Teori Umum Keynes Dalam Pandangan Misesian
Tujuan saya adalah merekonstruksi beberapa butir kebenaran fundamental tentang proses pembangunan ekonomi serta peran-peran yang dimainkan oleh kesempatan kerja, uang dan bunga di dalam proses tersebut.
Kebenaran ini bukan berasal dari ilmu ekonomi mazhab Austria, dan bukan bagian integral penciri tradisi pemikiran mazhab tersebut. Sebagian besar darinya adalah bagian dan isi paket dari apa yang sekarang biasa disebut sebagai ekonomi klasik, dan, sesungguhnya, pengakuan terhadap kesahihannya secara unik dapat membedakan seorang ekonom dari seorang yang aneh. Namun, memang, ekonomi aliran Austrialah yang paling berhasil dalam mengemukakan kebenaran tersebut secara jernih dan hampir menyeluruh, khususnya melalui Ludwig von Mises dan kemudian Murray N. Rothbard (Mises [1949] 1966; Rothbard [1962] 1970). Selain itu, mazhab tersebut telah memberikan pembelaan paling kuat terhadapnya, yaitu dengan menunjukkan bahwa kebenaran ini pada akhirnya dapat dideduksi dari sejumlah proposisi dasar yang tidak mungkin dipertanyakan lagi (misalnya bahwa manusia adalah makhluk yang bertindak dan mengetahui apa artinya bertindak). Mazhab Austria berhasil menyampaikan kebenaran tersebut secara sedemikian rupa sehingga upaya penyanggahan terhadapnya tidak saja akan menimbulkan kesalahan faktual, melainkan juga, dan yang lebih meyakinkan lagi, akan menciptakan kesalahan logis atau kerancuan pikiran.
Pertama, saya akan merekonstrusi secara sistematis teori pembangunan ekonomi menurut pandangan mazhab Austria.
Selanjutnya, saya akan membahas teori ”baru” J. M. Keynes yang merupakan bagian dari, sebagaimana dengan bangga diakui oleh Keynes sendiri, tradisi ekonomi ”dunia bawah”
(misalnya merkantilisme) dan teori-teori para ”ekonom” seperti S. Gesell (Keynes 1936). Akan saya tunjukkan bahwa ilmu ekonomi baru Keynes, sebagaimana tradisi “bawah tanah”, tidak lain merupakan selembar tipis kekeliruan logis yang disampaikan dengan penggunaan jargon asing, plesetan definisi, dan inkonsistensi logis yang ditujukan untuk
membangun sistem ekonomi berbasis negara (statist) dan anti pasar bebas.
KESEMPATAN KERJA
Di pasar yang tidak terkendala, pengangguran yang terjadi adalah pengangguran sukarela" (Mises [1949] 1966: 599). Manusia bekerja karena memilih untuk mengantisipasi atas hasil pekerjaannya ketimbang menyia-nyiakan tenaganya atau penghasilan/manfaat fisik yang diperoleh seandainya ia memutuskan tidak bekerja. Ia akan ”berhenti bekerja pada suatu titik, saat ia merasa bahwa menikmati waktu senggangnya tidak lagi berarti penyia-nyiaan
kesempatan kerja; atau saat manfaat waktu senggangnya dianggap lebih berharga daripada penambahan kepuasan yang mungkin didapat seandainya ia bekerja terus" (ibid.: 611).
Maka, Robinson Crusoe, sebagai seorang produsen yang harus memenuhi kebutuhannya sendiri, jelas hanya akan menganggur jika ia memutuskan demikian secara sukarela misalnya untuk bersenang-senang saja dan mengonsumsi arang-barang saat ini daripada mengeluarkan tenaga untuk menghasilkan barang-barang masa depan yang dibutuhkannya.
Kesempatan kerja akan meningkat dan upah juga akan bergerak naik selama tingkat upah yang berlaku dinilai lebih rendah oleh para pengusaha daripada nilai marjinal produk (setelah dikurangi dengan preferensi waktu2 sejalan dengan peningkatan sedikit demi sedikit yang dapat diharapkan melalui penggunaan tenaga kerja. Di lain pihak, kehilangan kesempatan kerja akan terjadi atau meningkat selama orang menilai bahwa nilai marjinal produk yang didapat melalui swasembada, ataupun nilai kepuasan dari kegiatan di waktu senggangnya (leisure), lebih tinggi daripada upah yang mencerminkan produktivitas-marjinal jasa/tenaganya.
Dalam setiap perjanjian upah, seperti dalam pertukaran di pasar bebas, kedua belah pihak pelaku pertukaran berpartisipasi secara sukarela. Maksudnya, kedua belah pihak mengambil bagian secara sukarela. Jika separuh dari tenaga kerja bersikeras memaksakan kehendak agar mereka dipekerjakan sebagai presiden Harvard, dan agar posisi tersebut diberikan kepada mereka, dan bukan kepada orang lain, maka pada akhirnya sudah tentu separuh tenaga kerja tersebut, minus satu orang, akan menganggur secara permanen dan ”nonsukarela’. Tetapi apakah hal ini, sebagaimana diyakini oleh Keynes, merupakan kegagalan pasar bebas, atau apakah hal ini kegagalan dari proses-proses mental dan nilai-nilai dari para pekerja itu sendiri? Karena problem ini jelas merupakan kegagalan internal para pekerja itu sendiri, maka harus disimpulkan bahwa kondisi pengangguran tersebut bersifat "sukarela" dalam pengertian yang realistis, yakni bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi dari proses-proses mental internal di dalam diri para pekerja tersebut serta pilihan-pilihan yang diambil mereka, meskipun masing-masing tentu saja akan memilih ”secara sukarela” untuk menjadi presiden Harvard ketimbang berakhir tanpa pekerjaan.
Serupa dengan hal di atas, dan yang semakin mendekati realitas pengangguran di masa-masa depresi, para pekerja mungkin akan bersikeras agar tidak dipekerjakan di bawah tingkat upah tertentu. Artinya, mereka mematok semacam ambang tingkat upah minimum sebelum bersedia dipekerjakan.
Biasanya, hal ini terjadi dalam periode resesi siklus-bisnis ketika, sebagaimana menurut teori Austria tentang siklus ini, permintaan terhadap tenaga kerja anjlok secara tiba-tiba, terutama dalam industri barang modal.
Penurunan permintaan yang demikian mencerminkan datangnya kesadaran yang tiba-tiba, di awal sebuah periode depresi, bahwa para pebisnis selama ini telah melakukan malinvestasi oleh sebab pengaruh ekspansi kredit yang inflasif serta anjloknya suku bunga di bawah tingkat pasar bebas.
Malinvestasi semacam itu mengangkat tingkat upah dan melambungkan biaya terlalu tinggi jika dibandingkan dengan keinginan murni pasar untuk membeli barang-barang modal dalam harga yang menguntungkan. Akhir dari ekspansi kredit bank, atau penurunannya yang signifikan, akan memperlihatkan telah terjadinya malinvestasi tersebut dan mengakibatkan kerugian-kerugian bisnis yang mengarah kepada penurunan permintaan terhadap tenaga kerja, tanah, dan bahan-bahan mentah.
Sementara harga tanah dan harga barang umumnya bebas bergerak naik-turun di pasar, seringkali para pekerja tidak bisa menerima jika tingkat upah mereka mengalami penurunan. Akibat yang ditimbulkan kenyataan ini tidak berbeda dari apa yang muncul acapkali tingkat upah minimum bergerak lebih tinggi daripada yang dikehendaki di pasar bebas, yaitu berupa surplus tenaga kerja yang tak terjual oleh karena harganya sudah terlalu tinggi. Cara kerja pasar tenaga-kerja mirip dengan yang berlaku dalam pasar barang dan jasa.
Tingkat upah-minimum artifisial melampaui kehendak pasar akan menimbulkan surplus tenaga kerja dalam hal ini, pengangguran. Semakin cepat para pekerja mengijinkan upah mereka turun, semakin cepat pengangguran menghilang.
Misalkan saya menghadap ke atasan saya di kampus dan menyampaikan tuntutan bahwa saya tidak bersedia bekerja jika gaji saya tidak dinaikkan menjadi 1 juta dolar setahun. Ia mungkin akan berkata, ”Semoga Anda cepat sembuh” atau “Semoga sisa hidup Anda menyenangkan!” Apakah dalam hal ini saya telah menganggur “di luar kehendak”? Ya, dalam arti bahwa saya ingin dipekerjakan dalam posisi sekarang dengan gaji 1 juta dolar dan majikan saya ternyata menolak membuatkan kontrak kerja semacam itu. Tetapi, jawabannya adalah: tidak, dalam pengertian bahwa saya telah bersikap keras kepala untuk tidak melanjutkan pekerjaan dengan upah di bawah 1 juta dolar per tahun dan secara “sukarela” memilih untuk berlenggang saja daripada bekerja dengan gaji di bawah tingkat itu. Lagi, meskipun saya mungkin tidak menyukai duduk menganggur, dan sebenarnya ingin mempertahankan posisi sekarang asal dibayar 1 juta dolar, saya telah secara “sukarela” menganggur dalam arti yang jelas dan koheren: bahwa kepengangguran saya adalah akibat proses mental dalam diri saya sendiri.
