Budaya Organisasi Sebagai Variabel Kunci Kesuksesan Kinerja Manajerial Dan Keuangan

Budaya Organisasi Sebagai Variabel Kunci Kesuksesan Kinerja Manajerial Dan Keuangan
Tulisan dalam artikel ini bertujuan menyusun konstruksi hubungan antar tiga konstruk penting dalam teori organisasi. Ketiga konstruk tersebut terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional dan kepemimpinan. Langkah pertama dimulai dengan elaborasi setiap konstruk dalam berbagai perspektif. Langkah berikutnya adalah melakukan simulasi dan konstruksi hubungan antar konstruk sehingga tersusun peta awal dari hubungan antar variabel tersebut.

1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas dalam berbagai setting sehingga istilah budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi pernah menjadi suatu “fashion” baik di kalangan manajer, konsultan dan bahkan juga di kalangan akademisi. Namun demikian dalam perkembangannya, budaya organisasional mendapat “tempat” penting dalam khasanah akademis, khususnya teori organisasi seperti halnya struktur, strategi dan pengendalian (Hofstede, 1990).

Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu konstruk, yang merupakan abstraksi dari fenomena yang dapat diamati dari banyak dimensi. Sehingga banyak ahli ilmu-ilmu sosial dan manajemen belum memiliki “communal opinio” mengenai definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan terminologi tersebut dari beragam perspektif dan dimensi.

Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yang difahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Schein (1992) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut. 

Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada pada tiga tingkat, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat Gambar 1). Pada tingkat artifacts, budaya organisasional memiliki karakteristik bahwa struktur dan proses organisasional dapat terlihat. Pada tingkat berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya dapat mereka berikan kepada organisasi”.

Gambar  Tingkatan Budaya Organisasional
Sumber: Schein (1992). Organization Culture and Leadership 2nd Edition

Pada tingkat ini organisasi dan anggotanya membutuhkan tuntunan strategi (strategies), tujuan (goals) dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bertindak dan berperilaku. Sedangkan pada tingkat basic underlying assumptions berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik untuk melakukan sesuatu secara benar dan cara yang tepat.

Kotter dan Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi dan Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi-asumsi keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan persepsi-persepsi yang dimiliki para anggota kelompok dalam suatu organisasi yang membentuk dan mempengaruhi sikap dan perilaku kelompok tersebut. 

Stoner et. al (1995) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner dan Knicky (1995) menambahkan bahwa budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial (social glue) yang mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans (1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. 

Sedangkan sifat-sifat yang dimiliki budaya organisasional secara mendasar dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh dan menjangkau dimensi waktu yang panjang (holistic), 2) ditentukan atau mencerminkan catatan historis perusahaan (historically determined), 3) berhubungan dengan sesuatu yang bersifat ritual dan simbolik, 4) dihasilkan dan dipertahankan oleh kelompok-kelompok yang secara bersama-sama membentuk organisasi (social constructed), 5) halus (soft) dan 6) sukar berubah (hard to change)


Smircich (1983) menunjukkan empat fungsi penting budaya organisasional, yaitu: 1) memberikan suatu identitas organisasional kepada para anggota organisasi., 2) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) meningkatkan stabilitas sistem sosial, dan 4) membentuk perilaku dengan membantu anggota organisasi memilih sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional disimpulkan pula sebagai “ruh” organisasi karena di sana bersemayam filosofi, misi dan visi organisasi yang akan menjadi kekuatan penting untuk berkompetisi.

2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan seperti juga konsep budaya organisasinal, juga memiliki pemaknaan yang beragam yang berimplikasi pada kesulitan dalam pemahaman konsep dan metoda. Hal tersebut disebabkan belum adanya kesepakatan tentang dimensi-dimensi dari konsep keefektifan, kriteria yang digunakan dalam pengukuran, tingkat analisis yang appropriate dan kelompok kegiatan organisasional mana yang mencerminkan pusat perhatian untuk studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos” tentang konsep tersebut tidak membuat konsep keefektifan “hengkang” dari topik organisasi. 

