Ilmu Dan Teori Pengetahuan
1. Tentang Ilmu
Pada prinsipnya ilmu merupakan usaha untuk mengorganisir dan mensitematisasikan sesuatu. Sesuatu tersebut dapat diperoleh dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun sesuatu itu dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Ilmu dapat merupakan suatu metode berfikir secara objektif (objective thinking) yang bertujuan untuk menggambarkan atau memberi makna terhadap dunia faktual. Hal ini diperoleh melalui proses observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Sementara analisisnya merupakan hal yang objektif dengan menyampingkan unsur pribadi, mengedepankan pemikiran logika, dan bersikap netral (tidak dipengaruhi oleh kedirian atau subjektif).
Pada hakekatnya, ilmu merupakan milik manusia secara komprehensif sebagai lukisan atau keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika serta yang dapat diamati langsung oleh panca indera manusia.
Perlu dipahami bahwa ilmu adalah kumpulan pengetahuan, namun bukan sebaliknya, kumpulan ilmu adalah pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu, baik itu khusus maupun filsafat harus memenuhi kedua objek itu.
Ilmu merupakan suatu bentuk aktiva yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh sesuatu yang lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya dengan kehidupan.
Ø Pengertian Ilmu
Dalam upaya memperoleh pemahaman mengenai ilmu dan teori komunikasi, maka di awal pembahasan yang perlu dipahami bersama adalah pemahaman mengenai apa itu ilmu secara umum. Pasalnya, banyak sekali pengertian yang bisa dikemukakan mengenai ilmu.
Menurut Mulyadhi Kartanegara, ilmu merupakan any organized knowledge atau sekumpulan pengetahuan. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19. Namun, setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik, seperti metafisika.
Adapun arti atau definisi ilmu yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah : “Suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu,” (Admojo, 1998).
Sementara itu, untuk lebih jelasnya tentang pengertian dan definisi dari ilmu tersebut, berikut ini sejumlah definisi ilmu menurut para ahli di antaranya :
”Ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji,”
Ashley Montagu,
“Ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam,”
Mohammad Hatta,
”Ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia,
Harsojo,
”Ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana,”
Karl Pearson,
”Ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, katagori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis,”
Afanasyef,
“Ilmu adalah sesuatu yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak,”
Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag,
Dari sejumlah pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu pada dasarnya, pengetahuan tentang sesuatu hal atau fenomena, baik yang menyangkut alam atau sosial yang diperoleh manusia melalui proses berfikir.
Itu artinya bahwa setiap ilmu merupakan pengetahun tentang sesuatu yang menjadi objek kajian dari ilmu terkait. Selain itu, pengertian ilmu juga identik dengan dunia ilmiah, karenanya ilmu mengindikasikan tiga ciri, di antaranya :
1. Ilmu harus merupakan suatu pengetahuan yang didasarkan pada logika.
2. Ilmu harus terorganisasikan secara sistematis.
3. Ilmu harus berlaku umum.
Ø Dasar Ilmu
Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam sekitarnya dapat bersifat sederhana dan juga dapat bersifat kompleks. Rasa ingin tahu yang bersifat sederhana didasari dengan rasa ingin tahu tentang apa (ontologi), sedangkan rasa ingin tahu yang bersifat kompleks meliputi bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan mengapa peristiwa itu terjadi (epistemologi), serta untuk apa peristiwa tersebut dipelajari (aksiologi).
Ke tiga landasan tadi yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi merupakan ciri spesifik dalam penyusunan suatu ilmu. Ketiga landasan ini saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Berbagai usaha untuk dapat mencapai atau memecahkan peristiwa yang terjadi di alam atau lingkungan sekitarnya.
Adapun dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Jadi, masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Adapun objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Ontologi merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno. Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu, Supriyanto (2003) mengemukakan ada 2 (dua) asumsi yang perlu diperhatikan, yakni :
- Asumsi pertama, adalah suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk, sifat (substansi), struktur atau komparasi dan kuantitatif asumsi.
- Asumsi kedua, adalah kelestarian relatif artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam periode tertentu (dalam waktu singkat). Asumsi ketiga yaitu determinasi artinya ilmu menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan.
Sementara epistemologi atau teori pengetahuan merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas sejumlah besar pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologi perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini (Bakhtiar, 2005).
Sedangkan dasar aksiologi berarti sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu bagi kebutuhan umat manusia. Dasar aksiologi ini merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia karena dengan ilmu segala keperluan dan kebutuhan manusia menjadi terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.
Berdasarkan aksiologi, ilmu terlihat jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai ini dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika mengandung dua arti yaitu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Ø Prosedur Pencarian Ilmu
Salah satu ciri khas ilmu pengetahuan adalah sebagai suatu aktivitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh manusia. Ilmu menganut pola tertentu dan tidak terjadi secara kebetulan. Ilmu tidak saja melibatkan aktivitas tunggal, melainkan suatu rangkaian aktivitas, sehingga dengan demikian merupakan suatu proses.
Proses dalam rangkaian aktivitas ini bersifat intelektual, dan mengarah pada tujuan-tujuan tertentu. Disamping ilmu sebagai aktivitas, juga sebagai suatu produk. Dalam hal ini ilmu dapat diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang merupakan hasil berpikir manusia.
Kedua ciri dasar ilmu yaitu wujud aktivitas manusia dan hasil aktivitas tersebut, merupakan sisi yang tidak terpisahkan dari ciri ketiga yang dimiliki ilmu yaitu sebagai suatu metode. Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada.
Perkembangan ilmu sekarang ini dilakukan dalam wujud eksperimen. Menurut Tjahyadi (2005) eksperimentasi ilmu kealaman mampu menjangkau objek potensi-potensi alam yang semula sulit diamati. Pada umumnya metodologi yang digunakan dalam ilmu kealaman disebut siklus-empirik. Hal ini menunjukkan pada dua hal yang pokok, yaitu siklus yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang, dan empirik menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregistrasi secara indrawi.
Dikemukakan Soeprapto (2003) metode siklus-empirik mencakup 5 (lima) tahapan yang disebut observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi. Sifat ilmiahnya terletak pada kelangsungan proses yang runut dari segenap tahapan prosedur ilmiah tersebut, meskipun pada prakteknya tahap-tahap kerja tersebut sering kali dilakukan secara bersamaan.
Ø Dimensi Ilmu
Ilmu dalam usahanya untuk menyingkap rahasia-rahasia alam haruslah mengetahui anggapan-anggapan kefilsafatan mengenai alam tersebut. Penegasan ilmu diletakkan pada tolok ukur dari sisi atau dimensi fenomenal dan dimensi struktural.
§ Dimensi Fenomenal
Dalam dimensi fenomenal, ilmu menampakkan diri pada hal-hal berikut :
1. Masyarakat yaitu suatu masyarakat yang elit yang dalam hidup kesehariannya sangat konsern pada kaidah-kaidah universaI, komunalisme, disinterestedness, dan skeptisme yang terarah dan teratur.
2. Proses yaitu olah krida aktivitas masyarakat elit yang dilakukan melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, observasi, eksperimentasi, komparasi, dan sebagainya tidak pernah mengenal titik henti untuk mencari dan menemukan kebenaran ilmiah.
3. Produk yaitu hasil dari aktivitas tadi berupa dalil-dalil, teori, dan paradigma-paradigma beserta hasil penerapannya, baik yang bersifat fisik, maupun non fisik.
§ Dimensi Struktural
Dalam dimensi struktural, ilmu tersusun atas komponen-komponen sebagai berikut :
1. Objek sasaran yang ingin diketahui.
2. Objek sasaran terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti.
3. Ada alasan dan dengan sarana dan cara tertentu objek sasaran tadi terus menerus dipertanyakan.
4. Temuan-temuan yang diperoleh selangkah demi selangkah disusun kembali dalam satu kesatuan sistem.
Sementara itu, ilmu dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu Ilmu Pengetahuan Abstrak, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Humanis. Secara rinci seperti skema di bawah ini :
Berdasarkan skema di atas terlihat bahwa ilmu melingkupi tiga bidang pokok yaitu ilmu pengetahuan abstrak, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan humanis.
Ilmu pengetahuan abstrak meliputi metafisika, logika, dan matematika. Ilmu pengetahuan alam meliputi Fisika, kimia, biologi, kedokteran, geografi, dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan humanis meliputi psikologi, sosiologi, antropologi, hukum dan lain sebagainya.
2. Tentang Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa difinisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief).
Sedangkan secara terminologi, pengetahuan terdiri atas sejumlah definisi, di antaranya :
1. Pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
2. Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.
3. Pengetahuan adalah segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk didalamnya ilmu, seni dan agama. Pengetahuan ini merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung dan tak langsung memperkaya kehidupan manusia.
Pada dasarnya pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang, baik lewat indera maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami berbentuk ideal, atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.
Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik, juga merupakan informasi berupa common sense, tanpa metode dan mekanisme tertentu, namun berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan serta dilakukan secara pengulangan-pengulangan.
Dengan demikian, maka landasan dari pengetahuan tersebut menjadi kurang kuat sehingga cenderung kabur dan samar-samar. Menurut Supriyanto (2003) pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka.
Adapun ruang Lingkup pengetahuan secara ontologi, epistomologi dan aksiologi tersebut ada 3 (tiga) jenis, yaitu Ilmu, Agama dan Seni, seperti yang tergambar pada skema di bawah ini :
Ø Jenis Pengetahuan
Menurut Crose (dalam Paryati Sudarman, 2008) pengetahuan setidaknya dapat dibagi ke dalam dua jenis utama, yaitu, 1) Pengetahuan logis; dan 2) Pengetahuan intuitif.
1. Pengetahuan Logis
Merupakan pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu hal yang secara logis dapat diulang (scientific object). Contohnya, secara logis bola itu bulat, maka dimana pun bola itu dibuat, akan tetap diulang-ulang dalam bentuk bulat. Asumsinya, jika tidak bulat, maka itu bukan bola.
2. Pengetahuan intuitif
Merupakan pengetahuan yang berkaitan dengan sesuatu hal yang unik dan bersifat individual (aesthetic object). Pada bidang-bidang seni termasuk menulis, pengetahuan intuitif sangat berperan. Pengetahuan intuitif sulit untuk dijelaskan secara logika, karena memang sifatnya yang personal. Sebagai akibat dari pengetahuan intuitif terutama dalam bidang seni, berkaitan erat dengan keindahan (estetis) yang tidak bisa dikonseptualkan, melainkan bersifat segera dan langsung dapat dirasakan. Pengetahuan yang berkaitan dengan intuitif, biasanya berkaitan dengan pengalaman dan refleksi diri. Sedangkan estetis biasanya berkaitan dengan pengalaman. Dengan demikian, masing-masing dari individu memiliki pengetahuan intuitif yang berbeda-beda, sehingga akan menghasilkan karya yang berbeda-beda pula.
3. Tentang Ilmu Pengetahuan
Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum). Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, sementara ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus, maka hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari filsafat.
Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu.
Dengan kata lain, tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing ilmu. Dengan demikian, maka filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas.
Lagipula, terdapat hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah (Siswomihardjo, 2003).
Dalam perkembangan selanjutnya, filsafat tidak saja dipandang sebagai induk atau sumber dari segala sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami proses spesialisasi.
Dalam taraf peralihan inilah maka filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral. Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu, merupakan bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu.
Dalam konteks inilah maka kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami secara lebih komprehensif (Bakhtiar, 2005).
Ø Pengertian Ilmu Pengetahuan
Membicarakan masalah ilmu pengetahuan beserta definisinya ternyata tidak semudah dengan yang diperkirakan. Adanya berbagai definisi tentang ilmu pengetahuan ternyata belum dapat menolong untuk memahami hakikat ilmu pengetahuan itu. Sekarang orang lebih berkepentingan dengan mengadakan penggolongan (klasifikasi) sehingga garis demarkasi antara (cabang) ilmu yang satu dengan yang lainnya menjadi lebih diperhatikan.
Berdasarkan definisi di atas terlihat jelas ada hal prinsip yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Adapun pembuktian kebenarannya berdasarkan penalaran akal atau rasional atau menggunakan logika deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme. Kelemahan logika deduktif ini sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai dengan fakta.
Jika dianalogikan, ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum tersusun dengan baik.
Ø Objek Ilmu Pengetahuan
Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan formal. Setiap bidang ilmu, baik itu khusus atau filsafat harus memenuhi kedua objek itu.
Objek material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran (Gegenstand), sesuatu hal yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencakup hal konkrit misalnya manusia, tumbuhan, bebatuan, tanah, ataupun hal-hal yang abstrak seperti ide-ide, nilai-nilai, dan kerohanian.
Objek formal adalah cara memandang, meninjau yang dilakukan peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip yang digunakannya. Objek formal dari suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang lain. Satu objek material bisa ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda (Mudhofir, 2005).
Ø Sumber Ilmu Pengetahuan
Dikemukakan Paryati Sudarman (2008) dalam bukunya ”Menulis di Media Massa”, dalam ajaran Islam, ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari berbagai sumber, di antaranya :
1. lnsting (Gharizah)
Ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia sejak lahir. Ilmu pengetahuan ini merupakan bekal kehidupan yang diberikan langsung dari Allah. Menurut Prof. Haidar Putra, pengetahuan jenis ini tidak perlu diajarkan, setiap orang secara instinktif telah memilikinya (Haidar Putra, 2007:187). Seperti menyukai lawan jenis/cinta kasih, rasa haus, dan lain-lain.
2. Indra
Ilmu pengetahuan yang kita peroleh dari panca indra kita. Seperti dari penglihatan, penciuman, perabaan, dan indra lainnya, merupakan bagian dari sumber pengetahuan. AI-Qur'an menyuruh manusia untuk mempergunakan indranya.
3. Akal
Bagian terpenting dalam proses berpikir. Para inovator menemukan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia karena berpikir, menggunakan akalnya. Menurut Haidar Putra, para filosof menggunakan akal setinggi-tingginya, sehingga sampai ke tingkat akal mustafad. Akal mustafad adalah tingkatan akal tertinggi yang dimiliki oleh seseorang setelah tingkatan akal potensial dan aktual.
4. Pengalaman
Setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda, dan setiap orang memiliki pengalaman yang unik dan menarik. Semua itu bisa diungkapkan dan ditulis untuk memenuhi kebutuhan media massa.
5. Intuitif
Pengetahuan yang kita peroleh tanpa penalaran. Jujun Suriasumantri menggambarkan seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukanjawaban atas permasalahan tersebut tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku, tiba-tiba saja dia sampai di situ (Suriasumantri, 1982:53).
6. Qalbu
Pangkal dari segala rasa. Para pemikir Islam dan para Sufi, banyak mempergunakan qolbunya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga mendapatkan ilmu. Metodenya biasanya dengan membersihkan hati dari berbagai macam rasa yang tercela, sehingga hati peka, dan mudah memahami serta memecahkan berbagai persoalan.
7. Wahyu
Merupakan ajaran nabi yang bersumber dari Al-Qur'an dan Al-Hadits. Dalam Wahyu tersebut, tersimpan berbagai informasi, baik berupa perintah, larangan/ tamsil, dan lain lain, yang berguna bagi kehidupan umat manusia.
8. Mimpi
Sebagian rasul mendapatkan wahyu dari mimpi. Seperti Nabi Ibrahim ketika menerima perintah untuk mengorbankan anaknya. Para Rasul dan orang sadiqin, memiliki mimpi yang benar (Ar-Rii'ya Ash-Shadiqah), yang bisa dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Ø Syarat Ilmu Pengetahuan
Pada umumnya ilmu pengetahuan memiliki 4 (empat) syarat yang mutlak, di antaranya, 1) objektif; 2) sistematis; 3) universal; dan 4) metodologis.
1. Objektif
Syarat yang pertama ini mengandung arti bahwa ilmu pengetahuan memiliki objek tertentu. Misalnya objek ilmu komunikasi, secara formal objek ilmu komunikasi adalah pernyataan antarmanusia, sedangkan objek materialnya adalah manusia serta kehidupannya.
2. Sistematis
Artinya bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang dapat kita sistemkan sehingga menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Misalnya pengetahuan tentang manusia, manusia terdiri atas jiwa dan raga. Raga manusia terdiri atas tulang, daging, otot, darah dan organ-organ lainnya, yang mana masing-masing organ tersebut satu sama lain tak bisa terpisahkan. Jika salah satu terpisahkan dari sistem yang dimaksud maka pengetahuan kita pun berubah. Misalnya jika seseorang sudah tak bernyawa lagi atau mati, maka pengetahuan menyebutnya bukan lagi sebagai manusia tetapi berubah menjadi mayat.
3. Universal
Artinya ilmu pengetahuan bersifat umum, diterima secara universal. Misalnya semua orang sepakat bahwa garam rasanya asin, gula rasanya manis, matahari terbit dari arah timur dan tenggelam di arah barat. Jika garam rasanya manis, gula rasanya asin, tentu secara umum hal ini ditolak dan ini bukanlah suatu pengetahuan yang benar, melainkan kesalahan berpikir karena bertentangan dengan kesepakatan umum.
4. Metodologis
Artinya bahwa ilmu pengetahuan diperoleh dengan menggunakan metode atau cara-cara tertentu. Misalnya untuk memperoleh pengetahuan tentang komunikasi, secara bahasa, komunikasi berasal dari bahasa Inggris, communication, yang bersumber dari bahasa Latin "communis", yang artinya sama. Sama di sini adalah sama makna. Jadi, sesuatu dapat dikatakan komunikasi jika di antara pelaku komunikasi (baik penyampai pesan maupun penerima pesan) terjadi persamaan makna tentang sesuatu hal yang disampaikannya.
Ø Cara Memeroleh Ilmu Pengetahuan
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan biasanya ada beberapa cara yang bisa kita lakukan. Pada umumnya ilmu pengetahuan kita peroleh melalui pendidikan. Baik pendidikan formal, informal maupun pendidikan nonformal.
Pendidikan formal yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan secara formal. Seperti pendidikan yang pernah kita lalui dari bangku taman kanak-kanak, sekolah dasar bahkan hingga perguruan tinggi. Pendidikan nonformal yaitu pendidikan yang kita peroleh di luar pendidikan formal. Seperti pendidikan yang diperoleh dari lingkungan keluarga, dari pergaulan di masyarakat, dan yang penting adalah dari membaca atau iqra’.
Kata Iqra' (bacalah) tidak akan diletakkan pada awal kalimat perintah-Nya jika makna yang dikandungnya tidak sedemikian penting. Ada dua jenis membaca dalam hal ini, yakni membaca secara tekstual dan membaca secara kontekstual.
Membaca tekstual adalah membaca dari buku-buku atau referensi-referensi lain yang telah ditulis oleh orang lain. Leo Fay (1980), seorang peneliti dan pakar pendidikan yang juga mantan Presiden Internasional Reading Association, mengatakan "read is prossess a power for transcending whatever physical power human can master".
Sedangkan yang dimaksud dengan membaca kontekstual adalah membaca yang berkaitan dengan membaca situasi, kondisi, keadaan atau fenomena-fenomena apa saja yang terjadi di sekitar lingkungan atau kehidupan.
Ø Perbedaan Ilmu dan Pengetahuan
Perbedaan yang paling signifikan antara ilmu dengan pengetahuan adalah pengetahuan diartikan hanyalah sekadar “tahu”, yaitu hasil tahu dari usaha manusia untuk menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa tanah, apa laut, apa air, dan sebagainya. Sedangkan ilmu bukan hanya sekadar dapat menjawab “apa” tetapi akan dapat menjawab “mengapa” dan “bagaimana” (why dan how). Misalnya mengapa laut lebih luas dari daratan, atau mengapa gunung dapat meletus, dan sebagainya.
Berdasarkan keterangan di atas terlihat jelas ada hal prinsip yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Pengetahuan juga dapat dikatakan, informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan.
Hal ini menunjukkan, landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka (Supriyanto, 2003).
