Pengertian Dan Macam-Macam Hukum Taklifi

Pengertian Dan Macam-Macam Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah hukum yang berisi tuntutan kepada mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu, atau memilih antara keduanya. seperti yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, hukum taklifi adalah:
هو ما اقتضى طلب فعل من المكلف او كفه عن فعل او تخييره بين فعل او كف عنه.
Dari definisi diatas dapat diidentifikasi unsur-unsur dari hukum taklifi, diantaranya adalah:
  1. Suatu tuntutan dari syari’ atau yang membuat hukum (الحاكم) 
  2. Sasarannya (المحكوم عليه) adalah mukallaf 
  3. Tuntutan berisi untuk mengerjakan, meninggalkan sesuatu atau memilih diantara keduanya. 
Dari unsur yang ketiga dapat di identifikasi bentuk-bentuk dari hukum taklifi. Berikut adalah bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama’ushul fiqih/mutakallimin:
  1. Ijab (الايجاب) 
  2. Nadb (الندب) 
  3. Ibahah (الاباحة) 
  4. Karahah (الكراهة) 
  5. Tahrim (التحريم) 
Sedangkan bentuk-bentuk hukum taklifi menurut ulama’ hanafiyah adalah sebagai berikut:
  1. Iftiradl (الافتراض) 
  2. Ijab (الايجاب) 
  3. Nadb (الندب) 
  4. Ibahah (الاباحة) 
  5. Karahah Tanzihiyyah (الكراهة التنزيهية) 
  6. Karahah Tahrimiyyah (الكراهة التحريمية) 
  7. Tahrim (التحريم) 
A. Pembagian Hukum Taklifi
Secara lebih terperinci, hukum taklifi yang lima (ahkam at-taklif al-khamsah) dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Wajib (الايجاب)

a. Pengertian Wajib
Ulama ushul fiqh menjelaskan, kata wajib secara etimologi berarti tetap. Sedangkan secara terminologi ialah:
الواجب هو ما طلب الشارع فعله من المكلف طلبا حتما
"Segala sesuatu yang dituntut oleh syari’ untuk dilakukan oleh mukallaf dengan tuntutan yang pasti.”

b. Pembagian Wajib
Hukum wajib dapat dibagai menjadi beberapa segi, diantaranya segi pelaksanaannya, segi kadar kewajiban yang diperintah, bentuk perbuatan yang diperintah, pertanggungjawaban pelaksanaanya, dan dari segi tujuannya.

1. Wajib ditinjau dari segi pelaksananya.
Wajib ditinjau dari segi pelaksananya, maka wajib dapat dibagi menjadi dua, yaitu;
a. Al-Wajib al-‘aini
Yang dimaksud al-wajib al-‘aini (kewajiban indvidu)ialah sebagai berikut:
مَا طَلَبَ الشَلرِعُ من كُلِّ فَرْدٍ أفْرَادِالمُكلاَّفينَ

“Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i (Allah dan Rasul-Nya) pelaksanannya oleh setiap individu mukallaf”

b. Al-Wajib al-Kafa’i
Sedangkan yang di maksud dengan al-wajib al-kafa’i (kewajiban kolektif) ialah suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i pelaksanaannya dari sekumpulan mukallaf, bukan oleh setiap individu mukallaf .

Wajib kifayah merupakan kewajiban secara kolektif, yakni jika seorang diantara mereka telah melakukan, maka gugurlah kewajiban semua orang. Akan tetapi wajib kifayah dapat berubah menjadi wajib ‘aini, bilamana dalam suatau wilayah atau tempat tidak ada lagi orang yang mampu melaksanakannya selain dia seorang. Misalnya, jika dalam suatu masyarakat hanya terdapat seorang yang mampu menjadi guru atau menjadi pemimpin, maka orang tersebut secara individusl wajib melaksanakan kewajiban sebagai seorang guru atau sebagai pemimpin masyarakat. 

2. Wajib ditinjau dari waktu pelaksanannya
Ditinjau dari segi waktu pelaksanannya wajib dapat dibagai menjadi dua, yaitu:

a. Al-Wajib al-Muthlaq
Yang dimaksud dengan wajib muthlak ialah suatu kewajiban yang asy-syar’i tidak mengaitkan pelaksanannya dengan waktu tertentu.

