Peranan Ipi Dalam Pembinaan Pejabat Fungsional Pustakawan
Buku adalah hasil rasa, cipta, karsa, karya manusia, artinya bahwa buku sebagai hasil rekaman budaya adalah merupakan representasi atau peradaban satu bangsa. Buku identik dengan perpustakaan berarti perpustakaan adalah merupakan simbol budaya, simbol peradaban, representasi peradaban satu bangsa. Dalam penjelasan atas UU RI No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, dikatakan “Keberadaan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban dan budaya umat manusia. Tinggi rendahnya peradaban dan budaya suatu bangsa dapat dilihat dari kondisi perpustakaan yang dimiliki”. Termasuk arsip, museum, dan lain sebagainya. Sesungguhnya melalui jasa perpustakaan dikehendaki dapat memperkenalkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, ketrampilan, seni, budaya, ”calistung” dan lain sebagainya, sehingga Tantowi Yahya selaku Duta Baca Indonesia dengan ikon “Ibuku Perpustakaan Pertamaku”. Lebih lanjut melalui jasa perpustakaan juga dikehendaki menanamkan sikap untuk terus menerus belajar sepanjang hayat (long live education).
Buku yang sudah diterbitkan baru akan bermanfaat tatkala ia memiliki pembaca, dan untuk sampai kepada pembaca nampaknya peran toko buku dan/ atau perpustakaan adalah wadah yang mutlak harus harus ada. Sementara itu buku masih dianggap sebagai hal yang eksklusif, jalur distribusi belum merata, apresiasi masyarakat terhadap budaya baca “masih rendah” dan banyak lagi permasalahan, belum lagi tuntutan teknologi, informasi dan komunikasi. Pertanyaan, sudahkah perpustakaan mampu berperan serta memenuhi harapan pembacanya dengan segala macam latar belakang masalah tersebut?.
Pendidikan dan/ atau pelatihan kepustakawanan adalah salah satu keharusan yang dapat dilaksanakan dalam kerangka mendukung terwujudnya minat membaca (reading interest) berlanjut pada budaya membaca (reading habit) dan pada akhirnya tercapainya ketrampilan membaca (reading skill) guna menghasilkan kemampuan keberaksaraan informasi (information literacy), melalui tangan-tangan terampil atau ahli pustakawan dengan kata lain ”kompetensi pustakawan”. Terlebih dalam era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini, sangat-sangat diperlukan peningkatan kompetensi pustakawan sesuai dengan perkembangan global atau ”pustakawan digital”. Lebih dari itu sesungguhnya pendidikan, pelatihan dan penugasan adalah sebuah siklus kehidupan seorang pegawai yang harusnya diikuti untuk mengembang diri dan lingkungannya.
Nampaknya pustakawan sebagai pengelola perpustakaan sebagai institusi yang profesional, haruslah menempatkan diri pada posisi yang seimbang artinya sebagai pengelola yang juga profesional. Untuk itu keberadaannya harus secara rasional dan proporsional dapat mendukung tugas pokok dan fungsi, dengan kata lain memahami betul visi, misi, tujuan dan sasaran yang diinginkan.
Didukung dengan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, Perpustakaan, Pendidikan, dan Organisasi Profesi. Artinya pustakawan sebagai jabatan profesi harus bahkan wajib menjadi anggota organisasi profesi, dan tidak akan lepas dari pendidikan dan/atau pelatihan guna senantiasa meningkatkan kompetensinya. Bersyukur bahwa pustakawan Indonesia telah memiliki asosiasi profesi atau organisasi profesi pustakawan yang bernama Ikatan Pustakawan Indonesia disingkat IPI (baca I-PE-I). IPI didirikan di Ciawi Bogor pada tanggal 6 Juli 1973 untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya.
PERAN PERPUSTAKAAN
Saat ini “seharusnya” dunia perpustakaan di republik ini maju, tumbuh dan berkembang, oleh karena para pendiri bangsa ini sudah memikirkan arti pentingnya perpustakaan. Terbukti walau secara parsial peraturan perundangan tentang berbagai jenis perpustakaan baik Perpustakaan Khusus, Perpustakaan umum, Perpustakaan Perguruan Tinggi, dan Perpustakaan Sekolah oleh para pendiri bangsa “founding fathers” sudah diaturnya. Dalam jajaran Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Pengajaran waktu itu sudah ada Biro Perpustakaan, yang menjadi cikal bakalnya Perpustakaan Nasional. Disetiap provinsi dibangun Perpustakaan Negara, berkembang menjadi Perpustakaan Wilayah, Perpustakaan Daerah, Perpustakaan Nasional Provinsi sebelum era otonomi. Dan sekarang Alhamdulillah disetiap Provinsi sudah memiliki perpustakaan provinsi, dan sebagian besar Kabupaten/ Kota juga sudah memiliki Perpustakaan Kabupaten/ Kota. Berlanjut lahir Peraturan Presiden No. 20 Tahun 1961 tentang “Tugas Kewajiban dan Lapangan Pekerjaan Dokumentasi Dan Perpustakaan Dalam Lingkungan Pemerintah- an”, yang mengatur keberadaan perpustakaan khusus. Bahkan dilingkungan Perguruan Tinggi, ada Instruksi Menteri PTIP No. 9 Tahun 1962 tentang Perpustakaan Pada Pusat Universitas/ Institut Negeri. Dan seterusnya baik perpustakaan umum, sekolah dan sebagainya. Senyatanya kenapa belum maju ?. Haruskah kita saling menyalahkan, atau pihak-pihak terkait seperti sekarang ini mencari implementasi.
Sekarang secara universal ada UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, yang mengatur perpustakaan secara mendasar, dimana perpustakaan dikehendaki sebagai sebuah “institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka”.
Bahkan lengkap sudah ada Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota, dimana “perpustakaan sebagai salah satu urusan wajib” artinya bilamana tidak dikerjakan “berdosa”. Belum lagi UU No. 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak Dan Karya Rekam, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tindak lanjutnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 25 Tahun 2008 tentang Standar kompetensi pengelola perpustakaan sekolah, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya seperti UU RI No. 14 Tahun 2008, UU RI No. 25 Tahun 2009, dan lain sebagainya.
Keberadaan perpustakaan secara sederhana dapat terselenggara dengan baik dan lebih mudah berkembang dengan baik tatkala 5 (lima) hukum dasar perpustakaan (Said Murthada Ahmad) dapat diselenggarakan dengan tertib (tetapi tidak sembarang pustakawan mampu mengerjakannya kalau tidak kompeten), yaitu :
1. Book are for use, buku adalah untuk digunakan. Dimaksud bahwa bahan perpustakaan atau koleksi yang ada di perpustakaan hendaklah bacaan atau pengetahuan yang diperlukan oleh pemakai (pemustaka), artinya bukan sekedar pameran atau pajangan buku.
2. Every reader his/ her book, semua pembaca harus mendapat buku yang diperlukan. Untuk menghantar pembaca pada buku yang diperluikan dapat ditempuh dengan system pelayanan yang baik dan memadai sesuai dengan perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK).
3. Every bookl its readers, setiap buku harus mendapat pembacanya. Dapat ditempuh dengan antara lain seperti bimbingan kepada pemakai (users training), kepada peneliti, dan lain sebagainya.
4. Save the time of the readers, cepat melayani pembacanya. Keterlambatan dalam melayani pembaca apalagi kalau dibayangi sikap yang tidak simpatik, pasti pembaca akan enggan menggunakan koleksinya apalagi meminjam. Paling tidak bisa 5S ; senyum, sapa, salam, sopan, santun, dst.
5. Library is growing organism, perpustakaan harus ditumbuhkembangkan. Perpustakaan yang penuh sesak dengan koleksi yang tidak sesuai dengan tuntutan pemakai tidak akan berkembang, sehingga perlu dengan berbagai cara untuk pengembangannya.
Disamping 5 hukum dasar tersebut yang masih harus bahkan wajib ditegakkan, yang masih terbatas dan banyak berbicara tentang keberadaan koleksi yang bermanfaat bagi pemakainya. Lebih dari itu koleksi dan pemakai adalah merupakan 2 unsur pilar utama, dan masih harus didukung dengan baik 1 pilar utama perpustakaan lainnya, yaitu pustakawan. Untuk itu 3 pilar utama tersebut harus dikelola dengan baik, yaitu koleksi, pustakawan dan pemakai.
