Sekuncup Ide Operasional Pendidikan Kewiraswastaan
1. Analisis Situasi
Krisis yang terjadi di negara kita , telah mengakibatkan banyak industri yang menghentikan proses produksinya, sehingga mengakibatkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang dampak selanjutnya mengakibatkan tingginya tingkat pengangguran. Peningkatan pengangguran mengakibatkan makin maraknya tindak kejahatan, kriminalitas, pelanggaran norma dan kesusilaan sehingga akan menganggu stabilitas ekonomi, politik, keamanan maupun ketentraman masyarakat pada umumnya.
Untuk mengantisipasi dampak terjadinya krisis ekonomi, salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah perlu ditumbuhkembangkan budaya kewirausahaan di seluruh lapisan masyarakat termasuk di lingkungan pendidikan formal maupun non formal termasuk pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Pemasyarakatan dan pembudayaan kewirausahaan ini sangat penting, mengingat kenyataan bahwa pertumbuhan dan perkembangan pengusaha-pengusaha Indonesia atas dasar jiwa kewirausahaan bersifat turun temurun dan bukan melalui pendidikan formal. Selain itu, hanya sekitar 2 % pengusaha Indonesia yang berpendidikan diploma atau politeknik dan sebagian besar adalah lulusan SD. Berbagai kebijaksanaan maupun kerjasama antar departemen perlu dilakukan guna mengembangkan jiwa wirausaha maupun kegiatan yang produktif.
Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa lulusan perguruan tinggi ternyata jiwa wirausahanya masih rendah. Hal tersebut antara lain disebabkan karena pada usia mahasiswa karakternya sudah mulai terbentuk, sehingga penanaman jiwa wirausaha mengalami kesulitan. Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu dikembangkan pendidikan kewirausahaan mulai dari tingkat dasar. Pendidikan kewirausahaan dari tingkat dasar bisa dilakukan melalui pendidikan dalam keluarga, karena keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam mendasari pendidikan anak. Oleh karena itu pada langkah awal akan dilakukan pelatihan tentang bagaimana cara mendidik anak dalam keluarga yang berwawasan kewirausahaan.
Selama ini di Kelompok Bermain Cendekia belum pernah ada pelatihan tentang bagaimana cara mendidik anak dalam keluarga yang berwawasan kewirausahaan, sehingga pelatihan ini dipandang perlu diadakan bagi orang tua siswa dan guru Kelompok Bermain Cendekia dan sekitarnya.
Pelatihan ini bertujuan untuk 1) Menambah wawasan kepada orang tua agar dapat mengintegrasikan ciri-ciri wirausaha dalam pendidikan anak di dalam keluarga. 2)Menumbuhkan sikap dan perilaku wirausaha pada anak sejak dini.
a. Pengertian dan Ciri-ciri Wirausaha
Entrepreneur sering diartikan dengan istilah wiraswasta atau wirausaha. Menurut Wasty Soemanto (1993), wiraswasta adalah keberanian, keutamaan serta kepercayaan dalam memenuhi kebutuhan serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri. Dengan demikian, pengertian wiraswasta bukan hanya bersifat partikelir saja, melainkan memiliki sifat-sifat keberanian, keuletan, dan ketabahan dalam melaksanakan tugas-tugas dengan menggunakan kekuatan diri sendiri.
Fadel Muhammad (1992) mengemukakan bahwa ciri seorang wirausaha adalah orang yang memiliki jiwa kepemimpinan, daya inovasi, sikap terhadap perubahan, working smart, visi ke depan, dan berani mengambil risiko. Meredith (1996) juga memberikan ciri-ciri wirausaha (entrepeneur) sebagai orang yang (1) percaya diri, (2) berorientasi tugas dan hasil, (3) berani mengambil risiko, (4) berjiwa kepemimpinan, (5) berorientasi ke depan, dan (6) keorisinal. Ciri-ciri lain kewirausahaan ditambahkan oleh Schumpeter yakni selalu memiliki prakarsa otoritas, mempunyai intuisi yang kuat, mempunyai kebebasan mental, mempunyai kompetensi inti (core competencies), dan pemberontak sosial.