Dengan kata lain, waktu pelaksanannkewajiban ini dapat ditangguh dan dilaksanakan kapan saja seorang merasa mampu. Misalanya membayar kafarah sumpah, meng-qhada’ puasa Ramadhan karena ‘uzur, seorang dapat melaksanakan kapan saja pada waktu yang dianggapanya lapang, sebagaimana pendapat imam Hanafi. Sedangkan menurut Imam Muslim, waktu meng-qhada’ puasa adalah sebelum samapai datang waktu Ramadhan berikutnya. Jika belum terbayar makan akan terkena denda fidyah yang digandakan. 

b. Al-Wajib al-Muwaqqat
Adapun yang di maksud dengan wajib mu’aqqad ialah suatu kewajiban yang asy-syar’i mengaitkan pelaksanaannya dengan waktu tertentu.

Karena kewajiban ini tertentu pada waktunya, maka pelaksanann kewajiban ini dipandang tidaknsah jika tidak dilaksanakan pada waktuny. Dalam hal ini, wajib mu’aqqad dibagi menjadi 3;

1. Al-Wajib al-Muwassa’
Wajib muwassa’ adalah suatu kewajiban yang waktu pe;aksanaannya lebih luas daripada ukuran waktu pelaksanaan perbuatan yang diwajibkan. Misalnya waktu pelaksanaanshalat-shalat yang lima. Waktu shalat dhuhur misalanya, selain dapat dipergunakan untuk shalat dhuhur, dapat juga digunakan untuk shalat sunnah. 

2. Al-Wajib al-Mudhayyaq
Wajib Mudhayyaq adalah suatu kewajiban yang panjang waktunya sama dengan waktu yang dipertlukan untuk pelaksanaan perbuatan yang wajib. Karena waktu pelaksanaan yang tersedia sama dengan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban itu sendiri, maka disamping disamping suatu keawajiban tidak dapat dilakukan perbuatan yang sejenis. Misalnya, waktu pelaksanaan puasa Ramadhan. 

3. Al-Wajib zu Syabhain
Wajib zu syabhain (waktu kewajiban memiliki dua kemiripan),ialah waktu pelaksanaan kewajiban yang jika ditijau dari satu sisi, bersifat muwassa’ (luas), tetapi jika ditinjau dari sisi lain bersifat mudhayyaq (sempit). Yang mana macam wajib yang ketiga ini adalah menurut kalangan Hanafiyah Misalnya ibadah haji, ditinjau dari segi pelaksanaan ibadah haji itu sendiri, yang hanya memerlukan waktu beberapa hari, waktunya disebut muwassa’, karena hanya ad beberapa bulan dalam setahun. Akan tetapi, jika ditinjau dari segi bahwa ibadah haji hana dapat dilakukan sekali dalam setahun, maka waktunya disebut mudhayyaq. 

3. Wajib ditinjau dari perbuatan yang diperintahkan
Dari segi perbuatan yang dperintahkan, wajib dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Al-Wajib al-Mu’ayyan
Yang dimaksud dengan al-mu’ayyan (kewajiban tertentu) ialah suatu kewajiban yang syar’i memerintahkan untuk melakukan satu perbuatan tertentu.

Misalnya kewajiban melakukan shalat lima waktu, kewajiban berpuasa ramadhan, kewajiban membayar zakat, berbuat baik kepada orang tua, dan memelihara anak yatim merupakan kewajiban tertentu dan spesifik. 

b. Al-Wajib al-Mukhayyar
Wajib mukhayyar adalah suatu kewajiban yang syar’i memerintahakan untuk melakukan salah satu dari beberapa perbuatan tertentu. Misalnya kewajiban membayar kafarah karema melanggar sumpah. 

4. Wajib ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintah
Ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintahkan, wajib di bagi menjadi dua macam, yaitu;

a. Al-Wajib Al-Muhaddad
Wajib Muhaddad adalah suatu kewajiban yang syar’i menentukan perbuatan mukallaf itu berdasarkan kadar/ukuran tertentu. Misalnya kewajiban membayar zakat mall (harta) maupun zakat fitrah.

b. Al-Wajib Ghair al-Muhaddad
Wajib ghoiru muhaddad adalah suatu kewajiban yang asy-syar’i tidak menentukan ukuran/kadar kewajiban itu secara tertentu. Misalnya, kewajiban memberi nafkah kepada kerabat/keluarga.

