Aspek-Aspek Ekonomi Politik Pendorong Kebijakan Penetapan Nilai Mata Uang RRC

Aspek-Aspek Ekonomi Politik Pendorong Kebijakan Penetapan Nilai Mata Uang RRC
A. Kebijakan Penetapan Nilai Mata Uang RRC
Kebijakan pemerintah China untuk membatasi apresiasi nilai tukar mata uangnya, Renminbi (RMB), atau yuan, terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) dan mata uang asing lainnya telah menjadi sumber ketegangan hubungan politik ekonomi internasional antara China dengan partner dagangnya, utamanya Amerika Serikat. Beberapa analis menduga bahwa China dengan sengaja “memanipulasi” nilai mata uangnya untuk memperoleh keuntungan dari partner dagangnya. Lebih lanjut, mereka berpendapat bahwa nilai mata uang China yang dijaga tetap konstan merupakan penyebab utama terjadinya defisit dagang tahunan Amerika Serikat terhadap China dalam jumlah yang sangat besar sehingga menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan juga secara besar-besaran di Amerika Serikat, terutama dalam industri manufaktur.

Pada bulan Februari 2010, Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, menyatakan bahwa intervensi nilai mata uang China telah menempatkan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat pada keadaan “kerugian kompetitif (competitive disadvantage) yang besar”. Lebih lanjut Obama menegaskan akan menanggapi kebijakan mata uang China ini sebagai salah satu prioritas utamanya. Dalam suatu konferensi berita di bulan November 2011, Presiden Obama juga menyatakan bahwa China perlu untuk “maju selangkah menuju sistem pasar besar dalam menentukan nilai tukar mata uangnya” dan Amerika Serikat dan negara lainnya telah merasa bahwa kebijakan intervensi ini telah “cukup berbahaya”.

Beberapa rancangan undang-undang telah diperkenalkan untuk menanggulangi dampak akibat nilai mata uang China pada kongres AS yang ke 112. Termasuk di dalamnya S.1619, yang disahkan oleh Senat pada tanggal 11 Oktober 2011. Rancangn undang-undang ini akan menerapkan beberapa tindakan bagi negara-negara yang dianggap memiliki nilai mata uang yang telah diintervensi.

Nilai RMB telah terapresiasi sebesar 30.4% terhadap dolar Amerika Serikat di antara bulan Juli 2005 (ketika reformasi siginifikan nilai kurs China diterapkan) sampai pada tanggal 30 November 2011. Namun demikian, apresiasi ini dilaksanakan dengan sangat perlahan dan bertahap, dan di beberapa masa tertentu, tetap bernilai konstan. Tingkat apresiasi RMB dikritisi oleh banyak partner dagang China, termasuk oleh Amerika Serikat, karena dinilai terlalu lambat, dan banyak analis yang berargumentasi bahwa nilai mata uang China masih tetap di bawah nilai sebenarnya. 

Walaupun terdapat pertentangan di antara para analis ekonomi politik internasional mengenai dampak ekonomi yang diakibatkan oleh intervensi nilai mata uang China terhadap Amerika Serikat (banyak yang menyatakan dampak positif juga negatif), kebanyakan dari analis ini setuju bahwa fleksibilitas mata uang menjadi salah satu faktor utama untuk mengurangi ketidakseimbangan global, yang diyakini menjadi kontributor utama yang mengakibatkan krisis finansial global dan melambatnya perekonomian dunia. Lebih lanjut, mereka berpendapat bahwa reformasi kurs China merupakan salah satu bagian dari kepentingan nasional China sendiri. China telah sepakat untuk melanjutkan reformasi nilai kurs China menjadi lebih fleksibel, namun di saat yang bersamaan menyatakan kekhawatirannya bahwa apresiasi China yang terlalu cepat akan mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan (utamanya di sektor ekspor China), yang kemudian dapat membahayakan laju ekonomi domestik. 

Beberapa ekonom mempertanyakan apakah apresiasi RMB akan menghasilkan keuntungan signifikan bagi ekonomi AS. Mereka berpendapat bahwa harga produk China akan meningkat tajam sehingga akan merugikan konsumer AS dan perusahaan AS yang menggunakan komponen produksi asal China. Selain itu, apresiasi RMB dapat mengurangi kebutuhan pemerintah China untuk membeli sekuritas AS, yang dapat mempengaruhi nilai suku bunga AS.

Lebih lanjut dikatakan bahwa mata uang yang menguat tidak akan mendorong relokasi aktifitas industri manufaktur yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan investasi asing (termasuk perusahaan-perusahaan AS) di China ke Amerika Serikat. Sebaliknya, perusahaan tersebut kemungkinan akan mengalihkan produksi ke negara-negara murah lainnya Asia Timur. Di samping itu, apresiasi RMB diduga dapat meningkatkan jumlah ekspor AS ke China, tetapi efek dari penurunan harga produk AS di China bisa dinegasikan melalui kebijakan hambatan dagang dan diinvestasi yang juga diterapkan China. 

Para analis melihat bahwa reformasi kebijakan intervensi mata uang sebagai salah satu bagian dari tujuan yang sesuai dengan kebijakan dagang AS. Tujuan-tujuan ini mencakup bahwa China perlu untuk:
a. Menyeimbangkan ekonominya dengan cara menjadikan permintaan konsumen, bukan investasi tetap dan ekspor, sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi China; 
b. Mengeliminasi kebijakan-kebijakan industri yang ingin mempromosikan dan melindungi perusahaan-perusahaan China (khususnya perusahaan milik negara);
c. Mengurangi rintangan-rintangan perdagangan dan investasi; dan
d. Menjamin perlindungan terhadap hal kekayaan intelektual barang produksi AS.

Sebelum tahun 1994, China mempertahankan sistem tukar ganda. Sistem ini terdiri atas sistem tukar resmi (yang digunakan oleh pemerintah), dan sistem tukar yang sedikit lebih dekat dengan nilai tukar asli berdasarkan sistem pasar, yang digunakan oleh importir dan eksportir dalam “pasar tukar” (swap market). Walaupun demikian, akses untuk tukar menukar mata uang asing sangatlah terbatas dengan tujuan untuk membatasi impor. Hal ini kemudian mendorong maraknya pasar gelap untuk transaksi penukaran mata uang. 

Kedua jenis nilai tukar mata uang di China pada masa itu memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Nilai tukar mata uang resmi dengan USD pada tahun 1993 berada pada angka 5.77 yuan sedangkan nilai tukar dengan USD pada pasar tukar pada angka 8.70. Sistem nilai tukar ganda China beserta kebijakan dagang lainnya menuai kritik dari Amerika Serikat karena dipandang sebagai kebijakan yang sangat membatasi (restrictionist) impor dari luar negeri.

Pada tahun 1994, pemerintah China menyatukan nilai tukar mata uangnya dengan nilai awal pada angka 8.70 yuan terhadap Amerika Serikat. Angka ini kemudian diapresiasi menjadi 8.28 pada tahun 1997 dan kemudian dijaga terus konstan sampai pada Juli 2005. RMB kemudian menjadi lebih mudah untuk didapatkan dan ditukar melalui kegiatan perdagangan internasional, namun tidak dalam bentuk modal, yang berarti bahwa yuan masih sulit untuk didapatkan untuk tujuan investasi di masa itu.

Pada tahun 1994 sampai pada Juli 2005, China mempertahankan suatu kebijakan mematok (pegging) RMB terhadap USD pada angka kurang lebih 8.28 yuan per satu USD. Standar patok ini dijustifikasi oleh pemerintah China untuk menjaga kestabilan lingkungan bagi perdagangan asing dan investasi di China (karena kebijakan ini dapat mencegah pergeseran besar dalam nilai tukar mata uang). Kebijakan yang serupa umumnya diterapkan oleh banyak negara di masa awal perkembangannya.

Bank sentral China mempertahankan nilai patok ini dengan cara membeli (atau menjual) aset-aset dengan denominasi dalam USD dan ditukarkan dengan pencetakan baru mata uang yuan sesuai dengan kebutuhan untuk mencegah kelebihan permintaan (atau penawaran) terhadap yuan. Sebagai hasilnya, nilai tukar mata uang antara yuan dan dolar relatif konstan, meskipun banyak faktor ekonomi lain yang terjadi yang dapat mengakibatkan nilai tukar RMB terapresiasi (atau depresiasi) relatif terhadap dolar. Dalam sistem nilai tukar mengambang yang dipakai secara universal dalam perdagangan bebas, permintaan relatif terhadap produk dan aset kedua negara menjadi penentu nilai tukar mata uang RMB terhadap USD.

