Sejarah Wanita : Dari Sejarah Androsentris Ke Sejarah Androgynous
A. Perempuan dalam Historiografi Indonesia
Dalam perkembangan penulisan sejarah (historiografi) modern di Indonesia, hingga saat ini belum ada penulis yang secara khusus menulis sejarah perempuan. Meskipun ada biografi tentang tokoh-tokoh perempuan, pada umumnya tidak ditulis oleh sejarawan. Sebagai perbandingan, di Amerika, sejak tahun 1980-an kajian sejarah perempuan sudah merupakan spesialisasi tersendiri sebagai bagian dari sejarah sosial (Kuntowijoyo, 1988) Tulisan-tulisan sosiologi yang membicarakan perempuan sebagai penyumbang dalam sektor-sektor sosial memang sudah cukup banyak. Bahkan, akhir-akhir ini di beberapa universitas sudah ada Pusat Kajian Wanita (bukan: perempuan). Sejarah perempuan yang dikaitkan dengan masalah gender, yang dalam dua dekade terakhir ini banyak dibicarakan orang di Indonesia, baru menyentuh kulit luarnya saja.
Mengapa perempuan jarang sekali dijadikan tokoh sentral dalam historiografi (penulisan sejarah)? Bila melihat perkembangan historiografi di dunia, juga di Indonesia, dapat dikatakan bahwa sejarah adalah milik kaum laki-laki. Tema-tema sentral dalam sejarah dipenuhi dengan tema sejarah politik dan militer yang erat kaitannya dengan masalah kekuasaan dan keperkasaan, yang dapat dikatakan milik kaum laki-laki (Kuntowijoyo, 1988). Corak sejarah yang androsentris seperti ini menempatkan perempuan hanya sebagai figuran. Keadaan ini memang tidak adil karena sesungguhnya perempuan dapat dipandang sebagai pribadi yang mandiri, yang bisa menggerakkan sejarah.
Selain itu, tulisan sejarah pada masa lalu pada umumnya bersifat elitis, hanya membicarakan orang besar, membicarakan kelompok penguasa. Jadi, tidak ada tempat bagi rakyat kecil. Sumber sejarah yang bisa mengungkapkan tentang peran perempuan Indonesia pada masa lalu, adalah historiografi tradisional, itu pun hanya menyangkut perempuan kalangan elite dan sebagai tulisan yang bersifat androsentris, historiografi tradisional itu pun hanya sedikit saja menyinggung tentang kaum perempuan. Apa boleh buat, mari kita lihat bagaimana perempuan Indonesia digambarkan dalam historiografi tradisional.
Historiografi tradisional adalah tulisan sejarah yang dibuat berdasarkan tradisi yang sudah berlangsung selama berabad-abad dan ditulis oleh para pujangga, para empu, atau penulis-penulis khusus yang ada di istana-istana atau pendopo-pendopo kabupaten. Historiografi tradisional ini dikenal dengan sebutan wawacan, babad, sejarah, serat, lontarak, hikayat, tambo, dll. Historiografi tradisional dapat dibedakan dengan historiografi modern karena dalam historiografi tradisional, selain fakta sejarah, juga dimuat unsur-unsur sastra dan mitos. Seringkali kebenaran historis tidak dibedakan dari kebenaran mitis (Ricklefs, 1987). Meskipun demikian, historiografi tradisional sangat penting artinya bagi sejarah karena di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya masyarakat yang menghasilkan karya tersebut (Kartodirdjo, 1988). Oleh karena itu, dari historiografi tradisional yang banyak memuat aspek non-historis sekalipun, kita dapat menangkap bagaimana citra perempuan Indonesia dalam sejarah masa lalu.
B. Peran Perempuan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Peran perempuan Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sangat menarik untuk dicermati. Dalam dunia ekonomi, kaum perempuan Indonesia sesungguhnya sudah memiliki kesetaraan dengan kaum laki-laki sejak dulu. Lihat saja bagaimana perempuan lebih dominan di pasar Laweyan di Solo. Di Sumatra Barat, yang menganut garis matriarkhat, sejak dulu kaum perempuan menguasai urusan harta adat. Di Bali, tenaga kerja perempuan bukan hanya menguasai pekerjaan halus namun juga pekerjaan kasar, seperti tukang batu. Jangan lupa juga bagaimana Ratu Kalinyamat menguasai galangan kapal di Jepara pada abad ke-16. Bahkan sekarang, tidak terhitung lagi perempuan yang menduduki jabatan tinggi di dunia bisnis. Bukankah Direktur Utama Pertamina sekarang juga adalah seorang perempuan?
Di dunia pendidikan, jumlah sarjana perempuan bukan persoalan, malah yang duduk menjadi guru besar balatak (istilah Sunda yang menunjuk pada jumlah banyak dan tersebar). Perubahan sosial yang deras terjadi pada pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20. Seiring dengan bergulirnya roda sejarah, status sosial kaum perempuan perlahan-lahan berubah. Perubahan terjadi antara lain karena adanya tokoh-tokoh penggerak emansipasi yang membuka jalan bagi pendidikan kaum wanita. Tokoh-tokoh penggerak emansipasi ini antara lain Raden Dewi Sartika (dari Bandung), R.A. Kartini (dari Jepara), Rohana Kudus (dari Kotogadang), Rahmah El-Yunusiyah (dari Padang Panjang), R. Ayu Lasminingrat (dari Garut), serta R. Siti Jenab (dari Cianjur). Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, keadaan berubah secara drastis. Kebebasan terbuka lebar bagi bangsa Indonesia untuk berkiprah di segala bidang. Jelas pula perubahan yang terjadi. Sekarang, wanita sudah setara dengan pria untuk mendapatkan hak atas pendidikan. Namun, di sisi lain, masih banyak wanita yang sarjana yang terpaksa untuk mengikuti ke kota mana suami pindah tugas (jarang ada suami yang ikut ke mana isteri pindah tugas).
Faktanya ternyata berbeda ketika kita berbicara soal peran perempuan Indonesia dalam dunia politik. Yang dimaksud dengan urusan politik di sini adalah urusan bagaimana memperoleh kekuasaan dan bagaimana menyelenggarakan kekuasaan/pemerintahan. Kita bisa memperhatikan data ini: Jumlah menteri perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 (2009-2014) ada lima orang dari 34 menteri (dan baru bulan ini dikurangi satu orang), sedangkan pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1 (2004-2009), hanya ada empat orang dari 36 menteri (indocashregister.com/.../daftar-menteri-kabinet-indonesia-bersatu-jilid-2-pengumuman-resmi/). Jadi, semula ada kenaikan sebesar 25%, tetapi setelah Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan diganti oleh Agus Martowardoyo pada tanggal 20 Mei 2010, berarti persentase ini menurun kembali.
Sementara itu, anggota DPR perempuan periode 2009-2014, ada 101 orang dari 560 anggota DPR, atau 18,03%, sedangkan pada periode 2004-2009, anggota DPR perempuan hanya 62 orang dari 550 orang, jadi hanya 11,6 %. Berarti ada peningkatan sebesar enam persen dibanding periode sebelumnya. Bandingkan dengan periode 1992-1997, terdapat 60 orang anggota perempuan atau 12,15% dan periode 1999-2004 dengan 44 orang anggota perempuan atau 8,80 % (Prastya, 2010 dalam gagasanhukum.wordpress.com/.../implikasi-putusan-mk-terhadap-keterwakilan-perempuan/, 22 Mei 2010). Sementara itu, gubernur perempuan hingga hari ini hanya ada satu orang (yaitu gubernur Banten) dari 33 orang gubernur yang ada di Indonesia atau hanya 3%. Sementara itu, kaum perempuan yang menjadi bupati/walikota hanya delapan orang dari 440 kepala daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia atau 1,8 persen; dan yang menjadi wakil bupati/walikota, hanya 18 orang dari 440 wakil kepala daerah di seluruh Indonesia.
Masih terasa ada ganjalan ketika seorang wanita menjadi menteri sementara suaminya “bukan siapa-siapa”. Keadaan seperti itu “kurang enak dirasakan, kurang bisa diterima”. Hal ini menunjukkan bahwa cara pandang masyarakat kita masih androgynus (menganggap dunia adalah milik laki-laki). Sekarang itu sebenarnya sudah bukan zamannya lagi bicara soal emansipasi antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Namun kenyataannya, di kalangan masyarakat kita sekarang masih saja terdengar ungkapan yang menyebutkan bahwa perempuan itu hanya konco wingking, swargo nunut neroko katut (bahasa Jawa) atau dalam ungkapan bahasa Sunda awewe mah dulang tinande, secara ironis juga masih ada yang mengatakan bahwa perempuan itu kodratnya hanya “di dapur, di sumur, di kasur”. Adanya ungkapan-ungkapan seperti ini, secara implisit menunjukkan betapa status sosial kaum perempuan belum bisa meningkat secara ajeg. Ada lagi sebuah kasus yang terasa ironis, pada tahun 2004, ada tujuh orang perempuan yang mendaftarkan diri untuk menjadi walikota Bandung. Ini menggembirakan, meski tak usah dipertanyakan mengenai kesempatan mereka untuk bisa menjadi walikota. Ada orang yang sinis berkata “ah, itu sekadar meramaikan”. Tentu saja ucapan ini tidak menggembirakan, dan menyisakan pertanyaan yang harus dipikirkan jawabannya.
Dengan memperhatikan capaian yang diperoleh kaum perempuan Indonesia di bidang politik dewasa ini, memang masih belum mencapai sasaran yaitu 30 % dari yang ditargetkan. Mengapa begitu sulit untuk meningkatkan peran perempuan dalam bidang politik di Indonesia? Apakah benar keterlibatan perempuan dalam dunia pemerintahan/dunia politik, sekadar “meramaikan”? Jelas sekali bahwa pandangan semacam ini sangat kontraproduktif bila dikaitkan dengan MDGs di atas. Namun, mengapa masih harus terjadi? Bagaimana pula cara mengatasinya? Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita menengok ke masa lalu.
C. Perempuan dalam Sejarah Politik di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah di beberapa wilayah di Indonesia, kita mengenal beberapa tokoh perempuan yang menduduki posisi tinggi. Dalam sejarah Aceh misalnya, ada empat orang yang pernah menjadi Sultanah (sultan perempuan). Menurut tradisi Kerajaan Aceh, yang berhak menjadi raja/sultan adalah anak laki-laki tertua dari permaisuri, bila tidak ada maka bolehlah kaum perempuan. Jadi, tetap saja perempuan menempati prioritas setelah kaum laki-laki. Ketika Sultan Iskandar Thani meninggal dunia pada tahun 1641, dengan tidak meninggalkan anak, maka isterinya diangkat sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultanah Syafiatuddin Syah. Penobatan ini bukannya tanpa perdebatan lebih dahulu di kalangan ulama. Barulah setelah Tengku Abdurrauf dari Singkel, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh waktu itu, mengemukakan pendapatnya bahwa urusan agama harus dipisahkan dari urusan pemerintahan, maka penobatan pun bisa dilangsungkan dengan selamat. Sultanah Syafiatuddin Syah berhasil bertahan memerintah hingga wafatnya pada tahun 1675. Ia kemudian digantikan berturut-turut oleh tiga orang raja perempuan yaitu Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1677-1688), dan Ratu Kamalat Zainatuddin Syah (1688-1699).
Selain para sultanah, tidak boleh dilupakan adalah seorang wanita Aceh yang gagah berani yaitu Keumalahayati, yang menjadi Laksamana Kerajaan Aceh (Admiral) yang menjadi salah seorang pemimpin armada laut pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayatsyah (1589-1604). Seorang wanita Aceh terkemuka lainnya, yang berjuang melawan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien, menduduki peran penting yaitu memimpin perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda, setelah suaminya, Teuku Umar, gugur ditembak Belanda. Cut Nyak Dhien yang dilahirkan tahun 1848 itu, tidak mengenal kata menyerah, ia berjuang dari jurang ke jurang, dari hutan ke hutan, bahkan setelah ia dibuang ke Sumedang, ia tetap berjuang dan wafat di pembuangannya. Pejuang lainnya dalah Cut Nyak Meutia, yang lahir pada tahun 1870, dan gugur ditembak Belanda pada tahun 1910 setelah memimpin perjuangan bersenjata yang sangat keras (Sofyan et al., 1994: 28-96).
Jangan lupa pula dalam sejarah Jawa, disebutkan tentang adanya Ratu Sima, seorang Raja dari Kerajaan Kalingga abad ke-7 yang dikenal sebagai raja yang adil bijaksana. Kemudian seorang ratu yang terkenal dari Majapahit yaitu Sri Gitarja bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350), ibunda Raja Hayam Wuruk dan Ratu Suhita yang memerintah antara 1429-1447 (Soekmono, 1995: 36-37,.70-71). Orang juga tidak pernah melupakan seorang Ratu dari Jepara, yang telah disebut di atas yaitu Ratu Kalinyamat, yang bukan saja menduduki jabatan politik tertinggi di Jepara pada abad ke-16, tetapi ia juga adalah seorang ratu yang berani menggempur Portugis di Malaka. Bahkan, ia juga mempersiapkan kapal-kapal penggempur yang dibuat di galangan kapal miliknya yang sangat besar (De Graaf, 1985: 127-131).
Dalam perjalanan sejarah Kesultanan Banten, pernah juga seorang perempuan menduduki jabatan sebagai Mangkubumi Banten yaitu Ratu Syarifah Fatimah, terlepas dari citranya yang kurang baik. Ia menduduki jabatan ini pada tahun 1748, dengan terlebih dahulu menyingkirkan para pewaris yang sah atas bantuan VOC (Lubis, 2004:71-72).
Di Sumedang, pada abad ke-18 pernah ada seorang perempuan yang menjadi bupati dan dikenal sebagai Dalem Isteri Raja Ningrat (1744-1759). Puteri sulung Pangeran Kusumahdinata ini diangkat menjadi bupati karena ketika ayahandanya meninggal, ketiga adik laki-lakinya belum dewasa, cucu sulungnya yang laki-laki juga masih kecil. Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar untuk memerintah sebuah kabupaten yang wilayahnya cukup luas. Sebenarnya juga, leluhur Bupati Isteri ini ada yang pernah menjadi ratu di Kerajaan Sumedanglarang (bawahan Kerajaan Sunda), yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan yang kemudian digantikan oleh puterinya yaitu Nyi Mas Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun. Jadi, setidak-tidaknya di Sumedang pernah ada dua orang Ratu (Raja Puteri) dan seorang bupati perempuan. Ini menunjukkan bahwa ada perempuan (kebetulan dari kalangan atas) Sunda yang memiliki kedudukan sejajar dengan pria, meski tentu ini hanya bersifat kasuistis (Lubis et al., 2008). Jangan lupa pula bahwa dalam mitologi Sunda dikenal tokoh Sunan Ambu, tokoh utama di kahyangan, yang memiliki para pembantu, para bujangga, yang jelas-jelas laki-laki. Apabila ada permasalahan di Buana Pancatengah, maka para bujangga ini diutus ke bumi untuk menyelesaikan masalah. Ada juga pembantunya yang perempuan yaitu Pohaci (Sanghyang Sri), yang kadang dikenal sebagai Dewi Sri, dewi padi. Apabila menghadapi persoalan di Buana Pancatengah, maka para bujangga mengadukan persoalan kepada Sunan Ambu, pemilik solusi yang segala bisa. Setidaknya Sunan Ambu adalah simbolisasi “indung” (ibu) yang memiliki kedudukan sangat terhormat dalam tatanan nilai masyarakat Sunda lama. Kepadanyalah segala persoalan diadukan (Sumardjo, 2003:234-243).
Demikianlah sekelumit peran perempuan dalam dunia politik Indonesia masa lalu. Namun, di balik gambaran status sosial yang tinggi di dunia politik tradisional itu, kita juga akan mendapat gambaran sebaliknya. Citra perempuan sebagai mahluk kelas dua, konco wingking, dapat kita kenali dari bebagai historiografi tradisional yang ada di Indonesia. Penulis mengambil contoh dari historiografi tradisional yang ada di Tatar Sunda, yang sudah penulis dalami selama ini.
Status sosial perempuan Sunda pada abad ke-19 antara lain tersirat dalam salah satu historiografi tradisional yang berjudul Sajarah Sukapura. Karya yang ditulis pada tahun 1886 oleh Raden Kanduruan Kertinagara (1835-1915) alias Haji Abdullah Soleh, mantan Wedana Manonjaya ini berisi kisah para leluhur Sukapura, ceritera Dipati Ukur, dan pemerintahan para bupati Sukapura sejak yang pertama hingga bupati ke-12, yaitu Bupati R.A.A Wirahadiningrat (1875-1906).
Ada bagian yang menarik dalam karya ini yang berkaitan dengan perempuan, yaitu pada bagian VIII. Pada bagian ini dikisahkan tentang tiga orang anak buah Dipati Ukur, yang bernama Wirawangsa, Samahita, dan Astramanggala. Ketiga orang ini dianugerahi kebebasan dari tugas dan kewajiban oleh Sultan Mataram, karena mereka dianggap berjasa dalam penangkapan Dipati Ukur yang dianggap berkhianat kepada Sultan Mataram. Akan tetapi ketiganya merasa tidak puas atas anugerah itu. Lalu ketiga orang itu sepakat untuk mempersembahkan tiga orang gadis cantik kepada Sultan Mataram. Ternyata sultan merasa senang atas persembahan itu, dan sebagai imbalan atas kesetiaan mereka, ketiganya kemudian diangkat menjadi mantri agung (setingkat bupati). Jelaslah bahwa di sini perempuan dianggap sama dengan benda yang bisa dipersembahkan sebagai upeti .
Kaum menak (pria) hingga perempatan ketiga abad ke-19, mempunyai suatu tradisi yang disebut nyanggrah. Bila menginginkan seekor kuda milik rakyat (somah), sang menak cukup menggunting bulu surai kuda tersebut, maka kuda tersebut sudah beralih pemilik. Bila mereka mengadakan perjalanan ke desa (turne), kemudian melihat seorang gadis cantik, cukup baginya mengatakan “Anak gadis siapa itu?” maka sejak saat itu si gadis sudah bisa dipastikan akan menjadi miliknya. Hal ini mencerminkan betapa besar kekuasaan kaum menak dahulu, sekaligus mencerminkan betapa rendahnya kedudukan perempuan yang dianggap sama dengan kuda atau ternak lainnya. Ada kisah tragis berkaitan dengan kebiasaan nyanggrah ini. Bupati Cianjur, yang kemudian dikenal sebagai Dalem Dicondre, mengalami nasib buruk karena ia menginginkan seorang gadis desa yang cantik tapi sudah punya tunangan. Tunangan si gadis, tidak mau menerima perlakuan dalem-nya, dan ia nekad membunuh sang dalem dengan menggunakan condre (sejenis badik) hingga tewas. Akhirnya bupati tersebut dikenal sebagai Dalem Dicondre. Kisah ini bisa dibaca dalam Sajarah Cikundul.
Dalam Wawacan Carios Munada, dikisahkan tentang salah seorang Bupati Bandung pada abad ke-19 yang memiliki begitu banyak selir. Konon, jumlahnya sampai ratusan orang. Asisten residen Bandung waktu itu meminta kepada bupati agar salah seorang selirnya dipinjamkan untuk tinggal bersamanya. Tanpa susah-payah, sang bupati meminjamkan salah seorang selirnya. Ketika si selir itu hamil, mudah saja sang asisten residen menyerahkan kembali si selir ke kabupaten. Tidak pula menjadi masalah ketika si anak lahir dengan wajah indo, ia dianggap anak oleh bupati tersebut. Dalam kasus ini, sangat jelas betapa seorang perempuan di-alung-boyong (dilempar ke sana ke mari) bagai mainan belaka.
Kisah semacam ini juga bisa dibaca dalam Wawacan Sajarah Galuh. Dalam historiografi tradisional, yang salinannya diperkirakan dibuat antara tahun 1889-1894 ini, dikisahkan tentang Nyi Tanduran Gagang, seorang puteri keturunan Pajajaran yang mengalami nasib tragis. Mula-mula ia dinikahi Sultan Cirebon, tetapi tidak lama kemudian diceraikan karena bagian badan sang puteri mengeluarkan api. Tak lama kemudian ia dinikahi Sultan Banten, dan perkawinan berakhir segera karena alasan yang sama. Akhirnya sang puteri dinikahi Sultan Mataram. Pernikahan pun berakhir tidak lama kemudian. Ketiga Sultan sepakat menjual Nyi Tanduran Gagang kepada pemerintah Inggris (pada bagian lain kepada pemerintah Belanda). Akhirnya pemerintah asing itu bersedia menukar Nyi Tanduran Gagang dengan tiga pucuk meriam. Tiap sultan mendapat sepucuk meriam. Meskipun kisah ini memiliki latar belakang politis, tetapi secara tersurat perempuan digambarkan sebagai piala bergilir, yang dengan mudah di-alung-boyong.
Dalam carita-carita pantun ataupun dalam historiografi tradisional seperti Babad Pajajaran, Cariosan Prabu Siliwangi, dsb, diceritakan bahwa Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang legendaris itu, beristri 151 orang. Salah seorang isteri kesayangannya adalah Nyai Rajamantri. Dalam hal ini, tanpa melihat apakah jumlah 151 orang itu faktual atau tidak, setidak-tidaknya menyiratkan bahwa perempuan hanya dianggap komoditi politik atau barang jaminan karena perkawinan Prabu Siliwangi dengan kebanyakan perempuan ini lebih bersifat politik yaitu untuk menjaga loyalitas elit-elit dari wilayah yang dikuasainya (Lubis, 1998:232).
Mengapa kedudukan perempuan seperti digambarkan dalam historiografi tradisional itu begitu rendah, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat? Apakah tidak ada pilihan bagi mereka? Tidak mudah menjawabnya, karena keadaan ini merupakan masalah struktural. Salah satu contoh, orang tua perempuan somah sangat menginginkan anak gadisnya dijadikan selir oleh kaum menak (tidak peduli apakah dinikahi atau tidak nantinya), sebab keturunannya nanti bisa menjadi menak, sehingga status sosial mereka meningkat.
D. Perempuan Tidak Punya Pilihan
Dalam sejarah Sunda, kaum menak pria, terutama para bupati, biasanya beristeri dan berselir banyak. Para isteri ataupun para selir, selain berasal dari kalangan menak, banyak juga yang berasal dari kalangan santana, bahkan dari kalangan somah. Garwa padmi (isteri yang kedudukannya setara dengan permaisuri) seorang bupati biasanya berasal dari kalangan menak tinggi (umumnya puteri bupati), sedangkan isteri-isteri lainnya bisa dari kalangan bukan menak tinggi, sedangkan selir, banyak yang berasal dari kalangan somah. Misalnya saja, Bupati Sumedang yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sugih, memiliki empat orang isteri (tiga orang di antaranya puteri bupati) dan 27 selir, dan hanya seorang selir saja yang berasal dari kalangan menak, sisanya berasal dari kalangan yang berstatus sosial lebih rendah (Lubis, 1998: 226).
Kaum perempuan menak dapat dikatakan lebih beruntung daripada kaum perempuan santana ataupun somah. Misalnya saja ketika seorang perempuan somah dinikahi seorang Bupati Garut, pernikahan dilangsungkan diam-diam, tanpa pesta, cukup dengan membagi-bagi berekat, lain dengan pesta pernikahan seorang puteri bupati Galuh yang diselenggarakan selama 40 hari 40 malam dengan segala kemewahan dan kemegahannya. Seorang perempuan bukan menak dengan mudah diceraikan tanpa kesalahan apapun, selain kesalahan karena ia menyandang status sosial yang lebih rendah dari menak. Ada sebuah kasus yang terkenal pada awal abad ke-20 di Bandung. Aom Ogog, putera Bupati Bandung, yang akan dipromosikan menjadi bupati, dipaksa oleh keluarganya untuk menceraikan isteri tercintanya, Oma, karena sang isteri bukan puteri seorang dalem. Kisah tragis ini digambarkan dalam sebuah tembang berjudul Ceurik Oma yang menyayat hati. Lain halnya ketika garwa padmi bupati Garut minta cerai (bukan diceraikan), karena tidak setuju suaminya menikah lagi. Ketika ke luar kabupaten, harta-benda berlimpah didapatkannya (Lubis, 1998: 231-237).
Demikianlah gambaran betapa rendah kedudukan perempuan Sunda dalam masyarakat tradisional. Meskipun gambaran di atas menyangkut perempuan bangsawan, tetapi kedudukan perempuan dari kalangan rakyat biasa agaknya tidak akan jauh dari itu. Dan kedudukan kaum perempuan etnis lain di Indonesia, juga tidak akan jauh berbeda dari kedudukan kaum perempuan Sunda.
Stigma tentang perempuan sebagai warga kelas dua itu, yang ditanamkan sejak beraba-abad lalu, ternyata cukup mengakar dan belum bisa diatasi oleh gerakan emansipasi yang sudah dicanangkan seabad yang lalu. Itulah jawaban mengapa hingga kini peran perempuan di dunia politik sekarang ini masih belum mencapai target.