Pembuktian kebenaran pengetahuan berdasarkan penalaran akal atau rasional atau menggunakan logika deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme. Kelemahan logika deduktif ini di antaranya, sering sekali pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai dengan fakta.
Ø Komunikasi Sebagai Ilmu Pengetahuan
Dalam kaitannya dengan pemahaman ilmu pengetahuan di atas, ilmu komunikasi sering mendapatkan keraguan dalam keberadaan dan keeksistensiannya sebagai ilmu di tengah kemajuan teknologi informasi saat ini. Hal ini mungkin salah satunya disebabkan perkembangan historis komunikasi menjadi sebuah ilmu melalui tahapan dimensi waktu yang terlalu jauh jika merujuk pada pemahaman catatan sejarah perkembangan ilmu komunikasi di daratan Amerika.
Perkembangan komunikasi sebagai ilmu selalu dikaitkan dengan aktifitas retorika yang terjadi di zaman Yunani kuno, sehingga menimbulkan pemahaman bagi pemikir-pemikir barat bahwa perkembangan komunikasi pada zaman itu mengalami masa kegelapan (dark ages) karena tidak berkembang di zaman Romawi kuno. Dan baru mulai dicatat perkembangannya pada masa ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg (1457).
Sehingga masalah yang muncul adalah, rentang waktu antara perkembangan ilmu komunikasi yang awalnya dikenal retorika pada masa Yunani kuno, sampai pada pencatatan sejarah komunikasi pada masa pemikiran tokoh-tokoh pada abad 19, sangat jauh. Sehingga mengakibatkan sejarah perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri terputus kira-kira 1400 tahun.
Padahal menurut catatan lain, sebenarnya aktifitas retorika yang dilakukan pada jaman Yunani kuno juga dilanjutkan perkembangan aktifitasnya pada jaman pertengahan (masa persebaran agama). Sehingga menimbulkan asumsi bahwa perkembangan komunikasi itu menjadi sebuah ilmu tidak pernah terputus, artinya tidak ada mata rantai sejarah yang hilang pada perkembangan komunikasi.
Dengan demikian, jaman persebaran agama yang berlangsung antara rentang waktu tersebut (zaman pertengahan) menjadi bagian dari perkembangan ilmu komunikasi. Sehingga jaman pertengahan menjadi jembatan alur perkembangan komunikasi dari zaman yunani kuno ke zaman renaissance, modern, dan kontemporer.
Pada awalnya, perkembangan komunikasi yang terjadi di jaman Romawi (sebagai perkembangan dari Yunani kuno sekitar tahun 500 SM-5 M) mengalami kendala, karena pada masa itu Romawi mengalami masa kegelapan (dark ages). Padahal, masa kegelapan yang terjadi di Eropa tersebut merupakan sisi lain dari masa keemasan peradaban Islam, dimana pada masa itu perkembangan ilmu pengetahuan (termasuk aktifitas komunikasi) cukup signifikan.
Selain itu, perkembangan komunikasi juga sangat maju pesat di Cina yang telah dimulai pada tahun 550 SM. Memang, aktifitas komunkasi dalam bentuk retorika yang berlangsung di Cina dan Islam ini lebih menekankan pada penyebaran ajaran dan keyakinan. Berbeda di Yunani dan Romawi yang lebih bersifat politis.
Salah satu ajaran yang berkembang yaitu ajaran konfusiunisme di Cina. Kong hu Cu (bagian dari konfusianisme) lahir pada sekitar 550 SM yang ajarannya telah berusia 2000 tahun. Konfusius mulai mengajarkan filsafat hidupnya ketika Cina masih terpecah-pecah.
Dalam penyebarannya, komunikasi yang dilakukan sudah sangat maju setelah ditemukannya kertas oleh Ts’ai Lun (105 M). Namun, ketika dinasti Qin (215 SM-206 SM), kaisar Qin Shi Hung melarang ajaran Konfusianisme, sehingga banyak buku-buku yang dibakar. Namun, ketika masa dinasti Han (206 SM-220 M), konfusianisme mulai mencapai masa emasnya kembali.
Misalnya dengan didirikannya semacam Imperial University yang meninggalkan sejumlah kitab ajaran konfusianisme, seperti kitab Shi Ching (kumpulan lagu-lagu), Shu Ching (dokumen-dokumen), I Ching (buku ahli ramalan), Ch’un Ch’iu (peristiwa penting), dan Li Chi (upacara-upacara).
Konfusianisme ini berlangsung cukup lama sampai pada masa jatuhnya dinasti Ching (1644-1911). Hal ini mengidentifikasikan bahwa adanya proses perkembangan komunikasi yang lebih condong pada penyebaran ajaran-ajaran konfusianisme di Cina.
Aktifitas komunikasi dalam bentuk propaganda juga telah ada pada jaman Isa Al-Masih. Isa yang pada waktu itu ingin mengajarkan ajaran Allah Swt, mendapat tantangan dari kaum Yahudi. Ia dianggap figur yang sangat berbahaya dan membahayakan eksistensi bangsa Yahudi, sehingga orang-orang Yahudi tersebut berusaha memancing kemarahan pihak penguasa Romawi yang ketika itu menguasai Palestina.
Akhirnya, usaha tersebut berhasil memengaruhi sikap politik penguasa Romawi yang pada awalnya tidak ikut campur dalam keagamaan, kini berubah haluan dengan memerintahkan tentaranya untuk menangkap Isa As dan menghukumnya.
Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa sebenarnya Isa As tidak mati terkutuk di tiang salib, ia berhasil diselamatkan oleh Pilatus yang telah bekerjasama dengan yusuf Aritmatea (Injil Yahya, 19:38). Setelah memperlihatkan bukti-bukti kepada muridnya bahwa beliau tidak mati di kayu salib (Injil Markus, 16:19-20), maka Al Masih memutuskan atas perintah Allah untuk meninggalkan Palestina dan menjelajahi berbagai negeri dimana berdiam suku-suku Israil yang hilang untuk melanjutkan menyampaikan risalah-Nya (berdakwah) (kitab Ester 3:6, 1:1, 2:6, dan II Raja-raja 15:29).
Negeri terakhir dimana tempat peristirahatan beliau adalah Srinagar, India. Komunikasi dalam bentuk ajaran dakwah yang dilakukan di jaman Isa ini terbukti dengan adanya penjelasan Dalai Lama (pendeta Budhah Tibet) bahwa Isa adalah salah satu orang suci yang dihormati dalam ajaran Budha. Hal ini berkaitan erat dengan kepercayaan Budha yang mengatakan bahwa Baghawa Metteya (pengembara kulit putih; Isa Al Masih) pernah datang mengajarkan ajarannya di India.
Selain itu, juga dengan diketemukannya scroll (gulungan yang jumlahnya 84.000 gulungan) yang isinya menceritakan aktifitas penyebaran ajaran Isa di India. Bukti lain juga dengan ditemukannya kuburan Yus Asaf di Srinagar, Kashmir oleh tim Jerman Barat yang merupakan kuburan nabi Isa yang meninggal pada usia 120 tahun (Thre Tribune, Chandigarh, 11 Mei 1984).
Komunikasi di dunia Islam pun sebenarnya telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Sama seperti fenomena komunikasi yang terjadi di jaman Isa Al Masih, komunikasi Islam pun lebih berorientasi pada sistem dakwah yang berusaha mengubah atau mempengaruhi alam pikiran seseorang untuk mengikuti syariat Islam.
Peradaban umat Islam dalam kaitannya dengan perkembangan komunikasi telah mencatatkan sejarah yang cukup menakjubkan. Pada masa bani Umayah misalnya, telah ditemukan suatu cara pengamatan astronomi pada abad 7 M, tepatnya 8 abad sebelum Galileo Galilei dan Copernicus menekuni ilmu tentang perbintangan tersebut.
Korelasi antara Timur dan Barat selama perang Salib (1100-1300 M) sangat penting bagi perkembangan komunikasi ilmu pengetahuan di daratan eropa, karena pada waktu ekspansi, jazirah Arab di bawah kendali Islam telah mengambil alih kebudayaan Byzantium, Persia, dan Spanyol, sehingga tingkat kebudayaan Islam jauh lebih tinggi daripada kebudayaan Eropa (Brower, 1982).
Universitas Bagdad, Damsyik, Beirut, dan Kairo misalnya menyimpan dan memberikan warisan ilmiah dari India, Persia, Yunani, dan Byzantium, sehingga eropa menerima warisan filsafat Yunani melalui orang Arab yang terlebih dahulu mempelajarinya, karena bangsa Arab telah menterjemahkan karya-karya fisuf termasyur seperti Plato, Hipokrates dan Aristoteles.
Bahkan sekitar abad ke-14 pada zaman kekuasaan dinasti Yuan (1260-1368), pengaruh Islam ditandai dengan lahirnya seorang peneliti di bidang astronomi pertama yang mendirikan observatorium, yaitu Jamal Al-Din.
Perkembangan komunikasi dalam Islam yang lebih bersifat dakwah tadi tidak lepas dari kaitannya sebagai bagian dari bentuk komunikasi, karena dalam bahasa arab, dakwah berarti seruan, panggilan, dan atau ajakan. Dikemukakan Salahuddin Sanusi, yang didefinisikan oleh Al Ustadz Bahiyul Khuli dalam bukunya yang berjudul “Tadzkiratud Du’at” dakwah ialah suatu komunikasi yang ditimbulkan dari interaksi antar individu maupun kelompok manusia yang bertujuan memindahkan umat dari suatu situasi yang negatif (zaman jahiliyah) ke situasi yang positif.
Pada jaman Nabi Muhammad Saw (570 M-632 M), penyebaran Islam berlangsung dalam waktu yang relatif singkat (8-9 M). Muhammad melakukan dakwahnya ke Mekah pada tahun 610 M. Hanya dalam tempo 25 tahun, Nabi Muhammad Saw beserta pengikutnya dapat mengambil alih kekuasaan di kawasan Arab dari tangan kaum Quraisy, dan Islam pun kemudian berkembang dengan sangat pesatnya.
Sekitar tahun 650 M, jazirah Arab, seluruh daerah timur tengah, serta Mesir dikendalikan oleh orang-orang Islam, sehingga pada tahun 700 M, Islam pun akhirnya mendominasi area besar mulai dari daratan China dan India di timur sampai Afrika Utara dan Spanyol di barat.
Cepatnya perkembangan Islam bisa jadi merupakan dampak dari penggunaan dakwah-dakwah yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam, seperti dakwah yang berisi tentang jihad fisabilillah, yaitu jaminan untuk masuk surga bagi mereka yang mati dalam usahanya untuk memperjuangkan Islam.
Dalam berdakwah, Rasulullah selalu melakukan komunikasi sebagai dakwah dengan metode yang tepat dan apabila dicermati akan sangat relevan dengan metode diskusi saat ini. Dalam dakwahnya, diskusi yang dilakukan pasti didasari hal-hal berikut, yakni alasannya kuat (hujjah), tutur kata yang arif dan bijak (uslub), dan adab sopan santun yang baik.
Artinya, terdapat bentuk komunikasi yang efektif sehingga dapat mempengaruhi keyakinan jutaan umat dalam waktu yang sangat singkat. Komunikasi diawali dengan adanya perintah dari Allah kepada Nabi Muhammad Saw untuk memberikan peringatan kepada ummat manusia untuk percaya kepada Allah.
Awalnya komunikasi itu dilakukan secara diam-diam lalu dilanjutkan secara terbuka seiring dari wahyu berikutnya yang memerintahkan Nabi untuk berdakwah secara terang-terangan (Q.S Al-Hijr;94-95).
Begitupun halnya komunikasi dalam media tulisan, sebenarnya telah dirintis oleh Rasulullah, yaitu ketika beliau mengirimkan surat yang isinya ajakan untuk memeluk Islam kepada para raja di Eropa. Sebagai contoh, nabi pernah mengirimkan surat dakwah kepada raja Hiraqla (raja di Roma Timur) yang bernama, raja Habsyi yang bernama Najsyi, dan lain-lain. Dalam setiap suratnya, nabi selalu membubuhi stempel yang terbuat dari perak yang berukirkan tulisan “muhammadurrasulullah”.
Kembali hubungannya dengan pers sebagai bagian dari komunikasi, Islam telah merintis perkembangan komunikasi itu sendiri, sekali lagi dalam bentuk dakwah. Misalnya turun temurunnya hadits-hadits nabi dan sunnah Rasul. Sejarah telah mengungkapkan bahwa perkembangan dan kecemerlangan ajaran Islam telah menerobos cakrawala abad dan jaman serta melewati negara-negara dan benua.
Hal ini tentu saja berkat para jurnalis-jurnalis Islam seperti Syafi’i, Malik Ahmad Hambali, Hanafi, Abu Dawud, dan sebagainya yang tulisannya dalam bidang hukum fiqih. Sementara di bidang filsafat ada Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Imam Ghazali, Jamaludin Al afgani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, dan lain-lain. Di bidang kedokteran, Ibnu Sina telah menulis buku yang berisi aturan-aturan dalam ilmu kedokteran yang banyak diadaptasi oleh ilmuwan-ilmuwan dalam bidang kedokteran dewasa ini.
Dari uraian tersebut, dapatlah dikatakan bahwa sebenarnya peradaban Islam (dalam kaitannya sebagai jembatan penghubung sejarah komunikasi) telah melanjutkan atau mewariskan komunikasi dari ajaran-ajaran Yunani yang telah disinggung di atas, untuk kemudian baru diadaptasi oleh bangsa Eropa dan seterusnya Amerika (sebagai dampak dari intellectual migration dari daratan Eropa ke utara benua Amerika pada masa kekuasaan Adolf Hitler di daratan eropa).
Melihat uraian sejarah perkembangan komunikasi di jaman pertengahan di atas, timbullah satu pertanyaan, mengapa aktifitas retorika dalam kaitannya dakwah yang terjadi di jaman pertengahan tidak dijadikan bagian dari mata rantai sejarah perkembangan komunikasi oleh para pemikir-pemikir barat?
Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat melihat fase-fase perkembangan ilmu itu sendiri dari jaman ke jaman. Ilmu berkembang pertama kali pada masa Yunani kuno. Lalu dilanjutkan pada jaman pertengahan (yang sebenarnya adalah masa-masa persebaran agama). Telah disinggung di atas, contoh persebaran agama yang diambil adalah Islam yang memang berlangsung pada zaman pertengahan.
Setelah itu, ilmu berkembang lagi pada jaman renaissance (14-17 M), dimana kebanyakan pemikiran tokoh-tokoh pada abad ini sudah bebas dan tidak terikat lagi oleh dogma-dogma agama, sebut saja seperti Isaac Newton dan Charles Darwin.
Jaman tersebut merupakan jaman peralihan dari jaman pertengahan menuju jaman modernitas. Ketika di jaman modern, ilmu-ilmu yang berkembang itu lebih didasari oleh pemikiran-pemikiran yang ilmiah dan empiris. Seperti Darwin yang sangat fanatik dengan teori evolusinya. Inilah mungkin yang menyebabkan banyak teori-teori komunikasi yang tidak pernah mencantumkan nama-nama besar dari cendikiawan-cendikiawan Islam (seperti Al Kindi, Al Farabi, dll) sebagai tokoh yang berjasa dalam mengembangkan komunikasi itu sendiri pada jaman pertengahan.
