Sampai saat ini banyak pihak berbicara tentang good public governance/ bureaucracy khususnya bagi negara-negara berkembang yang sedang berupaya keras melaksanakan pembangunan di berbagai sektor kehidupan masyarakatnya. Berbagai pandangan dan pendapat banyak dilontarkan guna menciptakan good public governance itu. Tentunya, upaya tersebut bukanlah hal yang mudah dilaksanakan seperti halnya membangun suatu sarana fisik, gedung misalnya, yang bisa diperkirakan secara pasti bahan-bahannya dan waktu selesainya gedung tersebut. Pembangunan administrasi negara (baca: birokrasi pemerintahan atau aparatur pemerintahan) tidak bisa dibangun semudah dan secepat seperti pembangunan gedung tersebut. Hal ini dikarenakan, administrasi negara selain merupakan salah satu sistem sosial dengan berbagai kompleksitas elemennya, juga merupakan salah satu sub sistem dari suatu sistem yang lebih besar yaitu sistem kehidupan bangsa dan negara. Bahkan pada era globalisasi saat ini, sistem administrasi negara juga terkait dan dipengaruhi oleh perkembangan dunia internasional, misalnya perkembangan perdagangan internasional melalui forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasific (APEC) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Semuanya itu, harus menjadi perhatian dan direspon oleh sistem administrasi negara dalam rangka mengantisipasi berbagai perkembangan sosial, politik, dan ekonomi baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Karenanya, pengkajian terhadap permasalahan sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan memerlukan pula perhatian terhadap keadaan dan perkembangan sistem-sistem lainnya di luar sistem birokrasi pemerintahan itu sendiri baik lingkup nasional seperti sistem hukum nasional, sistem politik, dan sistem sosial masyarakat, maupun lingkup internasional misalnya ASEAN, APEC, dan WTO. Upaya untuk memperbaiki sistem administrasi negara khususnya di sebagian besar negaranegara berkembang tidak bisa diharapkan hanya akan muncul dan dilaksanakan oleh sistem itu sendiri, tanpa melibatkan sistem-sistem lainnya yang relevan, khususnya yang berada dalam negara yang bersangkutan.
Bagaimana relevansi gambaran di atas dengan konteks birokrasi atau aparatur pemerintahan Indonesia yang saat ini sedang “kurang dipercaya” (adanya krisis kepercayaan terhadap aparatur pemerintahan) oleh masyarakat umum? Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai permasalahan aparatur atau birokrasi pemerintahan Indonesia dan upaya memperbaiki kinerjanya sehingga dapat benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat bagi kesejahteraan bangsa dan masyarakat pada umumnya.
Penyakit dalam Birokrasi Pemerintahan
Tuntutan untuk menciptakan sistem administrasi negara (aparatur pemerintahan) sering dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, serta menjunjung tinggi hukum dalam arti yang sebenarnya. Administrasi negara dapat diartikan sebagai apa yang dilakukan pemerintah atau oleh instansi, mulai dari perencanaan hingga tahap evaluasi, demikian seterusnya. Kegiatan administrasi negara ini juga termasuk kegiatan menyerap aspirasi masyarakat, mengolah data/informasi, dan menyampaikannya kepada policy makers, serta mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi pelaksanaan kebijaksanaan publik. Luasnya cakupan administasi negara dapat dilihat dari keterkaitan antara administrasi negara dengan disiplin ilmu lainnya seperti ilmu ekonomi, politik, sosiologi, hukum, psikologi, pelayanan sosial, enjinering, dan kesehatan.
Demikian pentingnya administrasi negara, sehingga muncul anggapan bahwa baik buruknya kinerja pemerintah atau suatu instansi pemerintah dapat dilihat pertama kali dengan melihat bagaimana pemerintah atau instansi pemerintah tersebut mengadministrasikan (dalam arti yang luas seperti mengelola sumber daya, dan bukan arti yang sempit yaitu pekerjaan kesekretariatan) kegiatan pemerintahan umum dan pembangunan yang diembannya. Pentingnya kegiatan administrasi ini mungkin secara mikro dapat digambarkan dengan kinerja NASA (National Aeronautic and Space Administration) Amerika Serikat, yang berhasil membawa kejayaan program ruang angkasa Amerika mengungguli program ruang angkasa Uni Sovyet atau sekarang Russia sejak tahun 1960an. Sebenarnya, kualitas ahli ruang angkasa Uni Sovyet tidak kalah dibandingkan dengan yang dimiliki Amerika, namun karena NASA melalukan pendayagunaan administrasinya (dalam arti yang luas) untuk mengorganisir dan mendayagunakan semua potensi ahli ruang angkasa dan sumber daya lainnya yang dimilikinya, maka akhirnya program ruang angkasa Amerika hingga saat ini mampu mengungguli program ruang angkasa Russia. “The American won because they had managers - public administrators - who were not necessarily more capable as individuals but decidedly more capable within their political, organizational, and cultural environment”.