Dalam pandangan Cameron dan Whetten (1983), ada tiga alasan meliputi teoritis, empiris dan praktis. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional secara teoritis terletak pada pusat semua model organisasional. Kedua, keefektifan secara empiris berfungsi sebagai variabel penting dalam kegiatan riset dan konsep penting dalam penafsiran fenomena organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan untuk membuat judgements tentang kinerja (performance) berbagai organisasi. Namun demikian, paling tidak ada dua pandangan yang paling banyak digunakan dalam mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya dengan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan pemimpin tersebut bagi para pengikutnya dan para stakeholder organisasi lainnya. 

Pandangan lainnya dengan melihat berbagai jenis hasil yang telah digunakan, termasuk di dalamnya kinerja dan pertumbuhan kelompok atau organisasi dari pemimpin tersebut, kesediaannya untuk menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-krisis, kepuasan pengikut dengan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap sasaran-sasaran kelompok, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para pengikut dan kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yang lebih tinggi di dalam organisasi. Beberapa model keefektifan organisasional yang berkembang dalam khasanah akademik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel  Model-model Keefektifan Organisasional
Model
Definisi
Kapan Bermanfaat?
Model Tujuan (Goal Model)
Mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
Tujuan-tujuan jelas, konsesual, berjangka waktu dan terukur
Model Sumber Daya Sistem (System resource Model)
Mampu memperoleh sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan
Ada kaitan jelas antara input dan kinerja
Model Proses Internal
Fungsi-fungsi internal berjalan lancar
Ada kaitan jelas antara berbagai proses organisasional dan kinerja
Multiple Constituency Model
Semua pihak terkait terpuaskan
Pihak-pihak terkait mempunyai pengaruh kuat terhadap organisasi
Competing Values Model
Memenuhi preferensi pihak-pihak terkait dalam hal empat kuadran yang berbeda
Organisasi tidak jelas kriterianya atau sering berubah kriteria
Model Legitimasi
Kelangsungan hidup terjamin sebagai hasil pelaksanaan kegiatan legitimate
Kelangsungan hidup organisasi penting
Model Ketidakefektifan
Tidak mempunyai kelemahan-kelemahan atau sifat-sifat sumber ketidakefektifan
Kriteria keefektifan tidak jelas atau berbagai strategi perbaikan diperlukan.
Sumber: K.S. Cameron (1984)

Salah satu hal yang menyebabkan kurangnya pengembangan konsepsual mengenai keefektifan adalah kesulitan dalam mengintegrasikan berbagai konsepsualisasi organisasi yang berbeda. Oleh karena itu setiap upaya pengembangan konsep keefektifan harus dimulai dengan suatu analisis teori organisasi yang menjadi dasarnya (Goodman dan Penning, 1980).

3. Hubungan Budaya Organisasional dengan Keefektifan Organisasional
Tujuan seorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasional organisasi. Namun demikian banyak problem organisasional dan ketidakpastian (uncertainty) baik internal maupun eksternal yang seringkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan banyak penelitian menunjukkan kegagalan organisasi lebih sering disebabkan oleh permasalahan manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Permasalahan tersebut mendorong Peters dan Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan organisasional untuk meningkatkan keefektifan dan kinerja organisasional. Menurut Peters dan Waterman, setiap organisasi mempunyai kebudayaannya masing-masing. Tiap kebudayaan tersebut dapat menjadi kekuatan positif dan negatif dalam mencapai kinerja organisasionalonal. Dalam berbagai penelitian dan kajian manajemen organisasi banyak para ahli telah meyakini keeratan hubungan antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sehingga hubungan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi. 

Penelitian O’Reilly (1989) menunjukkan dukungan penting bagi proposisi di atas bahwa budaya perusahaan mempunyai pengaruh terhadap keefektifan suatu perusahaan terutama pada perusahaan yang mempunyai budaya yang sesuai dengan strategi dan dapat meningkatkan komitmen karyawan terhadap perusahaan. Kemudian Lusch dan Harvey (1994) mengatakan bahwa peningkatan kinerja organisasional juga ditentukan oleh aktiva tidak berwujud, antara lain: budaya organisasional, hubungan dengan pelanggan (customer elationship) dan citra perusahaan (brand equity).

