Sejarah, Falsafah, Landasan Pemikiran Dan Sendi Dasar Koperasi
Usia gerakan koperasi di Indonesia telah memasuki usia 66 tahun hampir sama dengan usia kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk membangun koperasi sebagai penjabaran Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1) dan penjelasanya telah dilakukan oleh pemerintah melalui serangkaian kebijakan politis. Telah ada 4 Undang-Undang yang mengatur koperasi di Indonesia. Pertama Undang-Undangn Nomor 14 tahun 1965. Undang-Undang ini lebih banyak menekankan koperasi sebagai gerakan politik (onderbouw) ketimbang gerakan ekonomi. Undang-undang tersebut menempatkan koperasi sebagai abdi langsung partai politik dan mengabaikan koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat dan landasan azas- azas dan sendi dasar koperasi dari kemurniannya.
Undang-undang Nomor 14 tahun 1965 kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 1967 yang mencoba mengembalikan rel gerakan koperasi sesuai dengan azas dan sendi dasar koperasi yang benar. Tidak banyak perubahan yang signifikan secara kelembagaan dan usaha koperasi, kecuali sebatas melepaskan koperasi dari gerakan dan partai politik (non-onderbouw).
Duapuluh lima tahun kemudian, pada tahun 1992 Undang-undang koperasi diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Terdapat perubahan yang signifikan pada Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992. Perubahan yang terpenting diantaranya mengenai definisi koperasi, keterkaitan koperasi dengan kepentingan ekonomi anggotanya, kelembagaan pengelolaan dan kesempatan koperasi untuk mengangkat pengelola dari non-anggota.
Setelah berjalan selama 20 tahun, Undang-Undang nomor 25 tahun 1992, diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 sebagaimana akan dibahas pada tulisan ini. Beberapa pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah mengapa perubahan kebijakan yang berkaitan dengan perkoperasian sedemikian banyak, namun koperasi masih belum menunjukkan perubahan dan perkembangan yang signifikan dalam konstribusinya terhadap perekeonomian nasional. Apakah perubahan tersebut karena pengaruh eksternal dunia global, atau semata-mata karena masalaah internal koperasi “ yang jalan ditempat” sehingga diperlukan perubahan kebijakan. Gagasan apa yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 yang memberikan peluang bagi perkembangan koperasi. Terakhir adalah tantangan apa saja yang akan dihadapi oleh koperasi berkaitan dengan perubahan kebijakan tersebut.
Koperasi secara legal formal mendapatkan landasan yang sangat kuat sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.” Menurut Hatta (1977);
“Asas kekeluargaan itu adalah istilah dari Tamansiswa untuk menunjukkan bagaimana guru dan murid-murid yang tinggal padanya hidup sebagai suatu keluarga. Itu pulalah hendaknya corak koperasi Indonesia. Hubungan antara anggota-anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan orang-orang bersaudara, satu keluarga……. Anggota dididik menjadi orang yang mempunyai individualita, insyaf akan dirinya, tekadnya akan kuat untuk membela kepentingan koperasinya”
Ada dua hal menarik dari pernyataan Hatta tersebut. Pertama adalah kata hendaknya dan kedua individualita. Kata hendaknya merupakan merupakan keinginan yang sifat normatif dan bukan keadaan yang sifatnya empirik. Hal ini mengindikasikan bahwa sebelumnya telah ada model sistem perekonomian, yang mungkin berbentuk koperasi baik di luar maupun di dalam negeri, namun belum bercorak kekeluargaan. Koperasi di Indonesia yang akan dikembangkan hendaknya mengadopsi model kekeluargaan sebagaimana diterapkan dalam pola hubungan guru murid di Tamansiswa. Selanjutnya mengenai individualita, dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut;
“Individualita lain sekali dengan individualism. Individualisme adalah sikap yang mengutamakan diri sendiri dan mendahulukan kepentingan diri sendiri dari kepentingan orang lain. Kalau perlu mencari keuntungan bagi diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Individualita menjadikan seorang anggota koperasi sebagai pembela dan pejuang yang giat bagi bagi koperasinya, karena dengan naik dan majunya koperasi, kedudukannya sendiri akan ikut naik dan maju.”
Dalam perspektif Hatta, individualita adalah keinsyafan seorang anggota koperasi akan harga dirinya sebagai anggota koperasi yang berjuang dan perjuangannya tertuju untuk kepentingan bersama.
Perspektif Hatta tentang kekeluargaan dan individualita bisa dikaitkan dengan jaringan komunikasi informal sebagai bagian dari unsur yang membentuk budaya perusahaan sebagaimana dikemukakan oleh Deal dan Kennedy (1982), dimana koperasi merupakan salah satu bentuk perusahaan. Deal dan Kennedy mengemukakan lima unsur yang membentuk budaya perusahaan yaitu : lingkungan usaha, nilai-nilai, pahlawan, ritual dan jaringan komunikasi informal. Unsur terakhir perspektif Deal and Kennedy tersebut jika dikaitkan dengan perspektif Hatta, bertemu dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bonus (1986) bahwa intimate personal knowledge (individual and family history), saling memahami harapan satu sama lain (they knew what to expect from each other) dan masing-masing anggota secara berkala bertemu (they would meet frequently). Hal mana akan membentuk dan memperkuat budaya kekeluargaan dalam koperasi.
Untuk menganalisis bentuk dan arah kebijakan pengembangan koperasi sebagaiamana diamanatkan dalam Undang-Undang 17 tahun 2012, pelacakan teoritis dapat dilakukan dengan menelusuri aliran pemikiran tentang organisasi koperasi, sebagaimana dikemukakan oleh Wirasasmita (1993).
Pertama, pemikiran Eemmlianof, Ronotka dan Philip yang berpendapat bahwa koperasi sebagai joint venture atau pabrik milik bersama, bukan badan usaha tersendiri atau dikenal sebagai patronage system. Mencermati aliran ini, maka bisnis anggota larut atau terintegrasi dengan bisnis koperasi. Jika mencermati definisi koperasi versi Undang-Undang baru yang memisahkan kekayaan koperasi dengan kekayaan anggotanya, menunjukkan bahwa bentuk dan arah kebijakan pengembangan koperasi di Indonesia tidak mengikuti aliran ini
Kedua, pemikiran Helmberger, Hoos dan Boulding yang menganggap koperasi sebagai badan usaha sama dengan swasta, sebagai joint plant firm, sebagai badan yang berdiri sendiri. Koperasi menjalankan usaha sendiri terlepas dari usaha anggota dengan tujuan untuk memaksimalkan laba atau barang-barang kebutuhan anggotanya. Kendati demikian, sebuah koperasi tidak selalu terikat dan melayani kebutuhan bisnis anggotanya.
Ketiga, pemikirsn Sosnick, yang melihat koperasi sebagai asosiasi untuk memperbaiki posisis tawar para anggota dalam pembelian atau penjualan (join buying and selling) atau dalam rangka monopoli power.
Mengacu kepada tiga aliran di atas, tampaknya arah kebijakan dan pengembangan koperasi menurut Undang-Undang ini dipengaruhi oleh pemikiran yang kedua, kendati masih mengandung hal kontradiktif. Konstradiksi ini khususnya dalam hal “ sebuah koperasi tidak selalu terikat dan melayani kebutuhan bisnis anggotanya,” berlawanan dengan “kesamaan kepentingan ekonomi” sebagaimana bunyi pasal 27 (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012
Dalam perspektif strategi bersaing, penegasan jenis-jenis koperasi menurut Undang-Undang ini memiliki landasan teoritis yang cukup kuat. Sebagaimana dikemukakan oleh Porter (1990) bahwa struktur industri mempunyai pengaruh yang kuat dalam menentukan aturan permainan persaingan dan selain juga strategi-strategi yang secara potensial tersedia bagi perusahaan. Dengan jenis koperasi yang jelas, akan memperjelas koperasi tersebut masuk dalam struktur industri yang dipilih. Lebih lanjut Potter mengemukakan
“Tujuan strategi bersaing untuk suatu unit bisnisdalam sebuah industry adalah menemukan posisi dalam industry tersebut dimana perusahaan dapat melindungi diri sendiri dengan sebaik-baiknya terhadap tekanan (gaya) persaingan atau dapat mempengaruhi tekanan tersebut secara positif. Penetahuan tentang sumber-sumber yang mendasari tekanan persaingan ini memperlihatkan kekuatan dan kelemahan perusahaan, menghidupkan posisi, menegaskan bidang-bidang mana yang dapat menghasilkan manfaat terbesar, peluang dan ancaman..”
Kendati penjenisan koperasi tersebut masih memerlukan definisi turuannya, namun setidaknya dengan jenis yang dipilih, maka koperasi dapat menentukan posisi bersaingnya dengan perusahaan lain. Penjenisan tersebut akan memberikan arah ketika koperasi memasuki arena persaingan dalam merumuskan definisi dirinya. Dengan definisi yang jelas akan dapat ditemukan posisi, target, segmen pasar. Definisi akan menentukan koperasi dalam memilih strateginya : maju, mundur, beralig atau bergabung. Fokus ini dirasakan penting, agar koperasi tidak bersaing dengan semua pelaku bisnis secara umum.
I. Kajian Perbandingan Undang-Undang 25 Tahun 1992 Dengan Undang-Undang 17 Tahun 2012
Untuk menganalisis lebih jauh prospek dan tantangan pengembangan koperasi di Indonesia pasca Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 perlu dipaparkan perbandingan ringkas beberapa hal penting perbedaan dengan undang-undang koperasi sebelumnya.
Berdasarkan perbandingan tersebut perbedaan prinsipil dalam definisi, pembentukan, organisasi dan permodalan koperasi. Dalam definisi jelas, koperasi adalah badan hukum tersendiri. Sedangkan dalam pembentukan dibuat dengan akta notaris. Salah satu perbedaan prinsip lainnya dalam organisasi adalah kewenangan Pengawas yang lebih tinggi dan luas disanding dengan Pengurus.
Adapun mengenai permodalan perbedaannya terletak pada ketentuan mengenai setoran pokok dan mekanisme dalam mengakumulasikan modal dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 dan. Setiap anggota yang akan menjadi anggota koperasi harus membayar setoran pokok, yang tidak dapat diambil kembali. Sedangkan jika koperasi ingin mengumpulkan modal yang lebih banyak dapat mengakumulasikan modal secara tidak terbatas melalui penerbitan sertifikat modal koperasi. Tidak ada pembatasan kepemilikan bagi seorang anggota untuk membeli sertifikat tersebut. Penerbitan sertifikat tersebut memungkinkan anggota memiliki kepemilikan mayoritas dalam koperasi. Hal ini menunjukkan kemiripan dengan “saham” pada Perseroan Terbatas. Perbedaannya terletak dalam kewenangan anggota dalam menentukan kebijakan umum koperasi dan kewenangan lainnya. Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 35 (1) dimana “Dalam pemungutan suara setiap Anggota mempunyai satu hak suara.”
Ketentuan mengenai setoran pokok, pemilikian sertifikat dan hak suara ini akan menjadi “dis-insentif” bagi anggota atau calon anggota untuk dapat berpartisipasi dalam secara maksimal dalam koperasi karena; Pertama, ketentuan setoran pokok yang tidak dapat diambil kembali akan menyebabkan besaran setoran pokok ditentukan seminimal mungkin. Kedua, ketentuan setiap anggota memiliki satu hak suara tanpa mempertimbangkan pemilikan sertifikat modal koperasi, akan menyebabkan kegamangan anggota terkait dengan kebijakan dan pengelolaan koperasi yang akan membawa konsekwensi terhadap “keamanan” modal yang disetorkannya pada koperasi
II. Prospek Pengembangan Koperasi
Ada beberapa masalah yang belum terjawab terjawab secara pada masa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 dan tidak ditindaklanjuti melalui serangkaian turunan kebijakan yang lebih rendah. Masalah-masalah tersebut antara lain; (1) Sosialisasi pemahaman lebih dalam kepada masyarakat untuk meluruskan kekeliruan dalam memahami organisasi koperasi sebagai lembaga social (lembaga sosial dalam koperasi menurut Draheim adalah cooperative spirit, kepercayaan dan loyalitas anggota terhadap koperasinya); (2) Ketidaktegasan dalam pengaturan nomenklatur koperasi (banyak nama koperasi mengacu kepada lembaga dimana koperasi itu berada seperti koperasi fungsional, mengacu kepada jenis kelamin seperti koperasi wanita, mengacu kepada pekerjaan seperti koperasi mahasiswa atau teritori seperti KUD) tidak segera dilakukan perubahan secara signifikan. Alasan alasan politis historis sulit merubah nomenklatur seperti Koperasi Unit Desa dan Koperasi di kalangan TNI dan Polri. Nama-nama tersebut justru menjadi brand dan nilai jual, “jaminan” atau bahkan “power” ketika bertransaksi atau bermitra dengan pihak lain; (3) Ketidaktegasan dalam menetapkan kriteria anggota koperasi dimana banyak anggota bukan pelaku bisnis (dalam penjelasan UU 25 tahun 1992 kesamaan aktivitas, kepentingan dan kebutuhan ekonomi anggotanya), namun tidak ada penjelasan apa perbedaan aktivitas, kepentingan dan kebutuhan ekonomi.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 mengarah kepada pengembangan jenis dan identitas koperasi. Hal ini sesuai dengan 3 (tiga basis utama) pengembangan koperasi yaitu basis usaha produksi, basis usaha konsumsi dan basis usaha jasa. Sebetulnya dari ketiga basis tersebut dapat dibuat derivasi (turunan) lebih lanjut sesuai dengan bidang atau sector usaha. Untuk koperasi produksi misalnya dapat dibuat turunannya dalam bentuk koperasi pertanian atau sesuai dengan komoditi yang dihasilkan misalnya Koperasi Susu. Untuk Koperasi Jasa misalnya dalam bentuk Koperasi Pemasaran, Koperasi Konsultan. Sedangkan untuk Koperasi Konsumen yang dimaksudkan adalah konsumen akhir, bukan konsumen industri. Hal ini karena konsumen industri pada dasarnya adalah Koperasi Produksi atau Produsen. Penegasan jenis koperasi akan memperjelas posisi, segmen dan target market serta dapat mengembangkan kompetensi koperasi itu sendiri.
Agar penegasan jenis koperasi sebagaimana dikemukakan di atas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tindak lanjut implementasi Undang-Undang 17 tahun 2012, sebagai berikut;
- Anggota dan calon anggota adalah pelaku bisnis yang memiliki kegiatan usaha yang sesuai dengan kegiatan usaha koperasi, kecuali koperasi simpan pinjam
- Integrasi usaha anggota/calon anggota ke dalam koperasi atau pembentukan perkumpulan koperasi oleh calon anggota diukur berdasarkan pertimbangan kelayakan bisnis. Ini berarti integrasi usaha ke dalam koperasi merupakan alternative terbaik dibanding dengan alternatif lainnya, misalnya usaha sendiri atau membentuk perseroan terbatas.
- Pembentukan koperasi sekunder harus memenuhi argumentasi kepentingan integrasi usaha , bukan organisatoris atau wilayah administratif. Oleh karenanya usaha sekunder merupakan kelengkapan dari usaha koperasi primer yang memperkuat jaringan usaha pokok usaha anggotanya. Dengan demikian kerjasama antar koperasi dikembangkan secara terarah, rasional dan pembentukannya tidak menggunakan jenjang wilayah administrasi pemerintahan atau jenjang organisasi
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 mempertegas kedudukan koperasi sebagai badan sebagai badan hukum dan badan usaha/perusahaan dengan memisahkan kekayaan anggota sebagai modal Koperasi dan adanya tanggung jawab terbatas bagi anggota. Penegasan koperasi sebagai badan hukum memposisikan koperasi sejajar dengan bentuk badan hokum usaha lainya seperti Perseroan Terbatas, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta
Kesejajaran posisi dengan bentuk badan hokum lainnya (diharapkan) perlakuan yang sama terhadap koperasi dalam transaksi, perjanjian, perikatan bisnis dan perolehan kesempatan yang sama dalam memanfaatkan kesempatan yang disediakan oleh pemerintah seperti melaksanakan proyek-proyek pemerintah melalui tender dengan perlakuan yang sama
Secara normatif, revisi Undang-Undang Perkoperasian pada Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 ini, mengandung beberapa substansi penting yang perlu dipahami oleh pembuat, pelaksana dan penerima manfaat kebijakan dan gerakan koperasi;
- Mempertegas legalitas koperasi sebagai badan hukum melalui pendirian koperasi dengan akta otentik.
- Permodalan koperasi yang terdiri setoran pokok dan sertifikat modal koperasi sebagai modal awal.
- Ketentuan mengenai Koperasi Simpan Pinjam (KSP) mencakup pengelolaan maupun penjaminannya.KSP hanya dapat menghimpun simpanan dan menyalurkan pinjaman kepada anggota, memnungkinkan terhindar dari penyalahgunaan penyaluran maupun penyalahgunaan badan hukum koperasi untuk berbisnis “pemutaran uang” yang menawarkan bunga tinggi yang sering terjadi selama ini.
- Amanat pembentukan Lembaga Pengawas Koperasi Simpan Pinjam (LP-KSP) menjadikan Pengawasan dan pemeriksaan terhadap koperasi khususunya koperasi koperasi simpan pinjam, akan menjadi lebih baik. Akan menghilangkan keraguan anggota tidak ragu ntuk menyimpan uang seperti layaknya di bank.
- Mendorong gerakan koperasi membentuk dengan memberdayakan Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) di pusat maupun di daerah
- Kepengurusan Koperasi yang bisa merekrut dari non-anggota memungkinkan untuk mengangkat pengurus yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam pengelolaan usaha/bisnis, sehingga pengelolaan koperasi menjadi lebih professional
III. Tantangan Pengembangan Koperasi
Sebuah kebijakan yang dikeluarkan akan selalu mengandung sejumlah titik-titik kritis baik secara struktural, substansial maupun prosedural. Titik-titik kritis ini menjadi tantangan yang akan dihadapi manakala Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 akan diimplementasikan.
Pertama, penegasan koperasi sebagai badan hukum mensejajarkan koperasi dengan bentuk badan hukum lainnya seperti hal ini akan memperjelas kedudukan koperasi dalam hubungan transaksi dan perikatan-perikatan. Sebelum undang-undang ini seringkali legalitas koperasi dipertanyakan dan bahkan ditolak karena tidak sesuai dengan standar pihak mitra yang melakukan transaksi dengan koperasi.
Namun disisi lain, pembuatan akta otentik ke notaris dan Kementerian Hukum dan HAM RI disatu pihak memberikan kepastian hukum bagi koperasi. Secara legal formal, tidak akan ada koperasi yang memiliki nama yang sama dan kemungkinan terjadinya perselisihan dan masalah hukum lainnya.
Ketentuan pendirian sebagaimana tercantum dalam 7 sampai dengan Pasal 15 dengan konsekuensi pengesahan pada Menteri seperti Pendirian Perseroan Terbatas di Kementerian Hukum dan HAM yang menggunakan sistem administrasi badan hukum pada laman yang secara elektronis yang diproses melalui akta notaris. Biaya pembuatan akta otentik tentu saja membutuhkan biaya yang mahal. Mahalnya biaya ini akan menjadi beban yang berat khususnya bagi koperasi yang baru merintis dan dididirikan oleh kalangan menengah ke bawah. Dengan kata lain, koperasi hanya bisa didirikan oleh sekumpulan orang yang serius dan memiliki modal biaya pendirian koperasi. Persoalannya, jika orang akan berbisnis dengan serius, mungkin preferensinya akan memilih bentuk lain ketimbang koperasi. Karena dengan koperasi akan lebih “birokratis”
Kedua, pembatasan pelayanan pada koperasi simpan pinjam hanya untuk anggota merupakan tantangan. Hal ini tidak mendorong orang bukan anggota untuk menyimpan atau menabung pada koperasi. Dengan keterbatasan kemampuan dan jumlah anggota, maka akumulasi modal koperasi dalam jumlah yang memadai sesuai dengan kebutuhan sulit dicapai dalam waktu singkat. Tujuan pembatasan ini sebetulnya memang baik, yaitu menghindarkan kemungkinan penyalahgunaan nama Koperasi Simpan Pinjam untuk tujuan akumulasi modal atau uang dengan model multilevel dan bunga tidak rasional yang terjadi selama ini. Namun pembatasan justru mempersulit koperasi untuk berkembang dengan hanya mengandalkan anggota saja
Ketiga, penetapan Unit simpan pinjam koperasi dalam waktu 3 (tiga) tahun wajib berubah menjadi KSP yang merupakan badan hukum koperasi tersendiri, sebagai syarat agar Koperasi Simpan Pinjam itu masuk dalam skema LPS – KSP yang akan dibentuk, yang terpisah dari induk koperasinya sehingga jelas unit usaha mana yang termasuk dalam skema jaminan dan tidak. Penetapan ini akan membawa konsekuensi kematian massal bagi koperasi kecil yang memiliki unit simpan pinjam. Selain keterbatasan jumlah modal yang diakumulasi dalam unit usaha tersebut, pengurusan dan pemisahan (spin off) unit simpan pinjam menjadi koperasi mandiri akan membawa dampak finansial mulai dari biaya legalitas, biaya sosialiasi, biaya awal dan biaya implementasi.
Keempat, ketatnya nomenklatur koperasi yang tertera dalam Undang-Undang, memaksa perubahan nama yang sudah “branded” seperti Credit Union. Demikian juga dalam penjenisan koperasi yang dibatasi dalam empat: Koperasi Produksi, Koperasi Konsumen, Koperasi Jasa, Koperasi Simpan Pinjam membatasi kemungkinan berbagai peluang bisnis yang tidak termasuk di dalamnya. Perlu penjelasan lebih lanjut agar tidak multi-tafsir yang akan merugikan koperasi yang memiliki peluang diluar jenis tersebut
Kelima, hilangnya istilah simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela, dengan memunculkan istilah setoran pokok dan sertifikat modal koperasi pada saat pendirian, akan menimbulkan kebingungan dalam jangka waktu yang lama. Apa implikasi dan akibatnya membutuhkan penjelasan yang panjang. Hal ini juga diperkuat dengan ketentuan bahwa setoran pokok tidak dapat diambil kembali
Keenam, secara kelembagaan posisi pengawas lebih kuat dibanding posisi Pengurus. Beberapa kewenangn pengawas seperti (1) menetapkan penerimaan dan penolakan Anggota baru serta pemberhentian Anggota sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar; (2) meminta dan mendapatkan segala keterangan yang diperlukan dari Pengurus dan pihak lain yang terkait; (3) mendapatkan laporan berkala tentang perkembangan usaha dan kinerja Koperasi dari Pengurus; (4) memberikan persetujuan atau bantuan kepada Pengurus dalam melakukan perbuatan hukum tertentu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar; (5) memberhentikan Pengurus untuk sementara waktu. Kewenangan Pengawas ini jika dilihat secara kritis mirip dengan kekuasaan Komisaris pada Perseroan Terbatas. Kondisi ini menjadi tantangan untuk merubah “pola pikir” yang selama ini sudah terbangun bahwa kekuasaan tertinggi pada Rapat Anggota, sementara pada Undang-Undang baru dikenal dengan sistem “dual layer”
IV. Implikasi Dan Rekomendasi
Revisi kebijakan penataan perkoperasian di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 membawa implikasi perubahan yang sangat mendasar. Pada bagian akhir ini dikemukakan implikasi dan rekomendasi antara lain (1) pendirian dan pembentukan koperasi tidak lagi didirikan atau dibentuk secara “main-main” namun secara serius karena konsekwensi legalitas, prosedur dan substansi kelembagaan, permodalan dan usaha koperasi yang tidak ringan dibanding dengan kebijakan sebelumnya; (2) koperasi harus dikelola secara serius dan karenanya dimungkinkan mengangkat pengurus kalangan non-anggota (3) pemerintah secara serius harus membina koperasi pada umumnya, dan koperasi simpan pinjam pada khususnya terkait dengan skema penjamiman simpanan yang menggunakan anggaran keuangan negara (4) perlunya definisi turunan empat jenis koperasi menjadi lebih spesifik untuk menjangkau berbagai peluang yang lebih luas, diluar jenis yang masih generik yang sudah disebutkan tersebut (5) penjenisan derivatif tersebut memungkinkan penggunaan nomenklatur lain namun dalam masih dalam rumpun, sebagai bahan masukan bagi pembuatan akta otentik