Menyikapi Perilaku Users Pada Layanan Perpustakaan Di Era Digital
Salah satu tantangan yang dihadapi para pustakawan di era digital adalah munculnya perubahan perilaku users (pengguna) yang makin familiar dengan teknologi informasi, lebih kritis dan bersikap pro-aktif, dan cenderung menginginkan layanan perpustakaan yang serba cepat. Users di era revolusi informasi adalah warga masyarakat yang seringkali disebut sebagai net generation atau now generation yang makin terbiasa berselancar di dunia maya dan menginginkan segala informasi dapat diperoleh dengan seketika.
Berbeda dengan era masyarakat modern yang lebih mementingkan layanan yang efisien, dan cenderung diperlakukan seperti konsumen atau pembeli yang ingin dilayani layaknya “Raja”, di era digital yang namanya users umumnya memiliki karakteristik layaknya masyarakat postmodern yang lebih terbuka wawasannya, lebih menglobal, tidak dikekang oleh ruang dan waktu, dan terbiasa menghabiskan sebagian waktunya untuk berselancar di dunia maya untuk menelusur dan mencari informasi sesuai keinginan dan seleranya.
Di era digital, yang namanya perpustakaan tidak lagi hanya bersaing dengan toko-toko buku atau menjadi lembaga yang dapat memonopoli layanan kebutuhan masyarakat akan buku bacaan atau koleksi yang lain. Namun, persaing yang paling mengancam kedudukan dan peran perpustakaan justru adalah lautan informasi yang nyaris tak terbatas, yang terus berkembang dinamis di dunia maya. Di era revolusi informasi, seorang users yang membutuhkan koleksi atau informasi tertentu, ia tidak harus datang ke perpustakaan dan kemudian mencari koleksi yang dibutuhkan di rak-rak dengan dibantu kartu katalog, melainkan ia cukup duduk di kamarnya sendiri, membuka laptop, dan kemudian berselancar di dunia maya untuk mendownload e-book atau mencari informasi yang dibutuhkan melalui google, yahoo, atau situs-situs yang lain.
Castells (1996), menyatakan bahwa di era revolusi informasi muncul apa yang ia sebut sebagai kebudayaan virtual riil, yaitu satu sistem di mana realitas itu sendiri sepenuhnya tercakup, sepenuhnya masuk dalam setting citra maya, di dunia fantasi, yang di dalamnya tampilan tidak hanya ada di layar tempat dikomunikasikannya berbagai pengalaman, namun mereka menjadi pengalaman itu sendiri (Ritzer & Goodman, 2008: 632). Di era digital boleh dikata tidak ada satu pun informasi yang tidak terlacak. Perpustakaan terbesar di era digital pada dasarnya adalah google, yahoo, wikipedia, berbagai web, situs, dan lain sebagainya yang semuanya bisa diakses seketika itu juga tergantung keinginan dan kebutuhan users.
Dalam mendesign pengembangan layanan perpustakaan yang profesional dan berorientasi users, yang namanya pustakawan mau tidak mau harus menyadari arti penting perubahan dari representasi dokumen menuju representasi struktur kognitif dari pengguna. Di era digital, upaya untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaan tidak lagi mungkin hanya mengandalkan pada pembenahan yang sifatnya kuantitatif dan rekayasa teknis, tetapi harus lebih bersifat kualitatif yang menempatkan pengguna sebagai komponen utama sistem.
Seorang pustakawan yang hanya mengandalkan pada sikap ramah, dan sekadar melayani apa yang menjadi kebutuhan users, niscaya pelan-pelan akan ketinggalan jaman karena tidak melakukan perubahan yang signifikan. Di era digital, seorang pustakawan yang profesional bukan hanya dituntut mampu memahami karakteristik users, tetapi lebih dari itu mereka juga dituntut untuk mampu bersikap pro-aktif, inovatif, dan bahkan yang terpenting mampu menciptakan dan mengembangkan berbagai kebutuhan yang membuat users pelan-pelan makin tergantung pada apa yang ditawarkan pustakawan.
Di era digital, seorang users bukanlah seorang yang pasif dan sekadar menunggu dilayani pustakawan tatkala mereka datang ke perpustakaan. Namun, users di era masyarakat postmodern adalah seorang yang memiliki kemampuan mandiri untuk menelusur informasi layaknya pustakawan itu sendiri, memiliki akses yang seluas-luasnya terhadap informasi, sehingga keberadaan perpustakaan untuk saat ini mau tidak mau harus diredefinisi dan disesuaikan dengan perubahan karakteristik dan perilaku users.