5. Wajib ditinjau dari segi pelaksanaan pertanggung jawaban
Wajib ditinjau dari segi dapat tidaknya suatu kewajiban dimintakan pertanggungjawaban pelaksanaannya di dunia dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu;

a. Al-Wajib al-Qhada’i
Yang dimaksud dengan wajib qhada’i adalah suatu kewajiban yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pelaksanaannya di dunia mealui kekuasaan pemerintah atau keputusan pengadilan. Misalnya, kewajiban membayar zakat.

b. Al-Wajib al-Diyani
Wajib diyani (kewajiban yang bersifat agama) ialah suatu kewajiban yang jika tidak dilaksanakan, maka ia akan mendapat siksa di akhirat, tetapi kewajiban tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya di dunia. Misalnya, kewajiban seorang ayah untuk menafkahi keluarganya serta kewajiban memberikan pendidikan kepada anaknya.

6. Wajib ditinjau dari segi tujuannya
Di tinjau dari segi tujuannya, wajib dapat dibagi menjadi dua, yaitu;

a. Al-Wajib al-Ta’abbudi
Yaitu suatu kewajiban yang secara khusus diwajibkan pelaksanaannya dengan maksud untuk menunjukkan manifestasi kepatuhan, ketundukan, dan mendekatkan diri kepada Allah. Contohnya, semua jenis ibadah yang tertera dalam kitab fiqh-fiqh ibadah. Seperti shalat, puasa, dan haji.

b. Al-Wajib Ghiru Ta’abbudi
Al-Wajib Ghoiru Ta’abbudi adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya tidak secara khusus diwajibkan dengan maksud untuk menunjukkan secara langsung kepatuhan dan ketundukan seorang hamba kepada Allah, tetapi untuk melahirkan keteratuaran, ketertiban, kenyamanan dan ketentraman dalam masyarakat, akan tetapi jika terdapat niat untuk melakukan ibadah, maka akan mendapatkan pahala pula. Misalnya, Sholat dengan niat selain untuk beribadah. Contoh melakukan sholat fardlu karena disuruh orang tua.

2. Nadb/mandub (المندوب)
Pengertian 
Secara bahasa mandub berarti sesuatu yang dianjurkan. Istilah lain dari mandub diantaranya adalah nafilah, tathawu’, ihsan dan mustahab.

Secara istilah mandub adalah:
هو ما طلب الشارع فعله من المكلف طلبا غير حتم

“Mandub ialah sesuatu yang dituntut oleh syari’ (Allah) untuk dikerjakan oleh mukallaf dengan perintah yang tidak pasti.”

Adapun Imam Baidhawi mendefinisikan mandub sebagai:
ما يحمد فاعله ولا يذم تاركه

“sesuatu yang dipuji pelakunya dan tidak dicela bagi yang meninggalkannya.”

Ulama’ ushul membagi Mandub menjadi tiga macam.

Mandub Muakkad 
Yaitu sunnah yang dianjurkan untuk mengerjakannya, bagi yang melanggar tidak mendapat siksa tetapi mendapat celaan. Seperti adzan, shalat berjamaah dan lain-lain. Dan sesuatu yang sangat ditekuni oleh Rosul. Beliau tidak meninggalkannya kecuali sekali atau dua kali untuk menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dituntut secara pasti. Seperrti berkumur, membaca surah setelah Al fatihah dalam shalat dan lain-lain.

Mandub Ghoiru Muakkad 
yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan apa-apa. Dalam hal ini rosul hanya melakukannya berdasarkan sukarela. Seperti puasa senin kamis, shodaqah dan lain-lain.

Mandub Zaidah (sunnah tambahan) 
Yaitu sesuatu yang dikerjakan Rosulullah berupa hal-hal biasa yang bersifat akhlak/sifat qodrat manusia. Seperti etika makan, minum, tidur, memakai pakaian dan sebagainya.