Keseluruhan ciri-ciri wirausaha yang disebutkan di atas tidak semuanya harus dimiliki secara lengkap tetapi kompetensi inti yang perlu diperoleh dalam pendidikan hanyalah beberapa di antaranya. Dengan demikian, untuk menjadi seorang usahawan tidak terbatas pada bidang-bidang keahlian tertentu, melainkan pendidikan yang berorientasi kewirausahaan dapat diterapkan pada semua bidang ilmu atau teknologi atau kesenian. Dengan mengambil asumsi bahwa pendidikan menengah merupakan bagian dari perencanaan karir maka kadar nilai kewirausahaan seorang peserta didik yang dapat ditumbuhkembangkan selama proses pembelajaran secara potensial akan dibatasi oleh jangkar karirnya.
Proses pembelajaran di sekolah menengah sangat mungkin akan mengubah jangkar karir yang telah dimiliki seseorang dan membentuk jangkar karir yang baru. Untuk menumbuhkan jangkar karir bagi siswa dapat dikembangkan melalui GBPP mata pelajaran. Selain itu diperlukan suatu proses khusus katalisator pembentukan kepribadian yang menyatu dengan kurikulum SMU. Proses yang dapat ditawarkan adalah pengembangan individu berjenjang yang dimulai dari pengembangan kepedulian, pemahaman masalah yang senyatanya ada di masyarakat, knowledge dan keterampilan, penerapan, dan penginstitusian.
Dalam rangka untuk menanamkan jiwa entrepreneurship kepada siswa maka perlu dirancang metode pembelajaran yang di dalamnya terintegrasi wawasan entrepreneurship. Menurut Suprodjo Pusposutardjo (1999) bentuk perubahan rancangan pembelajaran antara lain adalah:
- Mengubah isi dan bentuk susunan penyampaian materi ajar menjadi lebih aktual dan kontekstual dalam arti mencirikan posisinya dalam suatu bentuk wirausaha.
- Mengembangkan proses pembelajaran kelompok dengan pemikiran-pemikiran pemecahan masalah yang terbuka, dialogis, rumusan solusi alternatif.
- Memberikan informasi mutakhir tentang sense of the business dari kewirausahaan yang gayut dengan bidang ekonomi.
Untuk mengimplementasikan rancangan pembelajaran yang terintegrasi muatan dan wawasan entrepreneurship dilakukan dengan menggunakan pendekatan langsung, dalam arti rancangan tersebut diterapkan untuk memperoleh kebermaknaannya. Untuk itu langkah-langkah implementasi tersebut dikembangkan sesuai model penelitian tindakan kelas sebagaimana yang di sarankan Kemmis dan McTaggart. Proses penelitian ini dilakukan secara cyclich dengan memperhatikan plan, implementation, monitoring, and reflection (Kemmis & McTaggart, 1988).
Dengan model siklus tersebut tahap-tahap di atas dikembangkan secara terus menerus sampai diperoleh model pembelajaran yang paling efektif dan paling menjamin akan keberhasilannya. Secara operasional penelitian tindakan ini dibagi ke dalam dua siklus yang di dalamnya terkandung siklus-siklus kecil. Setiap siklus kecil dilakukan proses perencanaan, implementasi, monitoring, dan refleksi tindakan. Dengan cara ini diharapkan tindakan yang dilakukan semakin lama semakin baik dan akhirnya ditemukan tindakan yang paling tepat berupa model rencana pembelajaran yang paling efektif.
Berdasarkan tindakan yang dipilih dan argumentasi teoretis di atas dapat dirumuskan hipotesis tindakan bahwa dengan penerapan rancangan pembelajaran yang terintegrasi wawasan entrepreneurship dapat menumbuhkan jiwa entrepreneurship pada diri siswa.
Meredith dalam Suprojo Pusposutardjo(1999), memberikan ciri-ciri seseorang yang memiliki jiwa wirausaha (entrepeneur) sebagai orang yang (1) percaya diri, (2) berorientasi tugas dan hasil, (3) berani mengambil risiko, (4) berjiwa kepemimpinan, (5) berorientasi ke depan, dan (6) keorisinal.
Tabel Ciri-Ciri wirausaha
Percaya diri
|
1.
Bekerja penuh
keyakinan
2. Tidak berketergantungan dalam melakukan
pekerjaan
3. Individualistis dan optimis
|
Berorientasi pada tugas dan hasil
|
1.
Memenuhi kebutuhan
akan prestasi
2. Orientasi pekerjaan berupa laba, tekun dan
tabah, tekad kerja keras.
3. Berinisiatif
|
Pengambil
risiko
|
1. Berani dan mampu mengambil risiko
kerja
2. Menyukai pekerjaan yang menantang
|
Kepemipinan
|
1.
Bertingkah laku
sebagai pemimpin yang terbuka thd saran dan kritik.
2.
Mudah bergaul dan bekerjasama dengan orang lain
|
Berfikir ke arah yang asli
|
1.
Kreatif dan
Inovatif
2. Luwes dalam melaksanakan pekerjaan
3. Mempunyai banyak sumberdaya
4.
Serba bisa dan berpengetahuan luas
|
Keorisinilan
|
1.
Berfikiran menatap
ke depan
2.
Perspektif
|
Setelah memahami ciri-ciri manusia wirausaha, langkah selanjutnya yang perlu dipelajari adalah bagaimana cara menanamkan jiwa wirausaha. Satu-satunya jawaban atas pertanyaan ini adalah dengan pendidikan. Strategi pendidikan wirausaha yang perlu ditempuh hendaknya bertolak dari kebijakan pendidikan nasional, karena selaras dengan makna pendidikan kewirausahaan. Dalam hal ini kita harus ingat asas serta tanggung jawab pelaksanaan pendidikan kita. Asas dan tangung jawab pendidikan nasional itulah yang menentukan strategi pendidikan kewirausahawan. Oleh karena pendidikan manusia wirausaha menjadi wujud asas pendidikan kita, maka prinsip-prinsip berikut dijadikan strategi kelangsungan pendidikan manusia, yaitu: Sumber: Meredith dalam Suprojo Pusposutardjo (1999)
(1) Pendidikan manusia wirausaha berlangsung seumur hidup di mana dan kapan saja, sehingga peranan subyek manusia untuk belajar dan mendidik diri sendiri secara wajar merupakan kewajiban kodrati manusia.
(2) Sebagai realisasi dari prinsip di atas, maka lingkungan pelaksanaan pendidikan manusia wirausaha meliputi:
(a) Lingkungan keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama untuk mendidik manusia wirausaha.
(b) Lingkungan sekolah sebagai lingkungan pendidikan formal untuk melengkapi bekal pribadi manusia wirausaha.
(c) Lingkungan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan non – formal, yang mewujudkan perkembangan pribadi yang wajar dalam situasi sosial.
(3) Oleh karena lingkungan pendidikan manusia wirausaha meliputi tiga lingkungan seperti dikemukakan di atas, maka lembaga penanggung jawab pendidikan manusia wirausaha terdiri dari:
(a) Keluarga sebagai penanggung jawab pertama dan utama pelaksanaan pendidikan manusia wirausaha.
(b) Sekolah sebagai penanggung jawab pendidikan manusia wirausaha
(c) Perkumpulan-perkumpulan masyarakat sebagai penanggung jawab pula kelangsungan pendidikan manusia wirausaha.
Dengan demikian tiga lingkungan dan lembaga di atas diharapkan dapat memegang peranan dan tanggung jawab langsung atas pendidikan manusia wirausaha.
b. Pendidikan Kewirausahaan
Untuk melihat bagaimana mempersiapkan manusia wirausaha di lingkungan sekolah ada beberap hal yang perlu dipaparkan adalah:
1. Peranan Sekolah dalam mempersiapkan Manusia-Manusia Wirausaha.
Hakikat persiapan manusia wirausaha adalah dalam segi penempaan sikap mental wirausaha. Dengan perkataan lain, persiapan manusia wirausaha terletak pada penempaan semua daya kekuatan pribadi manusia itu untuk menjadikannya dinamis dan kreatif, disamping mampu berusaha untuk hidup maju dan berprestasi. Manusia yang semacam itu yang menunjukkan ciri-ciri wirausaha. Seperti telah dikemukakan pada paparan diatas bahwa salah satu ciri manusia wirausaha adalah memiliki ciri-ciri kepribadian yang kuat.