Seharusnya jelaslah sekarang bahwa kasus di mana pekerja gagal beradaptasi dengan cepat terhadap jatuhnya permintaan terhadap tenaga kerja hanya berbeda dalam hal derajatnya saja, bukan dalam hal jenis fisik (in kind), dari kasus hipotetis saya yang mungkin agak asing di atas. Demikian pula, penolakan pekerja ataupun penetapan upah secara sepihak, tidak selalu dan tidak dengan sendirinya merupakan keputusan yang salah. Dalam banyak kasus, pekerja semacam itu dapat saja “menganggur secara spekulatif.” Maksudnya, entah ia ingin pindah kerja atau pindah ke daerah lain atau menginginkan masa jeda, misalnya dengan harapan bahwa permintaan terhadap tenaga kerja untuk posisi yang diinginkannya atau yang seperti itu akan muncul kelak sehingga ia akan kembali bekerja dengan upah yang lebih baik.
Ekspektasi semacam itu tidak harus berarti keputusan bodoh. Dalam banyak kejadian, justru keputusan demikian yang tepat. Hanya saja, sekali lagi, dengan keputusannya itu jelas kepengangguran demikian terjadi secara “sukarela”, meskipun pada akhirnya harapannya mungkin gagal terwujud. Sebagaimana dikatakan Mises:
Pengangguran merupakan sebuah fenomena dalam perekonomian yang tengah berubah. Kenyataan bahwa pekerja yang dipecat atas pertimbangan adanya perubahan dalam pengaturan proses produksi tidak dapat secara seketika memanfaatkan setiap peluang guna memperoleh pekerjaan baru melainkan harus menunggu peluang lain yang lebih baik ... tidaklah merupakan reaksi otomatis terhadap perubahan–perubahan yang telah terjadi, terlepas dari kehendak dan pilihan pencari kerja yang bersangkutan, melainkan merupakan akibat dari tindakan-tindakan yang disengaja. Jadi sifatnya spekulatif, bukan frictional. (Mises [1949] 1966: 600)
Tentu ini tidak berarti bahwa semua pengangguran terjadi secara “sukarela”, kecuali yang terjadi dalam pasar yang bebas
tak terkendala. Ketika pasar dipaksa tunduk pada campur tangan eksternal, khususnya jika institusi eksternal tersebut, baik yang berupa perserikatan ataupun pemerintah, memaksakan tingkat upah di atas tingkat market-clearing, maka timbullah pengangguran secara "nonsukarela". Dan pengangguran tersebut akan terus bertahan selama tingkat upah berada di atas tingkat produktivitas marjinal tenaga kerja dalam profesi yang bersangkutan. Satu cara alternatif di mana pemerintah dapat memaksakan pengangguran adalah dengan menyubsidi pengangguran. Caranya adalah dengan membayar pekerja sepadan dengan kondisi kepenganggurannya. Wujudnya dapat berupa pembayaran langsung pemerintah kepada para pengganggur (seringkali berupa pengecualian pajak, dan dengan demikian perhitungan setelah-pajaknya menjadi lebih tinggi) atau sebagai subsidi kesejahteraan (welfare payments). Dalam masing-masing kasus tersebut, imbal psikis netto (net psychic return) status pekerja terhadap status penganggur akan berkurang secara tajam melalui subsidi seperti itu. Demikian pula, insentif untuk menerima upah kerja yang ditawarkan pasar juga akan menurun secara sebanding. Mises dengan cermat menyebut pengangguran jenis ini sebagai pengangguran “institusional”.
Jadi, pengangguran nonsukarela hanya dimungkinkan secara logis bilamana perekonomian pasar bebas berubah secara fundamental dan terdapat seseorang atau suatu institusi yang berhasil mengontrol sumber-sumber daya yang tidak dihasilkan oleh orang atau institusi tersebut, atau yang bukan diperoleh melalui pertukaran sukarela antarswasembadawan.
Dengan memaksakan upah minimum hingga melampaui produktivitas marjinal tenaga kerja, institusi ekstra-pasar seperti itu dapat secara efektif melarang/mencegah terjadinya pertukaran antara penyedia jasa tenaga kerja dan pemodal (kapitalis) pertukaran yang sebetulnya lebih disukai kedua pihak tersebut seandainya mereka tidak terkendala terhadap hak milik terhadap hasil kebun masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar