Metode Pengkajian Filsafat Indonesia
Metode itu ibarat ‘kacamata’ yang digunakan untuk memahami gejala atau realitas. Kegunaan metode dalam lapangan filsafat sungguh sangat besar. Filsafat adalah realitas yang terus bergerak abadi dan berseliweran di depan mata seorang filosof, karena sejarah (waktu dan ruang) terus berubah abadi. Hanya metodelah yang mampu membuat still photo dari realitas filsafat yang bergerak abadi itu.
Banyak sekali metode yang dapat digunakan untuk memahami gejala filsafat di Indonesia, mulai dari yang imported hingga yang dikembangkan sendiri di tanah-air. Di bawah ini hanya sekadar contoh dari beberapa metode pengkajian filsafat yang telah dilakukan oleh beberapa pengkaji Filsafat Indonesia.
Metode Survival Economy
Metode ini mengingatkan kita pada dikotomi superstructure-infrastructure dalam Marxisme. Marx pernah berpendapat bahwa produksi budaya (superstructure) mencakup agama, seni, dan filsafat berjalan bersamaan dengan jenis produksi ekonomis (infrastructure). Bahkan, infrastructurelah yang menentukan corak superstructure. Jika mode of production yang diterapkan ialah ‘feudalisme’, maka kebudayaan yang diproduksi bersamaan dengan itu ialah budaya feudalistik. Begitupula dengan mode of production kapitalisme, yang melahirkan budaya kapitalistik.
Metode sejenis ini dipakai oleh Jakob Sumardjo, baik dalam bukunya Mencari Sukma Indonesia dan Arkeologi Budaya Indonesia. Menurut Jakob, filsafat suatu masyarakat di Indonesia tergantung pada cara masyarakat itu bertahan hidup (survive); cara masyarakat itu memanfaatkan alam sekitarnya demi kelangsungan hidup komunalnya. Jika masyarakat itu dapat bertahan hidup dengan cara bersawah, maka filsafat yang diproduksi akan berhubungan dengan sawah (konsep kesuburan, konsep hari baik, konsep musim baik, konsep hidup sesuai alam, dll.).
Berdasarkan jenis survival economy yang dianut suatu masyarakat, Jakob membagi Filsafat Indonesia ke dalam 4 jenis pola-pikir, yakni ‘pola-pikir masyarakat persawahan’, ‘pola-pikir masyarakat perladangan’, ‘pola-pikir masyarakat peramu-berburu’, dan ‘pola-pikir masyarakat pesisir-maritim’, dimana di antara 4 pola-pikir (filsafat) itu terdapat perbedaan yang amat besar.
Metode Historis
Metode ini adalah metode yang paling kuno untuk mengkaji fenomena kemanusiaan, termasuk fenomena filsafat. Filsafat Indonesia pertama-tama ditaruh dalam bingkai sejarah, lalu diurai dalam suatu kronologi, kemudian dalam kronologi itu dimasukkan nama-nama tokoh Filsafat Indonesia. Setelah daftar nama memenuhi kronologi, dimulailah pencarian data-data historis yang mencakup biografi tokoh, karya-karya tokoh, peran-peran tokoh itu dalam sejarah filsafat, dan bisa pula ditambahkan data-data tentang peran historis tokoh itu dalam sejarah dunia atau dalam sejarah filsafat dunia. Metode ini telah digunakan, misalnya, oleh Ferry Hidayat dalam karyanya Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia.
Titik-tolak Ferry ialah pandangan bahwa filsafat—dimanapun dan kapanpun ia diproduksi—merupakan produk sejarah, dan karena itu, maka konteks sejarah yang melingkari filsafat itu harus ditemukan jika filsafat hendak dipahami secara lebih baik. Filsafat Marxisme, misalnya, akan lebih baik dipahami jika ditemukan konteks historis yang melingkari produksi Marxisme itu: kondisi sosial apa yang menyebabkan Karl Marx membangun filsafat Komunisme? Masalah kongkrit apa di Jerman dan di Inggris yang menyebabkan Marx menulis Das Kapital? Realitas politik apa di era Marx dan Engels hidup yang mendorong mereka membangun classless society? Jika semua pertanyaan itu dapat ditemukan jawabannya lewat kajian historis, maka filsafat Marxisme dapat dipahami secara lebih dalam.
Metode Komparasi dan Kontras
Cara lain untuk mengkaji Filsafat Indonesia ialah dengan cara mencari perbedaan dan kesamaan di antara filsafat-filsafat sejagat yang ada, lalu perbedaannya ditunjukkan, sehingga nampak fitur distingtif dari Filsafat Indonesia. M. Nasroen menggunakan metode perbandingan dan kontras untuk menunjukkan segi-segi berbeda dari Filsafat Indonesia yang membedakannya dari filsafat-filsafat sejagat lainnya dalam karyanya Falsafah Indonesia. Ia membandingkan tradisi Filsafat Barat, Filsafat Timur, dan Filsafat Indonesia, lalu berkesimpulan bahwa Filsafat Indonesia amat berbeda dari dua filsafat lainnya karena mengajarkan ajaran-ajaran asli tentang mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan.
Metode Kritik Teks
Metode ini mengkaji Filsafat Indonesia langsung dari teks-teks filsafat yang diwariskan seorang filosof tertentu. Artinya, semua karya seorang filosof Indonesia dikumpulkan, lalu ditelaah secara seksama, diperhatikan konsep-konsep utamanya. Setelah selesai ditelaah, dibangunlah beberapa kesimpulan tentang teks itu, dan dari kesimpulan itu dibangunlah pengertian tentang struktur filsafat yang dibangun teks itu. Metode ini telah diterapkan P.J. Zoetmulder, Sunoto, R. Pramono, dan Jakob Sumardjo dalam karya-karya mereka.
Metode Internalisasi
Metode ini dipakai oleh Sunoto dalam karyanya Menuju Filsafat Indonesia. Untuk memahami konsep-konsep kenegaraan Jawa Kuno, Sunoto mengunjungi candi-candi di Jawa, mengamati relik-relik candi untuk merenungi pesan cerita yang dipahatkan di atasnya, menghirup udara di sekitar candi, bersemadi di dalam area candi untuk merasakan auranya, mencoba memasukkan citra fisik dan citra metafisik dari candi itu ke dalam badan dan jiwanya, dan saat itu semua berhasil diinternalisir, Sunoto menghentikan semadinya dan kemudian membangun konsep-konsep subjektif tentang konsep kenegaraan Jawa darinya.
0 komentar:
Posting Komentar