Di era revolusi informasi, memahami perubahan perilaku users yang sangat dinamis dan kemudian bagaimana men-design pengembangan konsep layanan perpustakaan yang benar-benar profesional harus diakui bukanlah tugas yang mudah. Untuk menarik minat users berkunjung dan memanfaatkan layanan yang tersedia di perpustakaan, tentu ada banyak hal yang harus dibenahi, dan hal itu tentu tidak adil jika hanya dibeban sebagai tanggungjawab pustakawan saja.
Di era digital, perlu kita sadari bahwa yang namanya perpustakaan sesungguhnya tidak lagi bisa mendudukkan diri atau mengembangkan peran semata sebagai lembaga sosial yang memiliki tugas mulia untuk ikut mencerdaskan bangsa melalui tawaran buku-buku koleksi dan berbagai bacaan yang dimiliki.
Ketika bangsa ini sedang dalam proses transisi membangun dan mensejahterakan warga masyarakatnya, mungkin benar bahwa peran perpustakaan tak ubahnya seperti Puskesmas, sekolah, atau lembaga sosial lain yang mengemban tugas untuk membantu melayani kebutuhan pengembangan literasi masyarakat. Namun, di era digital seperti sekarang ini, yang namanya perpustakaan mau tidak mau harus melakukan introspeksi dan mereposisi kembali peran dan kinerjanya karena yang dihadapi adalah perubahan perilaku users yang sudah jauh berbeda.
Untuk men-design perpustakaan secara profesional, yang dibutuhkan tak lagi cukup hanya mengandalkan pada pembenahan sistem layanan perpustakaan yang hanya mengedepankan penambahan jumlah koleksi dan keramahan sikap petugas perpustakaan. Namun, justru yang terpenting adalah bagaimana para pustakawan mampu mengembangkan metode sosio-teknikal yang lebih mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan manusia sebagai users yang merupakan bagian dari komunitas cyberspace.
Apa yang ditawarkan penulis dalam makalah ini sesungguhnya adalah sebuah perspektif baru yang berbeda, yang mungkin dapat menjadi referensi bagi para pustakawan untuk mengembangkan strategi baru yang lebih efektif dalam memahami dan menarik minat users. Dalam perspektif Cultural Studies, apa yang dilakukan dan bagaimana perilaku pengguna perpustakaan sesungguhnya perlu dipahami dan tak ubahnya sebagai aktivitas mengkonsumsi. Artinya, aktivitas yang dikembangkan users sebagai bagian dari generasi virtual dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya tidak selalu merupakan aktivitas yang didorong karena kebutuhan instrinsik users itu sendiri, melainkan lebih banyak didorong oleh kebutuhan untuk beraktualisasi diri sebagai bagian dari masyarakat konsumer yang dikendalikan oleh tekanan kekuatan kapitalisme sebagai pencipta industri budaya.
Dalam perspektif Cultural Studies, satu kata kunci penting yang perlu dipahami pustakawan jika ingin mengembangkan konsep layanan perpustakaan yang benar-benar profesional bagi masyarakat informasi tak pelak adalah gaya hidup. Secara konseptual, yang dimaksud gaya hidup di sini adalah adaptasi aktif individu terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain. Gaya hidup mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan dan pola-pola respon terhadap hidup, serta terutama perlengkapan untuk hidup. Cara berpakaian, cara kerja, konsumsi, termasuk aktivitas berselancar di dunia maya, , dan bagaimana individu mengisi kesehariannya merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup users yang notabene merupakan generasi virtual atau Generation-X.
Menurut Piliang, beberapa sifat umum dari gaya hidup adalah: (1) gaya hidup sebagai sebuah pola, yaitu sesuatu yang dilakukan atau tampil secara berulang-ulang, (2) yang mempunyai massa atau pengikut sehingga tidak ada gaya hidup yang sifatnya personal, dan (3) mempunyai daur hidup (life cicle), artinya ada masa kelahiran, tumbuh, puncak, surut dan mati. Gaya hidup dibentuk, diubah, dikembangkan sebagai hasil dari interaksi antara disposisi habitus dengan batas serta berbagai kemungkinan realitas. Dengan gaya hidup individu menjaga tindakan-tindakannya dalam batas dan kemungkinan tertentu. Berdasarkan pengalaman sendiri yang diperbandingkan dengan realitas sosial, individu memilih rangkaian tindakan dan penampilan mana yang menurutnya sesuai dan mana yang tidak sesuai untuk ditampilkan dalam ruang sosial (Adlin (ed.), 2006: 53-54).
