Kepuasan Pelanggan : Riviu Konsep Dan Pengembangannnya
Kepuasan adalah hal yang umum diucapkan, didiskusikan dan dipublikasikan. Mulanya konsep kepuasan dekat dengan kegiatan pemasaran karena adanya orientasi pemasaran terhadap kebutuhan pelanggan. Sekarang, konsep kepuasan telah merasuk ke seluruh jajaran organisasi karena keyakinan bahwa tanpa dapat membangun kepuasan pelanggan niscaya satu organisasi dapat bertahan dan berkembang. Sehingga diyakini bahwa seluruh bagian dalam organisasi mempunyai misi memberikan kepuasan baik kepada pelanggan internal maupun eksternal.
Kepuasan tidak saja sebagai tujuan organisasi, akan tetapi juga menjadi strategi (instrumen) perusahaan. Sebagai strategi, kepuasan berkaitan dengan penyusunan konsep, metode, dan evaluasi untuk dapat memenangkan persaingan. Selanjutnya secara konseptual diyakini adanya hubungan terpola bersifat positif antara kepuasan dengan berbagai hal yaitu word of mouth, menahan pelanggan, loyalitas dan kemampulabaan Bartikowski dan Llosa (2002), menyatakan bahwa pelanggan yang memperoleh tingkat kepuasan tinggi diyakini akan menjadi pelanggan yang loyal, dan pelanggan loyal tidak akan berpindah sehingga memungkinkan perusahaan memperoleh laba sepanjang masa.
Dari perkembangan demikian, harus disadari bahwa konsep (konstruksi) kepuasan yang dikembangkan antarkelompok pelanggan (segmen) adalah bagian yang harus dipertimbangkan secara akademis, karena adanya perbedaan fokus akan harapan mereka. Bahkan sampai kepada pendekatan harus dipertimbangkan, karena pengukuran kepuasan pelanggan membutuhkan respons pelanggan. Respons ini menyangkut kesadaran, pemahaman kebutuhan sampai kepada indikator ataupun atribut yang dipertimbangkan menciptakan kepuasan.
Dalam pemahaman yang umum kepuasan menunjukkan kondisi senang, tidak kecewa lega karena sudah terpenuhi hasrat hati. Secara akdemis, kata kepuasan adalah konsep yang dapat dioperasionalkan dan dikembangkan sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian.
Definisi kepuasan opersional yang banyak digunakan termasuk yang dikemukakan oleh Kotler. Kotler dan Keller (2006) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan senang atau kecewa yang berasal dari perbandingan antara persepsi (perception) terhadap hasil (perfomance) suatu produk dengan harapannya (expectation). Bila kinerja produk dari pengalaman mengkonsumsi berada di bawah harapannya, kondisi ini menunjukkan hal tidak puas (dissatisfied), bila sama puas (satisfied), dan bila di atas sangat puas (higly satisfied). Konsekuensi daripada definisi ini yaitu pengukuran kepuasan didasarkan kepada kesenjangan antar harapan dan pengalaman, tanpa harus mempermasalahkan dulu dimensi maupun indikator yang dijadikan ukuran kepuasan pelanggan. Secara implisit konsep ini harus memenuhi asumsi bahwa responden sudah lebih dahulu mempunyai harapan atas barang dan jasa yang akan dikonsumsi, dan asumsi ini tidak selalu terpenuhi.
Lebih jauh, bila definisi di atas disimak, kondisi puas dapat diketahui dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah mengkonsumsi. Posisi sebelum yang ditunjukkan oleh harapan terkait dengan kecenderungan, reaksi, atas berbagai atribut produk terkait. Sementara itu, dalam rentang waktu tertentu, konsumen dapat mengalami perubahan kondisi kepuasan, sebagai akibat perubahan persepsi terhadap atribut kepuasan itu sendiri. Sementara itu kondisi setelah ditunjukkan oleh keadaan konsumen mengkonsumsi, apakah yang dialami dapat memenuhi yang diharapkan.
Selanjutnya, harus digarisbawahi bahwa jauh sebelum ini (Oliver, 1977, 1981, Olson dan Dove, 1979, Tse dan Wilton, 1988) dalam Parker dan Mathews (2001) menyatakan bahwa pendekatan terhadap kepuasan dapat dilihat dari dua sisi yaitu kepuasan sebagai hasil (outcome) dan kepuasan sebagai proses dimana penyedia jasa memberikan pelayanan kepada konsumen. Dalam kaitannnya dengan batasan kepuasan, Giese dan Cote (2000) secara eksplisit merumuskan tiga hal penting yang berkaitan yaitu:
a) ringkasan reaksi afektif dari berbagai intensitas rangsangan
b) dibatasi dalam rentang waktu yang terbatas
c) terarah kepada aspek fokal dari produk yang dikonsumsi
Pandangan seperti di atas lahir sebagai satu paradgima banyak dikembangkan sampai sekarang adalah “disconfirmation paradigm” yang mempercayai bahwa konsumen merasa puas setelah membandingkan harapan dan pengalaman. Paradigma ini dikenal dengan Consumer Satisfaction /Dissatisfaction (CS/D) yang digagas dan banyak dikembangkan oleh Oliver. Paradigma ini kemudian banyak digunakan untuk mementukan kegagalan dan pemulihan pelayanan temasuk juga dalam menentukan penanganan keluhan, sampai kepada pengukuran loyalitas (McCollough, Beryy, dan Yadav, 2000, Nyier 2000; Yuksel, 1998). Paradgima ini sejalan dengan “descrepency theory” yang melihat seseorang merasa puas dengan cara membandingkan, apakah ada perbedaan, antara apa yang diperoleh dengan apa yang diharapkan.
Dalam kaitannya dengan kepuasan, Kotler dan Keller (2006) secara implisit meyakini tiga hal: Nilai Pelanggan, Kepuasan dan Loyalitas. Semakin tinggi nilai yang diterima pelanggan, akan semakin tinggi pula tingkat kepuasan, dan sebagai akibatnya pelanggan akan semakin loyal. Dalam kaitan ini, nilai pelanggan didefinisikan sebagai perbandingan antara Nilai Total yang diterima dengan Biaya Total. Oleh karena itu, peningkatan harga tidak bisa dilihat akan mengurangi kepuasan, bilamana pemasar dapat memberikan nilai lebih dibanding dengan biaya yang muncul karena peningkatan harga tersebut.
Untuk kepentingan manajerial, perlu dipahami presfektif tentang kepuasan yang berbeda dengan akademis. Untuk itu, Horn (2002) membagi telaah konsep kepuasan menjadi model makro dan mikro. Model makro mengacu kepada perhatian organisasi mengimplementasikan program kepuasan sebagai hasil dari penelitian, sementara model mikro berkenaan dengan konstruksi pemenuhan harapan, keseimbangan (equity) atribut, pengaruh, dan penyesalan yang muncul.
Kepuasan pelanggan sejauh ini secara konseptual dinilai mapan,, sehingga para peneliti mengkaitkan kepuasan dengan konsep lain. Wahyuni (2007) menyimpulkan bahwa kepuasan menjadi faktor dependen dimana determinannya antar peneliti dapat berbeda, tergantung kepada titik pandang dan kesesuaian dengan permasalahan penelitian. Studi wahyuni menyimpulkan adanya keterkaitan antara type konsumen dengan persepsi dan perilaku kepuasan yang berbeda. Artinya, tipe konsumen yang dibedakan menjadi passive, rational-active, relational-dependent, berbeda perilakunya dalam mencari informasi. Mereka yang rasional mencari tingkat kepuasan yang lebih tinggi dan menunjukkan keinginan yang lebih kuat untuk mencari informasi dibanding dengan mereka yang pasif. Lebih jelas, Wahyuni meringkas berbagai konsep atau model kepuasan pelanggan sebagaimana pada Tabel berikut.
Tabel Berbagai Model dan Determinan Kepuasan Pelanggan
Sumber
|
Model Determinan Kepuasan
Pelanggan
|
Anderson
dan Sullivan (1993)
|
Kepuasan
pelanggan = f (persepsi kualitas, diskonfirmasi)
|
Bendall-Lyon and Powers (2004)
|
Kepuasan
Pelanggan = Reaksi konsumen terhadap perbedaan antara penilaian dan harapan
kinerja.
|
Churchill and Surprenant (1982);
Woodruff, Cadotte, and Jenkins (1983); Wirtz and Bateson (1999), McQuitty,
Finn, and Wiley (2000)
|
Kepuasan Pelanggan = f (Harapan, Kinerja dan
Diskonfirmasi)
|
Day (1984); Westbrook and Oliver
(1991)
|
Kepuasan
Pelanggan = Penilaian atas evaluasi
setelah melakukan pembelian
|
Fornell (1992)
|
Kepuasan
Pelanggan = f (ekspektasi dan kinerja)
|
Giese and Cote (2002)
|
Kepuasan
Pelanggan = (ekspektasi, pengalaman
kualitas)
|
Johnson, Anderson, and Fornell (1995)
|
Kepuasan
Pelanggan = f (ekspektasi pasar,
persepsi kinerja pada periode
tertentu, kepuasan sebelumnya dari
periode ke periode).
|
Nicholls, Gilbert, and Roslow (1998)
|
Kepuasan
Pelanggan = f(pengalaman konsumen,
reaksi terhadap perilaku penyedia).
|
Oliver (1980), Oliver (1981)
|
Kepuasan Pelanggan
= f (ekspektasi dan diskonfimrasi)
|
Shankar et al. (2003)
|
Kepuasan
Pelanggan = persepsi pemenuhan
jasa, dan loyalitas sebagai komitmen terhadap penyedia jasa.
|
Soderlund (2003)
|
Kepuasan
pelanggan = Kondisi mental sebagai akibat
dari perbandingan konsumen (ekspektasi sebelum pembelian + pengalaman kinerja setelah pembelian
|
Ueltschy et al. (2004)
|
Kepuasan
Pelanggan = f (ekspektasi, kinerja kualitas)
|
Yi (1990)
|
Kepuasan
Pelanggan = Sikap penilaian untuk
pemebelian atau yang didasarkan kepada series
interaksi produk.
|
Sumber. Wahyuni 2007.
Mengamati berbagai model kepuasan seperti pada Tabel 1, terlihat berbagai variabel yaitu persepsi, diskonfirmasi, reaksi konsumen, harapan, kinerja produk, penilaian, ekspektasi, pengalaman, kondisi mental, sikap penilaian atas barang dan jasa yang dikonsumsi, menjadi variabel-variabel yang terkait dengan kepuasan konsumen. Harus digarsibawahi bahwa kondisi puas bukan saja bersumber dari barang dan jasa yang dikonsumsi, akan tetapi berkaitan dengan kondisi psikis, pikiran, dan mental konsumen. Baik hal ini muncul sesaat akan mengkonsumsi, maupun karena akumulasi pengetahuan dan pengalamannya. Semakin kondusif hal ini, maka potensi dia berada pada kondisi puas akan lebih tinggi bilamana hal terpenuhi.
Pengukuran dan Persoalan
Secara teknis kepuasan direpleksikan oleh angka, bukan angka tunggal akan tetapi nilai komposit dari berbagai atribut dan kondisi. Angka ini sifatnya dinamis, bisa dikembangkan dari waktu ke waktu bahkan dapat dibandingkan antara satu kondisi terhadap kondisi lain. sehingga bisa menggambarkan kondisi yang sesuai dengan objek penelitian. Akibatnya, kondisi puas pada satu waktu bisa kurang berarti bilamana kondisi sebelumnya lebih baik, ini dimungkinkan karena adanya pembandingan.
a) Atribut kepuasan
Bagaimanapun pengukuran kepuasan pelanggan berkaitan dengan atribut, dimensi, maupun indikator yang secara akademis menjadi gambaran objek penelitian. Secara teknis atribut ini yang dinilai konsumen yang kemudian dikalkulasikan. Atribut ini sendiri tunduk kepada konsep maupun teori. Dlam hal ini, Giesse dan Cote (2002) menjelaskan bahwa definisi apapun tentang kepuasan harus mempertimbangkan tiga hal:
i. kerangka definisi yang digunakan harus didasarkan yang berlaku umum di mata konsumen.
ii. diskusikan bagaimana kerangka ini dapat dikembangkan dalam satu operasionalisasi sehingga sesuai dengan konteks, dan
iii. pastikan bahwa definisi ini konsisten dengan pandangan konsumen, sehingga bilamana dinyatakan puas maka konsumen akan setuju dengan peneliti tentang apa yang dimaksud dengan puas.
Dari dua penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa atribut kepuasan dapat berbeda antara satu peneliti terhadap peneliti lain, tergantung kepada kesesuaian atribut. Bila dikaitkan dengan kemampuan barang dan jasa memenuhi kepuasan, satu hal yang harus dipahami adalah kesadaran responden atas karakteristik produk yang dikonsumsi. Karena karakteristik ini sesungguhnya adalah pintu masuk untuk mengetahui sejauh mana konsumen tersadarkan (enlighted) atas barang yang akan dikonsumsi. Pengukuran yang kompleks akan kurang berarti bila dihadapkan kepada kondisi yang sangat bervariasi pengetahuannya atas atribut barang. Sesuai dengan itu, untuk memastikan kesesuaian atribut dibutuhkan studi pendahuluan yang dapat dimulai dengan eksplorasi sejauh mana responden memahami dan membutuhkannya. Dalam kaitan ini Sacks (2000) menjelaskan bahwa ada ragam metode yang dapat dilakukan mulai dari survey, focus groups, data keluhan pelanggan, statistik pusat pemanggilan untuk dapat memahami fokus pelanggan. Peran studi kualitatif pada posisi ini sangat penting untuk menentukan atribut apa yang menjadi fokus kepuasan pelanggan.
b) Langsung vs Tak Langsung
Mengukur kepuasan dapat dilakukan secara langsung atau tak langsung.. Secara langsung dilakukan dengan cara memperoleh gambaran kepuasan sebagai satu konsep ataupun variabel, sementara secara tidak langsung dilakukan melalui konsep atau variabel lain. Hal demikian dapat diperiksa melalui konsep yang disampaikan Kotler, (2006) yang menunjukkan hubungan antara Customer Value (CS), Satisfaction dan Loyalty. CS dalam hal ini ditentukan oleh perbandingan antara Total Customer Value (TCV) dan Total Customer Cost (TCC). Bila TCV melebihi TCC akan menunjukkan bahwa pelanggan akan merasa puas, karena nilai yang diterima melebihi dari pengorbanan yang dilakukan. Artinya lebih banyak nilai yang diterima, lebih puas pelanggan. Cara seperti ini dapat juga dapat ditunjukkan kepada penanganaan keluhan. Bila pelanggan merasa puas terhadap penanganan keluhannya, hal ini juga menunjukkan didapatnya kepuasan. Selain itu, melalui importance and performance analysis dapat juga diketahui keadaan puas atau tidak. Bilamana performance dapat memenuhi importance, kondisi ini juga menunjukkan keadaan puas. Penjelasan ini menunjukkan bahwa kepuasan dapat dilihat dari ukuran lain.
Lebih lanjut, dari sisi lain dapat dikatakan bahwa pengukuran kepuasan dalam hal ini ditentukan oleh kondisi lain yang mendahuluinya. Misalnya, bila penanganan terhadap keluhan pelanggan dilakukan dengan baik, maka akan ditemukan kondisi yang lebih puas bagi pelanggan. Artinya, kepuasan dapat dilihat sebagai satu akibat, karena dapat dipenuhinya kondisi lain yang menjamin bahwa kepuasan akan terjadi. Dengan telaah seperti ini dapat juga dinyatakan bahwa bila kepuasan tercipta maka akan ditemukan kondisi loyalitas pelanggan, karena pelanggan yang puas cenderung untuk melakukan pembelian ulang.
c) Membandingkan vs tak membandingkan
Model kepuasan yang banyak digunakan hingga saat ini adalah “disconfirmation”. Akan tetapi tetap saja ada alasan untuk menggunakan model lain yang mungkin spesifik terhadap objek penelitian dimana melihat kepuasan sebagai penyataan yang dievaluasi langsung oleh konsumen. Yuksel (1998) mempunyai alasan untuk memeriksa apakah pelanggan puas atau tidak dengan langsung dari pengalamannya. Untuk kondisi tertentu dimana konsumen mengetahui benar barang yang dikonsumsinya untuk mengetahui apakah dia puas atau tidak, seseorang tidak perlu mengukur harapan sebelumnya. Dikatakannya One may not need to measure consumers’ pre-event expectations to gauge ultimate customer satisfaction. Yuksel berargumentasi bahwa untuk menanyakan bahwa kondisi kepuasan dapat langsung diperoleh dari kinerja (performance) daripada barang yang telah dikonsumsi. Dalam kaitan ini harus diketahui benar, apakah responden cukup memahami lingkup barang dan jasa atau penyedi ajasa yang ditanyakan kepadanya sehingga dapat memberikan penilaian, membandingkan harapan dan penilaian.
Dalam perkembangan terakhir, kepuasan menjadi sesuatu yang dianggap mapan (established) sehingga diyakini adanya kaitan antara satu kondisi terhadap kondisi lain. Pola hubungan ini positif dan sampai juga kepada simpulan bahwa konsumen dengan tingkat konsumen yang berbeda akan mempunyai perilaku yang berbeda pula, misalnya dalam hal mencari informasi dan dorongannya terhadap bertindak. Sementara itu hal yang agak sumir dibedakan adalah konsep loyalitas dan komitmen yang muncul karena kondisi puas. Soni et.al (2000) menjelaskan bahwa dalam kondisi pelanggan puas sesungguhnya permasalahan bagi perusahaan adalah bagaimana mempertahankan (retaining) pelanggan sehingga pelanggan yang puas akan mempunyai komitmen terhadap perusahaan.
Dari pendekatan teoritis juga harus diperhatikan benar bahwa tidak ada metode tunggal untuk menjelaskan kondisi kepuasan pelanggan. Sacks (2000) menjelaskan bahwa ada ragam metode yang dapat dilakukan mulai dari survey, focus groups, data keluhan pelanggan, statistik pusat pemanggilan, dll. Hal ini sesuai dengan prinsip keilmuan bahwa tidak ada satu metode yang dianggap lebih baik dari yang lain karena pada dasarnya metode adalah komplemen satu dengan lainnya.
Jasa dan pengukurannya
Ciri daripada kemajuan satu negara saat ini diukur dari produk jasa yang dihasilkannya pertahun, semakin tinggi nilainya, keadaan perekonomian dinilai semakin baik. Perbedaan barang dan jasa lambat laun menjadi samar, karena hampir tidak bisa dibedakan lagi apakah sesuatu yang ditawarkan oleh perusahaan benar-benar barang atau jasa. Dalam pemahaman yang umum, sering dicampuradukkan jasa dalam arti sebagai pelengkap terhadap barang yang ditawarkan dengan pengertian jasa itu sendiri. Akibatnya, konsep pengukuran yang digunakan untuk bidang jasa sering “dipaksakan” ke bidang barang (manufaktur).
Pemasaran jasa sendiri telah berkembang sedemikian cepat,sesuai dengan peran jasa dalam perekonomian secara makro. Zeithaml, V.A, Bitner, M.J, dan Gremler.D.D. (2006), mengkategorikan empat perusahaan yang berkaitan dengan jasa yaitu:
- service industries and companies adalah perusahaan yang produk utamanya adalah jasa,
- services as products adalah perusahaan dengan produk yang tidak tampak, dibentuk baik oleh perusahaan jasa maupun non jasa, dan pelanggan membayar jasa mereka;
- customer service perusahaan yang didirikan untuk mendukung produk perusahaan yang dihasilkan di pasar; dan
- derived service yaitu perusahaan yang menyediakan pelayanan untuk memberikan nilai tambah kepada barang yang dihasilkan.
Dalam hal pengukuran kepuasan jasa peneliti banyak mengadopsi model Servequal yang dimotori oleh oleh Zeithaml (1996) yaitu “a customer’s judgment of the overall excellence or superiority of a service”. Selanjutnya, SERVQUAL seperti yang dijelaskan oleh Parasuraman, et al (1996) didapat 5 dimensi yang kemudian pecah menjadi 22 atribut. Pendekatan ini kemudian dikenal sebagai pendekatan Multiple Item Scale, memeriksa sejumlah kondisi dan atribut dengan skala. Dalam kaitan ini, harus diketahui bahwa pendekatan ini adalah hasil eksperimen ketat yang menghasilkan kekonsistenan penilaian pelanggan terhadap apa yang mereka butuhkan dalam mengkonsumsi jasa.
- Tangibles menyangkut fasilitas organisasi yang kelihatan, peralatan karyawan, dan alat komunikasi yang tersedia bagi pelanggan.
- Reliability menyangkut penyampaian kinerja yang dijanjikan secara akurat kepada pelanggan.
- Responsiveness menyangkut kesiapan organisasi menyediakan pelayanan cepat dan membantu konsumen mengkonsumsi jasa.
- Assurance menyangkut kombinasi yang terancang dari kompetensi, kepercayaan, ketepatan penanganan dan keamanan.
- Empathy menyangkut kombinasi berbagai jenis pelayanan yang dirancang meliputi pemenuhan, komunikasi dan pemahaman public pelanggan yang diperuntukkan untuk memperhatikan pelanggan.
Hal penting dari model kesenjangan ini adalah apa yang dirumuskan oleh Zeithaml (2006) tentang model kesenjangan yang menggambarkan kondisi dan solusi yang ditgawarkannya. Adapun kondisi kesenjangan terdiri dari 4 keadaan yaitu:
- Customer Gap (1). Terjadi karena adanya perbedaan antar apa yang diharapkan pelanggan dengan persepsinya. Hal ini muncul karena tidak adanya riset pemasaran yang fokus kepada pelanggan, langkanya komunikasi ke atas (upward), tidak fokusnya hubungan pelanggan, dan kurangnya pemulihan pelayanan.
- Provider gap (2) terjadi karena adanya perbedaan antara standar dan rancangan jasa yang didasarkan kepada pelanggan dengan persepsi penyedia terhadap apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini muncul karena rancangan jasa yang tidak memadai (tidak punya standar), tidak fokus kepada pelanggan, tidak sesuainya bukti fisik yang disiapkan penyedia.
- Provider gap (3) terjadi karena adanya perbedaan antara standar dan rancangan jasa yang didasarkan kepada pelanggan dengan jasa yang disampaikan. Hal ini terjadi karena kekurangan kebijakan karyawan, tidak adanya peran pelanggan, permasalahan dengan perantara jasa, gagal menyesuaikan penawaran dan permintaan.
- Provider gap (4) terjadi karena adanya perbedaan antara jasa yang disampaikan dengan komunikasi ke pelanggan eksternal. Hal ini dapat terjadi karena: kelangkaan komunikasi pemasaran yang terintegrasi, ekspektasi konsumen manajemen yang tidak efektif, terlalu menjanjikan, dan komunikasi horizontal yang tidak memadai.
Menyimak berbagai kesenjangan di atas dan berbagai kemungkinan sumber penyebab, permasalahan sesungguhnya berhadapan dengan tatakelola penyedia jasa itu sendiri, mulai dari standar jasa, persepsi penyedia sampai kepada metode penyampaian. Permasalahan yang harus dipertimbangkan dalam penelitian adalah menyangkut apakah semua gap seperti di atas harus diteliti, karena adanya anggapan bahwa meneliti lebih banyak lebih baik. Dalam hal ini selalu saja dibutuhkan orientasi, studi pendahuluan yang berisfat kualitatif, atau berdasarkan data sekunder sehingga didapat alasan yang lebih masuk akal.
Mengelola Kepuasan pelanggan
Dari sisi perusahaan, ada dua hal penting yang mengharuskan mereka peduli terhadap kepuasan pelanggan yaitu;
- memberikan pemahaman tentang bagaimana konsumen mendefinisikan kualiats barang dan jasa, dan
- fasilitas yang disediakan perusahaan sehingga dapat tercipta kepuasan.
Kepuasan pelanggan adalah kondisi atau keadaan yang dapat bermakna bagi seluruh organisasi ataupun perusahaan. Perkembangan terhadap kepedulian pelanggan telah menjelma menjadi bagian tersendiri dalam bidang manajemen dengan berkembangnya Customer Relationship Marketing (CRM). Konsep ini sebagaimana dinyatakan oleh Lucas (2005) menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan harus fokus kepada organisasi perusahaan. Artinya organisasi perusahaanlah yang pada akhirnya menjadikan kepuasan pelanggan sebagai bagian perusahaan yang mutlak. Sehingga disimpulkannya bahwa yang lebih penting perusahaan harus membangun kultur yang peduli kepada kepuasan. Dijelaskan bahwa upaya membangun kultur kepuasan meliputi dimensi falsafah dan misi daripada pelayanan, peran dan harapan daripada karyawan, kebijakan dan prosedur, dukungan manajemen, barang dan jasa, motivator dan imbalan, pelatihan, dan sistem pengiriman. Sejalan dengan ini Vranesevic (2002) menjelaskan bahwa yang penting dalam hubungannya dengan kepuasan pelanggan adalah bagaimana membenahinya melalui kultur perusahaan. Kepuasan pelanggan hanya dapat muncul dari perusahaan yang menjadikan kepuasan bagian dari kultur perusahaan. Kinsey dalam Vranesevic (2002) mengurai bagaimana kepuasan dapat diterjemahkan menjadi operasional dengan urutan berikut: 1) strategy, 2) structure, 3) system, 4) style, 5) staff, 6) shared value, and 7) skills. Hal ini searah dengan model kesenjangan dan sumber kesenjangan seperti dijelaskan di atas, dimana permasalahan kepuasan pelanggan juga ditentukan oleh pemahaman karyawan, rancangan jasa yang disampaikan, dan bagaimana itu dikomunikasikan ke pelanggan.
Organisasi yang sudah maju menempatkan kepuasan pelanggan menjadi bagian organisasi yang utuh, sehingga perihal kepuasan pelanggan telah menjadi bagian rutin yang harus diungkapkan Dalam hal ini, Sacks (2000) menjelaskan bahwa ada pertanyaan kritis yang harus dijawab dalam memahami sistem pemantauan kepuasan pelanggan dengan menjawab pertanyaan berikut:
- Apakah kita menanyakan pertanyaan yang benar
- Apakah kita menanyakan orang yang benar
- Apakah dilakukan pengumpulan data yang tepat
- Apakah analisis dan pelaporan akurat menggambarkan apa yang disampaikan pelanggan kepada anda
- Apakah pengumpulan data dapat diperbaik.
Lebih dari itu, agar gambaran kepuasan menunjukkan hal yang sebenarnya, perusahaan diharapkan tidak memberikan janji terlalu tinggi atas barang dan jasa yang dihasilkan. Sudah barang tentu yang harus digarisbawahi adalah bahwa apapun pendekatan yang akan dilakukan harus berorientasi kepada konsumen. Sejauh mana perusahaan dapat mengikuti perkembangan tuntutan atau pentingnya satu atribut kepada pelanggan, hal demikianlah yang disertakan menjadi determinan kepuasan dan diukur dari masa ke masa. Hal ini sudah barang tentu akan berubah sesuai dengan dinamika sosial si konsumen.
Apapun upaya yang dilakukan mengukur kepuasan pelanggan, harus jelas manfaatnya terhadap organisasi (penyedia). Satu hal yang perlu diingat oleh organisasi adalah bahwa jaminan kepuasan terhadap produk yang dihasilkan tidak dapat ditolak lagi. Fitizsimmons dan Fitizsimmons (2006) menjelaskan pengalaman Federal Express tentang jaminan pelayanan yang dapat memberikan manfaat dalam hal:
- Fokus kepada pelanggan. Perusahaan mengidentifikasi kebutuhan pelanggan dan memulihkannya ketika terjadi penyimpangan, untuk itu selalu ada survey untuk mengetahui bagaimana kebutuhan yang telah diidentifikasi dapat terus-menerus sampai ke pelanggan.
- Menyusun standar yang jelas. Kebutuhan yang spesifik membuat standar yang jelas dan tanggungjawab dari penyedia.
- Menjamin umpan balik. Pelanggan yang tidakpuas akan merasa ada insentif untuk menyampaikannnya kepada perusahaan karena perusahaan peduli dengan mereka.
- Mempromosikan pemahaman sistem pelayanan pengiriman. Sebelum organisasi menyediakan jamanan, terlebih dahulu disiapkan kemungkinan kalau sisitem yang digunakan gagal. Untuk ini, perusahaan memberikan jaminan bahwa pelanggan diberikan kesempatan untuk menolak apa yang disampaikan organisasi bilamana terjadi kegagalan.
- Membangun loyalitas pelanggan. Jaminan akan mengurangi risiko, membuat harapan secara eksplisit, dan membangun pangsa pasar dengan menahan pelanggan yang tidak puas yang akan meninggalkan perusahaan.