Bagaimana dengan sistem administrasi negara di negara-negara berkembang? Nampaknya sulit menemukan administrasi negara yang berkualitas di negara-negara berkembang, dalam arti kualitasnya tidak berbeda jauh dengan negara-negara yang sudah maju (Eropa Barat, Jepang dan Amerika Utara). Singapura, yang kualitas administrasi negaranya dinilai sama dengan negara-negara maju, bisa dianggap bukan lagi sebagai negara berkembang tetapi dapat dikategorikan sebagai negara industri baru atau bahkan negara maju. Menurut laporan Transparency International, lembaga independen Jerman di Berlin, tanggal 31 Juli 1997, tingkat korupsi di lingkungan aparatur pemerintah Singapura relatif sangat kecil, sehingga sistem administrasi negaranya menduduki peringkat ke-9 terbersih (clean) dari korupsi. Peringkat lainnya didominasi oleh negara-negara maju, seperti Denmark (1), Finlandia (2), Swedia (3), Belanda (6), Norwegia (7), Austria (8), dan Luxemburg (10). Sebaliknya, peringkat negara-negara yang memiliki tingkat korupsi yang parah didominasi oleh negara-negara berkembang, antara lain Nigeria, Bolivia, Columbia, Rusia, Pakistan, Mexico, dan Indonesia.
Laporan tersebut dapat saja diperdebatkan kebenarannya. Namun, terlepas setuju atau tidak, gambaran tingkat korupsi tersebut dapat dijadikan masukan atau tolok ukur untuk mengevaluasi kinerja sistem adminstrasi negara suatu negara, termasuk Indonesia. Hal ini dikarenakan, korupsi sangat terkait erat dengan lemahnya sistem administrasi negara, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Bahkan keterkaitan korupsi tidak hanya dengan berbagai elemen yang ada dalam sistem administrasi negara itu sendiri, tetapi juga terkait erat dengan sistem lain diluarnya, misalnya sistem politik, sistem hukum, dan sistem sosial masyarakat. Tingkat korupsi yang sudah sangat merisaukan mungkin juga dapat mencerminkan tingkat sakitnya sistem politik, sistem hukum, dan sistem sosial masyarakat.
Korupsi tidak saja dalam bentuk materi (finansial), tetapi juga kewenangan, tugas pokok dan fungsi, waktu kerja, dan sebagainya. Kritik yang dilontarkan kepada aparatur pemerintah tentang suatu kebijakan sering kurang diperhatikan, atau kalaupun diperhatikan cenderung tidak/enggan ditindaklanjuti. Anggapan diperhatikan ini sering dijadikan sebagai justifikasi bahwa aparatur pemerintah telah melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijaksanaan tertentu. Akibatnya, cepat atau lambat kebijaksanaan tersebut sering tidak mencapai sasarannya. Berbagai kebijaksanaan yang diputuskan sendiri tanpa atau dengan formalitas melibatkan masyarakat dapat dijumpai pada birokrasi pemerintahan kita. Hal seperti ini sama saja dengan menyimpan bom waktu yang pada suatu saat akan meledak. Ini terbukti dengan munculnya fenomena krisis kepercayaan masyarakat kepada aparatur pemerintah, mulai dari kelurahan/desa hingga departemen, dalam setahun terakhir ini yang ditandai dengan maraknya berbagai tuntutan masyarakat terhadap para birokrat atau pimpinan birokrasi pemerintahan. Bahkan ketidakpercayaan tersebut juga dimanifestasikan oleh masyarakat di berbagai daerah dalam bentuk tindakan main hakim sendiri misalnya terhadap sarana hiburan malam akibat tidak jelasnya kebijaksanaan aparatur pemerintah setempat tentang hal tersebut, terhadap beberapa perampok di Jakarta yang tertangkap, dan perusakan/pembakaran kapal pukat harimau oleh nelayan tradisional di Sumatra Utara beberapa waktu lalu.
Penyakit korupsi memang tidak hanya milik dan identik dengan negara-negara berkembang saja, tetapi juga dapat dijumpai di negara-negara maju. Hanya saja, tingkat korupsi di negara-negara maju baik dalam kualitas maupun kuantitasnya relatif kecil. Kuatnya sistem kontrol dari sistem-sistem lainnya (hukum atau yudikatif, legislatif, dan sosial masyarakat dengan berbagai kelembagaannya) terhadap perilaku birokrasi pemerintahan dan juga partai politik yang berkuasa (the ruling party) “memaksa” birokrasi pemerintahan dan partai yang berkuasa untuk berupaya memperbaiki kinerjanya. Tidak jarang kesalahan yang tampak kecil yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan, dapat menjadi isu sosial dan isu politik yang besar, misalnya masalah ketidakadilan dalam alokasi anggaran pendidikan atau masalah pelayanan sosial yang dianggap lambat, dan kasus suap yang dapat membawa ke pengadilan tidak saja pegawai yang menerima suap tetapi juga masyarakat yang memberikan suap tersebut.
Namun demikian, kelemahan-kelemahan tersebut akan dengan mudah diperbaiki oleh aparatur pemerintahannya. Kesadaran aparatur pemerintahan tentang peran dan fungsinya serta kesadaran untuk selalu mencari yang terbaik bagi sistem administrasi negaranya adalah merupakan salah satu faktor utama mengapa reorientasi, revitalisasi, atau reformasi birokrasi pemerintahan tampak demikian mudah dan cepatnya dilakukan oleh negara-negara maju. Misalnya, (a) penyempurnaan pelayanan umum di Inggris melalui program First Steps dan Next Steps masa Margareth Thatcher (sejak 1979) yang dilanjutkan dengan program Citizen’s Charter masa John Major dan Tony Blair; (b) pengenalan istilah dan isu good governance oleh pemerintahan Mitterand di Perancis; dan (c) gagasan reinventing government di Amerika untuk memperbaiki peran birokrasi pemerintahan pada tahun 1990-an. Beberapa negara maju lainnya juga melakukan berbagai penyempurnaan dalam sistem administrasi negaranya. Semua upaya tersebut dimaksudkan terutama untuk meningkatkan kinerja aparatur pemerintahannya agar lebih dapat memberikan kontribusi yang besar kepada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya secara umum, dan juga untuk memenangkan persaingan yang makin tajam dalam era globalisasi. Salah satu fenomena menarik dari birokrasi pemerintahan di negara-negara maju adalah keberadaannya yang tetap stabil dan tetap terorganisasikan dengan baik sehingga tetap mampu konsisten memberikan pelayanan kepada masyarakat walaupun sedang terjadi “perubahan atau konflik” politik yang tajam, misalnya kegiatan pemilu, dan turunnya atau pergantian Perdana Menteri (Ball, 1993). Dengan demikian, tampak kemandirian dan sifat profesionalisme dalam birokrasi pemerintah tersebut, dimana ia tetap konsisten melaksanakan perannya sebagai pelayan masyarakat, dan bukan pelayan atau perpanjangan kekuasaan dari partai yang berkuasa.