Pandangan tersebut sejalan dengan kajian sebelumnya yang dilakukan Kotter dan Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini sebagai salah satu faktor kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yang disampaikan pada hasil studi mereka:

Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan dari 22 jenis industri di Amerika Serikat, Kotter dan Heskett menemukan bahwa budaya organisasional mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan untuk jangka panjang. Secara lengkap empat peran utama budaya organisasional berhasil dieksplorasi dari penelitian tersebut, meliputi: 1) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) menjadi faktor yang lebih menentukan sukses atau gagalnya perusahaan pada masa mendatang, 3) dapat mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang jika di dalam perussahaan terdiri dari orang-orang yang layak dan cerdas, dan 4) dibentuk untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

Demikian pula hasil penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yang melakukan merger pada dekade 1980-an yang menunjukkan bahwa merger seringkali mengalami kegagalan karena tidak kompatibel dengan budaya organisasional (Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values) dengan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan berhubungan dengan komitmen organisasional, kepuasan kerja, keinginan berhenti dan turn over seperti yang diperoleh dari sejumlah hasil riset empiris Kreitner dan Knicky (1995).

Pandangan di atas didukung pula oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu sosial dan manajemen organisasi, seperti: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm (1992), Martin (1992), Mody dan Noe (1996), Sobirin (1997), dan Luthans (1998).

Dalam kasus di Indonesia, studi tentang pengaruh budaya organisasional terhadap keefektifan kinerja manajerial dan kinerja ekonomi organisasi telah banyak dilakukan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Supomo dan Indriantoro (1998) yang meneliti 79 manajer dari berbagai departemen dalam perusahaan-perusahaan manufaktur yang menemukan bukti empiris adanya pengaruh positif budaya organisasional yang berorientasi pada orang terhadap keefektifan aanggaran partisipatif dalam peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan Lako dan Irmawati (1997) menjelaskan keberhasilan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional dapat mendorong organisasi tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.

Sejumlah penelitian di atas menunjukkan bahwa budaya organisasional memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan keefektifan kinerja organisasional, termasuk di dalamnya kinerja manajerial, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan penting untuk menentukan arah organisasi, bagaimana mengalokasikan dan mengelola sumber daya sebagai kekuatan internal dalam memanfaatkan peluang (opportunity) dan mengantisipasi ancaman (threat).

Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan juga menjadi subyek yang senantiasa menarik dan diperbincangkan bagi banyak kalangan yang kemudian berakibat pula pada pendefinisian yang beragam dan kadang kurang tepat secara ilmiah. Telaah yang dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan konstruk berbasis pada perspektif-perspektif individu dan aspek dari fenomena perhatian mereka yang paling menarik. 

Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal). Tannenbaum, Weschler, dan Massarik (1961) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. Pandangan lain mengatakan bahwa kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi (Stogdill, 1974). Rauch dan Behling (1984) menggagas pengertian kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking (1988) berpendapat bahwa para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberi kontribusi yang efektif terhadap orde sosial dan yang diharapkan dan dipersepsikan melakukannya. Jacob dan Jacques (1990) mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses memberi arti terhadap usaha kolektif dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran. 

Melihat demikian banyaknya pemahaman tentang kepemimpinan, Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa terdapat banyak definisi tentang kepemimpinan sebanyak jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikannya. Secara garis besar menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses pengaruh sosial (pengaruh yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi (Yukl, 1989).

Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung pada preferensi metoda dari peneliti dan konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba menelaah perspektif-perspektif dalam studi kepemimpinan.
1. Pendekatan berdasarkan ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan pada atribut-atribut pribadi para pemimpin. Asumsi pada pendekatan ini bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik yang tidak dipunyai orang lain.
2. Pendekatan berdasarkan perilaku, terbagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah penelitian mengenai sifat dari pekerjaan manajerial. Penelitian ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan waktu mereka, dan mencoba menjelaskan isi kegiatan-kegiatan manajer dengan menggunakan kategori tentang isi seperti peran, fungsi dan tanggung jawab manajerial. Berikutnya adalah penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan perilaku pemimpin yang efektif dan tidak efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-pengaruh (power-influence approach), pendekatan ini mencoba menjelaskan keefektifan kepemimpinan dalam kaitannya dengan jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki dan cara kekuasaan digunakan. Kekuasaan tersebut dilihat sebagai hal penting bukan saja untuk mempengaruhi bawahan, tetapi juga kawan sejawat, atasan maupun orang yang berada di luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual mempengaruhi studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, memberikan penekanan kepada pembagian kekuasaan (power sharing) dan pemberian kewenangan kepada para pengikut. Studi ini juga berakar dari tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik dan transformasional, menjelaskan mengapa para pengikut dari pemimpin-pemimpin tertentu bersedia melakukan usaha yang luar biasa dan pengorbanan pribadi untuk mencapai tujuan dan misi organisasi/ kelompok.
7. Kepemimpinan dalam kelompok pengambil keputusan, menjelaskan bagaimana kontribusi kepemimpinan di dalam kelompok pengambil keputusan.