Belum lagi sekarang ini juga telah terbit Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional No. 82/KEP/BSN/9/2009 tentang Penetapan 4 (empat) SNI. SNI 7329 tentang Perpustakaan Sekolah, 7330 Perpustakaan Perguruan Tinggi, 7495 Perpustakaan Umum Kab/ Kota dan 7496 tentang Perpustakaan Khusus Instansi Pemerintah. Sudah terbit SNI 7596 : 2010 tentang Perpustakaan Desa/ Kelurahan, dan tentu saja akan menyusul SNI-SNI yang lainnya.
Yang menggembirakan dengan SNI tersebut status keberadaan perpustakaan semakin jelas merupakan satuan organisasi perpustakaan yang dipimpin oleh seorang Kepala Perpustakaan, dimana Kepala Perpustakaan dalam menjalankan tugasnya dibantu unit layanan pembaca dan unit layanan teknis. Adapun status kelembagaan perpustakaan berada di bawah wewenang dan bertanggung jawab kepada Kepala Instansi Induk yang langsung membawahinya. Pustakawan siap berjuang “menguatkan yang benar”.
PERAN PER-UU-AN TERKAIT LAINNYA
Nampaknya tidak cukup dengan peraturan perundang-undangan tentang perpustakaan, oleh karena banayak peraturan perundangan terkait lainnya yang sesungguhnya sangat-sangat mendukung keberadaan perpustakaan, antara lain seperti :
1. UUD 1945 Pasal 28F “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan meperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”.
2. UU No. 39 Tahun 199 tentang HAM, Pasal 14 “a. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
b. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”.
3. United Nations Universal; Declaration of Human Righ = Deklarasi PBB 1948 “Setiap orang berhak :
a. Untuk bebas berpendapat dan berekspresi termasuk bebas memiliki pendapat tanpa campur tangan, dan
b. Untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan melalui9 media apapaun tanpa batas”.
4. UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, Pasal 5 khususnya, ayat :
1) Masyarakat mempunyai hak yang sama untuk a. Memperoleh layanan serta memanfaatkan dan mendayagunakan perpustakaan; b. Dan seterusnya.
2) Masyarakat di daerah terpencil, terisolasi atau terbelakang sebagai akibat factor geografis berhak memperoleh layanan perpustakaan secara khusus.
3) Masyarakat yang memiliki cacat dan/atau kelainan fisik, emosiaonal, mental, intelektual dan/ soaial berhak memperoleh layanan perpustakaan yang disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan masing-masing.
5. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam konsideran pertimbangan salah satunya dikatakan :
a. Bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional.
b. Bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi public merupakan salah satu ciri penting Negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan Negara yang baik, dan seterusnya. Dalam Pasal 7 : (1) Badan publik berkewajiban menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan. (2) Badan publik wajib menyediakan informasi public yang akurat, benar dan tidak menyesatkan.
6. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 1, ayat :
1) Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
2) Penyelenggara pelayanan public yang selanjutnya disebut penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara Negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan UU untuk kegiatan pelayanan public dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Dan dalam ayat,
9) Sistem informasi pelayanan publik yang selanjutnya disebut system informasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam lisan, tulisan latin, tulisan dalam huruf braile, bahasa gambar dan/atau bahasa lokal serta disajikan secara manual ataupun elektronik.
PERAN PUSTAKAWAN
Dengan peraturan perundang-undangan tersebut bisa dikatakan seharusnya perpustakaan bukan lagi tempat atau lembaga pelengkap penderita, atau sekedar sarana pendukung tetapi adalah lembaga yang layak dikembangkan secara mandiri. Sebagai lembaga profesional dan mandiri layak dikelola atau diurus pegawai yang professional yaitu “pustakawan”. Sebagaimana dikehendaki dalam UU Perpustakaan bahwa “Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang memenuhi standard tenaga perpustakaan”.
Sebagaimana dikehendaki dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 132/KEP/ M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya, persyaratan untuk dapat diangkat dalam jabatan pustakawan tingkat terampil adalah berijazah serendah-rendahnya Diploma II, untuk pustakawan tingkat ahli berijazah Sarjana (S1) Perpustakaan Dokumentasi dan Informasi. Bagi Diploma II atau Sarjana (S1) bidang lain, harus mengikuti pelatihan kepustakawanan dengan kualifikasi yang ditentukan Perpustakaan Nasional RI. Untuk saat ini disebut Calon Pustakawan Tingkat Terampil (CPTT) dan Calon Pustakawan Tingkat Ahli (CPTA). Bagi Pustakawan Terampil yang telah memperoleh ijazah Sarjana (S1) bidang lain diwajibkan mengikuti diklat CPTA alih jalur, tatkala ia akan meniti karier ke jenjang pustakawan ahli.