1. 2005: Reformasi Rezim Mata Uang RRC
Pemerintah China memodifikasi kebijakan terkait mata uangnya pada tanggal 21 Juli 2005. Seperti yang dipublikasikan, nilai tukar mata uang China akan “disesuaikan, berdasarkan permintaan dan penawaran dengan referensi pergerakan nilai kurs yang ada,” dan bahwa nilai tukar USD terhadap RMB akan disesuaikan dari 8.28 yuan menjadi 8.11, terapresiasi sebesar 2.1%. Namun tidak persis halnya dengan sistem nilai tukar mengambang, RMB hanya diperbolehkan untuk berfluktuasi dalam rentang 0.3% (kemudian diubah menjadi 0.5%) setiap harinya terhadap nilai kurs yang ada.

Setelah bulan Juli 2005, China memperbolehkan RMB untuk terapresiasi secara berangsur-angsur, dengan sangat perlahan. Dari tanggal 21 Juli 2005 sampai pada tanggal 21 Juli 2008 nilai tukar USD-RMB berubah dari 8.11 menjadi 6.83, terapresiasi sebesar 18.7% (atau sebesar 20.8% jika apresiasi awal sebesar 2.1% dimasukkan dalam perhitungan). Situasi hasil kebijakan pada waktu tersebut dapat dikatakan sebagai “sistem mengambang yang terkontrol” kekuatan pasar menentukan arah umum pergerakan RMB, namun pemerintah menahan nilai apresiasinya melalui intervensi pasar valas.

2. 2008: Penghentian Apresiasi RMB
China menghentikan apresiasi nilai mata uangnya sekitar pertengahan tahun 2008 (lihat Grafik 3.1.). Justifikasi pegging ini utamanya karena penurunan permintaan global terhadap produk ekspor China akibat dari krisis finansial global. Pada tahun 2009, ekspor dan impor China menurun sebesar 15,9% dan sebesar 11,3% dibandingkan level pada tahun 2008.

Grafik Nominal Nilai Tukar RMB-Dolar: Januari 2008 - Mei 2010
(yuan per U.S. dolar [rerata per bulan])

Sumber: Global Insight.
Catatan: Grafik dibalik secara vertikal untuk tujuan ilustratif. Garis yang menukik naik menunjukkan apresiasi nilai RMB terhadap USD dan garis menurun menunjukkan depresiasi. 

Pemerintah China melaporkan bahwa ribuan pabrik berbasis ekspor terpaksa ditutup dan lebih dari 20 juta pekerja imigran kehilangan mata pencahariannya di tahun 2009 karena terkena efek langsung dari dampak penurunan pertumbuhan ekonomi global. Nilai tukar mata uang RMB/USD ditahan konstan pada angka 6.83. Situasi ini terus berlanjut sampai pada sekitar pertengahan Juni 2010.

3. 2010: Pelanjutan Apresiasi RMB
Berikut merupakan grafik nilai tukar RMB terhadap USD pada bulan Juni 2010 sampai pada November 2011:

Grafik Rerata Bulanan Nilai Tukar RMB-USD: Juni 2010-November 2011

(yuan per dolar AS)
Sumber: China Money and Global Insight.
Catatan: Grafik diputar secara vertikal dengan tujuan ilustratif untuk menunjukkan apresiasi dan depresiasi nilai tukar RMB terhadap Dolar. 

Pada tanggal 19 Juni 2010, bank sentral China, the People’s Bank of China (PBC), berdasarkan pada situasi ekonomi saat itu, memutuskan untuk “meneruskan lebih lanjut inisiatif reformasi nilai tukar RMB dan meningkatkan fleksibilitas nilai tukar mata uangnya”. Namun ini bukan berarti terjadi revaluasi besar-besaran dalam sekejap, dengan alasan bahwa “penting untuk menghindari fluktuasi tajam dan besar-besaran dari nilai tukar RMB”. Dengan demikian, korporasi korporasi China dapat lebih mudah menyesuaikan dengan apresiasi nilai tukar yuan. 

Banyak pengamat berpendapat bahwa pengaturan waktu dimana kebijakan ini diambil dan dipublikasikan ialah dimaksudkan untuk mencegah nilai tukar RMB menjadi fokus utama dalam pertemuan G-20 di Toronto pada bulan Juni 2010. Seperti yang diilustrasikan dalam Grafik 3.2., nilai tukar RMB terhadap dolar mengalami perubahan naik dan turun semenjak kebijakan apresiasi RMB dilanjutkan. Secara garis besar, nilai RMB terus meningkat. Dari tanggal 19 Juni 2010 (ketika apresiasi mata uang dilanjutkan) sampai pada tanggal 3 November 2011, nilai tukar RMB-USD meningkat dari angka 6.83 ke angka 6.35, terapresiasi sebesar 7.6%.