Berbeda dengan kondisi di negara-negara maju tersebut, di negara-negara berkembang pada umumnya birokrasi pemerintahannya cenderung sulit untuk berubah kearah yang lebih baik. Birokrasi pemerintahannya masih berada posisi yang kurang atau tidak stabil dan belum menemukan pola kerja yang baik. Perubahan pimpinan negara dan bahkan seorang kepala unit kerja dapat merubah sistem administrasi (negara) kearah yang lebih buruk, atau dengan kata lain ganti pimpinan ganti gaya administrasi (Gambar 1 mencerminkan posisi sistem administrasi negara di negara maju dan negara berkembang). Berbagai penyakit birokrasi (bureaupathology) termasuk korupsi cenderung sulit disembuhkan. Salah satu penyebabnya adalah karena birokrasi pemerintahan sering digunakan sebagai alat perpanjangan kekuasaan oleh para penguasa untuk mempertahankan kekuasaan secara tidak demokratis dan merugikan masyarakat umum. Akibatnya, peran aparatur pemerintah yang seharusnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, yang mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat umum, cepat atau lambat berubah menjadi pelayan partai atau kelompok yang berkuasa. Selanjutnya, birokrat cenderung berperan sebagai yang dilayani sedangkan masyarakat sebagai yang melayani (patron-client) dengan memberikan imbalan tertentu atas suatu jasa yang diberikan birokrat tersebut.
Kondisi tersebut tidak saja terjadi pada aparatur pemerintah tingkat pusat tetapi juga di daerah-daerah. Berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan sering mengindikasikan keadaan tersebut. Misalnya, kebijakan di bidang perdagangan dan industri serta proses tender proyek fisik disusun untuk menguntungkan kelompok tertentu baik yang ada dalam birokrasi pemerintahan maupun yang di luar tetapi punya kaitan erat dengan para pejabat birokrasi pemerintahan. Pendekatan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok atau partai yang berkuasa kepada birokrasi pemerintahan telah menularkan dan membentuk birokrasi pemerintahan untuk menggunakan pendekatan yang sama dalam berbagai kegiatannya baik di dalam kegiatan internal birokrasi dan terutama pada kegiatan yang melibatkan masyarakat. Demikian kuasanya birokrasi sehingga sikap aparatur pemerintah sering menjadi merasa paling tahu (yang lebih mengetahui diantara yang mengetahui), paling mampu/bisa, dan paling berkuasa. Ketiga sikap ini dapat dikatakan sudah menjadi “stempel atau nilai (values)“ para pegawai birokrasi pemerintahan, dan mencerminkan betapa pendekatan kekuasaan telah dipakai oleh birokrasi. Padahal pendekatan kekuasaan ini cenderung menghambat partisipasi masyarakat dan menghambat munculnya berbagai inisiatif dan alternatif pemecahan permasalahan pembangunan di berbagai sektor kehidupan. Selain itu, pendekatan kekuasaan membuat birokrasi pemerintah kebal terhadap kritikan dan aturan hukum. Sebagai contoh, di Indonesia cukup banyak keputusan peradilan tata usaha negara (PTUN) yang memenangkan tuntutan masyarakat, tetapi pada kenyataannya tidak diindahkan atau dilaksanakan oleh para pejabat birokrasi. Hal ini sesuai dengan anggapan bahwa kekuasaan yang berlebihan atau mutlak cenderung mengarah pada korupsi (absolute power tends to corrupt), tentunya bila kekuasaan tersebut tidak dikontrol atau dikendalikan.
Menurut Heady dan Wallis, sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan di negara-negara berkembang ditandai dengan beberapa kelemahan yang juga merupakan ciri utamanya (Kartasasmita, 1997). Kelemahan atau ciri-ciri tersebut nampaknya relevan dengan kondisi birokrasi pemerintahan kita selama ini.
Heady menyebutkan ada lima ciri:
Pertama, pola dasar (basic pattern) sistem administrasi negaranya merupakan tiruan atau jiplakan dari sistem administrasi kolonial yang dikembangkan negara penjajah khusus untuk negara yang dijajahnya. Biasanya, pola administrasi negara yang diterapkan negara penjajah di negara yang dijajah bersifat elitis, otoriter, cenderung terpisah (sebagai menara gading) dari masyarakat dan lingkungannya. Selain sifat-sifat di atas, dalam birokrasi kita juga dapat dijumpai nilai patron–client yang menempatkan aparatur sebagai pihak yang dilayani dan masyarakat sebagai pihak yang melayani.
Kedua, birokrasi pemerintahan kekurangan sumberdaya manusia yang berkualitas baik dari segi kepemimpinan, manajemen, kemampuan dan keterampilan teknis yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sebaliknya, kondisi yang sering dijumpai adalah banyaknya sumber daya manusia yang kurang berkualitas dengan pembagian tugas yang tidak jelas. Akibatnya, tidak saja terjadi inefsiensi dalam penggunaan sumberdaya manusia, tetapi juga terjadi penumpukkan pegawai dalam satu unit kerja atau instansi.
Ketiga, birokrasi cenderung mengutamakan atau berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok dari pada kepentingan masyarakat atau pencapaian sasaran yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Kelompok ini selain berada di lingkungan internal birokrasi juga yang berada di luar birokrasi dan diuntungkan oleh birokrasi.
Keempat, apa yang dinyatakan baik tertulis maupun lisan oleh birokrasi sering tidak sesuai dengan realitas. Misalnya dalam laporan resmi disebutkan kinerja instansi X dilaporkan secara resmi telah membaik, tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Contoh lain, peraturan tertentu dikeluarkan hanya untuk kebutuhan politis (membuat kesan bahwa pemerintah memperhatikan masalah tersebut), dan bukan untuk dilaksanakan dikarenakan kesulitan tertentu atau juga tidak/kurang adanya political will untuk melaksanakannya.
Kelima, birokrasi cenderung bersifat otonom dalam arti lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini erat kaitannya dengan ciri pertama di atas. Dalam hal ini, birokrasi seakan-akan menjadi menara gading yang tidak tersentuh. Ia bisa memutuskan apa saja tanpa merasa perlu memperhatikan dan mengajak pihak lain (stake holders) untuk merumuskannnya. Akibatnya, sikap peka, responsif dan proaktif terhadap permasalahan pembangunan yang seharusnya dimiliki aparatur pemerintahan menjadi tumpul, dan digantikan dengan sikap mengutamakan diri sendiri atau kelompoknya (selfish), reaktif, dan lamban. Pemanfaatan birokrasi pemerintahan sebagai perpanjangan tangan partai yang berkuasa cenderung membentuk sikap merasa berkuasa dan kurang peka terhadap aspirasi masyarakat di kalangan birokrat. Salah satu akibatnya, masyarakat umum sering menjadi korban dari “kebijaksanaan” aparatur pemerintah. Kondisi ini cepat atau lambat menimbulkan rasa tidak puas dan bahkan tidak mustahil berkembang menjadi “dendam” dalam diri masyarakat yang suatu saat bisa saja meledak. Maraknya tuntutan mundur, yang seringkali diwarnai, terhadap para pejabat pemerintah baik di tingkat pusat, daerah, dan bahkan desa (Kepala Desa) dapat dijadikan contoh fenomena di atas.
Dua ciri lainnya ditambahkan oleh Wallis
Pertama, administrasi di banyak negara berkembang sangat lamban dan menjadi semakin birokratik. Kondisi ini erat kaitannya dengan kesejahteraan (gaji) mereka yang relatif kecil, sehingga mempengaruhi semangat pegawainya untuk bekerja secara baik. Bahkan, juga tanpa sadar mendorong mereka untuk menciptakan tambahan kesejahteraan antara lain melalui pelaksanaan kewenangan/tugasnya sebagai pegawai. Sebagai contoh, “menambah-nambah” persyaratan dan prosedur pelayanan dengan harapan mendapat atau meminta “imbalan” dari orang yang dilayaninya. Pola pelayanan dengan “imbalan” ini tidak hanya terjadi pada bidang pelayanan umum kepada masyarakat umum, tetapi juga pelayanan bagi atau antarsesama aparatur pemerintah, misalnya “imbalan” bagi pengurusan administrasi kenaikan pangkat pegawai instansi vertikal, dan sebagainya, atau urusan lainnya antarinstansi.
Kedua, aspek-aspek yang non-birokratik (administratif) sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya, hubungan keluarga, hubungan primordial (suku, agama, keturunan, dan sebagainya), golongan atau keterkaitan politik. Keadaan seperti ini cenderung mempersulit birokrasi pemerintahan untuk bertindak dan bekerja secara objektif dan rasional, serta menurut aturan hukum yang berlaku. Bahkan orientasi birokrasi yang seharusnya untuk kepentingan negara dan masyarakat, dapat diganti menjadi untuk kepentingan kelompoknya. Kegiatan-kegiatan yang mudah dijumpai dalam kaitannya dengan aspek-aspek di atas, antara lain dalam rekrutmen dan promosi pegawai dan kegiatan tender proyek. Birokrasi pemerintahan kita juga mengalami hal ini, baik pada masa sebelum tahun 1970an dimana kepentingan berbagai partai politik telah mengkotakkotakkan orientasi kerja para pejabat birokrasi. Sebaliknya, setelah tahun 1970an juga terlihat dominasi satu kelompok politik tertentu dalam birokrasi yang pada akhirnya membawa birokrasi tidak dapat melaksanakan perannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat serta menimbulkan krisis kepercayaan kepada aparatur pemerintahan. Kebiasan membawa “teman” pejabat yang pindah dari satu instansi ke instansi lain secara tidak rasional dengan tujuan “mengamankan” kerja pejabat yang bersangkutan juga cermin dari ciri di atas (mungkin ini lebih tepat dianggap sebagai kronisme yang tidak pada tempatnya). Contoh lain adalah kondisi birokrasi pemerintahan di sebagian besar negaranegara Afrika Sub Sahara yang banyak diwarnai dengan pertentangan kepentingan kelompok suku (ethnic groups)
Aparatur Pemerintah yang Profesional
Seperti telah diuraikan sebelumnya yang dimaksud dengan aparatur pemerintahan atau birokrasi pemerintahan yang profesional dalam tulisan ini tidak lain (terjemahan bebas) adalah good public governance. Kata profesional tersebut walaupun terasa sedikit janggal sebagai terjemahan dari kata good, namun agaknya lebih tepat karena pengertiannya menjadi lebih luas dan jelas dibandingkan bila menterjemahkan kata good menjadi baik atau berwibawa. Sedangkan governance diartikan sebagai pemerintahan dimana didalamnya terdapat aparatur, sehingga dapat dianggap sebagai aparatur pemerintahan (terjemahan bebas). Dengan demikian, yang dimaksud dengan good public governance di sini adalah aparatur atau birokrasi pemerintahan yang profesional. Aparatur atau birokrasi pemerintahan yang profesional antara lain memiliki kinerja yang efisien dalam penggunaan sumberdaya dan efektif dalam mencapai target dan sasaran berbagai kebijaksanaan dan programnya, yang kesemuanya itu ditujukan untuk kepentingan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara. Kata profesional tersebut juga secara langsung menggiring kita kepada suatu pengertian bahwa birokrasi atau aparatur tersebut bekerja dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kewibawaan aparatur pemerintah (aparatur pemerintah yang berwibawa) akan muncul dengan sendirinya bila ia telah dapat bekerja dan menghasilkan kinerjanya yang efisien dan efektif.
Terminologi governance, good governance atau good public governance atau istilah lain yang mirip dengan itu menjadi populer di Indonesia dalam 2-3 tahun terahir ini karena banyak diperkenalkan oleh lembaga pemberi bantuan luar negeri (foreign donor agencies) baik yang bersifat multilateral maupun bilateral (World Bank, 1994). Terminologi tersebut sering dikaitkan dengan kebijaksanaan pemberian bantuan (aid policies), dalam arti (good) governance atau government dijadikan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian bantuan baik berupa pinjaman (loan) maupun hibah (grant). Walaupun beberapa lembaga donor internasional cenderung menggunakan terminologi yang berbeda mengenai aparatur pemerintahan, namun yang dimaksud adalah sama.
World Bank lebih suka menggunakan istilah good (public) governance, dan mengartikan governance sebagai the manner in which power is exercised in the management of a country’s economic and social resources for development” (World Bank, 1994). Sedangkan African Development Bank (AfDB) memperkenalkan istilah macrogovernance, mesogovernance (combining forms of governance) dan microgovernance untuk membedakan tingkatan pemerintahan. AfDB menganggap bahwa regim pemerintahan otoriter yang memiliki komitmen yang kuat terhadap pembangunan mungkin saja membangun good governance walaupun pada tingkatan kualitas yang cukup atau relatif kecil. Kemudian, Inter-American Development Bank lebih menekankan negara-negara peminjam untuk melaksanakan modernisasi administrasi negara (modernization of public administration).
Sementara itu, United Kingdom’s ODA tidak membedakan antara good govenance dengan good government. Kedua istilah tersebut dianggap merujuk pada hal yang sama dan menekankan pada aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan untuk menyusun berbagai kriteria dari yang bersifat politik hingga ekonomi. Kriteria tersebut digunakan dalam merumuskan kebijaksanaan pemberian bantuan luar negeri khususnya kepada negara-negara berkembang. Sedangkan World Bank mengidentifikasi 3 aspek yang terkait dengan governance yaitu (a) bentuk rejim politik (the form of political regime); (b) process dimana kekuasaan digunakan di dalam manajemen sumber daya sosial dan ekonomi bagi kegiatan pembangunan; dan (c) kemampuan pemerintah untuk mendisain, memformulasikan, melaksanakan kebijaksanaan, dan melaksanakan fungsi-fungsinya. Mengingat aspek pertama di atas bukan merupakan bidangnya, maka World Bank lebih memfokuskan pada dua aspek terakhir saja.
Kriteria tentang good governance juga disusun oleh OECD’s Development Assistance Committee, dengan menggunakan definisi governance-nya World Bank, yang mencakup ruang lingkup: (a) participatory development, (b) human rights, dan (c) democratization. Secara lebih spesifik, ketiga ruang lingkup tersebut dijabarkan dalam tolok ukur sebagai berikut: (a) pemerintahan yang mendapat legitimasi (legitimacy of government mencerminkan degree of democratization); (b) akuntabilitas politik dan perangkat pejabat pemerintahan (tercermin dari media freedom, transparent decison making, dan accountability mechanism); (c) kemampuan pemerintah untuk menyusun kebijaksanaan dan mendistribusikan pelayanan yang baik; dan (d) komitmen yang nyata terhadap masalah hak asasi manusia dan aturan hukum (baik yang berkaitan dengan hakhak individu dan kelompok, keamanan, aktivitas sosial dan ekonomi, serta partisipasi masyarakat).
Dari berbagai gambaran di atas, secara singkat dapat disimpulkan bahwa setidaktidaknya ada lima ciri atau prinsip utama yang harus dipenuhi oleh suatu birokrasi atau aparatur pemerintahan untuk dapat disebut sebagai good public governance atau good public government, yaitu: (1) akuntabilitas (accountability, banyak yang mengartikannya sebagai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan); (2) keterbukaan dan transparan (openness and transparency); serta (3) ketaatan pada aturan hukum (Bhatta, 1996; dan World Bank, 1991). Ciri lainnya adalah, (4) komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan negara, dan bukan pada kelompok atau pribadi; dan (5) komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kelima prinsip tersebut saling mengisi.
Akuntabilitas dalam arti aparatur pemerintah harus mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan di bidang tugas dan fungsinya. Dalam hubungan ini, dengan prinsip akuntabilitas tersebut aparatur pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan, program dan kegiatannya yang dilaksanakan atau dikeluarkannya termasuk pula yang terkait erat dengan pendayagunaan ketiga komponen dalam birokrasi pemerintahan yaitu kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusianya. Misalnya, pengembangan atau perubahan organisasi suatu instansi harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi tersebut. Sehingga tidak terjadi lagi pengembangan atau penambahan struktur organisasi yang didasarkan pada kepentingan pribadi atau kelompok hanya untuk menampung kerabat/teman atau menempatkan orang yang tidak disukai.
Seharusnya pengembangan dan perubahan organisasi didasarkan pada analisis jabatan dan kebutuhan kerja instansi yang sebenarnya. Demikian pula kegiatan penggunaan sumber daya antara lain di bidang keuangan dan sumber daya manusia, serta pelaksanaan ketatalaksanaan atau manajemen kerja, harus pula dapat dipertanggung-jawabkan secara logis.
Prinsip akuntabilitas “mensyaratkan” adanya perhitungan cost and benefit analysis (tidak terbatas dari segi ekonomi, tetapi juga sosial, dan sebagainya tergantung bidang kebijaksanaan atau kegiatannya) dalam berbagai kebijaksanaan dan tindakan aparatur pemerintah. Selain itu, akuntabilitas juga berkaitan erat dengan pertanggungjawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau target kebijaksanaan atau program. Dengan demikian, tidak ada satu kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan yang dapat lepas dari prinsip ini.
Keterbukaan dan transparan (openness and transparency), artinya masyarakat dan sesama aparatur pemerintah dapat mengetahui dan memperoleh data dan informasi dengan mudah tentang kebijaksanaan, program, dan kegiatan aparatur pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah, atau data dan informasi lainnya yang tidak dilarang menurut peraturan perundang-undangan yang disepakati bersama. Keterbukaan dan transparan juga dalam arti masyarakat atau sesama aparatur dapat mengetahui atau dilibatkan dalam perumusan atau perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dengan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan publik yang terkait dengan dirinya. Data dan informasi yang berkaitan dengan tugas/fungsi aparatur pemerintahan (instansi) yang bersangkutan harus disediakan secara benar, misalnya data PNS oleh BAKN, data guru oleh Depdikbud, data realisasi panen padi oleh Departemen Pertanian, dan sebagainya. Sudah saatnya perlu dihindari adanya data dan informasi yang bersifat “menyenangkan” tetapi menutupi yang sebenarnya. Hal ini penting, karena keputusan atau kebijakan publik (public policy) yang diambil pimpinan yang tidak didasarkan pada data dan informasi yang sebenarnya, maka keputusan atau kebijaksanaan tersebut tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan tidak mustahil, keputusan atau kebijaksanaan tersebut akan menimbulkan masalah baru yang lebih rumit. Misalnya, kebijaksanaan lahan gambut di Kalimantan yang kurang didasarkan data dan informasi yang akurat, akhirnya menimbulkan masalah baru seperti masalah lingkungan, anggaran (pemborosan), dan penderitaan transmigran yang ditempatkan di sana. Contoh lain yang menarik adalah “kebijaksanaan lisan” Gubernur DKI yang mengizinkan becak beroperasi di Jakarta yang sempat menimbulkan masalah sehingga dalam waktu singkat harus dibatalkan.
Sikap pemerintah yang terbuka dan transparan dalam menyediakan data dan informasi tersebut tidak hanya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pemerintahan dan pembangunan, tetapi dapat pula mencedaskan masyarakat, mendorong perkembangan ilmu pengetahuan (riset, penelitian, kajian), mendewasakan masyarakat dan menimbulkan sikap kritis dalam masyarakat, dan turut menciptakan suasana demokratis dalam diri masyarakat. Dengan cara demikian, cepat atau lambat akan tumbuh kepedulian yang tinggi terhadap kinerja birokrasi pemerintahan, dan akan tumbuh sikap dialog dan saling kontrol antara masyarakat dan birokrasi pemerintahan. Namun demikian, persoalannya sekarang adalah apakah birokrasi atau aparatur pemerintahan punya cukup kemauan untuk terbuka dan transparan atau tidak, serta jujur dalam menyediakan data dan informasinya.
Prinsip ketiga, ketaatan pada aturan hukum artinya aparatur pemerintahan menjunjung tinggi dan mendasarkan setiap tindakannya pada aturan hukum, baik yang berkaitan dengan lingkungan eksternal (masyarakat luas) maupun yang berlaku terbatas di lingkungan internalnya, misalnya aturan kepegawaian dan aturan pengawasan fungsional. Prinsip ini juga mensyaratkan terbukanya kesempatan kepada masyarakat luas untuk terlibat dan berpartisipasi dalam perumusan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masyarakat. Prinsip keempat, komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan negara, dan bukan pada kelompok, pribadi atau partai yang menjadi idolanya, merupakan hal yang mutlak dimiliki oleh aparatur pemerintahan. Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintah, sebagai pembina, pengarah, dan penyelenggara pemerintahan umum dan pembangunan (dalam batas-batas tertentu).
Terakhir, komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Hal ini penting, sebab tanpa komitmen ini maka yang timbul bukan partisipasi masyarakat tetapi antipati dan ketidaksukaan dalam diri masyarakat terhadap perilaku dan kebijaksanaan aparatur pemerintah. Pada saat yang sama, dalam diri aparatur atau birokrasi pemerintahan akan tumbuh secara perlahan tetapi pasti sikap mendominasi, anggapan atau perasaan paling tahu, paling bisa, dan paling berkuasa, dan cenderung tidak mau tahu kondisi dan pendapat orang lain, yang pada akhirnya menimbulkan arogansi birokrasi pemerintah
Bagaimana Menciptakan Aparatur Pemerintah yang Profesional?
Mungkin terlalu berlebihan bila menganalogikan upaya menyembuhkan penyakit birokrasi pemerintahan dan sekaligus menciptakan birokrasi pemerintahan yang profesional (good public governance/bureaucracy) di negara-negara berkembang dengan upaya mengurai benang kusut. Namun demikian, itulah gambar-an yang sebenarnya. Persoalannya sekarang adalah bagaimana memberdayakan seluruh komponen birokrasi pemerintahan (kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusianya) agar menjadi aparatur pemerintahan yang profesional.
Dalam hubungan ini yang pertama-tama harus dipahami adalah bahwa reformasi terhadap birokrasi pemerintahan kita bukan dalam arti mengganti secara total. Misalnya dengan segera mengganti seluruh atau sebagian besar pejabat struktural atau pegawai negeri sipil yang ada dengan yang baru. Bisa dibayangkan betapa sulit mengganti sekian puluh ribu pejabat struktural (eselon V hingga eselon I), atau 4,1 juta PNS dalam waktu singkat. Mengingat hal tersebut, dan juga tidak seluruh komponen dalam aparatur pemerintah mengidap “penyakit” atau tidak berfungsi dengan baik, maka upaya yang realistis dilakukan adalah dengan mem-perbaiki komponen-komponen yang rusak.
Kemudian, apakah birokrasi pemerintahan kita dapat mengobati dan menyembuhkan dirinya sendiri tanpa dukungan pihak lainnya? Nampaknya untuk saat ini dan mungkin dalam beberapa tahun mendatang sulit terjadi, mengingat berbagai faktor yang melekat dalam diri birokrasi pemerintahan kita selama lebih dari 3 dekade terakhir ini, antara lain kecenderungan resistant to change dalam birokrasi atau kecenderungan adanya penyakit entropi yaitu kurang adanya kemauan dan kemampuan untuk memperbaiki diri atas inisiatif sendiri tanpa harus ditekan oleh sistem lain di luar birokrasi pemerintahan. Karena itu, pendayagunaan sistem administrasi negara harus juga melibatkan sistem-sistem lain di luar dirinya.
Birokrasi pemerintahan atau sistem administrasi negara bukanlah closed system. Ia adalah opened system dan merupakan bagian atau sub sistem dari suatu sistem kehidupan bangsa dan negara sehingga keberadaan dan kinerjanya dipengaruhi dan mempengaruhi sub sistem lainnya. Hal ini sesuai dengan konsep Administrasi Pembangunan yang diartikan sebagai “administrasi negara untuk mendukung pembangunan dan pembangunan administrasi negara itu sendiri.” Maksudnya, bagaimana membangun suatu sistem administrasi negara yang dapat mendukung proses pembangunan secara efisien dan efektif, dan sebaliknya bagaimana proses atau keberhasilan pembangunan tersebut punya dampak yang positif untuk turut menciptakan administrasi negara yang baik. Dengan demikian, untuk mewujudkan sistem administrasi negara yang profesional tidak dilakukan dari dalam diri sistem administrasi negara saja, tetapi juga harus di dukung dengan pembangunan di bidang lainnya, yaitu pemberdayaan lembaga legislatif, yudikatif, media massa, pendidikan masyarakat, dan organisasi masyarakat (seperti organisasi profesional dan lembaga swadaya masyarakat). Misalnya, dalam kasus “suap-menyuap”, pengadilan tidak hanya mengadili aparatur yang menerima suap saja, tetapi juga harus membawa masyarakat yang memberikan suap tersebut.
Keberhasilan pembangunan dan pemberdayaan bidang atau sistem lainnya di luar sistem administrasi negara cepat atau lambat akan memberikan tekanan kepada sistem administrasi negara untuk memperbaiki kinerjanya. Demikian pula, kemajuan dalam pembangunan sistem administrasi negara akan memberikan kontribusi positif kepada kegiatan pembangunan. Dengan demikian akan terdapat sinergi antar elemen-elemen dalam sistem kehidupan bangsa dan negara, yang akan mendorong sistem administrasi negara untuk memberdayakan dirinya melalui interaksi positif antar elemen-elemennya (thermodinamic).
Pemberdayaan sistem administrasi negara meliputi 3 elemen atau komponen yang saling terkait, yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia. Pemberdayaan ketiga komponen tersebut harus didasarkan pada prinsip atau tolok ukur efisiensi dan efektivitas kerja. Kedua prinsip ini harus ada dalam setiap kebijaksanaan untuk memberdayakan ketiga komponen tersebut. Nampaknya pemasyarakatan prinsip ini bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk itu diperlukan, strategi pemasyarakatan nilai-nilai sosial (social values marketing) yang terencana untuk mengubah perilaku (Kotler dan Roberto, 1989) dan menghidupkan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas dalam diri aparatur pemerintah, dan juga masyarakat luas. “Pandangan atau nilai” yang tidak mendukung dan merusak birokrasi pemerintahan harus dihapus, misalnya anggapan bahwa atasan adalah pemegang kekuasaan mutlak yang selalu benar dan lebih tahu sehingga bawahan harus patuh dan enggan memberikan masukan.
Di bidang kelembagaan, harus dilakukan reorganisasi terhadap organisasi atau kelembagaan berbagai instansi. Pengembangan dan perubahan organisasi (organization development and change) harus diarahkan untuk: (1) menghindari terjadinya pembentukan unit-unit kerja yang menghambat efisiensi dan efektivitas kerja, termasuk duplikasi tugas dan fungsi, dan yang sekedar menampung pegawai, tanpa tugas dan fungsi yang jelas; (2) menghindari terjadinya penyeragaman bentuk dan unit kerja yang tidak perlu tanpa memperhatikan kebutuhan dan analisis beban kerja yang sebenarnya.
Di bidang ketatalaksanaan atau manajemen, pemberdayaan perlu dilakukan dengan menyusun berbagai sistem manajemen yang realistis dan applicable mulai dari manajemen kebijaksanaan yang bersifat makro hingga pedoman kerja yang jelas bahkan sistem penyimpanan arsip. Sistem kearsipan sekilas tampak tidak berarti, padahal tidak saja dapat menimbulkan economic cost tetapi juga social dan political cost yang tidak sedikit yang tidak jarang menimbulkan konflik bila lalai memperhati-kannya. Sebagai contoh, berbagai kasus pertanahan sering muncul karena lemahnya sistem arsip pertanahan. Demikian pula dengan sistem registrasi kependudukan dimana seorang penduduk DKI Jakarta dapat memiliki juga kartu tanda penduduk DKI, Bekasi, Tanggerang, dan Gunung Kidul. Padahal sistem registrasi kependuduk-an ini sangat penting untuk menghasilkan data kependudukan yang akurat. Data tersebut sangat berguna sebagai masukan pengambilan kebijaksanaan di berbagai sektor pembangunan, misalnya program keluarga berencana, penanggulangan kemiskinan, pemilihan umum, dan sebagainya. Selanjutnya, sistem kearsipan yang baik akan berdampak positif, misalnya Departemen Luar Negeri dan beberapa instansi terkait dapat menyelesaikan kasus pulau Simpadan dan Lingitan dengan Malaysia, karena adanya dokumen perjanjian Belanda dan Inggris pada masa kolonial Belanda mengenai status kedua pulau tersebut yang disimpan rapi oleh Arsip Nasional.
Terakhir adalah pembangunan sumber daya manusia baik dari segi kualitas (kemampuan, tingkat pendidikan, sikap, dan kariernya) dan kesejahteraannya. Berbagai diklat perlu ditata rapi dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata. Demikian pula sistem pembinaan karier, termasuk sistem rekrutmen, promosi, DP3 dan sebagainya. Perilaku aparatur perlu dibenahi agar berorientasi pada produktivitas dan kualitas kerja serta mengutamakan kepentingan masyarakat umum dan social equity, bukan kepentingan kelompok atau golongan termasuk partai-partai yang berkuasa. Untuk itu, aparatur negara harus dibina sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dalam arti yang sebenarnya dan bukan sebagai abdi partai yang berkuasa dan “abdi pengusaha”.
Tampaknya semua upaya pembangunan sistem administrasi negara akan sulit dicapai tanpa memperhatikan kesejahteraan pegawai negeri (termasuk TNI dan Polisi). Pegawai negeri adalah manusia, dan memiliki hak asasi untuk hidup layak. Karena itu, adalah tidak adil dan tidak manusiawi bila pegawai negeri hanya disuruh bekerja dengan gaji “perjuangan” saja. Selama 3 dekade, sistem gaji “perjuangan” ini telah menimbulkan social cost, selain economic cost, yang sangat mahal khususnya dalam bentuk “pembenaran dan penyebaran” praktek-praktek korupsi dengan segala bentuknya. Praktekpraktek seperti ini secara lambat tapi pasti seakan-akan telah “membudaya” dalam birokrasi pemerintahan. Penghapusan terhadap social cost tersebut bukan merupakan hal yang mudah, dan hal inilah yang sedang kita alami hingga saat ini. Karena itu, sistem pengajian pegawai negeri harus diperbaiki agar pegawai negeri dapat hidup layak dalam arti dapat menghidupi keluarganya (sandang, pangan, papan, dan kebutuhan sosialnya). Selain itu, sistem penggajian (gaji PNS standar nasional dan tunjangan lain yang belum tentu semua instansi men-dapatkannya) tersebut juga harus adil dan proporsional dan terbuka untuk seluruh pegawai negeri dan instansi pemerintah tanpa pilih kasih.
Disadari bahwa peningkatan gaji tidak berarti akan otomatis memperbaiki kinerja aparatur negara baik pada kualitas produktivitas kerjanya maupun sikap atau perilaku kerjanya. Tetapi tanpa perbaikan gaji, maka sangat sulit sekali mengharapkan kinerja aparatur pemerintah akan baik. Mengingat gaji bukan satu-satunya faktor untuk mendorong peningkatan kinerja, maka peningkatan gaji tersebut juga harus dibarengi dengan pendayagunaan bidang lainnya, misalnya pengawasan, pembinaan karier, dan diklat bagi pegawai.
0 komentar:
Posting Komentar