3. Mubah (الاباحة)
a. Pengertian
Secara etimologi mubah berarti boleh. Mubah juga berarti ma’dzun (yang diizinkan). Secara terminologi mubah berarti:
ما خير الشارع المكلف بين فعله وتركه

“Suatu pemberian kebebasan untuk memilih oleh Syari’ kepada mukallaf antara mengerjakan atau meninggalkan sesuatu.”

atau
ما لا يحمد على فعله ولا على تركه

“Suatu perkara yang tidak dipuji pelakunya dan juga yang meninggalkannya.”

b. Pembagian
Mubah dikarnakan ada nash yang menetapkan kemubahannya. Sebagaimana jika terdapat nash yang menjelaskan tidak terdapat dosa pada suatu pekerjaan yang dilakukan mukallaf. Seperti firman Allah:
واذا حلللتم فاصطادوا…..

Nash diatas menunjukkan bahwa kemubahan berburu apabila telah selesai bertahallul.

Mubah dikarnakan asal dari pekerjaan itu sendiri. Dengan kata lain tidak ada nash atau dalil yang menyebutkan hukumnya. Dikarenakan hukum asal segala sesuatu adalah mubah (الاصل فى الاشياء الاباحة).

Sedangkan Imam Abi ishaq Asy syathibi mengemukakan pembagian mubah dari segi juz’i atau kulli sebagai berikut:
  • Mubah bisa berubah jadi wajib jika dilihat dari kepentingan umat secara keseluruhan. Contoh makan, minum, jika meninggalkan secara keseluruhan maka hal tersebut menjadi wajib.
  • Mubah secara juz’i berubah menjadi mandub jika dilihat secara kulli. Contoh makan makanan yang bisa menyehatkan badan, apabila ditinggalkan keseluruhan(makanan tersebut) maka akan berakibat terkena penyakit atau sebagainya.
  • Mubah secara juz’i bisa diharamkan apabila dilihat secara kulli. Contoh makan makanan yang lezat uang jika dilakukan secara terus menerus akan berakibat kanker atau penyakit lain uang membahayakan tubuh.
  • Mubah secara juz’I bisa menjadi makruh jika dilihat akibat negatifnya secara kulli. Contoh bermain secara terus menerus sehingga melalaikan pekerjaan yang lain.
4. Makruh (الكراهة)
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang di benci”. Dalam istilah ushul fiqih kata makruh, menurut mayoritas ulama ushul fiqih, berarti sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, di mana bila ditinggalkan akan mendapat pahala dan apabila dilanggar tidak berdosa. Misalnya, seperti di kemukakan Wahbah az-Zuhaili, dalam mazhab Hambali ditegaskan makruh hukumnya berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan ketika akan berwudu di siang hari Ramadhan karena dikhawatirkan air akan masuk ke rongga kerongkongan dan tertelan.

Sedangkan Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan makruh sebagai:
هو ما طلب الشارع من المكلف الكف عن فعله طلبا غير حتم

“Segala sesuatu yang dituntut oleh syari’ kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang tidak pasti.”

Menurut kalangan Hanafiyah, makruh terbagi kepada dua macam:
1. Makruh Tahrim (mendekati Haram), yaitu tuntunan syariat untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntunan itu melalui cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti larangan memakai sutera dan perhiasan emas bagi kaum lelaki, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya: Keduanya ini (emas dan sutra) haram bagi umatku yang laki-laki dan halal bagi wanita. (H.R. Abu Dawud, An-Nasa’i, ibn Majah Ahmad ibn Hambal).

2. Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, tetapi dengan tuntunan yang tidak pasti.

5. Haram (التحريم)
Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara terminologi kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah secara jelas, sebagaimana definisi Abdul Wahab Khallaf sebagai berikut:
هو ما طلب الشارع الكف عن فعله طلبا حتما

“Suatu tuntutan Syari’ kepada mukallaf untuk meninggalkan pekerjaan dengan tuntutan yang pasti.”

Jual beli bilamana dilihat kepada esensinya adalah dibolehkan, tetapi ada larangan melakukannya pada waktu azan Jumat karena akan melalaikan seseorang dari memenuhi panggilan Allah.
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger