Pengelolaan Apbn Dalam Sistem Manajemen Keuangan Negara
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam mengawal APBN sehingga APBN benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen untuk mensejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian negara dengan baik.
Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sejak beberapa tahun yang lalu telah diintrodusir Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah. Reformasi tersebut mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah disahkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Tulisan ini menguraikan sistem dan proses pengelolaan APBN dalam kerangka manajemen keuangan negara. Selain diuraikan pokok-pokok manajemen keuangan negara serta proses APBN, diuraikan pula peranan DPR dalam pengelolaan anggaran negara melalui fungsi-fungsi yang dimilikinya, yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Landasan Pengelolaan Keuangan Negara
Landasan pengelolaan keuangan negara adalah Pasal 23C Undang Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga: “hal-hal lain mengenai keuangan negara ditetapkan melalui undang-undang”. Berangkat dari landasan konstitual itulah berbagai upaya dilakukan untuk dapat menghadirkan Undang-undang Keuangan Negara. Tercatat 14 (empat belas) tim telah dibentuk dengan tugas untuk menyusun RUU bidang Keuangan Negara atau RUU tentang Perbendaharaan Negara. Ke-14 tim itu adalah:
NO
1
2
3 4
5 6
7 8
|
TIM
|
HASIL
|
TAHUN
|
|
Panitia
Achmad Natanegara
|
Konsep RUU Keuangan Republik Indonesia “UKRI”
|
1945-1947
|
|
Panitia
Hermans
|
Menyusun
RUU Pokok tentang Pengurusan Keuangan
Negara disingkat “UUPKN” (dalam bahasa Belanda)
|
1950-1957
|
|
Panitia Ahli Departemen Keuangan
|
Tidak menghasilkan konsep RUU
|
1959
–1962
|
|
Panitia Ahli Departemen Keuangan dan Politisi
|
Tidak menghasilkan konsep RUU
|
1963 – 1965
|
|
Panitia
Soedarmin
|
Menyusun
Konsep RUU tentang pengurusan Keuangan Negara
|
1969 – 1974
|
|
Panitia
Gandhi
|
Menyusun
konsep RUU semula berjudul “Undang-undang tentang Cara Pengurusan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Negara” berubah menjadi “Undang-undang tentang Pengurusan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Negara”, berubah menjadi “Undang-undang tentang Keuangan Negara” , berubah menjadi “Undang-undang tentang Pengurusan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Negara”, dan
akhirnya berubah menjadi “Undang-undang
tentang Perbendaharaan Negara”
|
1975 – 1983
|
|
Panitia Prof. Dr. Rochmat Soemitro
|
Panitia
ini dibentuk oleh Departemen Kehakiman dan menyusun konsep RUU semula berjudul “Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara” kemudian menjadi “Undang-undang
tentang Pokok-Pokok
Perbendaharaan Negara”
|
1983 – 1984
|
|
Panitia
Soegito
|
Mengolah kembali RUU hasil panitia Gandhi yang kemudian diberi judul “Undang-undang tentang perbendaharaan
Negara”
|
1984 – 1988
|
9
|
Tim
Intern Badan
|
Menyusun
konsep RUU berjudul
|
1990
|
10
11
12
13
14
|
Pemeriksa Keuangan
|
“Undang-undang
tentang Keuangan Negara”
|
|
Panitia
Taufik
|
Mengkaji
ulang hasil Panitia Soegito dan hasilnya tetap diberi judul “Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara”
|
1989 – 1993
|
|
Tim
Pengkajian dan Penyempurnaan RUU Perbendaharaan
Negara
|
Mengkaji
dan menyempurnakan RUU Perbendaharaan Negara hasil panitia Taufik dan tetap
diberi judul “Undang-undang
tentang Perbendaharaan Negara”, Namun hanya mengatur aspek pelaksanaan dan
pertanggungjawaban anggaran, yaitu sebagian dari siklus anggaran. Hal ini
dilakukan karena RUU Perbendaharaan Negara ini merupakan bagian dari paket RUU bidang Keuangan Negara
yang terdiri atas:
a. RUU
tentang Ketentuan Pokok
Keuangan Negara
b. RUU
tentang Perbendaharaan
Negara |
1998 – 1999
|
|
Tim Counterpart RUU BPK
|
Menyusun RUU yang diberi judul “RUU tentang Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Tanggung Jawab
Pengelolaan Keuangan Negara”
|
1999
|
|
Tim Penyusunan RUU Ketentuan Pokok Keuangan Negara
|
Merupakan
Tim Pemerintah bersama Badan Pemeriksa Keuangan berhasil menyusun kembali RUU
hasil Tim Pengkajian dan Penyuempurnaan
RUU Perbendaharaan Negara dan Tim RUU Bidang Keuangan Negara yang
terdiri atas:
a. RUU
tentang Keuangan Negara
b. RUU
tentang Perbendaharaan
Negara
c. RUU tentang Pemeriksaan
Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan
Paket
tersebut telah diajukan ke DPR
|
1999-2001
|
|
Komite Penyempurnaan Manajemen Keuangan
|
Melanjutkan
tim Penyusunan RUU Ketentuan Pokok
Keuangan Negara, dan telah menghasilkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
|
2001
– sekarang
|
|
|
Sumber:
Prinsip Keuangan N
|
egara, 2001
|
|
Hingga tahun 2003 yang lalu–sebelum UU No.17/2003 diundangkan-aturan yang berlaku untuk pengelolaan Keuangan Negara masih menggunakan peraturan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda seperti Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW stbl. 1925 No.488 yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku tahun 1867. Selain
ICW ada juga Indische Bedrijvenwet (IBW) stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) stbl. 1933 No.381. Sementara itu untuk pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara digunakan Insctructie en verdere bapelingen voor Algemeene Rekenkamer (IAR) stbl. 1933 No.320.
Peraturan-peraturan seperti ICW, IAR, IBW, dan RAB, sengaja diciptakan dan dibuat oleh pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa yang menjajah Indonesia saat itu dengan pendekatan untuk menjaga kepentingan negara Belanda atas Indonesia. Paradigma negeri jajahan itulah yang sangat kental mewarnai peraturan-peraturan itu. Ketika diterapkan kepada sebuah negara yang berdaulat dan merdeka seperti Indonesia saat ini, peraturan-peraturan itu sudah tidak lagi relevan dan layak dijadikan pedoman pengelolaan keuangan negara. Merubah seluruh peraturan di atas dengan peraturan yang bersemangat independensi dan menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, tentunya harus dilakukan. Ke empat belas tim di atas menyadari itu, tetapi upaya yang sangat panjang itu baru dapat mencapai hasil pada tahun 2003, yaitu 58 tahun setelah masa kemerdekaan. Selain itu muatan yang terdapat di dalam aturan-aturan kolonial itu sudah out of date dan tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, apalagi tingkat kompleksitas permasalahan saat ini jauh lebih tinggi dari masa dulu. Oleh karena itu, walaupun masih berlaku sebagai sebuah aturan perundang-undangan tetapi secara materil sudah tidak dapat dilaksanakan.
Kekosongan perundang-undangan ini membuat lemahnya sistem pengelolaan Keuangan Negara. Selama ini, kekosongan itu hanya dilengkapi dengan Keputusan Presiden, yang terakhir diantaranya di atur oleh Keppres No. 42 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN dan Keppres 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Keputusan Presiden di dalam tata hukum tidak terlalu mengikat sebagaimana sebuah undang-undang.
Dari kelemahan tata hukum itulah kemudian menjadi salah satu penyebab banyaknya praktik penyimpangan dan KKN di dalam pengelolaan Keuangan negara selama ini. Puncaknya dengan terjadi krisis moneter pertengahan 1997 yang telah memporak-porandakan tatanan ekonomi yang telah dibangun dengan susah payah oleh pemerintahan era orde baru ditandai dengan anjloknya rupiah hingga menembus level Rp 17.000 per satu USD. Krisis berlanjut hingga menjadi krisis multidimensional yang kemudian melahirkan era reformasi. Era reformasi inilah yang memberikan momentum terciptanya tata aturan baru dalam pengelolaan keuangan negara.
Paket UU Keuangan Negara tersebut (yang terdiri dari dua UU yang sudah diundangkan, yaitu UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, serta satu RUU, yaitu RUU Pemeriksaan pengelolaan Keuangan Negara yang masih dibahas di DPR) merumuskan empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara, yaitu:
1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja;
2. Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah;
3. Pemberdayaan manajer professional; dan
4. Adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, professional dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Perubahan mendasar yang diatur oleh Undang-undang No.17 tahun 2003 yaitu:
a. Tentang pengertian dan ruang lingkup dari keuangan negara;
b. Azas-azas umum pengelolaan keuangan negara;
c. Kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara;
d. Pendelegasian kekuasaan presiden kepada menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga;
e. Susunan APBN dan APBD;
f. Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD;
g. Pengaturan Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing;
h. Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan daerah dan perusahaan swasta;
i. Badan pengelola dana masyarakat; dan
j. Penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
k. Penggunaan Medium Term Expenditure Framework (MTEF) sebagai pengganti Propenas dan Repeta. Sedangkan perubahan mendasar dalam pengelolaan perbendaharaan negara yang tercantum dalam UU No.1 tahun 2004 yaitu:
1. Penerapan anggaran berbasis kinerja;
2. Pemberlakuan pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja negara berbasis akrual;
3. Munculnya jabatan fungsional Perbendaharaan Negara;
4. Pemberian jasa giro atau bunga atas dana pemerintah yang disimpan pada bank sentral;
5. Sertifikan Bank Indonesia yang selama ini menjadi instrumen moneter akan digantikan oleh Surat Utang Negara; dll.