Artinya pustakawan bukanlah pegawai yang malas, pegawai buangan, atau pegawai yang tidak terpakai akan tetapi adalah pegawai yang mampu menggerakkan dan jadi motor penggerak guna membangun dan mengembangkan perpustakaan, sehingga layak diperlukann kualifikasi akademik, kompetensi dan pada saatnya nanti di sertifikasi. Lebih utama lagi adalah bagaimana mengelola buku dengan baik yang diperuntukkan bagi pemustakanya. Oleh karena keberadaan Pustakawan diharapkan lebih rasional dan proporsional dalam kerangka mendukung tugas pokok dan fungsi dari lembaga yang menauinginya (bukan sebagai pelengkap penderita).
Pustakawan dengan melihat posisi strategis 3 pilar utama, yaitu koleksi, pustakawan dan pemakai maka dapat dikatakan pustakawan adalah penyangga pilar utama. Artinya bagaimana pustakawan dapat mengelola 2 pilar utama yang lain baik koleksi dan pemakainya dengan baik. Dengan mencermati potensi dan peran pustakawan yang begitu besar dan banyak nampaknya pustakawan layak sebagai tokoh sentral, sehingga tidak keliru pemahaman tentang pustakawan sebagaimana dikehendaki dalam UU Perpustakaan, bahwa “Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/ atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan”.
Dari pemahaman tersebut berarti seorang pustakawan setidaknya memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan pada akhirnya memenuhi persyaratan untuk disertifikasi, memenuhi standard nasional perpustakaan bahkan berkemampuan untuk mengelolla 3 pilar utama perpustakaan dengan baik, yaitu :
1. Koleksi, koleksi bahan perpustakaan terdiri atas subyek fiksi dan non fiksi. Bisa berbentuk buku dan non buku, monograf dan serial. Dalam ujud proses bisa berbentuk tercetak (printed), terekam (recorded) dan terpasang (online). Pemenuhan syarat koleksi, untuk jumlah (kuantitas) perbandingannya disesuaikan dengan jumlah pemakai. Untuk mutu (kuantitas hendaklah disesuaikan dengan kebutuhan dan mutakhir (baru). Sistem pengadaan jaman dulu biasanya bersifat kalau-kalau (just in case), bandingkan dengan system kini yaitu ada bila dibutuhkan (just in time).
Lebih lanjut dalam UU Perpustakaan khususnya Pasal 12 ayat (1) Koleksi perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan, dilayankan dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan pemustaka dengan memperhatikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk standard koleksi perpustakaan :
a. Tidak satupun dan tidak mungkin perpustakaan memiliki koleksi bahan perpustakaan yang lengkap.
b. Ukuran perpustakaan bukan lagi berdasarkan “kepemilikan” (ownership) tetapi lebih kepada peluang “Akses” (access).
c. Pengadaan “kapan saja harus ada” (just in time), bukan “kalau-kalau (just in case)”. Bukan “penjaga buku” (the books custodian), tetapi “pengawal ilmu pengetahuan” (the guardian of knowledge).
2. Pustakawan, untuk dapat mengelola 2 pilar utama lainnyua sudah sepantasnya seperti pemahaman diatas hendaklah memiliki kompetensi yaitu pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) dan perilaku (attitude). Kompetensi berdasarkan standard Organisasi Pustakwaan Khusus USA (Special Library Association, Juni 2003) setidaknya memenuhi Kompetensi Personal, merupakan sikap, keterampilan dan etika (nilai) yang dianut. & Kompetensi Profesional, meliputi kemampuan :
a. Mengelola lembaga informasi,
b. Mengelola sumberdaya informasi,
c. Mengelola layanan informasi, dan
d. Menerapkan alat dan teknologi.
Terlebih pustakawan di era informasi sekarang ini Pustakawan harus memiliki wawasan yang luas, karena pustakawan akan menjadi manajer pengetahuan dan analis informasi, akan terlibat langsung secara integral dalam kegiatan bisnis, pekerjaanya tidak hanya di perpustakaan (Jane E. Klobas).
