan kekacauan dan kerugian ekonomi dan keuangan secara nasional. Kedua, dapat saja ditafsirkan bahwa perumusan Pasal 23 ayat (3) itu memang tidak dimaksudkan untuk menetapkan harga itu secara langsung dengan undang-undang. Yang terpenting adalah bahwa harga mata uang itu ditetapkan oleh negara, yang dilakukan atas dasar undang-undang. Dengan kata lain, yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) itu adalah bahwa macam dan harga mata uang itu diatur dengan undang-undang, bukan secara langsung ditetapkan dengan undang-undang.

Akan tetapi, terlepas dari kedua kemungkinan tafsir tersebut di atas, dalam perkembangan praktik, terutama sejak era Orde Baru, pengertian mengenai ‘harga mata uang’ itu tidaklah dikaitkan dengan pengertian kurs, melainkan hanya dikaitkan dengan denominasi atau harga nominal mata uang rupiah. Karena itu, penerapan sistem ‘floating rate’ tidak pernah dipahami sebagai sistem yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945. Bahkan, setelah masa reformasi, dalam pelbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan keuangan dan perbankan, perkataan ‘harga mata uang’ itu sama sekali dipahami dalam pengertian kurs. Sampai sekarang tidak ada orang yang mempersoalkan hal itu. Bahkan dalam sidang-sidang Panitia Ad Hoc BP MPR pada tahun 2001-2002, ketika rancangan perubahan Pasal 23 itu dibahas, pengertian harga mata uang itu juga tidak dipahami dalam konteks kurs mata uang, melainkan dipahami dalam konteks nilai nominal mata uang rupiah.

Dengan perkataan lain, pengertian yang terkandung dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 yang kemudian menjadi Pasal 23B UUD 1945, sudah mengalami proses perubahan makna dengan sendirinya. Perubahan-perubahan konstitusi itu sendiri dalam teori dan praktik memang tidak selalu dilakukan melalui perubahan formal (formal amendment), tetapi dapat juga dilakukan melalui konvensi ketatanegaraan (contitutional convention), atau pun melalui interpretasi (constitutional interpretation) oleh peradilan konstitusi. Jika semua orang menerima sebagai praktik yang dianggap baik, maka dengan sendirinya pengertian harga uang dalam UUD 1945 itu dapat dikatakan sudah mengalami perubahan melalui konvensi (by convention). Artinya, sekarang pengertian harga mata uang yang hanya dikaitkan dengan soal nilai nominal atau dengan soal denominasi itu dapat saja diterima sebagai kenyataan yang sah secara konstitusional.

Dengan demikian ada beberapa pola pemahaman terhadap ketentuan bahwa harga mata uang harus ditetapkan dengan undang-undang tersebut di atas, yaitu (i) nilai kurs mata uang rupiah ditetapkan oleh DPR bersama dengan Presiden dengan undang-undang; (ii) nilai kurs mata uang ditetapkan oleh negara c.q. Bank Sentral, berdasarkan ketentuan undang-undang yang mengatur hal itu. Dengan perkataan lain, nilai kurs mata uang itu ‘diatur’ dengan undang-undang, bukan ‘ditetapkan’ dengan undang-undang; (iii) nilai nominal mata uang rupiah ditetapkan oleh DPR bersama dengan Presiden dengan undang-undang; (iv) nilai nominal mata uang rupiah ditetapkan oleh negara c.q. Bank Sentral berdasarkan undang-undang yang ditetapkan oleh DPR bersama dengan Presiden. Karena itu, dewasa ini, Pemerintah dan Bank Indonesia dapat saja mengembangkan kebijakan yang mengartikan perkataan harga mata uang dalam Pasal 23B UUD 1945 dalam konteks harga nominal yang penetapannya dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan pengaturan undang-undang yang ditetapkan bersama oleh DPR dan Presiden.

Redenominasi Mata Uang Rupiah
Dari uraian di atas, harus dibedakan antara pengaturan dan penetapan. Pengaturan adalah tindakan regulasi yang berisi norma-norma yang bersifat umum dan abstrak, sedangkan penetapan adalah tindakan administrasi yang berisi norma-norma yang bersifat konkrit dan individual. Denominasi dan redenominasi mata uang dapat ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan ketentuan undang-undang yang ditetapkan oleh DPR bersama dengan Pemerintah. Artnya, tindakan yang dilakukan untuk menerapkan kebijakan redenominasi mata uang rupiah haruslah dilakukan dalam dua tahap, yaitu (i) pembuatan peraturan yang agar mempunyai kedudukan yang kuat oleh Bank Indonesia diusulkan dalam bentuk undang-undang, dan (ii) penetapan redenominasi itu dengan keputusan Bank Indonesia. Jika tindakan pertama menimbulkan perlawanan dari masyarakat karena dianggap merugikan, maka upaya hukum yang tersedia adalah ‘judicial review’. Namun terhadap tindakan kedua, upaya hukum yang tersedia tidak dinamakan ‘judicial review’ melainkan peradilan tata usaha negara (PTUN), ataupun jika timbul sengketa hak-milik sebagai akibat penetapan itu, maka persengketaan semacam itu dapat juga dijadikan objek perkara di peradilan umum (pengadilan negeri).

Masalahnya adalah apakah harus atau apakah tepat bahwa bentuk hukum yang dipilih adalah undang-undang, bukan produk peraturan di bawah undang-undang. Jika ketentuan mengenai redenominasi itu sebenarnya sudah ada pintunya dalam undang-undang yang ada, mestinya penetapan redenominasasi itu dapat saja dilakukan secara langsung tanpa terlebih dulu membuat undang-undang yang khusus. Apakah untung ruginya jika pengaturan mengenai redenominasi itu dilakukan dengan undang-undang atau dengan peraturan yang lebih rendah. Jika dengan undang-undang, kedudukannya jelas lebih kuat, tetapi penyusunan undang-undang itu harus dilakukan melalui proses politik di DPR yang bersifat terbuka. Jika pengaturan mengenai hal-hal tersebut bersifat terbuka apakah dampak ekonomi-politiknya akan menguntungkan atau tidak. Ada juga kemungkinan bahwa sekiranyapun diperlukan bentuk undang-undang untuk pengaturan hal itu, maka undang-undang dimaksud dapat merupakan undang-undang yang tersendiri atau terselip sebagai bagian dari ketentuan undang-undang lain yang berkenaan dengan keuangan negara. Artinya, pengaturannya dalam undang-undang itu dapat saja tidak bersifat khusus sehingga dampak kontroversi ekonomi-politiknya lebih ringan.

Pendek kata, cukup banyak persoalan teknis yang perlu didalami sehubungan dengan gagasan untuk menerapkan kebijakan redenominasi mata uang rupiah tersebut. Saya setuju dengan pendapat bahwa pengaturan mengenai redenominasi ini dituangkan dalam bentuk undang-undang. Akan tetapi, Bank Indonesia dapat saja memilih jalan yang paling moderat dan aman, yaitu bukan dengan undang-undang tersendiri tetapi dalam undang-undang yang tidak secara khusus mengatur tentang redenominasi.

Hal-hal mengenai keuangan negara yang harus diatur dan dituangkan dalam bentuk undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Bab VIII tentang Hal Keuangan Negara Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, 23D, 23E, 23F, dan Pasal 23 tercatat ada enam undang-undang. Keenam undang-undang itu adalah undang-undang mengenai (i) APBN, (ii) Pajak dan Pungutan lain yang memaksa, (iii) macam dan harga mata uang, (iv) hal-hal lain mengenai keuangan negara, (v) bank sentral, dan (vi) Badan Pemeriksa Keuangan. Khusus mengenai pengaturan soal redenominasi tidak diperintahkan secara khusus. Karena perintah mengenai hal itu dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 23C yang menentukan, “Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang”.

Perintah Pasal 23C UUD 1945 itulah sebenarnya yang sudah dilaksanakan dengan dibentuknya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Jika materi redenominasi itu dipandang perlu diatur dalam undang-undang yang tidak tersendiri, maka dapat saja dilakukan perubahan atas UU tentang Keuangan Negara itu sebelum kebijakan redenominasi mata uang rupiah dilaksanakan. Dengan demikian risiko ekonomi-politiknya tidak sebesar jika dibentuk undang-undang tersendiri mengenai redenominasi mata uang rupaih.

Alternatif Keterbukaan
Dapat dikatakan bahwa pilihan-pilihan yang direkomendasikan tersebut di atas di dasar didasarkan atas asumsi bahwa proses penetapan redenominasi rupiah itu mengundang kerawanan jika dibahas dalam waktu yang cukup lama dan ditetapkan secara terbuka. Kerawanan yang dimaksud dapat saja mempengaruhi dinamika pasar sebagai akibat terjadinya perubahan nilai rupiah, seperti dampak kenaikan harga, dan sebagainya. Namun demikian, jika pembahasan dan penetapan kebijakan redenominasi itu justru sebaliknya diidealkan bersifat terbuka, maka terntu saja pilihan-pilihan cara yang diusulkan di atas menjadi tidak berlaku. Misalnya saja, dampak kenaikan harga tidak saja disebabkan oleh adanya diskusi terbuka, tetapi juga oleh penetapan redenominasi itu kapan saja dan secepat apapun hal itu ditetapkan dan diumumkan.

Artinya, kemungkinan dampak negatif yang timbul, bukan karena pembahasannya yang terbuka, melainkan sejak kebijakan itu ditetapkan dan diterapkan. Oleh karena itu, pembahasan yang bersifat terbuka dapat dikatakan justru lebih baik, karena hal itu sekaligus memberi kesempatan keterlibatan dan partisipasi publik secara lebih luas dan transparan. Kebijakan redenominasi itu sendiri sudah disosialisasikan secara terbuka sejak dari tahap pembahasannya di DPR.

Lagi pula, perubahan kebijakan redenominasi itu berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak dalam kehidupan sehari-hari, yaitu berkenaan dengan nilai mata uang sebagai alat tukar dan pengukur harga sehari-hari. Perubahan kebijakan yang demikian luas dampaknya tentu berkaitan pula dengan perubahan-perubahan dalam hak dan kewajiban orang banyak, sehingga sudah seharusnya perubahan itu ditetapkan dengan undang-undang. Dengan demikian, makna harfiah dari ketentuan asli Pasal 23B yang berasal dari Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 sebelum reformasi, dapat kita kembalikan, yaitu bahwa, “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang”. Artinya, redenominasi nilai mata uang rupiah yang akan diterapkan itu haruslah ditetapkan dengan undang-undang dengan pengertian bahwa yang dimaksud dengan harga mata uang itu tidak hanya kurs, tetapi juga denominasinya.

Dengan alternatif pandangan yang demikian, maka tentu saja bentuk hukum yang paling ideal yang mesti dipilih untuk penuangan dan pemberlakuan kebijakan redenominasi mata uang rupiah itu adalah undang-undang. Dengan demikian, alternatif pemberlakuan redenominasi melalui PBI (Peraturan Bank Indonesia) secara juridis sah dan cukup kuat. Demikian pula alternatif kedua yang moderat untuk mencantumkan pasal redenominasi itu dalam rangka perubahan undang-undang tentang keuangan negara. Akan tetapi, alternatif yang lebih baik dan lebih kuat lagi adalah alternatif yang ketiga, yaitu dengan undang-undang yang tersendiri, misalnya bernama Undang-Undang tentang Redenominasi Mata Uang Rupiah. Bahkan dapat dikatakan bahwa oleh karena besarnya dampak sosial ekonomi dan sosial politik sebagai akibat penerapan kebijakan redenominasi mata uang rupiah tersebut, maka memang alternatif yang harus dipilih dari alternatif melalui undang-undang. Namun, meskipun Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk secara mandiri menentukan kebijakan redenominasi tersebut, sebaiknya Bank Indonesia tidak menentukan sendiri pilihan-pilihan itu. Yang mempunyai kewenangan perancangan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan undang-undang adalah Presiden dan DPR. Karena itu, konsultasi kepada keduanya mesti dilakukan sebelum kebijakan ini diumumkan. 

Jika gagasan redenominasi itu dapat disepakati lebih dulu, barulah dipikirkan mengenai (i) format penuangannya, dan (ii) apa saja cakupan isinya. Pilihan-pilihan format dilaporkan lebih dulu dan ditawarkan kepada Presiden sebagai pemegang kewenangan pengajuan rancangan undang-undang, dan secara simultan dikonsultasikan pula kepada Pimpinan DPR dan Badan Legislasi DPR bahwa kebijakan redenominasi itu akan dilakukan melalui pembentukan undang-undang. Teknis inisiatif perancangan undang-undangnya dapat dimulai dari Pemerintah ataupun dari Badan Legislasi DPR. Akan tetapi, sekiranya pun disepakati Badan Legislasi DPR lah yang akan mulai mengambil prakarsa, tetap saja sebelumnya Presiden perlu mendapatkan laporan terlebih dahulu mengenai soal ini, langsung dari Gubernur Bank Indonesia. Malah, sebaiknya, Presiden tidak hanya mendapat laporan tertulis, tetapi juga laporan langsung dari Gubernur mengenai gagasan penerapan kebijakan redenominasi mata uang rupiah tersebut dan sekaligus mendiskusikan berbagai alternatif yang tersedia untuk menerapkan kebijakan baru itu.

Draf Rancangan Undang-Undang tentang Redenominasi Rupiah itu setidaknya memuat 2 macam norma, yaitu (i) ketentuan-ketentuan yang mengatur (regelingen) mengenai berbagai prosedur penerapan kebijakan redenominasi itu beserta segala akibat hukumnya di lapangan melalui aturan peralihan, dan (ii) pernyataan penetapan mulai sejak kapan nilai rupiah yang bersangkutan mengalami redenominasi, dan berapa besar nilai denominasi yang ditetapkan. Di samping kedua hal itu, tentu materi-materi standar lainnya juga harus pula dimuat dalam rancangan undang-undang itu sesuai dengan Pedoman Pembentukan Undang-Undang sebagaimana dimaksudkan oleh UU No. 10 Tahun 2004.
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger