Hubungan Ekonomi Politik RRC - Amerika Serikat
1. Hubungan Ekonomi RRC - Amerika Serikat
Terdapat suatu implikasi kritis yang dimiliki oleh pertumbuhan ekonomi China dan liberalisasi gradual ekonominya terhadap perekonomian dan kepentingan strategis AS. Pertumbuhan ekonomi China yang luar biasa pesat ini juga berjalan seiring dengan pengaruhnya secara politis terhadap dunia internasional. Untuk memenuhi kebutuhannya yang besar akan sumber daya, modal, dan teknologi, China dengan sukses telah mulai menjalin kerjasama dagang, menyepakati kontak minyak bumi dan gas, perjanjian kerjasama teknologi dan ilmu pengetahuan, dan perjanjian pertahanan keamanan secara multilateral dengan berbagai negara lain, baik dengan negara tetangga, maupun dengan negara-negara lain di berbagai penjuru dunia. Pengaruh ini bahkan telah dipenetrasi hingga ke wilayah-wilayah dimana AS juga memiliki kepentingan dan pengaruh yang sebelumnya tidak tertandingi oleh negara manapun.
Seusai reformasi dan liberalisasi perekonomian China, neraca dagang China yang pada mulanya mengalami defisit mulai mengalami peningkatan pesat hingga mencapai surplus yang dari tahun ke tahun terus meningkat secara fantastis. Pada tahun 2010, surplus perdagangan China mencapai US$ 184,5 miliar. China mengalami surplus umumnya dengan negara-negara industri maju dan cenderung mengalami defisit dengan negara-negara berkembang. Namun dengan besarnya volume perdagangan China dengan negara-negara maju, neraca dagang China secara akumulatif tetap bernilai positif.
Beberapa ahli menyatakan bahwa peningkatan keterlibatan hubungan internasional China meningkatkan adanya persaingan yang kuat antara China dan AS atas penguasaan sumber daya, kekuatan dan pengaruh. Republik Rakyat China merupakan partner dagang ketiga terbesar Amerika Serikat, dengan total nilai dagang sebesar AS$ 285 miliar pada tahun 2005. Isu-isu yang sedang marak antara hubungan perekonomian AS dan China, mencakup meningkatnya defisit dagang AS terhadap China (sebesar AS$ 202 miliar pada tahun 2005), kegagalan China melindungi hak cipta dan hak kekayaan intelektual inovasi dari AS, pemberlakuan kebijakan yang menghalangi pasar bebas, seperti subsidi serta kebijakan intervensi nilai mata uangnya itu sendiri, serta upaya pemerintah China dalam membeli kepemilikan surat hutang AS.
Para kritisi AS menganggap bahwa intervensi nilai mata uang China menjadi kontributor besar defisit perdagangan AS terhadap China dan dengan demikian menginginkan China untuk segera melakukan penyesuaian. Penyesuaian ini, oleh pemerintah AS, diharapkan dengan segera mampu merefleksikan harga mata uang China yang sebenarnya berdasarkan sistem pasar bebas. Pemerintah AS secara proaktif menyuarakan kekhawatirannya melalui berbagai forum internasional.
Pada bulan Juli 2005, pemerintah China merespon kekhawatiran pemerintah AS dengan mengumumkan bahwa nilai mata uang China akan disesuaikan terhadap beberapa nilai mata uang partner dagang utamanya, termasuk dolar Amerika Serikat. Namun demikian, proses apreasiasi yang lambat dan dengan nilai yang tidak begitu signifikan ini rupanya tidak cukup untuk menahan kekhawatiran AS dan Senator AS Charles Schumer dan Lindsay Graham untuk memperkenalkan rancangan undang-undang (S. 295) yang, apabila disahkan, akan menaikkan tariff AS terhadap barang-barang impor asal China sebesar 27.5% kecuali apabila nilai mata uang China diapresiasi secara signifikan.
2. Hubungan Politik RRC – Amerika Serikat
Meningkatnya intensitas perdagangan antara China dan Amerika Serikat juga memberikan arti penting peningkatan interaksi politik antar kedua negara. Pada tanggal 7 Desember 2005, Wakil Sekretaris Negara AS Robert Zoellick dan Wakil Menteri Luar Negeri China Dai Bingguo melaksanakan pertemuan bilateral Dialog Senior yang kedua di Washington untuk membahas kerangka konsep dan strategis hubungan China-AS serta membahas isu-isu lainnya. Ide penyelenggaraan pertemuan bilateral ini awalnya diusulkan oleh Presiden China Hu Jintao pada saat bertemu dengan Presiden AS Bush pada bulan November 2004 dalam pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Chili. Amerika Serikat secara politis memandang China memiliki arti yang sangat penting utamanya sebagai pemain utama politik internasional secara khusus di Asia dan secara umum pada skala global, sekaligus sebagai salah satu pemegang hak veto dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa.
Dengan dikembangkannya kerangka kerjasama bilateral antara AS dan China, pemerintah AS secara proaktif terus melakukan upaya untuk membentuk kerangka diplomasi yang sesuai dengan kebutuhan kedua negara. Amerika Serikat lebih menekankan pada peran serta China untuk menjadi “aktor bertanggungjawab” dalam konstalasi politik internasional agar tidak hanya sekedar berkepentingan untuk memperoleh keuntungan ekonomi, namun juga mulai memegang peran tanggung jawab terhadap perekonomian global dan diplomasi politik. Zoellick menyatakan bahwa AS siap untuk menjalin kerjasama bilateral yang lebih erat dengan pemerintahan China yang masih berlandaskan atas ideologi komunis, di saat bersamaan tetap mengharapkan adanya peningkatan nilai-nilai demokrasi oleh pemerintah China.
Perubahan situasi ekonomi China secara drastis tidak lepas dari adanya perselisihan antara berbagai kelompok sosial di China. Para petani di wilayah pedesaan China pada mulanya harus menanggung bebas pajak yang sangat besar sehingga terjadi kesenjangan pendapatan antara masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan dan yang tinggal di daerah pedesaan. Beberapa lahan petani bahkan disita oleh pemerintah untuk dijadikan wilayah pembangunan industri, dengan memberikan kompensasi yang sangat minim. Salah satu kasus penahanan lahan pertanian oleh angkatan bersenjata China terjadi pada tanggal 6 Desember 2005 di kota Dongzhou (Shanwei), ketika pemerintah China ingin membangun konstruksi sumber energi di wilayah pertanian, yang kemudian mengakibatkan beberapa rakyat sipil meninggal akibat bentrok antar sipil dan militer yang mencoba mangambil alih kepemilikan lahan tersebut.
Dalam upaya menanggapi keluhan masyarakat di wilayah pinggiran China, pemerintah China mengusulkan suatu mekanisme baru di awal tahun 2005 untuk mengurangi pajak petani pedesaan, meningkatkan subsidi pertanian, dan berupaya menutupi kesenjangan pendapatan antara masyarakat wilayah perkotaan dan pedesaan China. Meningkatnya demonstrasi dan protes buruh, terutama di wilayah utara dan sebelah dalam China menjadi sumber kekhawatiran tersendiri bagi rezim politik China yang dibangun atas dasar semangat komunisme yang memprioritaskan kepentingan kaum buruh. Meningkatnya aktifitas protes ini memberikan tekanan yang lebih besar bagi pemerintah China utamanya melalui satu-satunya organisasi buruh yang sah di China, yakni All-China Federation of Trade Unions (ACFTU).
Keberhasilan ekonomi China membuat negara ini mampu memperluas pengaruhnya ke berbagai negara. Namun, berbeda halnya dengan AS, cara yang dilakukan oleh China dalam memberikan bantuan sama sekali tidak terkait dengan berbagai prasyarat demokratisasi dan pasar bebas. Bantuan China ke berbagai negara dijadikan China semata-mata sebagai diplomasi perdagangan, dimana bantuan tersebut membantu China mendapatkan kontrak ekonomi di berbagai negara. Bagi China, kondisi dalam negeri suatu negara tidak menjadi persoalan dalam melakukan kerjasama ekonomi, karena menurutnya hal tersebut merupakan urusan dalam negeri suatu negara yang tidak bisa dicampuri oleh negara lain.
Berkat pola pendekatannya yang berbeda dengan Amerika Serikat, China dipercaya kini lebih disenangi oleh negara-negara berkembang yang berada di Afrika dan Amerika Latin, khususnya negara-negara yang anti Amerika Serikat. Makin besarnya pengaruh China di berbagai kawasan, perlahan menggeser posisi Amerika Serikat yang selama ini mendominasi perpolitikan internasional. Pemberlakuan sistem komunisme berkarakteristik China, yang berhasil mengubah China menjadi pemain utama dalam dunia internasional juga menjadi tantangan bagi sistem liberalisme dan demokratisasi yang dijalankan Amerika Serikat yang sealma ini dianggap sistem terbaik dalam menjalankan suatu negara. Sampai sekarang Amerika Serikat masih menjadi nomor satu dalam perpolitikan internasional, namun, dengan keberadaan China, Amerika Serikat tidak lagi menjadi satu-satunya pemain utama. Amerika Serikat bahkan akan memikirkan reaksi China dalam pengambilan keputusannya ataupun kebijakannya baik dalam negeri maupun luar negeri yang terkait dengan China.