Sejarah Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Keislaman

Sejarah Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Keislaman
Sejarah awal kelahiran, Islam telah memberikan penghargaan begitu besar terhadap ilmu. Pandangan Islam tentang pentingnya ilmu tumbuh bersamaan dengan kelahirannya Islam itu sendiri. Ketika Rarulullah SAW menerima wahyu pertama yang mula-mula diperintahkan kepadanya ‘membaca’. Pada masa kejayaan umat Islam, khususnya pada masa pemerintahan dinasti Umayah dan dinasti Abasyiah, ilmu Keislaman tumbuh dengan sangat pesat dan maju. Kemajuan ilmu Keislaman telah membawa Islam pada masa keemasannya. Dalam sejarah ilmu Keislaman, kita mengenal nama-nama tokoh ilmu diantaranya Al-Mansur, Harun Al-Rosyid, Ibnu Kholdun, dan lain sebagainya yang telah memberikan perhatian besar terhadap ilmu Islam. Pada masa itu proses penterjemahan karya-karya filosof Yunani ke dalam bahasa arab berjalan dengan pesat. Sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ilmu Keislaman, baik dalam bidang tafsir, hadits, fiqih dan disiplin ilmu ke-Islam yang lain. Tokoh-tokoh dalam bidang tafsir, antara lain Al-Thabary dengan karyanya Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an al-Bukhary, dengan karya yang diciptakan yaitu Al-Jami’ al-Shahih, Muslim, Ibnu Majah, dan lain sebagainya

1. Islamic Studies Model Barat Dan Orientalis
Masa Islamic studies model barat dan orientalis dimulai bersamaan dengan munculnya Negara-negara barat kepentas dunia, setelah mengalami masa gelap (dark ages) yang cukup lama. Masa ini pula merupakan permulaan Negara-negara barat, yaitu Eropa mempunyai keinginan bertemu dengan masyarakat Islam di Negara-negara lain, yang berujung dengan penjajahan mereka terhadap Negara-negara di timur (meliputi Indian, Cina, Birma yang masyarakatnya pemeluk agama-agama Hindu, Budha atau lainnya dengan cara mengirimkan para sarjana yang mendapat sebutan dengan orientalis.

Para orientalis biasanya membagi dunia menjadi dua yaitu Barat (west atau occident) dan Timur (east atau orient). Yang berfungsi sebagai doktrin politik untuk menguasai timur yang merupakan ngara atau masyarakat yang lebih lemah dibandingkan dengan barat.

Setelah tujuan penjajahan berkurang atau bahkan sudah tidak ada, Islamic studies di barat ditempatkan pada kajian akademik, dimana pelakunya lebih merasa adanya tuntutan akademik, bukan lagi tuntutan politis dan kalau kita amati secara seksama dan menyeluruh, Islamic studies di Barat dilakukan dengan melalui salah satu dari empat pendekatan yaitu : 

Pertama, menggunakan metode ilmu-ilmu yang masuk di dalam kelompok humanities, seperti filsafat, filologi ilmu bahasa, dan sejarah terkadang dimasukkan ke dalam bagian social sciences.

Kedua, menggunakan pendekatan yang biasa dipakai dalam disiplin atau kajian teologi agama-agama, studi Bible dan sejarah gereja, yang berarti trainingnya Dr. Divinity schools. Oleh Karen aitu tidak aneh kalau banyak orientalis adalah juga pastur, pendeta, uskup atau setidaknya missionaries.

Ketiga, menggunakan metode ilmu-ilmu social, seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik dan psikologi (ada yang mengelompokkan psikologi ke dalam humanities). Oleh karena itu mereka bisa disebut dengan orientalis atau ahli di dalam ke-Islaman setelah mendapatkan pendidikan di dalam jurusan atau fakultas disiplin-disiplin tersebut dengan mengadakan kajian / penelitian, khususnya untuk penulisan disertasinya, tentang Islam atau masyarakat Islam.

Keempat, menggunakan pendekatan yang dilakukan di dalam department-department, pusat-pusat atau hanya committee, untuk area studies seperti Midate Eastern Studies / near, Eastern Languages and Civilizations dan South Asian Studies atau suatu committes seperti UCLA.

Keunggulan studies Islam dibarat adalah pada aspek metodologi dan juga strategi, yang dimaksud strategi disini adalah tentang bagaimana cara untuk menguasai materi yang begitu banyak dapat dipergunakan seefisien mungkin. 

2. Islam sebagai Kajian Akademik (Islamologi)
Kajian akademik yakni untuk ilmu-ilmu Keislaman disini dimaksudkan dengan “studi kritis” (critical studies) yang menurut ukuran tradisi barat bercirikan “tidak percaya” atau mempertanyakan terhadap kasus atau hasil pemikiran yang dikajinya. Bisa juga untuk menolak atau mengembangkan teori yang dikajinya, atau bisa juga untuk membuat interpretasi ulang. Jadi seseorang yang melakukan kajian tidak hanya sekedar untuk menghafal dan kemudian mengikuti kerja orang lain. Keragu-raguan terhadap hal-hal yang dikaji itu merupakan dasar utama kajian akademik. Maka seseorang yang sedang melakukan kajian harus paham secara diskriptif terlebih dahulu terhadap apa yang akan dikaji.

Selama ini yang terjadi bahwa kalau kita berbicara mengenai studi Islam, hampir selalu merujuk pada sosok ajaran Islam. Persoalannya sekarang adalah bagaimana umat manusia, dan khususnya umat Islam masa kini, memperoleh ilmu ini. Jika kita lihat dengan kritis sosok ajaran Islam sebenarnya juga terlingkupi permasalahan secara akademik. Istilah kajian akademik terhadap ajaran Islam masih dianggap sensitive, apa yang sering dianggap sebagai “doktrin” agama yang berserakan di berbagai jenis ilmu-ilmu Keislaman pada hakikatnya sarat dengan hasil pemikiran (ijtihad) pada pemikir pada waktu yang telah lampau. Oleh Karena itu perlu adanya pemikiran yang dilakukan secara sistematis.

Dalam mempelajari Islam, tujuan utamanya adalah untuk memahami Islam. Suatu contoh di tingkat perguruan tinggi, satu pertanyaan timbul : “Belajar Islam tersebut lewat siapa ?” yakni, lewat guru / ulama’ atau tulisan siapa ? benarkah si guru / ulama’ atau penulis itu tepat di dalam memahami Islam? nah, disinilah letak kajian akademik terhadap Islam yang dilakukan oleh sarjana muslim sendiri : yaitu, kajian akademik terhadap pemikiran ulama’ terdahulu di dalam memahami Islam (ini lebih banyak berupa normative) 

3. Kajian Islam dengan Pendekatan Ilmu Sosial 
Ketika pemikiran Islam dikaji dengan meletakkannya pada posisi hasil pemikiran ulama dan dilihatnya secara interdisipliner, maka kajian seperti ini akan memerlukan disiplin lain dari luar (social sciences / humanities). Kajian seperti ini masih dikategorikan pada kajian “ajaran Islam” itu sendiri, bukan kajian disiplin lain. Sekarang bagaimana dengan kajian Islam dengan menggunakan disiplin ilmu-ilmu social ?

Penggunaan disiplin ilmu social untuk mengkaji masyarakat muslim mau tidak mau harus tidak lepas dari kajian Islam itu sendiri dalam konteks sosialnya. Artinya, ajaran dan keyakinan Islam tidak bisa dilepaskan sama sekali dari proses analisisnya. Jika hal seperti ini yang dituntut, maka sering terjadi gap dalam praktek kajian ilmu social pada umumnya yang tidak pernah memperhitungkan ajaran Islam. Gap itu terjadi antara wujud perilaku yang dianalisis yang sedikit atau banyak ada bekas dari ajaran Islam, di satu pihak, dengan analisis sekuler yang sama sekali tidak memperhitungkan pengaruh ajaran tersebut, dilain pihak. Dan dalam kenyataan pula terjadi gap antara pemeluk Islam (terutama sekali yang dilihatnya secara formalitas) dengan sosok ajaran Islam normative yang sering tidak dipraktekkan oleh pemeluknya.

Berbicara mengenai gap antara praktek social dan normative tersebut diatas, sering terjadi anggapan bahwa Islam termasuk secara normative dilihat dari perilaku pemeluknya jadi meraka mendefinisikan Islam dari hasil analisisnya mengkaji masyarakat Islam di timur tengah, yang akan menghasilkan bukan saja Islam identik dengan timur tengah, namun juga akan menghasilkan bahwa Islam itu hanyalah apa yang terwujud dalam permukaan pemeluknya. Dalam keadaan ini berarti tidak ada pemisahan antara ajaran normative yang tidak terdeteksi dengan perilaku masyarakat yang menjadi incaran sasaran analisis mereka.

4. Islam VS Ilmu Keislaman
Karena Islam bersifat kognitif sedangkan ilmu Keislaman bersifat psikomotorik. Ada orang yang memiliki wawasan luas tentang ilmu Keislaman tetapi tidak menjalankannya. Baginya ilmu Keislaman hanyalah merupakan ilmu yang perlu dikaji bukan sesuatu yang harus diamalkan. Termasuk dalam kelompok ini adalah para Islamisist atau orang-orang orientalis yang terus-menerus mengkaji tentang ilmu Keislaman, tetapi tidak ada komitmen untuk mempraktikkannya. Sedangkan Islam bukanlah objek kajian melainkan norma, doktrin, disiplin, dan nilai-nilai yang harus diamalkan. Islam itu harus dipelajari dan dikaji terus-menerus. Islam itu tidak perlu dikaji dan didiskusikan secara mendalam. Nah, pandangan inilah yang perlu diluruskan. Mengapa ? Ya, karena “Al-ilmu qab al-‘amal”, bahwa ilmu itu penting untuk kepentingan praktik. Dengan demikian bahwa Islam itu mengandung dua dimensi yang sinergis : Ilmu dan amal. Islam adalah agama yang sempurna, dan perlu untuk di amalkan dan itu disebut dengan ilmu Keislaman. Karena ilmu Keislaman adalah mempelajari segala tentang Islam.

5. Konsep Ilmu dan Tradisi Islam 
Seorang ilmuan muslim yang tergolong awal, yaitu al-syafi’i, mengelompokkan ilmu menjadi dua, pertama ia sebut dengan ilm’ amah (ilmu yang diterima secara umum) dan keuda ilm’ khassah (ilmu yang diteirma secara umum) dan kedua ilm’ amah (ilmu yang menjadi wilayah orang-orang tertentu, yakni ulama). Yang pertama (Ilmu ‘ammah) mempelajari nass dengan tegas dalam Al-Qur’an dan jelas diterima oleh umat Islam yang tergolong kelompok ini adalah kewajiban shalat lima waktu, puasa ramadhan, menunaikan ibadah haji jika mampu, membayar zakat, keharaman berzina, membunuh, mencuri dan minum khamr, dan ini semua tidak ada perbedaan pendapat diantara muslim. Kalau dalam kelompok pertama tidak terjadi perbedaan pendapat, maka untuk yang kedua terbuka ruang untuk terjadinya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat itu bisa terjadi disebabkan perbedaan analisis atau perbedaan kesimpulan penelitiannya, yang berarti ada kebebasan studi.

Kalau kita cermati, dalam Islam kita mempunyai wahyu Allah berupa Al-Qur’an yang Al-Qur’an ini disebut sebagai Qat’iy al wurud yang artinya bahwa keberadaan Al-Qur’an termasuk teks-nya sudah difinal dengan kata lain teks Al-Qur’an ini tidak ada campur tangan pemikiran dan penelitian manusia. Untuk memahami Al-Qur’an dan Sunnah itu telah terjadi pemikiran bebas oleh ulama. Sebagai akibatnya telah muncul beberapa jenis ilmu yang kemudian disebut sebagai ilmu Keislaman atau ilmu agama Islam. Hal ini meliputi ajaran Islam itu sendiri, yang sering kita terjebak dengan menggunakan istilah doktrin yang sebenarnya itu merupakan sejarah pemikiran ulama untuk memahami wahyu tadi dan jenis-jenis ilmu itulah yang menjadi objek penelitian ilmu-ilmu ke-Islaman.

6. Rekontruksi 
Ketika Nabi Muhammad SAW. Masih hidup, para sahabatnya selalu mendapatkan bimbingan langsung dari Nabi. Wahyu Allah juga turun kebumi sebagai petunjuk yang kita kenal dengan nama Al-Qur’an. Setelah nabi SAW. wafat, sudah menjadi consensus umat Islam bahwa sumber utama Islam adalah Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Untuk yang pertama tidak satupun orang yang membantah sedangkan untuk yang kedua ada sedikit orang yang tidak mengakuinya. Dengan alas an bahwa hadist itu hanyalah penjelasan terhadap Al-Qur’an bukan sebagai sumber utama yang berdiri sendiri.

Dalam perjalanan sejarahnya, para pemikir atau ulama telah banyak menghabiskan waktunya untuk memahami nashsh itu dalam waktu yang bersamaan, mereka juga mempelajari sejarah dan keadaan masyarakat yang melingkupi turunnya nashsh tersebut. Di satu sisi, hal ini berkaitan erat dengan nash dan disisi lain, mereka juga menemukan beberapa kasus yang tidak dapat secara langsung dipahami dan dipelajari dari pemahaman nashsh tersebut, namun, kita juga perlu ingat bahwa nash itu sendiri juga mengajarkan penggunaan akal pikiran (kauniyah). Sedangkan penggunaan akal sebagai proses untuk dapat menghasilkan argumentasi dan proses deduktif dan induktif,

Jika dilihat semata-mata dari wujud nashsh, adanya nashs itu terbatas. Sementara itu kehidupan manusia selalu berkembang dan berubah. Maka dari sisi ini terkadang terjadi kesenjangan kasus. Dalam kebebasan dan kemampuan mengembangkan pemikiran Islam atau ilmu-ilmu ke Islaman dari berbagai perbedaan pendapat maka muncullah pemahaman dan pemikiran menjadi disiplin ilmu dalam Islam, seperti ilmu kalam, ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadist dll.