3. Pemakai, menyimak hukum dasar perpustakaan setidaknya pustakawan bisa berbuat “ada buku carikan pembacanya, ada pembaca carikan bukunya”. Untuk itulah perlu menggarap pemakainya dengan bijak, dan ada baiknya mengenali jenis-jenis pemakai terlebih dahulu. Ada 2 jenis pemakai, yaitu pemakai potensial dan pemakai aktual.
a. Pemakai potensial, adalah orang atau lembaga yang seharusnya menggunakan jasa perpustakaan. Untuk itu bisa dibedakan pemakai Target, yaitu pemakai dari lembaga sendiri seperti pejabat, karyawan, staf dan lingkungan dalam, misalnya Kantor Kejaksaan. Dan pemakai non Target, yaitu pemakai dari luar instansi seperti mahasiswa hukum, masyarakat kejaksaan, pemerhati kejaksaaan dan lain sebagainya (pada saatnya nanti bisa diharapkan sebagai calon-calon pemakai potensial).
b. Pemakai aktual, yaitu orang atau lembaga yang telah menggunakan jasa perpustakaan. Yang dapat digolongkan sebagai pemakai aktif, yaitu pemakai yang dengan kesadaran sendiri menggunakan perpustakaan. Dan pemakai pasif, yaitu pemakai yang menggunakan perpustakaan disebabkan karena unsur-unsur lain. Misalnya karena tugas, karena memerlukan sesuatu dan lain sebagainya.
PERAN ORGANISASI PROFESI IPI
Organisasi profesi adalah organisasi yang menampung para professional seperti PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), IDI (Ikatan Dokter Indonesia), ISEI (Ikatan Sarja Ekonomi Indonesia) dan lain sebagainya termasuk IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia). Visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi profesi termasuk IPI adalah mengembangkan dan memberdayakan para professional anggotanya, sehingga mereka lebih kompeten, berkualitas dan ikut serta berperan aktif dalam pembangunan bangsa dan Negara, khususnya pembangunan perpustakaan dan pustakawannya.
Dengan melihat posisi strategis pustakawan sebagai penyangga 2 (dua) pilar utama perpustakaan lainnya, sekaligus diharap mampu mengelola dengan baik 5(lima) hukum dasar perpustakaan, nampak peran organisasi profesi (IPI) dan peran pendidikan ilmu perpustakaan layak dikedepankan. Namun demikian harus diakui (dengan tidak mengurangi rasa hormat teman-teman Pengurus Pusat IPI) tidak banyak orang mengenal IPI dibanding organisasi profesi lain seperti PGRI, IDI, ISEI dan lain sebagainya. Kalaupun mengenal kegiatan IPI Pusat yang paling menonjol hanyalah Kongres dan rapat kerja pusat (Rakerpus) sementara kegiatan lain kurang dioptimalkan. Disisi lain harus diakui dari sekian banyak jabatan fungsional (lebih kurang 112) di negeri ini sesungguhnya pustakawan memiliki prospek yang tidak kalah menarik. Sebagai contoh sederhana seorang pustakawan dapat meniti kariernya dari pangkat terendah sampai jenjang tertinggi.
Dari pangkat “Kopral sampai Jenderal” maksudnya dari jenjang terendah Pustakawan Pelaksana (Gol. II/b) sampai dengan Pustakawan Utama (Gol. IV/e). Bahkan untuk jabatan tertentu Pustakawan Pelaksana Lanjutan jenjang Pustakawan Trampil atau Pustakawan Muda jenjang Pustakawan Ahli (III/c-III/d) sampai dengan Pustakawan Madya dapat pensiun 60 tahun, sementara untuk Pustakawan Utama atau (IV/d-IV/e) dapat pensiun 65 tahun.
Permasalahan muncul bagaimana seorang “Jenderal” jangan sampai memiliki kelakuan “Kopral”, artinya harus ada keserasian dan keselarasan antara pangkat, jabatan, usia, masa kerja, diklat dan kompetensinya, sehingga seorang pustakawan dapat diharapkan secara rasional dan proporsional mampu mendukung tugas pokok dan fungsinya dimana ia bekerja. Semakin jelas dalam perolehan angka kredit seorang pustakawan hanya dibenarkan tugas limpah 1 (satu) jenjang diatas dan 1 (satu) jenjang dibawahnya. Dan organisasi profesi adalah salah satu tempat yang representatif untuk mengembangkan dirinya dan lingkungannya, artinya sesungguhnya IPI dapat berbuat sesuatu yang bermakna bagi anggota profesinya termasuk peran pendidikan ilmu perpustakaan, karena saling keterkaitan.