Hubungan Kepemimpinan Dengan Budaya Dan Kinerja Organisasional 
Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya 
Hubungan kepemimpinan mempengaruhi budaya dan kinerja organisasional sudah cukup banyak ditelaah oleh para ahli organisasi. Dalam konteks tersebut perspektif kepemimpinan transformasional dianggap paling relevan terhadap pembentukan budaya. Pada perspektif transformasional dijelaskan banyak telaah tentang bagaimana para pemimpin mengubah budaya dan struktur organisasi agar lebih konsisten dengan strategi-strategi manajemen untuk mencapai sasaran organisasional. Hal tersebut meliputi proses membangun komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran tersebut.

Burns (1978) berpandangan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dapat diperlihatkan oleh siapa saja dalam organisasi pada jenis posisi apa saja. 

Pada sisi lain Burns membedakan dengan kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yang merupakan bentuk kepemimpinan terhadap bawahan dengan menunjuk pada kepentingan diri mereka sendiri. Nilai-nilai pada konsep ini bersandar pada nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran. Bass (1986) mengidentifikasi tiga dimensi yang memformulasikan teori kepemimpinan transformasional meliputi: karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) dan perhatian yang diindividualisasi (individualized consideration). Karisma adalah sebagai proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual adalah sebuah proses yang padanya para pemimpin meningkatkan kesadaran terhadap masalah-masalah dan mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalah-masalah dari sebuah perspektif yang baru. Perhatian yang diindividualisasi meliputi kegiatan: memberi dukungan, membesarkan hati, dan memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikut. Satu hal baru yang dikemukakan Bass dan Avioli (1990) dengan menambahkan perilaku transformasional lainnya yang disebut inspirasi (atau “motivasi inspirasional”), yang didefinisikan sebagai sejauh mana seorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yang menarik, menggunakan simbol-simbol untuk untuk memfokuskan usaha-usaha bawahan, dan memodelkan perilaku-perilaku yang sesuai. Perilaku-perilaku kepemimpinan transformasional saling berhubungan untuk mempengaruhi perubahan-perubahan pada para pengikut, dan efek-efek yang dikombinasikan membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik.

Bass (1978) juga memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah pertukaran imbalan-imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Beberapa komponen penting di dalamnya meliputi perilaku transaksional (disebut perilaku “contingent reward”) mencakup kejelasan mengenai pekerjaan yang diminta untuk memperoleh imbalan-imbalan, penggunaan insentif dan contingent rewards untuk mempengaruhi motivasi. Komponen selanjutnya adalah “active management by exception” termasuk pemantauan dari para bawahan dan tindakan-tindakan memperbaiki untuk memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga ditambahkan oleh Bass, et. al (1990) adalah “passive management by exception” yang meliputi penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan memperbaiki lainnya sebagai tanggapan terhadap penyimpangan yang nyata dari standar-standar kinerja yang dapat diterima. Dalam pandangan Bass, kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional sebagai proses yang berbeda, namun tidak saling eksklusif, dan menurut Bass pemimpin yang sama dapat menggunakan kedua jenis kepemimpinan tersebut pada waktu-waktu dan situasi yang berbeda.