Gaya hidup oleh berbagai ahli sering disebut merupakan ciri sebuah dunia modern atau dunia postmodern. Artinya, siapa pun yang hidup dalam masyarakat postmodern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain. Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan satu orang dengan yang lain (Chaney, 2004: 40). Istilah gaya hidup, baik dari sudut pandang individual maupun kolektif, mengandung pengertian bahwa gaya hidup sebagai cara hidup mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan dan pola-pola respons terhadap hidup, serta terutama perlengkapan untuk hidup. Cara sendiri bukan sesuatu yang alamiah, melainkan hal yang ditemukan, diadopsi atau diciptakan, dikembangkan dan digunakan untuk menampilkan tindakan agar mencapai tujuan tertentu. Untuk dapat dikuasai, cara harus diketahui, digunakan dan dibiasakan (Donny Gahral Adian, dalam: Adlin (ed.), 2006: 37).
Dalam kehidupan sehari-hari, menurut Piliang (dalam: Adlin, 2006: 71), selalu ada hubungan timbal-balik dan tidak dapat dipisahkan antara keberadaan citra (image) dan gaya hidup (life style). Gaya hidup adalah cara manusia memberikan makna pada dunia kehidupannya, membutuhkan medium dan ruang untuk mengekspresikan makna tersebut, yaitu ruang bahasa dan benda-benda, yang di dalamnya citra mempunyai peran yang sangat sentral. Di pihak lain, citra sebagai sebuah kategori di dalam relasi simbolik di antara manusia dan dunia objek, membutuhkan aktualisasi dirinya ke dalam berbagai dunia realitas, termasuk gaya hidup.
Seseorang pengguna perpustakaan yang memutuskan mencari informasi melalui dunia maya, dan karena itu tidak berkunjung ke gedung perpustakaan, apakah ia melakukan hal itu karena semata didorong karena persepsinya yang negatif terhadap koleksi perpustakaan yang dinilai selalu out of date, ataukah juga didorong keinginan untuk membuktikan bahwa ia bukanlah generasi yang ketinggalan jaman? Ketika seseorang mengkonsumsi sesuatu, bukan sekadar karena ingin membeli fungsi pertama atau fungsi inheren dari produk yang dibelinya itu, tetapi sebetulnya ia juga berkeinginan untuk membeli fungsi sosial yang lain yang disebut Adorno (1960) sebagai ersatz, nilai pakai kedua sebuah produk (lihat: Evers, 1988). Artinya, seseorang users yang memiliki blackberry, iPad, atau laptop dan kemudian mendownload informasi dari perangkat TI yang dimilikinya itu tidak selalu karena ia memang membutuhkan sebuah informasi secara cepat, tetapi bisa juga karena didorong tujuan-tujuan sosial yang lain: prestise, dan pemahaman users bahwa memang sepertilah seharusnya perilaku masyarakat postmodern.
Jean Baudrillard, mencirikan masyarakat konsumer di era postmodern sebagai masyarakat yang di dalamnya terjadi pergeseran logika dalam konsumsi, yaitu dari logika kebutuhan menuju logika hasrat, yaitu bagaimana konsumsi, termasuk perilaku mencari informasi menjadi pemenuhan akan tanda-tanda. Dengan kata lain orang tidak lagi mengkonsumsi nilai guna produk, tetapi nilai tandanya (Piliang, dalam: Adlin, 2006: 398).
Pertanyaannya sekarang: sudah seberapa jauh pustakawan di tanah air ini telah mempertimbangkan arti penting gaya hidup, cita-rasa, esartz, tanda-tanda ini dalam mendesign pengembangan konsep layanan perpustakaan di era digital? Pertanyaan ini penting untuk dikaji terlebih dahulu oleh para pustakawan, karena untuk mendesign dan mempromosikan arti penting serta peran perpustakaan niscaya tidak cukup hanya dengan mengandalkan pada cara-cara yang konvensional, apalagi tradisional.
Di era digital seperti sekarang ini, para pustakawan bukan hanya dituntut mengembangkan sikap dan kualitas layanan yang profesional serta memiliki koleksi informasi yang sesuai kebutuhan users, tetapi pustakawan juga dituntut mampu terus berkreasi, bersikap inovatif menciptakan berbagai daya tarik untuk merekayasa selera dan cara berpikir users agar mereka benar-benar terinternalized memandang berkunjung, menelusur informasi dan membaca adalah bagian dari gaya hidup yang membanggakan dan bahkan menimbulkan kerinduan ketika hal itu tidak dilakukan.
Belajar dari strategi yang selama ini dikembangkan kekuatan industri budaya yang kapitalistik, di era digital seorang pustakawan jika tidak ingin ketinggalan jaman dan ditinggalkan users, maka mereka harus mampu menciptakan dan mengemas strategi pemasaran yang menimbulkan ketergantungan dan bahkan perilaku yang adiktif dari users layaknya orang yang kebingungan ketika handphone mereka ketinggalan atau hilang.