Dalam praktik di sekolah, beberapa hal yang dapat dilakukan dalam rangka menanamkan jiwa wirausaha pada anak adalah:
a) Pembenahan Proses Pembelajaran Di Sekolah
b) Pembenahan Pada Diri Guru
c) Pembenahan Terhadap Sistem Bimbingan Belajar
d) Pembenahan dalam Metode Mengajar
3. Sikap dan Perilaku Wirausaha
Bimo Walgito berpendapat bahwa sikap adalah organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek atau situasi yang relatif tetap, yang disertai adanya perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya (1991:109). Sementara Allport dalam Sears dkk mengemukakan bahwa sikap adalah keadaan mental dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah pada respons individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya ( 1992:136)..
Berdasarkan batasan sikap dapat diketahui bahwa pada umumnya sikap itu mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap yaitu:
a Komponen kognitif (komponen perceptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan akan hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap obyek sikap.
b Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap obyek sikap. Rasa tidak senang merupakan hal yang negative. Komponen ini menunjukkan arah sikap yaitu positif dan negatif.
c Komponen konatif ( komponen perilaku), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap obyek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap obyek sikap ( Bimo Walgito, 1991:112).
Menurut Sarlito wirawan (1776:85) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap:
1) Faktor intern
Meliputi faktor-faktor yang terdapat pada orang yang bersangkutan misal: selektivitas, karena harus memilih inilah sikap yang positip terhadap sesuatu hal dan pembentukan sikap negatif pada sesuatu hal lain.
2) Faktor Ekstern
Meliputi faktor-faktor yang terdapat di luar individu seperti:
a) Sikap obyek yang dijadikan sasaran obyek
b) kewibawaan orang yang mengemukakan suatu sikap
c) sikap orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut
d) media komunikasi yang digunakan dalampenyampaian sikap.
e) Situasi pada saat sikap tersebut.
annya.(Todaro, 1977).
Keinginan orang tua agar anak menjadi pegawai negeri merupakan bukti konkrit bahwa budaya feodal yang merupakan warisan dari penjajah sebagai suatu kendala perkembangan bangsa kita. Mungkin saja anak memiliki jiwa dan sikap positif terhadap wirausaha, akan tetapi mungkin mengalami benturan nilai dengan orang tua, sehingga anak terpaksa menjadi pengawai negeri.
Jika seorang pendidik menginginkan menumbuhkan sikap sasaran didik, seharusnya mengetahui bakat yang ada pada sasaran didik, keinginan sasaran didik, nilai dan pengetahuan yang seharusnya didapat sasaran didik, serta lingkungan lain yang kondusif bagi penumbuhan sikap mereka, termasuk lingkungan politik. Keadaan ini sulit dilakukan, tetapi harus diusahakan. Jika kita ingin pendidikan berkembang dan bermanfaat bagi masyarakat, maka kita tidak boleh diam. Apapun hasilnya, pendidik harus berusaha melakukan inovasi proses pendidikan. Perlu disadari, bahwa segala sesuatu membutuhkan proses yang cukup panjang untuk mencapai suatu keberhasilan.
Sebagaimana diketahui oleh umum, bahwa sistem pendidikan kita masih bersandar pada prinsip, teori, dan konsep behavioristik. Konsep dan teori terbut jika diaplikasikan dalam pendididikan kejuruan dan profesi, sudah tidak relevan lagi. Model pendidikan klasikal, seperti yang sekarang ini banyak diterapkan, berangkat dari konsep behavioristik, sulit untuk menumbuhkan sikap wirausaha. Pada masa pembangunan, seperti terjadi di negara kita pada saat ini, sangat membutuhkan tenaga wirausahawan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan demikian, manakala kita masih mempertahankan model pendidikan behavioristik, kami yakin bahwa tidak akan mampu menumbuhkan wirausahawan yang menjadi pelaku pembangunan ekonomi nasional yang handal. Dengan demikian, perubahan sistem dan model pendidikan, khususnya dalam pendidikan bisnis, perlu dilakukan. Terutama mengarah pada pembelajaran kewirausahaan.
Perilaku wirausaha merupakan perilaku manusia dalam kegiatan wirausaha sebagai upaya manusia untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan wirausaha. Pembentukan sikap dan perilaku wirausaha siswamerupakan tujuan yang harus dicapai dalampembelajaran kewirausahaan.Pembentukan sikap dapat dipenuhi melalui pendidikan informal dapat dilakukan melaluhi keluarga biasanya yang berperan utama orang tua. Sedangkan secara formal dapat dilakukan melalui proses pembelajaran di sekolah.