Hal ini mungkin ini ada korelasinya dengan masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa yang kala itu merupakan jaman keemasan peradaban Islam. Contoh peristiwa penting yaitu perang Salib yang terulang sebanyak enam kali.
Hal ini tidak hanya menjadi ajang peperangan fisik, tetapi juga menyadarkan serdadu-serdadu eropa akan kemajuan negara-negara Islam yang sedemikian pesatnya. Sehingga mereka menyebarkan pengalaman-pengalaman mereka itu sekembalinya di negara masing-masing.
Pada tahun 1453 M, Istambul jatuh ke tangan Turki, sehingga para pendeta atau sarjana mengungsi ke Italia atau negara-negara lain. Mereka inilah yang menjadi pionir-pionir perkembangan ilmu di Eropa. Padahal sebenarnya mereka ini mendapatkan pengetahuannya dari peradaban Islam yang telah maju lebih dulu.
Mengenai perkembangan komunikasi yang lebih cenderung diklaim sebagai bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan di Amerika dan Eropa, sebenarnya kembali pada pola pemikiran dari manfaat ilmu pengetahuan yang ditemukan.
Pada dasarnya, orang Amerika dan Eropa cenderung untuk mematenkan suatu ciptaan, sedangkan pemikir-pemikir di Asia dan peradaban Timur tengah lebih cenderung kepada manfaat dari hasil temuannya itu. Padahal jelas, sejarah menceritakan secara gamblang bahwa peradaban yang sangat maju telah berlangsung lebih dulu di Cina dan Timur Tengah.
Penjelasan sejarah di atas sudah cukup membuktikan bahwa sebenarnya sejarah perkembangan komunikasi sebenarnya tidak pernah terputus. Karena pada dasarnya hubungan antara komunikasi sebagai bagian dari perkembangan peradaban manusia begitu erat. Hal ini semata dikarenakan aktifitas retorika sudah ada di jaman pertengahan, tetapi memang belum berbentuk ilmu.
Fenomena yang lebih banyak bersifat dakwah (persebaran agama) ini baru berupa gejala-gejala sosial, dan pada masa itu belum ada suatu ilmu yang mengkhususkan fokus dan lokus kajiannya tentang komunikasi.
Tetapi setidaknya hal di atas cukup memberikan argumen bahwa komunikasi merupakan fenomena yang sudah sangat lama terjadi dan baru dikaji secara utuh sebagai suatu ilmu pada abad ke-19 di daratan Amerika melalui kelompok Chicago dan terutama nanti dengan kemunculan apa yang disebut sebagai administrative research.
Melalui kelompok yang berpusat di Universitas Colombia ini terdapat beberapa figur atau tokoh penting yang memiliki kontrobusi besar dalam pengembangan ilmu komunikasi, terutama dengan figur sentral, Paul F. Lazarfeld.
Sekalipun penting pula untuk dipahami bahwa kemunculan kajian ilmu komunikasi pada periode ini tidak dapat dilepaskan pada era dominannya era propaganda, sehingga figur Wilbur Schramm menjadi penting dalam proses pelembagaan ilmu komunikasi.
Komunikasi selain sebagai ketrampilan atau seni juga merupakan fenomena ilmu pengetahuan. Karena ilmu komunikasi memiliki metode seperti content analysis, uses & gratification, agenda setting, cultivation analysist, experiments, dan sebagainya.
Pendekatan eksperimen telah dilakukan oleh Carl Hovland yang meneliti mengenai komunikasi persuasif. Penelitian content analysist telah dilakukan Harold D. Lasswell dan Bernard Berelson untuk mengkaji propaganda pada dekade 40-an di Amerika.
Sementara penelitian survey oleh Paul F. Lazarfeld, Elihu Katz, telah membuahkan temuan two steps flow of communication. Bahkan dalam perkembangan lain, jika merujuk pada mashab interpretatif, maka akan banyak dijumpai ragam penelitian yang memakai pendekatan semiotic, ethnografi, dan sebagainya dari paradigma interpretatif.
Dalam tradisi Amerika, retorika atau yang dikenal sebagai speech, telah menjadi kajian yang penting sebelum dikenal tradisi kajian komunikasi massa atau ilmu komunikasi sebagaimana dewasa ini. Dengan karyanya yang terkenal “Watching Dallas". Sedangkan James Lull dengan pendekatan etnografi komunikasi dikalangan penonton televisi. Robert E. Park, dari generasi Chicago School juga menggunakan penelitian lapangan.
Berdasarkan gambaran di atas dapatlah dikenali ciri-ciri komunikasi sebagai ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan metode penelitiannya. Dari situ tampak bahwa komunikasi sebagai fenomena ilmu pengetahuan dapat diterima sebagaimana dapat dibuktikan dengan munculnya jurnal komunikasi, hasil penelitian komunikasi, dan buku-buku komunikasi