Tengok saja dalam UU RI No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, Bagian ketiga Organisasi Profesi, Pasal 34, ayat :
1) Pustakawan membentuk organisasi profesi.
2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk memajukan dan memberi perlindungan profesi kepada pustakawan.
3) Setiap pustakawan menjadi anggota organisasi profesi.
4) Pembinaan dan pengembangan organisasi profesi pustakawan difasilitasi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan atau masyarakat.
Dari keterangan diatas nampak, khususnya dalam Penjelasan UU Perpustakaan Pasal 34 ayat (2), bahwa yang dimaksud dengan memajukan dan memberi perlindungan profesi kepada pustakawan, adalah meliputi peningkatan kompetensi, karier dan wawasan kepustakawanan. Kalau saja dalam implementasi ayat (3) tersebut diatas dapat dilaksanakan semestinya, dimana setiap pustakawanan dengan kesadarannya sendiri masuk anggota organisasi profesi adalah merupakan kekuatan yang perlu diperhitungkan, sehingga peran IPI cukup siginifikan di dalam mengembangkan kompetensi seorang pejabat pustakawan. Dari pemahaman Pustakawan seperti tersebut diatas, artinya seorang pustakawan adalah seseorang yang memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan pada akhirnya disertifikasi sebagai bukti kemampuannya.
Lebih lanjut nampak dalam Bab VIII Tenaga Perpustakaan, Pendidikan dan Organisasi profesi, artinya bahwa tenaga perpustakaan atau “pustakawan” tidak akan lepas dari pendidikan dan organisasi profesi, sebagai berikut :
a. Akademik, sebagaimana Bagian Kedua Pendidikan Pasal 33, ayat (1) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan tenaga perpustakaan merupakan tanggung jawab penyelenggara perpustakaan., Ayat (2) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimakasud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan formal dan/atau nonformal.
b. Kompetensi, seorang pustakawan didalam meniti kariernya tidak akan terlepas dari kemampuan dan penguasaan Keahlian dan/ atau ketrampilan (skill), penguasaaan pengetahuan (knowledge) dan tentu saja sikap kerja atau perilakunya (attitude).
c. Sertifikasi, tuntutan tenaga kerja menuntut tersedianya tenaga kerja yang kompeten, dengan kata lain memiliki sertifikat kompetensi yang kredibel. Sertifikat kompetensi diterbitkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). BNSP dapat mendelegasikan tugasnya kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dengan system lisensi. LSP didirikan oleh Asosisasi Profesi (siapkah IPI?) dan Asosiasi Perusahaan/ Industri dengan dukungan dari instansi teknis pembina sektor/ regulator.
Nampak jelas kedepan peran organisasi profesi dalam hal ini IPI cukup signifikan dan representatif mengingat dalam kaitan dengan pelaksanaan sertifikasi maka LSP memiliki peran sebagai berikut :
a. Melaksanakan uji kompetensi sesuai dengan lingkupnya.
b. Memastikan dan memelihara kompetensi pemegang sertifikasi.
c. Memelihara dan memegang standard kompetensi.
d. Menyusun materi uji kompetensi.
e. Menetapkan skema sertifikasi sesuai dengan lingkupnya.
f. Mengendalikan pelaksanaan uji kompetensi sesuai dengan skema sertifikasi yang telah ditetapkan.
g. Menjaga validitas sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sejalan dengan tugas-tugas tersebut diatas berdasarkan AD Dan ART Serta Kode Etik Ikatan Pustakawan Indonesia (PP-IPI, 2010) Bab III Tujuan Dan Kegiatan dalam Pasal 8, IPI Bertujuan :
a. Meningkatkan profesionalisme pustakawan Indonesia;
b. Mengembangkan ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi;
c. Mengabdikan dan mengamalkan tenaga dan keahlian pustakawan untuk bangsa dan Negara RI.
Tindak lanjut dalam wujud program kerja tujuan dan sasaran masing-masing di implementasikan ke dalam komisi-komisi organisasi dan keanggotaan; penerbitan dan publikasi; pengembangan pendidikan, pelatihan dan sertifikasi; usaha dana; pengabdian masyarakat dan pembudayaan kegemaran membaca; dan pengembangan citra proifesi.
Menurut Supriyanto (Muhammad Muchtar Arifin Sholeh, 2011) hal-hal yang harus dilakukan oleh IPI dari pusat sampai cabang adalah, sebagai berikut :
1. Merespon arus kesejagadan (globalisasi), yaitu memperhatikan peluang, tantangan, ancaman, dan sebagainya.
2. Menunjang kelancaran program Otda (Otonomi Daerah)/ desentralisasi, yaitu berupaya keras mewujudkan good governance.
3. Bersinerji dengan asosiasi atau institusi lain seperti IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), dan sebagainya.
4. IPI perlu lebih bersifat extrovert (terbuka) bagi/ untuk siapapun dan siap bekerja sama dengan poihak manapun; jika tak kenal maka tak sayang.
5. Sebaiknya Ketua Umum IPI Pusat dijabat dari luar Perpustakaan Nasional RI, karena Perpusnas sebagai Pembina IPI.
6. IPI hendaknya bisa ikut serta aktif dalam Forum Organisasi Profesi Indonesia (FOPI).
Dengan kata lain IPI dapat berbuat sesuatu dalam kerangka pembinaan dan pengembangan anggota profesinya, untuk lebih rasional dan proporsional dalam pelaksanaan tugasnya. Artinya sekaligus peran, fungsi dan tujuan perpustakaan untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa terwujud.
STRATEGI PENGEMBANGAN
Beberapa strtategi pengembangan dengan memperhatikan kondisi sekarang, nampaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu dikuatkan, antara lain seperti :
1. Penguatan SDM, untuk melaksanakan kebijakan dan pengelolaan perpustakaan dengan tertib sesuai dengan standard-standar, diperlukan pegawai, pengelola atau pustakawan yang professional, baik kompetensi professional, individual dan interpersonal, dan pegawai-pegawai pendukung atau non professional. Pustakawan adalah satu contoh pegawai yang professional, yaitu mereka yang telah memperoleh pendidikan dan pelatihan kepustakawanan sehingga dalam menjalankan tugas jabatannya mampu mengambil keputusan atau tindakan yang semestinya. Dilengkapi dengan kompetensi yang dimiliki, baik ketrampilan, pengetahuan maupun perilakunya. Dan ini semua adalah peran dari pendidikan dan/atau pelatihan. Pendidikan dan/ atau pelatihan macam apa yang sesungguhnya diperlukan perpustakaan dan pustakawan saat ini?
2. Penguatan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK), dewasa ini pemanfaatan TIK diharapkan dapat memberikan tingkat layanan yang luas dan baik sebagai akibat tuntutan perkembangan seperti digital library, e-library dan sejenisnya.
Pemanfaatan TIK seperti komputer, CD-Rom, internet, dan lain sebagainya sangat memudahkan temu kembali infomasi atau bahan perpustakaan, bahkan dapat mempersingkat waktu lebih cepat dan akurat. Kalau pada perpustakaan tradisional menggunakan kartu katalog secara manual mencari temu kembali, maka pada perpustakaan modern digunakan OPAC (Online Public Access Catalogue) sesuai dengan dengan perkembangan TIK sebagai media penelusuran yang efektif.
3. Penguatan organisasi, sebagai wadah yang menampung kegiatan sekaligus perpaduan antara kemampuan sumber daya manusia mengelola sumber-sumber yang lain dengan pemanfaatan TIK didukung dengan peraturan perundang-undangan yang memadai sangat-sangat dimungkinkan untuk dikuatkan dan dikembangkan secara mandiri. Sebagai catatan orientasi bukan pada “eselon” tetapi pada sasaran/ program tugas pokok dan fungsi lembaga yang menaunginya. Kalau sebelumnya perpustakaan masih dianggap sebagai tempat pelengkap penderita, sudah saatnya sebagai institusi professional yang layak mandiri didukung tenaga pengelola yang professional juga. Termasuk penguatan organisasi profesi IPI, sehingga terasa bermanfaat dan diperlukan anggotanya.