B. Perspektif dan Justifikasi RRC dalam Kebijakan Penentuan Nilai Mata Uang
Pemerintah China berargumentasi bahwa kebijakan intervensi nilai mata uang China tidak dimaksudkan untuk meningkatkan ekspor agar melebihi impor, namun untuk menjaga stabilitas ekonomi melalui stabilitas nilai mata uang. Kebijakan ini merefleksikan tujuan pemerintah dalam memanfaatkan ekspor untuk membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk China dan menarik investasi asing untuk memperoleh akses teknologi dan pengetahuan. Pemerintah China telah menyatakan dalam berbagai kesempatan bahwa reformasi nilai mata uang China merupakan salah satu tujuan jangka panjang pemerintah yang akan dicapai secara bertahap. Para anggota pemerintah secara tegas mengutuk tekanan internasional yang terus mendesak China untuk mengapresiasi mata uangnya, dengan alasan bahwa tekanan ini sama saja dengan pelanggaran “kedaulatan” China dalam memberlakukan kebijakan ekonomi domestiknya sendiri. 

Pada bulan Desember 2009, media China melaporkan bahwa anggota pemerintah, yang namanya tak ingin disebut, menyatakan bahwa “sangatlah sulit untuk mengharapkan adanya apresiasi langsung nilai RMB di suatu negara dimana 40 juta penduduknya hidup dengan penghasilan di bawah 1 dolar AS per harinya.” Media ini juga melaporkan Perdana Menteri China Wen Jiabao menyatakan bahwa “beberapa negara menginginkan apreasiasi nilai yuan, di saat yang bersamaan juga menerapkan berbagai macam kebijakan proteksi pasar terhadap China. Hal ini tidak adil dan sebenarnya membatasi perkembangan China.”

Walaupun memang terdapat beberapa langkah yang diambil pemerintah terkait reformasi nilai mata uang, langkah ini diambil dengan sangat berhati-hati. Pemerintah China memandang pertumbuhan ekonomi sangatlah kritis untuk mempertahankan kestabilan politik, dan oleh karenanya menjadi acu untuk menerapkan kebijakan yang dapat menimbulkan gangguan perekonomian dan menciptakan pengangguran secara meluas yang dapat mengarah pada aksi protes massa. Selain itu, anggota pemerintah China menolak pernyataan dari berbagai ekonom bahwa kebijakan rezim nilai kurs China telah melemahkan ekonomi global atau bahwa apresiasi RMB diperlukan untuk mendorong perbaikan ekonomi global. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang drastis merupakan bagian dari kebijakan yang dapat diambil China untuk membantu memulihkan kondisi ekonomi global. Mereka mencatat bahwa impor China telah meningkat secara drastis di tahun-tahun belakangan ini sebesar 38.8% di 2010 (dibandingkan tahun sebelumnya) dan sebesar 28.7% selama 10 bulan pertama di tahun 2011 (basis tahun per tahun) (lihat Grafik 3.3). 

Pejabat China berpendapat bahwa pertumbuhan yang cepat jumlah impor membuktikan bahwa kebijakan mata uang tidak membatasi perdagangan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi China dengan mengorbankan negara-negara lain. Selain itu, mereka mencatat, barang surplus perdagangan China turun pada tahun 2009 dan 2010, dan berdasarkan data Januari-Oktober 2011, kemungkinan akan menurun pada tahun 2011. Surplus perdagangan China menurun dari puncaknya sebesar $297 miliar pada tahun 2008 menjadi $198 miliar pada tahun 2009 dan menjadi $185 miliar pada tahun 2010.

Grafik Arus Perdagangan Bulanan China: Januari 2008-Oktober 2011

(dalam $ juta dolar)
Sumber: Global Trade Atlas menggunakan statistik resmi China.

Surplus perdagangan China juga menurun pada 10 bulan pertama tahun 2011 sebesar 15,4%, yang mengindikasikan bahwa surplus perdagangan China dalam setahun kini berada dia angka $156 miliar. Kritik menyanggah dalih ini dengan argumentasi bahwa ekspor China telah berkembang dengan pesat sejak awal 2009 dan telah melampaui tingkat sebelum krisis, sedangkan pertumbuhan PDB riil China selama dua tahun terakhir ini merupakan yang tertinggi (sebesar 9,2% pada tahun 2009 dan 10,3% pada tahun 2010) dibandingkan ekonomi negara besar lainnya. Akibatnya, kritikus berpendapat, upaya China untuk menekan nilai mata uangnya tidak dapat dibenarkan karena alasan ekonomi.
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger