Regulasi Bank Indonesia Terkait Dengan Pemberian Kredit Bank
Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung
risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank.
Namun mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank
berasal dari dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi
oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia.
UU Perbankan telah mengamanatkan agar bank senantiasa berpegang
pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya, termasuk
dalam memberikan kredit. Selain itu, Bank Indonesia sebagai otoritas
perbankan juga menetapkan peraturan-peraturan dalam pemberian kredit oleh
perbankan. Beberapa regulasi dimaksud antara lain adalah regulasi mengenai
Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi
Bank Umum, Batas Maksimal Pemberian Kredit, Penilaian Kualitas Aktiva,
Sistem Informasi Debitur, dan pembatasan lainnya dalam pemberian kredit.
A. Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum
Sebagaimana telah dikemukakan, bank dalam melakukan kegiatan
usaha terutama dengan menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan
kepada bank. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang
mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan
kelangsungan usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus
berpegang pada azas-azas perkreditan yang sehat guna melindungi dan
memelihara kepentingan dan kepercayaan masyarakat.
Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan
berdasarkan azas-azas perkreditan yang sehat, maka diperlukan suatu
kebijakan perkreditan yang tertulis. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank
Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai kewajiban bank umum
untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan bank berdasarkan
pedoman penyusunan kebijakan perkreditan bank dalam SK Dir BI No.
27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995.
Berdasarkan SK Dir BI tersebut, Bank Umum wajib memiliki
kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan
komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal
pokok sebagai berikut :
1. prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;
2. organisasi dan manajemen perkreditan;
3. kebijakan persetujuan kredit;
4. dokumentasi dan administrasi kredit;
5. pengawasan kredit;
6. penyelesaian kredit bermasalah.
Kebijakan perkreditan bank dimaksud wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan
perkreditan bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan bank yang telah
disusun secara konsekuen dan konsisten.
B. Batas Maksimum Pemberian Kredit
Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank adalah penyediaan
dana yang tidak didukung dengan kemampuan bank mengelola konsentrasi
penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan
usaha bank maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian kredit, antara lain dengan melakukan penyebaran (diversifikasi)
portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan dana, baik
kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait. Pembatasan
penyediaan dana adalah persentase tertentu dari modal bank yang dikenal
dengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). BMPK mendapatkan
dasar pengaturan dalam UU Perbankan.
Pengaturan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh Bank Indonesia
dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas
Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Berdasarkan PBI tersebut,
BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan
terhadap modal bank.
Tujuan ketentuan BMPK adalah untuk melindungi kepentingan dan
kepercayaan masyarakat serta memelihara kesehatan dan daya tahan bank,
dimana dalam penyaluran dananya, bank diwajibkan mengurangi risiko
dengan cara menyebarkan penyediaan dana sesuai dengan ketentuan BMPK
yang telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada
peminjam dan/atau kelompok peminjam tertentu.
Penyediaan dana dalam kerangka BMPK tidak hanya berupa kredit,
tetapi meliputi seluruh portofolio penyediaan dana yaitu penanaman dana
bank dalam bentuk :
a. kredit;
b. surat berharga;
c. penempatan;
d. surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali;
e. tagihan akseptasi;
f. darivatif kredit (credit derivative);
g. transaksi rekening administratif (seperti guarantee, letter of credit, standby letter of credit);
h. tagihan derivatif;
i. potential future credit exposure;
j. penyertaan modal;
k. penyertaan modal sementara;
l. bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan huruf
a sampai dengan huruf k.
Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan
bank dapat dilakukan paling tinggi 10 % dari modal bank. Untuk penyediaan
dana kepada seorang peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dengan
bank dapat dilakukan paling tinggi 20 % dari modal bank. Sementara,
penyediaan dana kepada satu kelompok peminjam yang bukan merupakan
pihak terkait dapat dilakukan paling tinggi 25 % dari modal bank.
Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok peminjam
apabila peminjam mempunyai hubungan pengendalian dengan peminjam
lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan dan/atau keuangan.
Sementara, pihak terkait adalah peminjam dan/atau kelompok peminjam
yang mempunyai keterkaitan dengan bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 PBI No. 7/3/PBI/2005. Bank wajib memiliki dan menatausahakan
daftar rincian pihak terkait dengan bank dan dilaporkan kepada Bank
Indonesia.
Pengecualian diberlakukan terhadap perusahaan-perusahaan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) yang tidak diperlakukan sebagai kelompok peminjam sepanjang
hubungan tersebut semata-mata disebabkan karena kepemilikan langsung
pemerintah Indonesia. Selain itu penyediaan dana bank kepada BUMN
untuk tujuan pembangunan dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak
dapat dilakukan paling tinggi sebesar 30 % dari modal bank.
Kemudian dapat ditambahkan bahwa pengambilalihan (negosiasi)
wesel ekspor berjangka dikecualikan dari peritungan BMPK sepanjang wesel
ekspor berjangka diterbitkan atas dasar letter of credit berjangka yang sesuai
dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) yang
berlaku, dan telah diaksep oleh Prime Bank.
Bank yang melakukan pelanggaran BMPK dan atau pelampauan
BMPK dikenakan sanksi penilaian tingkat kesehatan bank sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK
yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal
bank pada saat pemberian penyediaan dana.
Sementara, pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase
BMPK yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap
modal bank pada saat tanggal laporan dan tidak termasuk pelanggaran
BMPK sebagaimana dimaksud di atas. Penyediaan dana oleh Bank
dikategorikan sebagai pelampauan BMPK apabila disebabkan oleh :
a. penurunan modal bank;
b. perubahan nilai tukar;
c. perubahan nilai wajar;
d. penggabungan usaha dan atau perubahan struktur kepengurusan yang
menyebabkan perubahan pihak terkait dan atau kelompok peminjam;
e. perubahan ketentuan.
Dalam hal terjadi pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK,
bank wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindakan (action plan)
untuk penyelesaiannya yang setidaknya memuat langkah-langkah untuk
penyelesaian pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK serta target
waktu penyelesaian sesuai dengan ketentuan dalam PBI No. 7/3/PBI/2005.
Bank yang menyampaikan action plan untuk pelanggaran BMPK
setelah batas akhir waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah
batas akhir waktu tersebut, dikenai sanksi berupa kewajiban membayar
sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
Sementara, bank yang menyampaikan action plan untuk pelampauan
BMPK setelah batas akhir waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja
setelah batas akhir waktu tersebut, dikenai sanksi berupa kewajiban
membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja
keterlambatan.
Selanjutnya bank juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan
pelaksanaan action plan masing-masing untuk pelanggaran BMPK dan
pelampauan BMPK kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja setelah realisasi action plan.
Bank yang menyampaikan laporan pelaksanaan action plan setelah
batas akhir waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas
waktu tersebut, dikenai sanksi berupa kewajiban membayar sebesar
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
Bank yang tidak menyelesaikan pelanggaran BMPK dan atau
pelampauan BMPK sesuai dengan action plan setelah diberi peringatan 2
(dua) kali oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 1 (satu) minggu
untuk setiap teguran, dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam
Pasal 52 ayat (2) UU Perbankan4
, antara lain berupa :
a. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham
dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan
untuk ekspansi penyediaan dana; dan atau
c. larangan untuk turut serta dalam rangka kegiatan kliring.
Selain itu, terhadap Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank,
pemegang saham maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenai sanksi
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50 dan
Pasal 50 A UU Perbankan.
C. Penilaian Kualitas Aktiva
Kondisi dan karakteristik dari aset perbankan nasional pada saat ini
maupun di waktu yang akan datang masih tetap dipengaruhi oleh risiko
kredit, yang apabila tidak dikelola secara efektif akan berpotensi
mengganggu kelangsungan usaha bank. Pengelolaan risiko kredit yang tidak
efektif antara lain disebabkan kelemahan dalam penerapan kebijakan dan
prosedur penyediaan dana, termasuk penetapan kualitasnya, kelemahan
dalam mengelola portofolio aset bank, serta kelemahan dalam
mengantisipasi perubahan faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas
penyediaan dana.
Hal di atas diatur dalam PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum. PBI tersebut mewajibkan bank (dalam hal ini
Direksi) untuk menilai, memantau dan mangambil langkah-langkah yang
diperlukan agar kualitas Aktiva (meliputi Aktiva Produktif dan Aktiva Non
Produktif) senantiasa baik.
Aktiva Produktif adalah penyediaan dana Bank untuk memperoleh
penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar
bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji
dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan,
transaksi rekening administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang
dapat dipersamakan dengan itu.
Sementara, Aktiva Non Produktif adalah aset bank selain Aktiva
Produktif yang memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan
yang diambil alih.
Dalam Pasal 5 PBI No. 7/2/PBI/2005 diatur bahwa bank wajib
menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening Aktiva
Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur, hal ini juga
berlaku untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) bank
(termasuk penyediaan dana yang diberikan secara sindikasi). Dalam hal
terdapat perbedaan penetapan kualitas Aktiva Produktif, maka kualitas
masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang
paling rendah.
Ketentuan untuk menetapkan kualitas yang sama tersebut di atas juga
berlaku terhadap Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai proyek
yang sama (vide Pasal 6 PBI No. 7/2/PBI/2005). Termasuk dalam
pengertian ‘proyek yang sama’ antara lain apabila :
a. terdapat keterkaitan rantai bisnis secara signifikan dalam proses
produksi yang dilakukan oleh beberapa debitur. Keterkaitan dianggap
signifikan antara lain apabila proses produksi di suatu entitas
tergantung pada proses produksi entitas lain, misalnya adanya
ketergantungan bahan baku dalam proses produksi.
b. kelangsungan cash flow suatu entitas akan terganggu secara signifikan
apabila cash flow entitas lain mengalami gangguan.
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis
terhadap faktor penilaian yang meliputi prospek usaha, kinerja debitur dan
kemampuan membayar.
Penilaian terhadap prospek usaha meliputi penilaian terhadap
komponen-komponen sebagai berikut :
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan
e. upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan
hidup.
Sementara, penilaian terhadap kinerja debitur meliputi penilaian
terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
a. perolehan laba;
b. struktur permodalan;
c. arus kas; dan
d. sensitivitas terhadap risiko pasar.
Kemudian penilaian terhadap kemampuan membayar meliputi
penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
a. ketepatan pembayaran pokok dan bunga;
b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur;
c. kelengkapan dokumentasi kredit;
d. kepatuhan terhadap perjanjian kredit;
e. kesesuaian penggunaan dana; dan
f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis
terhadap faktor penilaian (prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan
membayar) dengan mempertimbangkan komponen-komponen di atas.
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan mempertimbangkan signifikansi
dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen serta relevansi
dari faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang bersangkutan.
Berdasarkan penilaian itu, kualitas kredit ditetapkan menjadi : Lancar,
Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet.
Untuk mengantisipasi potensi kerugian, bank wajib membentuk
Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) terhadap Aktiva Produktif dan
Aktiva Non Produktif. PPA meliputi cadangan umum dan cadangan khusus
untuk Aktiva Produktif, dan cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif.
Cadangan umum sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan paling
kurang sebesar 1 % (satu perseratus) dari Aktiva Produktif yang memiliki
kualitas Lancar. Semantara, cadangan khusus ditetapkan paling kurang
sebesar :
a. 5 % (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Dalam Perhatian
Khusus setelah dikurangi nilai agunan;
b. 15 % (lima belas peseratus) dari Aktiva dengan kualitas Kurang
Lancar setelah dikurangi nilai agunan;
c. 50 % (lima puluh peseratus) dari Aktiva dengan kualitas Diragukan
setelah dikurangi nilai agunan;
d. 100 % (seratus peseratus) dari Aktiva dengan kualitas Macet setelah
dikurangi nilai agunan;
Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan
PPA hanya dapat dilakukan untuk Aktiva Produktif. Agunan yang dapat
diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan
sebagai berikut :
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara
gadai;
b. tanah, rumah tinggal dan gedung yang diikat dengan hak
tanggungan;
c. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh)
meter kubik yang diikat dengan hipotek; dan atau
d. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia.
Untuk kredit bermasalah, salah satu upaya untuk meminimalkan
potensi kerugian pada kredit bermasalah tersebut adalah bahwa bank juga
dapat melakukan restrukturisasi kredit untuk debitur yang mengalami
kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit namun masih memiliki
prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah
dilakukan restruktuirisasi. Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit
dengan tujuan hanya untuk menghindari penurunan penggolongan kualitas
kredit, peningkatan pembentukan PPA, atau penghentian pengakuan
pendapatan bunga secara akrual. Untuk itu bank wajib memiliki kebijakan
dan prosedur tertulis mengenai restrukturisasi kredit yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko bank.
Untuk eksposur penyediaan dana yang sudah tidak memiliki prospek
usaha dan kemampuan membayar atau telah dikatagorikan Macet serta bank
telah melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali penyediaan
dana tersebut, bank dapat melakukan hapus buku atau hapus tagih.
Hapus buku adalah tindakan administratif bank untuk menghapus
buku penyediaan dana yang memiliki kualitas Macet dari neraca sebesar
kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih bank kepada debitur.
Sedangkan hapus tagih adalah tindakan bank menghapus kewajiban debitur
(tagihan kepada debitur) yang tidak mungkin lagi diselesaikan oleh debitur.
D. Sistem Informasi Debitur
Kelancaran proses kredit dan penerapan manajemen risiko kredit yang
efektif serta ketersediaan informasi kualitas debitur yang diandalkan dapat
dicapai apabila didukung oleh sistem informasi yang utuh dan komprehensif
mengenai profil dan kondisi debitur, terutama debitur yang sebelumnya
telah memperoleh penyediaan dana. Dalam proses kredit, sistem informasi
mengenai profil dan kondisi debitur dapat mendukung percepatan proses
analisa dan pengambilan keputusan pemberian kredit. Untuk kepentingan
manajemen risiko, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitur
dibutuhkan untuk menentukan profil risiko kredit debitur. Selain itu
tersedianya informasi kualitas debitur, diperlukan juga untuk melakukan
sinkronisasi penilaian kualitas debitur di antara bank pelapor.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Bank
Indonesia berperan untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan
sistem informasi antar bank yang dapat diperluas dengan menyertakan
lembaga lain di bidang keuangan. Sehubungan dengan itu Bank Indonesia
mengembangkan sistem informasi debitur yang dari waktu ke waktu selalu
disempurnakan untuk disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan
teknologi.
Ketentuan mengenai sistem informasi debitur tersebut diatur dalam
PBI No. 7/8/PBI/2005 tentang Sistem Informasi Debitur. Berdasarkan
ketentuan PBI tersebut, bank umum, penyelenggara kartu kredit selain bank
dan BPR yang memiliki total aset Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) atau lebih wajib menyampaikan laporan debitur kepada Bank
Indonesia setiap bulan meliputi informasi mengenai debitur, pengurus dan
pemilik, fasilitas penyediaan dana, agunan, penjamin dan laporan keuangan
debitur (bagi debitur yang merupakan nasabah perusahaan atau badan yang
menerima penyediaan dana Rp 5.000.000.000,00 atau lebih).
Sementara, Lembaga Keuangan Bukan Bank (antara lain meliputi
asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan) dan BPR yang memiliki
total aset kurang dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dapat
menjadi pelapor dalam Sistem Informasi Debitur dengan menandatangani
surat pernyataan keikutsertaan anggota.
Pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan dapat meminta
informasi debitur kepada Bank Indonesia meliputi antara lain identitas
debitur, pemilik dan pengurus, fasilitas penyediaan dana yang diterima
debitur, agunan, penjamin dan atau kolektibilitas. Informasi yang diperoleh
pelapor tersebut hanya dapat digunakan untuk keperluan pelapor dalam
rangka penerapan manajemen risiko, kelancaran proses penyediaan dana,
dan atau identifikasi kualitas debitur untuk pemenuhan ketentuan yang
berlaku.
E. Kredit kepada Pihak Asing
Penerapan sistem devisa bebas di Indonesia telah mempercepat
perkembangan dan integrasi pasar keuangan Indonesia dengan pasar dunia.
Integrasi pasar keuangan antara lain terlihat pada penggunaan mata uang
domestik, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pada awalnya mata uang
domestik digunakan oleh warga negara asing dan badan asing di dalam
negeri, namun selanjutnya penggunaan tersebut meluas ke luar negeri baik
oleh warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia maupun oleh
warga negara asing dan badan asing.
Sebagai akibat dari perkembangan dan integrasi pasar keuangan di atas,
peningkatan transaksi rupiah antara bank dengan warga neara asing dan
badan asing dalam perkembangannya telah menimbulkan ketidakstabilan
kondisi moneter di dalam negeri, khususnya dalam bentuk tekanan terhadap
nilai tukar rupiah. Sehubungan dengan hal tersebut, telah diambil langkah
kebijakan dengan menetapkan pembatasan-pembatasan yang diperlukan
sebagaimana tertuang dalam peraturan Bank Indonesia Nomor
3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi
Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing.
Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun PBI No 3/3/PBI/2001
telah menyediakan kemungkinan bagi berbagai transaksi untuk kepentingan
pembiayaan yang bermanfaat bagi perekonomian domestik, namun masih
dirasakan perlu dilakukan berbagai penyempurnaan. Langkah
penyempurnaan perlu diambil agar ketentuan yang berlaku tidak
menghambat kegiatan produktif dan dapat sejalan dengan beberapa
perkembangan terakhir baik dalam pasar keuangan maupun dalam
perekonomian domestik secara keseluruhan dan dipihak lain dapat tetap
menunjang tercapainya stabilitas sistem keuangan dan moneter di dalam
negeri.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank Indonesia mencabut PBI
No 3/3/PBI/2001 dan mengeluarkan PBI No. 7/14/PBI/2005 tentang
Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh
Bank. Berdasarkan peraturan tersebut, bank dilarang memberikan kredit
baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing kepada pihak asing. Pihak
asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut meliputi :
a. warga negara asing;
b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya;
c. warga negara Indonesia yang memiliki status pnduduk tetap (permanent
resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia;
d. kantor Bank di luar negeri dari bank yang berkantor pusat di
Indonesia;
e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan
hukum Indonesia.
Pengecualian atas larangan terhadap pemberian kredit tersebut di atas
meliputi:
a. kredit dalam bentuk sindikasi yang memenuhi persyaratan
1) mengikutsertakan Prime Bank sebagai lead bank;
2) diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil untuk usaha
produktif yang berada di wilayah Indonesia; dan
3) kontribusi bank asing sebagai anggota sindikasi lebih besar
dibandingkan dengan kontribusi bank dalam negeri;
b. kartu kredit;
c. kredit konsumsi yang digunakan di dalam negeri;
d. cerukan intrahari rupiah dan valuta asing yang didukung oleh
dokumen yang bersifat authenticated yang menunjukkan konfirmasi
akan adanya dana masuk ke rekening bersangkutan pada hari yang
sama dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Surat Edaran
Bank Indonesia;
e. cerukan dalam rupiah dan valuta asing karena pembebanan biaya
administrasi;
f. pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk
mngelola aset-aset bank dalam rangka restrukturisasi perbankan
Indonesia oleh Pihak Asing yang pembayarannya dijamin oleh Prime
Bank.
F. Kredit kepada Perusahaan Sekuritas
Berdasarkan SK Direksi BI No. 24/32/KEP/DIR dan SE BI No.
24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit kepada
Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham, bank dilarang
memberikan kredit untuk jual beli saham kepada perorangan atau
perusahaan yang bukan perusahaan sekuritas. Pemberian kredit kepada
perusahaan sekuritas dilakukan oleh bank dengan ketentuan :
a. Setiap bank hanya boleh memberikan kredit kepada suatu perusahaan
sekuritas masing-masing dengan maksimum sebesar jumlah yang terkecil
antara 25% dari modal perusahaan sekuritas yang bersangkutan atau
15% dari modal bank.
b. Seluruh kredit yang dapat diberikan oleh suatu bank kepada semua
perusahaan sekuritas maksimum sebesar 30% dari modal bank.
Disamping itu, bank dilarang memberikan kredit dengan agunan
berupa saham perusahaan lain. Dalam perkembangannya, ketentuan ini
dicabut dengan dikeluarkannya SK Direksi BI No. 26/68/KEP/DIR dan
SE BI No. 26/1/UKU tentang Saham sebagai Agunan Tambahan Kredit
masing-masing tanggal 7 September 1993. Berdasarkan ketentuan ini saham
boleh dijadikan agunan tambahan dengan syarat selama 3 bulan terakhir
aktif diperdagangkan, harga saham tersebut di atas nilai nominal dan nilai
saham yang diagunkan adalah 50% dari harga pasar tersebut.
G. Kredit untuk Keperluan Transaksi Derivatif
Pengertian transaksi derivatif berdasarkan SE BI No. 28/15/UD
tanggal 18 Februari 1996 adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran
yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari
seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikuti
dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana. Pihak bank hanya boleh
ikut dalam transaksi derivatif dengan dibatasi pada transaksi derivatif yang
berkaitan dengan valuta asing (nilai tukar) dan suku bunga. Adapun
transaksi derivatif yang berkaitan dengan saham hanya dapat dilakukan atas
izin BI secara kasus per kasus.
Transaksi derivatif yang dilarang dalam kaitannya dengan nasabah bank
adalah :
a. Bank dilarang memelihara posisi atas transaksi derivatif yang dilakukan
oleh nasabah grup dari bank, direksi, komisaris, pegawai atau pemilik
bank yang bersangkutan.
b. Bank dilarang memberikan fasilitas kredit dan cerukan (overdraft) dalam
rangka kewajiban pemenuhan margin deposit nasabah untuk keperluan
transaksi derivatif kepada nasabah (vide Pasal 6 ayat (2) SK Direksi BI
No. 28/119/KEP/DIR tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi
Derivatif).
Transaksi derivatif untuk kepentingan nasabah harus berdasarkan
kontrak yang sekurang-kurangnya mencakup :
a. Pagu transaksi derivatif
b. Base currency yang digunakan
c. Jenis valuta/instrumen yang dipertukarkan
d. Penyelesaian transaksi derivatif (settlement)
e. Pembukuan laba/rugi transaksi derivatif yang dilakukan
f. Pencatatan atas posisi laba/rugi yang potensial (unrealised)
g. Metode atau cara transaksi derivatif
h. Besarnya komisi
i. Penggunaan kurs konversi
j. Advis dan konfirmasi transaksi derivatif
k. Kerahasiaan, dan
l. Domisili dan hukum yang berlaku.
Transaksi derivatif yang dilakukan tanpa diikuti penyerahan
dana/instrumen, kontraknya harus pula mencakup :
a. Jumlah margin deposit
b. Maintenance margin yang ditentukan, dan
c. Hak dan kewajiban nasabah yang harus dicetak dalam huruf yang besar
sehingga mudah dibaca.
H. Kredit untuk Pembiayaan Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah
Laju pertumbuhan pinjaman perbankan yang berlebihan kepada sektor
properti merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan
moneter dan kesehatan perbankan terutama pemberian kredit untuk
pembiayaan pengadaan dan pengolahan tanah sebagai unsur yang banyak
mendorong pertumbuhan yang berlebihan pada kredit sektor properti.
Oleh sebab itu, BI telah mengeluarkan SK Direksi BI No.
30/46/KEP/DIR dan SE BI No. 30/2/UK masing-masing tanggal 7 Juli
1997 tentang Pembatasan Pemberian Kredit oleh Bank Umum untuk
Pembiayaan Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah. Pokok-pokok
ketentuan yang diatur dalam kaitannya dengan pembiayaan pengadaan dan
atau pengolahan tanah adalah sebagai berikut :
a. Bank dilarang memberikan kredit kepada pengembang, baik secara
langsung maupun tidak langsung dan atau membeli/menjamin surat
berharga dari pengembang untuk pembiayaan pengadaan dan atau
pengolahan tanah. Pemberian kredit secara langsung adalah pemberian
kredit oleh bank langsung kepada pengembang, sedangkan pemberian
kredit secara tidak langsung adalah pemberian kredit oleh bank kepada
pihak lain yang secara efektif dapat dimanfaatkan oleh pengembang
untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah.
b. Bank dilarang pula membeli dan atau menjamin surat berharga (surat
pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap
derivatif dari surat berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban
dari penerbit yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar
uang, termasuk pula commercial paper) yang diterbitkan oleh
pengembang untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah,
kecuali surat berharga yang diterbitkan oleh pengembang yang
mengkhususkan usahanya di bidang pembangunan rumah sederhana
atau jalan tol.
c. Beberapa hal yang dikecualikan :
1) Pemberian kredit untuk pengadaan dan atau pengolahan tanah
yang akad kreditnya dibuat sebelum tanggal 14 Juli 1997.
2) Pengalihan kredit dari pengembang kepada suatu pengembang lain
dalam rangka penyelamatan sepanjang tidak menambah saldo
kredit.
3) Perpanjangan jangka waktu kredit dalam rangka penyelamatan
tanpa menambah saldo kredit.
4) Pemberian kredit dan atau pembelian/penjaminan surat berharga
dari pengembang untuk pengadaan dan atau pengolahan tanah
guna pembangunan rumah sederhana.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi pemberian kredit kepada pengembang
untuk tujuan pembangunan rumah sederhana. Kategori rumah sederhana
adalah rumah tidak bersusun dengan luas lantai tidak lebih dari 70 m2 yang
dibangun di atas tanah dengan luas kaveling 54 m2 sampai dengan 200 m2
dengan biaya pembangunan per m2 tertinggi untuk pembangunan rumah
dinas tipe C yang berlaku sebagaimana diatur dalam SK Direktur Jenderal,
serta rumah susun dengan luas lantai tidak lebih dari 36 m2 serta kaveling
siap bangun dengan luas maksimum 72 m2.
I. Pemberian Garansi oleh Bank
Pemberian garansi oleh Bank diatur dalam SK Dir BI No.
23/88/KEP/DIR jo. SE BI No. 23/7/UKU masing-masing tanggal 18
Maret 1991 tentang Pemberian Garansi oleh Bank. Berdasarkan ketentuan
tersebut garansi yang diberikan oleh bank meliputi 7
:
1. Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang
mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima
garansi apabila pihak yang dijamin wanprestasi. Dalam hal ini
pemberian garansi dapat berupa Garansi Bank atau Standby Letter of
Credit.
2. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas
surat-surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres
yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila
pihak yang dijamin wanprestasi, sebagaimana telah diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang.
3. Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat
menimbulkan kewajiban finansial bagi bank. Pemberian garansi
tersebut adalah berupa surat yang dapat menimbulkan kewajiban
membayar suatu jumlah tertentu apabila pihak yang dijamin
wanprestasi dan Letter of Credit. Dengan demikian pemberian garansi
oleh bank dalam bentuk tersebut harus dihitung sebagai contingent
liabilities yang tunduk pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
Pemberian Garansi oleh Bank. Agar bank memperoleh kepastian
kapan berakhirnya contingent liabilities yang timbul sebagai akibat
pemberian garansi dalam bentuk ini, maka bank dalam memberikan
garansi tersebut hendaknya menetapkan suatu batas waktu.
Selanjutnya, bank dapat memberikan garansi baik dalam mata uang
rupiah maupun mata uang asing, namun demikian perlu diperhatikan bahwa
pemberian garansi untuk penerimaan kredit dari luar negeri hanya dapat
dilakukan dengan junlah seluruhnya setingi-tingginya 20 % dari modal.
Dalam pengertian jumlah keseluruhan tersebut termasuk pula garansi yang
dikeluarkan oleh kantor-kantor bank di luar negeri.
Karena pemberian garansi dapat menimbulkan kewajiban membayar
bagi bank, yang mempengaruhi likuiditas dan solvabilitasnya, maka
pemberian garansi dikenakan ketentuan tentang BMPK dan Kewajiban
Pemenuhan Modal Minimum.
Sebelum garansi diberikan, bank diminta untuk terlebih dahulu
melakukan penelitian dan penelaahan yang pada hakekatnya sama dengan
penelaahan yang dilakukan dalam pemberian kredit, antara lain mengenai :
1. bonafiditas dan reputasi pihak yang dijamin.
2. sifat dan nilai transaksi yang akan dijamin.
3. jumlah garansi yang akan diberikan menurut kemampuan bank.
4. kemampuan pihak yang akan dijamin untuk memberikan kontra
garansi sesuai dengan kemungkinan terjadinya risiko. Kontra garansi
ini dapat berupa :
a. kontra garansi dari bank di luar negeri yang bonafide.
b. Setoran sebesar 100 % dari nilai garansi yang diberikan.
c. Kontra garansi lainnya yang diperoleh dari pihak yang dijamin
dengan nilai yang memadai untuk menanggung kerugian yang
mungkin diderita oleh bank. Kontra garansi ini dapat berupa
garansi material dan atau immaterial tergantung pada penilaian
bank atas kemungkinan terjadinya risiko. Apabila dianggap perlu
bank dapat meminta sejumlah uang setoran kepada nasabah yang
dijamin untuk diblokir pada bank yang bersangkutan sebelum
garansi diberikan.
Pemberian garansi atas permintaan bukan penduduk hanya
diperkenankan apabila disertai dengan kontra garansi yang cukup dari bank
di luar negeri yang bonafide (tidak termasuk cabang bank yang bersangkutan
di luar negeri), atau setoran sebesar 100 % dari nilai garansi yang diberikan.
0 komentar:
Posting Komentar