Bagaimana hubungan kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan karismatik? Dalam pembentukan budaya, kedua model kepemimpinan ini menjadi fenomena yang sering dibahas dalam organisasi. Namun demikian banyak ahli mengatakan karisma hanya bagian dari kepemimpinan transformasional, sehingga karisma tidak cukup dalam proses transformasional (Yukl, 1989). Hal negatif yang membedakan kepemimpinan karismatik dengan kepemimpinan transformasional adalah bahwa kepemimpinan karismatik mencoba untuk membuat para pengikutnya tetap lemah dan tergantung. Pendekatan ini menekankan pada upaya menanamkan kesetiaan pribadi dari pada komitmen terhadap cita-cita.

Dalam hubungan dengan budaya, Schein (1992) lebih memperjelas hubungan pemimpin dan budaya. Menurutnya para pemimpin mempunyai potensi paling besar dalam menanamkan dan memperkuat aspek-aspek budaya melalui lima mekanisme, meliputi: 1) perhatian (attention), 2) reaksi terhadap krisis, 3) pemodelan peran, 4) alokasi imbalan-imbalan, 5) kriteria menseleksi dan memberhentikan.

Trice dan Beyer (1991, 1993) sejalan dengan pandangan tersebut dengan mengenalkan konsep kepemimpinan kultural (cultural leadership) dengan menekankan inovasi kultural yang padanya seorang pemimpin mungkin melakukan perubahan-perubahan yang drastis pada budaya yang ada atau memulai sebuah organisasi baru dengan budaya yang berbeda.

Berdasarkan uraian di atas, model dari penelitian digambarkan sebagai berikut:

Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Budaya & Kinerja Organisasional

Sejarah telah menunjukkan pada kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W, Mao Tse-tung dan Indira Gandhi telah meletakkan dasar dan visi pada komunitas umatnya yang selanjutnya membentuk suatu budaya yang sedemikian kuat pada mereka yang dipimpin. Mungkin saja mereka mempunyai karakteristik perilaku transformasional yang luar biasa sehingga dapat mempengaruhi budaya masyarakat mencapai cita-cita atau tujuan perjuangannya. 

Fenomena di atas merupakan ilustrasi perilaku kepemimpinan transformasional di mana variabel kepemimpinan mempengaruhi budaya, bahkan secara lebih jauh membentuk budaya. Namun demikian banyak fenomena pemimpin negara dan organisasi tidak cukup mempengaruhi secara langsung sistem dan budaya organisasi dalam keefektifan pencapaian tujuan organisasi/ negara. Kondisi demikian sering disebabkan tatanan budaya sudah sedemikian kuat melekat pada organisasi tersebut. 

Trice dan Beyer (1991,1993) memformulasikan sebuah model yang membandingkan perubahan budaya dan kepemimpinan mempertahankan (maintenance leadership). Pemimpin-pemimpin yang mempertahankan budaya menegaskan nilai-nilai dan tradisi, tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan organisasi.

Sejumlah studi tentang suksesi telah digunakan untuk menilai jumlah perubahan yang terjadi terkait dengan kinerja organisasional menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak mempengaruhi secara penting terhadap tatanan budaya lama dengan kinerja Pfeffer, (1977), Brown (1982) dan Meindl et al. (1985). Bukti tambahan menunjukkan bahwa hubungan eksekutif puncak terhadap kinerja menunjukkan bahwa para pemimpin baru kemungkinan tidak mempunyai banyak efek terhadap kinerja kecuali mereka mempunyai keterampilan yang lebih baik. Secara umum penelitian tentang suksesei masih sangat terbatas sehingga kemungkinan untuk melakukan kajian lebih dalam (in depth) masih sangat dibutuhkan. 

Dalam konteks tersebut juga dimungkinkan bahwa kepemimpinan tidak mempengaruhi budaya secara langsung, namun mempertegas hubungan antara budaya organisasi dan keefektifan organisasional. Pendekatan mengenai ciri pemimpin (traits) lebih menekankan pada aspek-aspek yang sifatnya (take for granted) atau kehadirannya secara alamiah. Sehingga dalam pendekatan ini tidak menekankan pada upaya merubah kepemimpinan untuk memprediksi kinerja. Hal tersebut memungkinkan jenis ciri fisik, intelegensia dan psikologi menjadi variabel situasional dalam kaitannya dengan hubungan antara budaya organisasional dan keefektifan organisasional. 
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger