Perbandingan Equity Theory, Goal Setting Theory, Dan Expectancy Theory; Tinjauan Psikologi Kognitif

Perbandingan Equity Theory, Goal Setting Theory, Dan Expectancy Theory; Tinjauan Psikologi Kognitif
Dalam kajian psikologi, konsep motivasi berperan penting dalam menjelaskan variasi individu dalam bersikap dan berperilaku. Konsep motivasi memiliki cakupan yang luas dan merepresentasikan fenomena yang sangat kompleks yang mempengaruhi serta dipengaruhi faktor yang beragam dalam lingkungan kerja. Ada dua kelompok kajian dalam studi organisasi yang berkenaan dengan teori motivasi (Steers et al., 1996), yaitu teori-teori isi (content theories) dan teori-teori proses (process theories). 

Teori-teori isi dalam motivasi kerja berasumsi bahwa faktor berada di dalam diri individu, yang memacu, mengarahkan dan memantapkan perilaku seperti hirarki kebutuhan Maslow, teori ERG-Alderfer, teori hygiene-motivation Herzberg dan teori kebutuhan McClelland. Sedangkan teori-teori proses motivasi menjelaskan bagaimana perilaku individu dipacu, diarahkan dan dimantapkan, seperti teori keadilan (equity theory), teori penetapan tujuan (goal setting theory), dan teori ekspektansi (expectancy theory). 

Kajian dalam paper ini membahas beberapa teori-teori proses motivasi yang disebutkan di atas dari perspektif psikologi kognitif. Paling tidak terdapat tiga teori motivasi penting berbasis pada aspek kognitif berkaitan dengan bagaimana perilaku individu digerakkan, diarahkan, didukung dan dihentikan, yaitu meliputi: (1) teori keadilan (2) teori penetapan tujuan, dan (3) teori ekspektansi. 

TEORI KEADILAN
Teori ini diajukan oleh Adam ( 1963 dalam Carrel & Dittrich, 1978) yang menjelaskan bahwa individu membandingkan rasio usaha mereka dan imbalan dengan rasio usaha dan imbalan pihak lain yang dianggap serupa (similar). Teori motivasi ini didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang dimotivasi oleh keinginan untuk diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya. Persepsi keadilan tersebut akan menjelaskan berbagai sikap dan perilaku kerja. Teori ini berbasis pada teori pertukaran sosial (Tyler, 1994). Setiap individu mengharapkan bahwa mereka akan mendapatkan pertukaran usaha dan imbalan secara adil dari organisasi. 

Elemen teori ini bersandar pada tiga asumsi (Carrel & Dittrich, 1978)
1. Teori ini menganggap bahwa orang mengembangkan kepercayaannya tentang apa yang menyebabkan hasil yang adil dan sebanding atas kontribusi yang diberikan dalam pekerjaannya.
2. Teori ini beranggapan bahwa orang cenderung membandingkan apa yang dipersepsikan harus menjadi tukaran mereka dengan organisasi atau majikan dengan apa yang ditukarkan orang lain dengan organisasi atau majikannya.
3. Teori ini juga beranggapan bahwa ketika orang percaya bahwa hal tersebut tidak sebanding, maka mereka termotivasi untuk melakukan sesuatu.

Terdapat empat ukuran penting di dalam teori tersebut (Gibson et al., 1985):
1. Orang : individu yang merasakan bahwa dirinya diperlakukan adil atau tidak adil.
2. Perbandingan dengan orang lain : Setiap kelompok atau orang yang serupa dibandingkan oleh seseorang sebagai pembanding rasio usaha dan imbalan.
3. Masukan (input) : karakteristik individual yang dibawa ke dalam pekerjaan, seperti keberhasilan usaha dan karakteristik bawaan.
4. Perolehan (outcome) : Apa yang diterima individu dari pekerjaannya (penghargaan, upah dan tunjangan).

Berdasarkan pada rasio tersebut, ketidakadilan akan muncul ketika individu mempersepsikan bahwa rasio antara masukan dan perolehan yang diperolehnya lebih besar atau kurang dibandingkan pihak lain yang dijadikan referensi oleh individu tersebut (Adams, 1963 dalam Gibson et al., 1985). 
Figur Rasio Equity
Rasio equity:
Persepsi individu akan outcome                          Persepsi individu akan outcome      
yang seharusnya diperolehnya           >                yang seharusnya diperoleh orang lain
Persepsi individu tentang input          =               Persepsi individu tentang input
Yang diberikannya                              <               yang diberikan orang lain

= adil
> merasa bersalah (guilty)
< marah (anger)

Dari sisi siapa yang digunakan untuk memberi penilaian atas keadilan akan menjadi penting (Pinder, 1984) atau penilaian subyektif keadilan (dalam Faturochman, 2002). Selanjutnya individu akan memilih siapa yang menjadi referensi pembanding untuk menetapkan persepsi adil atau tidak (Festinger, 1959 dalam Pinder, 1984). Jika individu mempersepsikan ketidakadilan maka individu tersebut akan merubah upaya kerja untuk mencapai keadilan (changing effort to restore equity) atau merubah cara pandang/ kognisi untuk mencapai keadilan (changing cognitions to restore equity). Beberapa contoh pemulihan keadilan yang dilakukan individu atau karyawan (Gibson et al., 1985):
1. Perubahan masukan. Karyawan dapat menentukan bahwa ia akan mempergunakan lebih sedikit waktu atau usaha untuk pekerjaan.
2. Perubahan perolehan. Karyawan dapat menetukan untuk memproduksi unit lebih banyak karena penerapan sistem upah per potong.
3. Perubahan sikap. Karyawan dapat bersikap kurang bersungguh-sungguh terhadap pekerjaannya.
4. Mengubah/ mengganti orang yang menjadi pembanding. Perubahan orang yang digunakan sebagai pembanding dalam upaya memulihkan keadilan.
5. Mengubah masukan atau perolehan orang yang dijadikan pembanding. Upaya ini dapat pula dilakukan untuk memulihkan keadilan.
6. Mengubah situasi. Keluar dari pekerjaan tersebut adalah upaya untuk mengubah perasaan tidak adil.

TEORI PENETAPAN TUJUAN
Teori penetapan tujuan adalah proses kognitif membangun tujuan dan merupakan determinan perilaku. Tujuan yang disadari akan menghasilkan tingkat prestasi yang lebih tinggi jika seseorang menerima tujuan tersebut (Locke, 1975 dalam Gibson et al., 1985). 

Sifat kognitif (proses mental) mencakup (Locke 1975 dalam Pinder, 1984):
1. Keterincian tujuan atau tujuan spesifik berkaitan dengan tingkat presisi kuantitatif tujuan tersebut (goal specificity).
2. Kesukaran tujuan: tingkat keahlian yang dibutuhkan (goal difficulty).
3. Intensitas tujuan: proses menentukan bagaimana mencapai tujuan tersebut (goal intensity).
4. Kadar usaha untuk mencapai tujuan (goal commitment).

Dalam banyak penelitian, tujuan spesifik dan kesukaran tujuan menjadi pertimbangan penting. Tujuan spesifik mengarah pada hasil yang lebih baik dibandingkan tujuan yang samar-samar, karena tujuan tersebut memberikan kejelasan bagi individu berkaitan dengan apa yang seharusnya dikerjakan Hal tersebut akan dapat menimbulkan perasaan berprestasi pada diri karyawan, pengakuan dan komitmen, karena karyawan dapat membandingkan seberapa baik ia saat ini dan seberapa baik ia bekerja pada masa lalu, dan dalam beberapa hal dapat membandingkan dengan karyawan lain (Gibson et al., 1985). Dengan demikian penetapan tujuan yang bersifat spesifik akan mendorong peningkatan prestasi.

Demikian pula dengan kesukaran tujuan, semakin sukar tujuan, semakin tinggi pula tingkat prestasi. Namun hal tersebut terjadi ketika tujuan diterima atau disepakati (goal acceptance). Berkaitan dengan isu insentif, itu akan efektif mempengaruhi perilaku, jika insentif tersebut mempengaruhi tujuan orang dalam pencapaiannya. Namun demikian, masalah tentang hasil yang kembali menurun (diminishing returns) merupakan masalah nyata yang disebabkan kesukaran mencapai tujuan. Secara kognitif jika tujuan dianggap terlalu sukar sehingga tidak mungkin dicapai justru akan menyebabkan frustasi bukan motivasi. (Zander & Newcomb, 1967 dalam Gibson et al., 1985).

Hal penting yang seharusnya dikaji oleh peneliti berkaitan dengan teori penetapan tujuan adalah perbedaan-perbedaan individual. Banyak studi secara spesifik membahas pendidikan, ras, masa kerja terhadap proses penetapan tujuan. Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut menjelaskan variasi perilaku berkaitan dengan penetapan tujuan (Gibson et al., 1985). Namun demikian, perbedaan-perbedaan tersebut tidak menghasilkan suatu kesimpulan sehingga berkaitan dengan teori penetapan tujuan tidak tampak dukungan yang meyakinkan mengenai perbedaan variabel pendidikan, ras, masa kerja, jenis kelamin, usia, kebutuhan akan prestasi, harga diri dan variabel lainnya.

TEORI EKSPEKTANSI/ TEORI VIE
Teori ekspektansi atau VIE menjelaskan bahwa individu akan menghadapi seperangkat hasil level pertama dan memilih hasil tersebut berbasis pada pilihan yang berhubungan dengan hasil level kedua. Preferensi individu di sini didasarkan pada kekuatan (valensi) dari hasrat untuk mendapai kondisis level kedua dan persepsi keterhubungan antara hasil level pertama dan level kedua. Teori ini berakar pada penelitian Vroom (1964 dalam Miner, 1980; Pfeffer, 1982; Pinder, 1984)

Teori motivasi ini menjelaskan perilaku sebagai hasil dari suatu pilihan sadar yang diambil dari berbagai alternatif yang berhubungan dengan proses psikologi, persepsi khusus dan bentukan dari kepercayaan dan sikap. Teori ini berbasis pada keyakinan individu mengenai kemungkinan atau kemungkinan subyektif (subjective probability) bahwa suatu perilaku atau usaha tertentu yang dilakukan individu tersebut akan mengarah pada suatu prestasi tertentu. Tujuan dari memilih untuk memaksimumkan kesenangan dan meminimumkan ketidaksukaan. Selanjutnya prestasi tertentu tersebut diyakini individu akan diikuti oleh hasil tertentu. Terdapat beberapa istilah penting berkaitan dengan teori ini:

1. Konsep Instrumentalitas (Instrumentality)
Konsep instrumentalitas berkaitan dengan persepsi atau keyakinan individu bahwa prestasi atau hasil level pertama berhubungan dengan hasil level kedua.

2. Konsep Valensi (Valence)
Konsep valensi merupakan preferensi hasil yang diinginkan individu. Suatu hasil mempunyai valensi positif apabila lebih disukai dan mempunyai valensi negatif apabila tidak disukai atau dihindari.

3. Konsep Ekspektansi (Expectancy)
Konsep harapan merupakan keyakinan individu mengenai kemungkinan atau kemungkinan subyektif (subjective probability) bahwa suatu perilaku atau usaha tertentu akan mengarah pada suatu prestasi tertentu.

Keterbatasan teori ekspektansi di antaranya adalah berkaitan dengan usaha atau motivasi itu sendiri. Para ahli masih mengalami kesulitan untuk menjelaskan spesifikasi mengenai arti usaha dan tidak adanya ukuran variabel yang memadai. Dalam kaitannya dengan hasil, teori ini tidak menjelaskan mengenai perolehan mana yang relevan terhadap individu tertentu dalam suatu situasi (Gibson et al., 1985).

PERSPEKTIF PSIKOLOGI KOGNITIF
Perspektif psikologi kognitif merupakan pendekatan teoritis dalam psikologi yang mempelajari struktur serta proses mental manusia yang meliputi pemerolehan, penyimpanan, pengambilan dan penggunaan pengetahuan (Hastjarjo, 2004). Psikologi kognitif menjadi penting untuk menjelaskan teori proses dalam motivasi, karena psikologi kognitif berkaitan dengan proses mental individu ( Ellis & Hunt, 1993 dalam Hastjarjo, 2004) dan psikologi kognitif juga menjelaskan mekanisme-mekanisme dasar yang melandasi pikiran manusia (Anderson, 1995 dalam Hastjarjo, 2004) dan juga berkaitan erat dengan persepsi, pemikiran dan pemecahan masalah manusia (Solso, 2001). Selanjutnya psikologi kognitif menjadi hal yang penting dalam menjelaskan psikologi manusia, seperti bagaimana mereka berpersepsi, berfikir, bersikap dan berperilaku (Martlin, 1998).

Dalam menjelaskan fenomena sifat manusia terkait dengan motivasinya, model-model kognitif/ perseptual penting dipertimbangkan (Pinder, 1984). Model-model ini melihat manusia sebagai sistem pemrosesan informasi. Perilaku manusia merupakan hasil interpretasi kejadian-kejadian pada lingkungannya dan secara objektif tidak dari kejadian itu semata (Pinder, 1984). Model pemrosesan informasi ini bercirikan: (1) bahwa proses mental dapat difahami dengan membandingkannya dengan bekerjanya sebuah komputer, (2) proses mental dapat ditafsirkan sebagai pergerakan maju informasi di dalam sistem dan serangkaian tahapan mulai dari stimulus sampai dengan respons. 

Model pemrosesan informasi mempunyai tiga asumsi (Solso, 2001), yaitu: (1) kognisi dapat difahami dengan menganalisa kognisi ke dalam serangkaian yang pada umumnya secara berurutan. (2) Masing-masing tahap akan terjadi pemrosesan terhadap informasi yang datang. (3) Tiap tahapan akan menerima informasi dari tahap sebelumnya dan kemudian melakukan fungsi khasnya. Dengan demikian melalui metafora sebuah komputer, psikologi kognitif dapat berperan dalam menjelaskan teori-teori proses dalam motivasi berupa seperangkat urutan proses.

Teori Keadilan dan Teori Penetapan Tujuan
Teori keadilan dan teori penetapan tujuan berada pada level analisis individu. Kedua teori tersebut juga berbasis pada teori kognitif/ perseptual yang digambarkan Pinder (1984), yaitu berupa serangkaian urutan proses kognitif yang digambarkan dalam model pemrosesan informasi. Perbedaan kedua teori tersebut menjelaskan bahwa teori keadilan berada pada tahap persepsi di dalam model kognitif individu-pemrosesan informasi, sedangkan teori ekspektansi (I dan E) berada pada tahap keyakinan dan (V) pada tahap sikap.

Dalam pandangan Adam (1963 dalam Carrel & Dittrich, 1978) jika terjadi persepsi ketidakadilan dari perbandingan rasio outcome/ input dengan referensi yang dianggap sebanding, maka individu tersebut akan termotivasi untuk memperbaiki ketidakadilan tersebut. Cara yang dilakukan individu tersebut dengan merubah upaya kerja untuk mencapai keadilan (changing effort to restore equity) atau merubah cara pandang/ kognisi untuk mencapai keadilan (changing cognitions to restore equity). Sedangkan motivasi dalam teori penetapan tujuan muncul ketika tujuan tersebut spesifik dan memiliki tingkat kesukaran yang menantang serta ada komitmen terhadap tujuan.

Teori Penetapan Tujuan dan Teori Ekspektansi
Teori penetapan tujuan dan teori ekspektansi berada pada level analisis individu. Kedua teori tersebut berbasis pada teori kognitif yang digambarkan Pinder (1984) sebagai model pemrosesan informasi kognitif. Perbedaan kedua teori tersebut, dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan, pada teori penetapan tujuan, orang melakukan tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan pada teori ekspektansi, orang bertindak untuk mencapai utilitas tertinggi yang diharapkan secara subyektif. 

Dalam pembahasan teori penetapan tujuan sudah dibahas mengenai komitmen terhadap tujuan yang telah ditetapkan atau ada penerimaan tujuan (goal acceptance) dari pihak-pihak yang terlibat. Sedangkan pada teori ekspektansi tidak membahas komitmen ataupun komitmen tujuan. Dengan demikian dalam teori penetapan tujuan, sifat tujuan lebih formal, sedangkan tujuan dalam teori ekspektansi bersifat individual. 

Locke (1975 dalam Pinder, 1984) mengkontraskan teori penetapan tujuan dengan teori ekspektansi berkaitan dengan prediksi terhadap kinerja. Teori ekspektansi memprediksi peningkatan kinerja, karena tujuan yang relatif mudah sehingga probabilitas untuk mencapai kesuksesan meningkat. Sedangkan dalam teori penetapan tujuan, Locke (1975 dalam Pinder, 1984) memprediksi kinerja orang (A) akan meningkat sampai dengan tingkat optimal (B). Sedangkan jika kemudian individu tidak memiliki komitmen terhadap tujuan cenderung memiliki kinerja yang rendah (C). 
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger